Aku pernah bermimpi. Suatu hari seekor ular menemuiku di
tepi sungai. Sungai itu kuingat sebagai jalan tempatku menuju sekolah ketika
SD. Lalu ular itu mengikuti kemanapun aku pergi. Dari ukuran yang tadinya
kecil, lambat laun menjadi besar dan panjang karena aku merawatnya. Tetapi
diluar dugaan, ular itu tak bisa lepas dariku. Sampai suatu hari aku melarikan
diri, ke gunung, hutan, gurun, laut, dan kemanapun ular itu masih mengikuti.
Aku sangat takut. Untung saja, hanya mimpi.
Aku tak dapat membayangkan kalau cerita tersebut menjadi
nyata. Aku sangat tidak suka dengan ular atau reptil macam apapun. Bagiku
mereka menjijikkan, membuat kulit merinding meski tidak sedang disapu angin.
Mungkin ini memang bukan masalah yang besar. Tetapi setelah mimpi buruk itu,
aku tak dapat tenang sepanjang malam. Aku tak pernah bisa tidur.
“Ular itu menggigitmu tidak?”
“Hanya mengikutiku.”
“Pukul berapa kamu bermimpi?”
“Lupa.”
Bagi ibuku yang merupakan orang Jawa, mimpi bukan
sekedar bunga tidur, atau hanya cerita main-main. Beliau terbiasa membaca buku
primbon dan mendengarkan petuah-petuah Mbah Uti sejak kecil.
“Mimpi itu firasat, ilham, atau petunjuk dari Gusti.”
“Belum tentu.”
Ibu akan marah kalau aku sudah berkata demikian dan
ceramahnya akan bertambah panjang. Aku hanya menghirup teh hangat di meja kayu,
ruang makan yang dekat dengan dapur tempat ibu setiap hari menyalakan pawon
dan memasak. Bapakku tak pernah ikut campur. Hanya duduk sebentar di kursi
sebelahku, setelah itu meninggalkan rumah dan mengajar di sebuah SD.
Aku memang tidak percaya segala ucapan ibu. Meski
demikian, payah juga aku, karena setiap hari mau tidak mau bayangan ular itu
seperti semakin jelas menetap di kepalaku. Tebayang sisiknya yang kasar dan
mengkilat, mata dan lidahnya yang jalang, serta tubuhnya yang sangat liat. Aku
tidak tahan. Pada akhirnya aku kembali lagi pada ibu, menanyakan arti mimpiku.
“Jangan pura-pura tidak tahu.”
“Mau dilamar orang ya, Bu?”
“Mau dibawa kawin lari.”
Ibu tertawa. Dan aku tahu betul ia sedang bercanda. Aku
meninggalkan rumah. Kuliah. Tinggal di rumah kos. Tak bertemu ibu berhari-hari.
Mimpi ular pun perlahan terlupakan.
***
Pukul 3 pagi. Aku sudah terbiasa bangun untuk
mengerjakan solat. Sebab aku termasuk orang yang percaya bahwa solat pada waktu
seperti ini permintaannya akan dikabulkan. Aku percaya karena aku sudah mengalaminya.
Betapa banyak hal diluar dugaan, tetapi memang hal tersebut yang terbaik untuk
kita. Bukankah hal itu sangat ajaib? Maka aku rajin melakukannya.
Kali ini aku telah terbangun. Dengan mata yang masih mblawur,
kulihat seekor kupu-kupu berwarna hitam dengan motif bintil putih sedang
bertengger di dekat jendela kamar yang tertutup rapat. Sepagi ini ada
kupu-kupu? Apakah ini pertanda? Ah, repot juga menjadi orang sepertiku. Bermula
dari membaca buku The Alchemist tulisan Paulo Coeleho, sedikit-sedikit
jadi menghubungkan segala sesuatu sebagai bahasa dunia. Sebuah pertanda!
Maka kuamati kupu-kupu itu. Kudekati pelan-pelan.
Makhluk cantik ini darimana datangnya? Rasanya kamar ini telah tertutup dengan
rapat.
Aku mengambil air wudhu dan mengerjakan solat seperti biasanya.
Ketika berdoa, aku lupa sebentar pada kupu-kupu itu. Tetapi ketika hendak
kembali tidur. Tiba-tiba kupu-kupu itu terbang menclok dari satu sudut
ke sudut lainnya. Maka mataku yang terpejam terpaksa mengingatnya. Dan mulai
lelap dengan digelayuti pikiran-pikiran. Sepertinya ibuku pernah bilang, kalau
di dalam rumah seseorang datang kupu-kupu, biasanya akan didatangi seorang tamu.
Tetapi tidak bagiku. Jika kupu-kupu itu datang di rumah atau tempat tinggal
seorang dara, artinya seseorang telah mengincar untuk menjadi kekasihnya. Tentu
kau tak perlu percaya kedu-duanya. Aku hanya mengatakan pendapat ibu yang juga
sering dipercaya kebanyakan orang, juga pendapatku yang tentu lebih menjadi
pengganggu pikiran.
Pagi tiba. Pukul 5 aku bangun. Solat. Kemudian mencari
kupu-kupu itu. Ia bertengger di langit kamar dengan tenang.
***
“Nok, kamu sudah punya pacar?”
“Belum.”
“Sudah punya gebetan?”
Aku tidak tahu darimana ibu mengerti bahasa gaul semacam
itu. Aku menggeleng dengan ringan.
“Belum juga.”
“Hmm, ajaib. Teman-teman desa ini yang seumuranmu sudah
punya pacar semua bahkan tak jarang yang sudah berkeluarga.”
Aku tertawa sambil membungkusi gorengan ibu yang
sebentar lagi akan diambil orang dan dijual berkeliling kampung. Aku heran
tiba-tiba ibu menanyakan hal itu. Tetapi memang wajar orangtua menanyakan hal
demikian pada anaknya. Tetapi sayang, aku tak terbiasa terbuka. Maka pertanyaan
semacam itu membuat wajahku sedikit merona. Sungguh malu pada ibu sendiri
mengenai hal semacam itu.
Kupikir pertanyaan ibu ketika itu tak berarti apa-apa.
Beberapa malam setelahnya, ibu memintaku mecoba kebaya putih mungil dan manis
yang dibawa bu lekku dari kulakan. Bu lekku adalah mendre
pakaian. Ia sering membawa barang-barang semacam ini keliling kampung dan
menjualnya dengan dibayar nyicil pada warga sekitar. Mereka biasanya
antusias membeli, sebab bayarnya nyicil, maka tidak terasa begitu berat.
“Kamu suka?”
Tanya ibu. Kebaya renda-renda itu ngepas di tubuhku
yang kurus. Kemudian dilengkapi jarik yang sudah menjadi rok dengan
motif parang rusak warna coklat tua.
“Untuk apa aku harus mencoba kebaya ini, bu? Wisudaku
kan masih lama?”
Tak lama setelah itu, bulek mengambil bedak dan
mendandaniku. Rambutku dirapikan serta disanggul kecil. Wajahku kini telah
dipoles make up minimalis yang membuat wajahku semakin manis.
“Buat apa sih, Bu?”
“Diam saja.”
Maka tentu kau tahu apa yang terjadi. Tak lama setelah
itu, datang rombongan tamu di rumahku. Sebuah keluarga dengan membawa berbagai
makanan berhiaskan indah-indah. Mereka berpakaian rapi, kebanyakan batik dan
sangat resmi.
“Itu keluarga teman bapakmu. Mereka datang ke sini untuk
melamarkan anaknya untukmu.”
Rasanya ibu sedang bercanda saja. Kalimat pemberitahuan
itu meluncur dengan ringan tanpa meminta pendapatku. Seperti percakapan biasa
ketika kami berada di dapur bersama-sama. Tetapi kau tahu, ini bukan percakapan
biasa. Hampir saja aku melarikan diri, tetapi mana mungkin. Semua sudah ada di
depan mata. Aku terkepung. Aku linglung.
***
Aneh sekali hari itu. Kalau saja aku mengerti bahwa
maksud ibu adalah hendak menjodohkanku, pasti sudah kurusak makanan yang sedari
pagi disiapkan dengan rapi. Bahkan aku yang menghias dan menata kue hingga
nampak cantik. Aku pula yang menata ruang tamu hingga nampak bersih. Aku juga yang
menjemput bu lek dan kebaya menjerumuskan itu. Aku juga yang sudah dewasa tapi
tak tahu apa-apa seorang diri. Ah, kupikir benar kata ibu. Malam itu keluarga
besar kami akan datang. Simbah, bu lek, pak dhe serta keponakan
dan sepupuku. Kupikir benar malam itu akan ada reuni kecilkecilan. Kupikir
semua yang dikatakan ibuku adalah benar. Kupikir benar kalau malam itu aku lari
saja. Tetapi hal itu tidak aku lakukan.
***
“Mas, kamu pernah bermimpi dikejar ular?”
“Pernah.”
“Pernah didatangi kupu-kupu secara khusus di kamarmu
malam-malam?”
“Belum pernah. Kenapa?”
“Kamu percaya mitos?”
“Ada apa?”
Aku tersenyum. Malam ini aku dan suamiku mempunyai
kesempatan bercakap-cakap lebih lama. Ia pulang lebih awal. Sebagai pegawai di
rumah sakit, ia jarang pulang awal. Aku tidak tahu apa yang dikerjakaannya.
Tetapi aku percaya ia tak pernah macam-macam. Ibuku tidak memilih orang yang
salah.
Aku belum beranjak dari kursi yang menghadap cermin
ketika ia tengah berbaring di ranjang yang selalu wangi itu. Ia memandangiku yang
masih mengusapkan kapas dan pembersih wajah di mukaku yang sedikit berjerawat. Ia
lembut dan tak pernah memaksaku. Maka malam ini dan mama-malam sebelumnya,
kulayani ia sesuai tugasku sebagai seorang istri. Ya. Istri yang baik di mata
agama. Di mata orang tuaku. Di mata semua orang. Aku melayaninya. Layaknya
orang yang amat mencintainya. Bertahun-tahun. Hingga lahir anak pertama kami,
menyusul anak kedua kami, menyusul anak ketiga kami. Ketiganya kuberi nama Dhuta.
Padahal mereka adalah perempuan yang anggun seperti ibunya, kata suamiku
begitu.
“Kenapa Dhuta?”
“Bagus saja.”
“Kan harus ada alasannya?”
“Pokoknya bagus saja.”
Suamiku mengeleng-geleng. Terserah sajalah, istriku.
Apapun, bagiku tak masalah. Asal mereka sehat wal afiat. Tetapi jangan lupa,
berikan namaku di akhiran nama mereka biar semua orang tahu bahwa aku adalah ayahnya.
Tentu. Semua nama mereka diikuti namamu, Sastrowardoyo. Semua orang tahu mereka
anak-anakmu.
***
Aneh sekali hari itu. Kalau saja aku mengerti bahwa
maksud ibu adalah hendak menjodohkanku, pasti sudah kurusak makanan yang sedari
pagi sudah disiapkan dengan rapi. Bahkan aku yang menghias dan menata kue
hingga nampak cantik. Aku pula yang menata ruang tamu hingga nampak bersih. Aku
juga yang menjemput bu lek dan kebaya menjerumuskan itu.
Aneh sekali hari itu. Kenapa aku tak lari saja? Kemudian
pergi ke sebuah sungai di mana kuhabiskan masa kecil di tempat itu. Lalu mecari
ular yang muncul di mimpiku serta mengusik pikiranku. Ular itu akan kubunuh dan
tak akan kubiarkan mengganggu kehidupanku. Tetapi malam itu aku tak lari,
melainkan hanya menangis seorang diri sambil mengingat wujud ular yang tak
pernah luput membuntutiku. Jelmaan mimpi, seperti pangeran kodok yang mengubah
dirinya menjadi pangeran sangat tampan.
“Siapa itu?”
Tanya suamiku ketika malam-malam kami melihat bersama
album foto semasa muda. Suamiku menunjuk gambarku sedang berada ditumpukan
buku-buku dengan seseorang yang tersenyum selebar rambutnya yang ikal
mengembang dan panjang.
“Namanya Dhuta.”
“Teman kuliah?”
“Dia pacarku ketika itu. Ketika aku dijodohkan
denganmu.”
“Sekarang?”
“Masih menjadi pacarku.”
“Sekarang?”
“Masih menjadi pacarku.”
Suamiku tak menggubris. Tetapi matanya tak seterang tadi
ketika mengajakku menelusuri masa lalu lewat foto-foto itu. Mungkin ia
beranggapan aku hanya bercanda. Tetapi ia tak pernah tahu, suatu hari aku
bermimpi seekor ular menemuiku di tepi sungai. Sungai itu kuingat sebagai jalan
tempatku menuju sekolah ketika SD. Lalu ular itu mengikuti kemanapun aku pergi.
Dari ukuran yang tadinya kecil, lambat laun menjadi besar dan panjang karena
aku merawatnya. Tetapi diluar dugaanku, ular itu tak bisa lepas dariku. Sampai
suatu hari aku melarikan diri, ke gunung, hutan, gurun, laut, dan kemanapun
ular itu masih mengikuti. Bahkan ketika aku sudah menikah dengannya. Ular itu
masih saja mengikutiku. Biasanya menjelma kupu-kupu di sudut kamar ketika tiap malam
kami mabuk bersama dengan keringat yang bercecer di mana-mana. Biasanya aku
melihat kupu-kupu itu sambil tersenyum dan menyebut namanya ditelinga suamiku. Dhuta.
Ia tersenyum dan menjawab sambil terengah.
“Ya. Anak-anak kita. Semoga tumbuh menjadi manusia yang
wibawa.”
Padahal aku memikirkan sesuatu yang lain.
Kledungbuntu, Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar