Sabtu, 18 Mei 2013

Cerita Ibuku


 
“Dulu, waktu bapakmu masih ada, ibu punya banyak pacar.”
Kalimat itu yang selalu terngiang ditelingaku. Kenapa ibu mengatakannya kepadaku? Dan kenapa ibu mengatakan itu sekarang? Tidak sejak dulu?
Namaku Marini. Aku ibu rumah tangga yang tak punya pekerjaan lain selain mengurusi rumah, mengurusi suami, mengurusi ibu yang tinggal serumah denganku dan ngerumpi dengan tetangga setiap pagi. Usiaku masih cukup muda. Dua tahun lalu ketika masih berusia dua puluh tiga, ibu menjodohkanku dengan anak temannya, laki-laki yang berusia lima belas tahun di atasku. Awalnya aku menolak. Untuk apa? Apakah aku harus menikah dengan om-om? Padahal untuk lulusan S1 sepertiku tak begitu sulit mencari jodoh! Tetapi akhirnya aku menyerah. Bagaimanapun aku menghormati ibuku. Beliaulah yang mengandungku, merawat, dan membesarkanku. Betapa durhaka bila tidak menuruti kemauannya dan menyakiti hati beliau. Ah, tidak.
Suamiku bernama Mas Bagio. Rupanya tak salah ibuku memilihkan suami sepertinya. Penyabar, pengertian, dan tidak suka memaksa. Awalnya aku risih berdekatan dengan Mas Bagio. Lelaki kumisan dengan perut berlemak. Ah, tak pernah terbayang mendapat suami setua itu.
Tak terasa dua tahun sudah aku menikah. Sejak saat itu pula aku pindah ke rumahku sendiri. Tepatnya rumah hasil kerja keras Mas Bagio. Dan selama itupun rumah tangga kami adem ayem saja. Tak pernah ada keributan, apalagi pertengkaran. Terlebih ibuku tinggal serumah. Jika kami nampak bermusuhan, ibu selalu menenangkan. Mas Bagio pun begitu sabar menghadapiku.
“Ibu ingin bercerita padamu, Nak.”
“Cerita yang sama, kan? diulang lagi?’
“Karena memang ibu ingin bercerita kepadamu.”
“Ya sudah bercerita saja, akan kudengarkan.”
Jam dinding di ruang tamu ini berkelitik seperti ranting-ranting kecil yang jatuh dari pohon rambutan dekat jendela ruang ini. Kebiasaan ibu, bercerita. Udara tak begitu panas. Ibu tepat duduk di depanku, berdaster dan bersweter tipis, rambutnya yang sudah beruban digelung, berkacamata karena matanya sudah rabun, dan jari-jarinya bertautan, melindas jari-jari yang lain. Detak jam masih berkelitik. Aku diam seksama merasakan udara yang masuk kehidungku. Ibu mau bercerita apa lagi? Cerita yang sama? Cerita yang aneh, dan cerita yang selalu membuat perutku mual?
“Dulu, waktu bapakmu masih ada, ibu punya banyak pacar.”
Ibu mulai bercerita. Seperti dugaanku. Cerita yang sama. Dengan kalimat sama.
“Waktu ibu punya banyak pacar, bapakmu tidak tahu.”
“Lalu?”
“Setiap pagi, setelah bapakmu berangkat kerja, setelah kamu berangkat sekolah dan tak ada orang di rumah, ibu ikut pergi juga.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja.”
“Kok kemana saja?”
“Ibu ikuti kemana saja pacar ibu pergi.”
Cih. Seperti ada yang memaki diriku sendiri. Kenapa Ibu bercerita seperti ini? Udara terasa sesak meski sebenarnya biasa saja. Ibu tetap asyik dengan ceritanya. Air mukanya datar, maklum ibuku sudah tua. Meskipun begitu, ibu tetap sosok berwibawa yang di mataku tak ada cela. Tetapi, kenapa Ibu melakukannya? Bukankah perilaku itu tak terpuji di mata siapa pun? Aku hanya bisa menghela napas panjang-panjang ketika ibu mengisahkannya. Ibu, kenapa engkau aneh sekali?
Waktu menunjuk pukul sepuluh pagi. Jarum jam di dinding ruang tamu ini cepat juga berputarnya. Satu jam sudah ibu bercerita, tak ada yang istimewa, tak ada yang berbeda dari biasanya. Yang aku herankan, apakah ibu tak merasa berdosa? Apa alasan ibu sebenarnya? Kenapa ibu melakukannya dan kemudian menceritakannya padaku?
Aku jadi ingat sosok ibu ketika dulu. Ketika muda, ibu adalah seorang guru. Seorang guru Sekolah Dasar sudah lebih dan cukup untuk keluarga sederhana seperti kami. Tetapi entah sejak kapan ibuku berhenti mengajar (aku tidak tahu, karena aku belum lahir, aku hanya mendengar cerita dari ibu). Mungkin sejak beliau menikah dengan bapak lalu dilarang mengajar atau apa, aku tak begitu paham. Akan tetapi agaknya alasan ibu berhenti mengajar memang tak jauh dari itu (dilarang bapak mungkin). Tak seorangpun menyangka, sosok berwibawa sepertinya mempunyai kisah unik seperti itu.
Dua jam sudah aku mendengarkan cerita ibu. Tak seperti biasanya, cerita Ibu kali ini terasa lebih banyak dan lebih panjang.
“Masih ada lagi, Bu?“
“Kali ini ibu akan menceritakannya sampai selesai. Kamu belum pernah mendengar endingnya bukan?”
Aku menggeleng. Benar juga, selama ini ibuku menceritakan kisahnya yang itu-itu saja. Tak pernah selesai. Nanggung. Meskipun sebenarnya aku tak pernah penasaran seperti apa ending nya, tetapi jika ibuku berkehendak, maka aku tak ingin melawannya. Akan kudengarkan dengan seksama.
“Tetapi sebelum sampai ending, ada bonus cerita lagi untukmu”.
Oh Tuhan, bonus cerita? Apakah waktu tiga jam untuk opening sampai ending tidak cukup? Ah tidak. Aku tak ingin jadi anak durhaka. Bagiku, apa yang baik menurut ibu, maka baik pula untukku.
“Dengarkan baik-baik, ya.”
Aku mengangguk, diam seperti bocah kecil yang menunggu suapan makanan dari ibunya. Oh ibu, betapa ucapanmu adalah perintah bagiku.
“Waktu itu, ibu tidak tahu, ibu melakukannya dengan sengaja atau tidak.”.
“Maksudnya?“
“Ibu tak ingin mengecewakan bapakmu. Bapakmu adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab pada istri dan anaknya”.
“Lantas?“
“Ibu sendiri tidak mengerti, ibu tahu ibu salah, akan tetapi entah mengapa ibu tetap tak bisa menghentikan kebiasaan buruk itu.”
“Mengapa?”
“Ibu tahu setelah bapakmu meninggal”.
“Apa?”
“Kata eyangmu, itu keturunan.”
Keturunan? Keturunan apa? Keturunan suka berselingkuh? Keturunan punya banyak pacar? Tanpa disadari entah sejak kapan mataku merembes, seperti kubangan di bawah air hujan. Aku tetap tidak terima jika itu dikatakan keturunan. Keturunan macam apa itu?
“Kata eyangmu, itu sudah kodrat, kepercayaan jawa konon begitu. Jika nenek atau kakek buyutmu ada yang bertabiat demikian, maka tabiat itu juga akan menurun pada anak cucunya termasuk ibu dan kamu. Dulu katanya eyangmu juga sempat mengalaminya.”
Dadaku ingin meledak. Kalimat itu mengundang emosiku. Tetapi, aku tak ingin marah kepada ibu. Dan sampai kapanpun tak akan pernah marah kepada beliau. Tetapi kenapa Ibu berkata demikian? Termasuk ibu dan aku? Kata-kata itu benar-benar menusuk relung sukmaku!
“Untuk itu anakku, jadikan pengalaman ibu ini pelajaran berharga. Kuasailah nafsumu, hormatilah suamimu. Meskipun Bagio sebenarnya bukan pilihanmu, tetapi percayalah dia suami yang bertanggung jawab seperti bapakmu. Jangan seperti ibu, bapakmu meninggal karena ulah konyol ibu.”
Ibuku menangis. Dibalik kacamata kusam itu nampak mata yang begitu berat menyangga masa lalu. Oh Tuhan, inikah yang ibu rasakan selama ini? Perasaan yang begitu pedih? Beban yang amat berat? perasaan bersalah? Kenapa penyesalan selalu datang terlambat?
Akupun tak dapat menahan air mata. Dadaku bergejolak seperti ada guntur bergulung-gulung. Ibu, kenapa aku tak bisa merasakan kepedihan di balik cerita ceritamu selama ini?
“Ingat pesan ibu.”
Kalimat terakhir yang membuat ruangan ini jadi hening. Keretak ranting daun dan keletik jarum jam terdengar semakin jelas.

***

Pukul 13.00. Tepat seperti dugaanku. Tak lama setelah ibu berhenti bercerita, ada yang datang mengunjungiku. Jantungku berdetak kencang sekali.
“Siapa ya, Rin?”
“Tidak tahu.”
“Tidak biasanya ada tamu. Biar ibu buka.”
“Jangan.”
“Biar ibu buka.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“Biar Rini saja.”
“Biar ibu saja.”
“Ibu kan capek.”
“Tidak.”
“Rini saja ya…”
Ibu memandangku dengan jeli. Matanya yang tak hitam lagi kini terlihat menakutkan. Aku hanya terpaku seperti prajurit yang menerima banyak komando dalam sekali ucap. Ibu, apa yang harus aku lakukan?
Spada…” suara lelaki terdengar tak sabar di depan pintu.
“Tukang pos?” Tanya ibu.
Aku diam. Mana mungkin tukang pos datang sesiang ini.
“Tukang roti?”
Ibu aneh. Sejak kapan kami langganan roti?
“Penagih hutang?”
Ibu, kita tak pernah hutang pada siapapun, kan? Gaji Mas Bagio bahkan bisa untuk bersenang-senang seumur hidup.
“Lalu, siapa?”
“Sayang, lama sekali membuka pintunya? Kita jadi berkencan, kan?”
“Pacarmu?”
Mata rabun ibu benar-benar menjelma bius hari ini. Aku terpaku. Beliau meninggalkanku yang bagai boneka kehabisan batrei. Sedangkan di luar, tak kudengar lagi lelaki memanggil-manggil. Mungkin sudah bosan atau pergi karena kesal.

***

Maka kuceritakan padamu. Aku ibu rumah tangga berusia dua puluh lima tahun. Setiap harinya, tak ada pekerjaan lain selain ngerumpi dengan tetangga saat berbelanja dan mendengarkan suara ibuku yang gemar sekali bercerita. Tetapi coba dengarkan, sejak hari itu, ibuku mengurung diri di kamar, tak mau makan, tak mau minum. Apalagi bercerita. Entah karena apa.





April 2009 – Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar