Sabtu, 18 Mei 2013

Langit Kecil


Aku punya langit sendiri di kamarku. Kata ibu langit itu sudah ada sejak aku belum lahir. Tepatnya ketika usiaku empat bulan di kandungan. Kata ibu langit itu awalnya hanya nampak seperti bercak hitam yang menempel di langit-langit kamar, yang jika dibersihkan tidak mau hilang. Lalu bercak itu lama-lama semakin luas dan melebar. Ia menjadi langit penuh di langit-langit kamar tepat saat aku dilahirkan ke dunia. Karena itu ibu beranggapan langit itu memang diciptakan Tuhan untukku.
Langitku berukuran 4 x 4 meter. Tepat seperti ukuran kamarku. Aku tak tahu apa yang berbeda antara langitku dan langit yang ada di luar sana. Tapi yang kutahu di langitku juga ada yang namanya matahari dan awan-awan putih seperti kapas. Kata ibu itu adalah siang. Lalu ada waktu ketika langit berubah menjadi merah dan lama-lama menjadi gelap serta muncul benda-benda langit seperti kristal. Yang kata ibu adalah malam yang penuh dengan bintang-gemintang.
Kini usiaku 17 tahun. Ibu selalu memanggilku Gadis. Mungkin itulah namaku. Selama 17 tahun ini aku tak pernah sekalipun keluar dari kamar. Jika aku membutuhkan sesuatu, ibu membawakannya ke kamarku. Mulai dari makan, minum, mandi hingga buang air besar pun kulakukan di kamar. Awalnya aku senang dengan keadaan seperti ini. Seorang anak sepertiku punya langit sendiri. Punya dunia dimana aku seorang diri yang berkuasa. Tak ada yang mengganggu. Tak ada seorangpun yang melarangku melakukan ini itu. Ini suatu kebahagiaan. Belum tentu orang lain punya keistimewaan sepertiku, bukan? Tapi lama-kelamaan aku merasa seperti orang asing. Kenapa aku tidak diijinkan melihat langit selain langit yang ada di kamarku ini? Kenapa aku tidak diijinkan melihat dunia selain yang ada di kamarku ini? Aku mulai merasa ibu memperlakukanku tak seperti manusia pada umumnya.
Aku mulai berfikiran seperti ini sejak kemunculan seorang laki-laki dari perbatasan dinding langitku saat bintang-gemintang mulai datang. Nampaknya ia seusia denganku. Aku kaget bukan main, pasalnya aku tak pernah melihat orang lain selain ibu. Bahkan aku dapat menyatakan bahwa ia laki-laki karena kulihat ia berbeda dengan ibu. Rambutnya cepak agak ikal, kulitnya coklat legam lebih gelap dari kulitku, tingkahnya tak sehalus dan selembut ibuku. Kata ibu makhluk dengan ciri-ciri demikian adalah laki-laki.
“Kau tak ingin ikut aku?”
“Ke mana?”
“Melihat dunia dan langit yang indah di luar sana.”
“Di mana?”
“Di sana.”
“Di mana?”
“Di sana.”
Aku mulai tertarik.
“Langit di sana lebih indah dari langit yang kau lihat ini.”
“Bohong”
“Benar”
“Kata Ibu langit ini paling indah”
“Kau dibohongi Ibumu”
“Ibu tidak pernah bohong”
“Kau yang tidak tahu”
Lalu orang itu menghilang. Sebelum menghilang, ia mengucapkan sesuatu padaku.
“Tunggu aku lagi besok. Ternyata kau gadis yang cantik”

***

Sejak malam yang penuh bintang-gemintang itu, ia selalu datang. Bahkan kedatangannya selalu kutunggu. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku merasa ada orang yang memperhatikanku melebihi ibuku. Memberiku kebebasan untuk memilih. Meski aku tak bisa memilih. Hingga akhirnya aku merasa ibu tak bisa dipercaya lagi. Aku penasaran dengan segala keindahan yang diceritakan orang itu. Aku benar-benar ingin keluar dari kamar ini. Bolehkah?

***

Hari ini saat cahaya mentari mulai membuat langitku terang dan udara pagi sejuk mengisi kamarku. Ibu masuk dengan membawa segelas susu putih.
“Gadisku sayang. Habiskan susunya.
Aku hanya diam. Aku tak percaya lagi kepada Ibu. Rasanya malas sekali.
“Ada apa, anakku?”
“Boleh aku bertanya sesuatu, Ibu?
“Bertanyalah”
Ibu bersikap begitu lembut padaku. Dari dulu beliau memang demikian. Amat halus. Satu-satunya orang yang aku kenal sejak aku lahir (sekarang tidak, aku sudah mengenal laki-laki itu). Ayahku? Kata Ibu, Ayah sudah pergi ke surga sejak Ibu mengetahui bahwa di perutnya ada aku. Malang sekali nasibku. Sejak janin pun sudah tidak punya ayah. Ibu juga meyakinkanku bahwa langit di kamar ini yang memesan Ayah. Waktu Ayah sudah di surga, beliau meminta Tuhan untuk membuatkan langit kecil khusus untuk anaknya. Karena Ayah pergi dan tidak ada di sampingku, maka ayah meminta Tuhan untuk menjagaku melalui langit itu. Begitu kata Ibu. Aku pun tak tahu itu semua benar atau tidak. Tapi karena sejak aku lahir,  suara yang kudengar hanyalah suara ibuku, dan orang yang ku kenal hanya Ia, maka ya aku percaya saja.
“Bertanya apa, Anakku?” Ibu duduk di tepi tempat tidur di mana di situlah kuhabiskan siang dan malamku.
“Ibu, kenapa kau tak mengiijinkanku melihat dunia selain di bawah langit ini?”
Ibu tersenyum. Matanya tetap menyala-nyala seperti bintang yang kulihat ketika gelap datang di langitku.
“Kau tahu dunia itu seperti apa?”
“Tidak”
“Langit di luar sana?”
“Tidak juga”
“Jika begitu, kenapa kau ingin keluar dari kamar ini?”
“Karena aku ingin melihat dunia di luar itu.”
“Belum tentu dunia di luar lebih indah dari duniamu.”
“Jika demikian, kenapa aku tak diijinkan melihat langitnya saja?”
“Langit di luar juga belum tentu lebih indah dari langitmu.”
“Ibu bohong.”
Segerombolan burung pipit beterbangan melewati atas kamarku. Sayapnya yang hitam kecoklatan nampak bercahaya terkena pias matahari yang terang. Bulu-bulu lembutnya beberapa jatuh ke kamarku. Kulihat sekelilingku. Aku merasa sudah dikubur hidup-hidup sejak lahir di peti yang berukuran seperti kamar tanpa tutup ini. Hh. Sebenarnya aku harus bagaimana? Harus mengeluh atau bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan tempat istimewa ini untukku? Kutatap tembok-tembok bercat putih pucat itu, kuharap ada jawaban kutemukan di sana. Tapi percuma, tembok-tembok itu malah seolah bertanya padaku.
“Ibu belum menjawab pertanyaanku”
“Yang mana?”
“Kenapa Ibu tak mengijinkan aku melihat dunia selain di bawah langit ini?”
“Tadi sudah Ibu jawab”
“Itu bukan jawaban”
“Tapi Ibu sudah menjawabnya”
“Tapi gadis tak merasa bahwa itu sebuah jawaban”
“Gadis?”
Ibu bertanya melalui matanya. Kenapa aku agak berubah? Bukankah selama ini aku menerima saja apa kodratku? Hidup di antara empat dinding mati ini. Apakah karena usia yang bertambah sehingga pemikiranku dapat berubah? Atau karena laki-laki yang sering datang saat malam itu?
Ibu menghela napas panjang. Ia kecewa dan seperti menyimpan sesuatu. Ia mengelap keningnya yang tak berkeringat. Tembok-tembok mati ini seolah semakin panas melihat kami yang tak seperti biasanya.
“Katakan pada Ibu, apa yang terjadi padamu?”
Langit amat cerah tapi terasa begitu sesak di ruangan ini. Benarkah telah terjadi sesuatu padaku?

***

Malam datang. Bulan dan bintang malam ini nampak lebih indah dari biasanya. Orang itu datang lagi. Entah kenapa semakin sering bertemu semakin aku ingin terus melihatnya.
Aku tak berhasil”
Jika begitu, bicara lagi pada Ibumu”
Tidak mungkin bisa”
Kenapa?”
Aku tak berani melawan Ibu”
Akan kubantu. Robohkan saja temboknya”.
Malam itu hanya demikian. Percakapan yang singkat. Tapi membuatku semakin bergejolak untuk merobohkan empat dinding ini. Ya tuhan, benar juga. Orang itu juga bilang demikian, bukan? Robohkan saja temboknya! Benar!
Malam ini juga. Setelah orang itu pergi, aku tak henti-hentinya membayangkan. Aku akan keluar dari dinding sempit ini. Ya. Aku akan bebas!
“Gadis, tenanglah, besok pagi semua keinginanmu akan terwujud”.

***

Malam hampir habis. Kudengar kokok ayam jantan dari arah langit. Hari ini tak seperti biasanya. Ibu membangunkanku amat tergesa. Ia masuk kamarku lebih awal dari biasanya. Ada apa sebenarnya? Aku masih setengah sadar. Pagi sayup-sayup datang. Itu artinya, sebentar lagi orang itu akan menepati janjinya. Ya. Aku tak akan berada di antara empat dinding ini lagi. Aku akan pergi dari langit kecil ini.
Tapi ibu? Ada apa dengannya?
“Cepat Nak. Kita tak punya banyak waktu lagi. Kita harus pergi.”
“Pergi? Kenapa Ibu?”
Ibu amat panik. Ibu akan membawaku pergi? Benarkah? Bukankah Ibu tak mengijinkanku keluar? Tapi aku ingin menunggu orang itu dulu. Ada apa ini?
Ibu mengenakan jaket tebal di tubuhku. Dipasangkannya sarung tangan dan kaos kaki agar aku tidak kedinginan. Aku ingin menolak. Tapi aku tak bisa apa-apa.
Ibu sudah siap dengan segala bawaannya. Tapi selangkah sebelum Ibu membuka pintu, kurasakan dinding-dinding kamarku ini dihantam benda keras. Sedikit demi sedikit dinding itu keropos, dan tak lama empat dinding itu roboh satu persatu. Ya Tuhan, apa yang terjadi?
Ibu mendekapku erat. Ibu menangis. Lalu pelan-pelan beliau berteriak,
“Tolong jangan hancurkan rumahku!”
Ibu menangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku melepaskan diri dari dekapan ibuku. Perlahan aku mulai melihat apa yang ada di depan mataku. Dinding-dinding itu roboh. Beberapa robohan temboknya mengenai aku dan ibu. Agak sakit. Tapi aku tak peduli. Aku hanya takjub melihat apa yang ada di depanku. Langitku hilang! yang kulihat adalah langit luas yang berbentuk melengkung dari ujung barat hingga timur, dari ujung utara hingga selatan!

***

Aku dan ibu beranjak. Ibu menuntunku yang berjalan terseok-seok. Kulihat banyak orang di sekitar kami. Orang-orang asing. Aku tak tahu mereka siapa. Menakutkan. Apakah dunia luar seperti ini?
Pagi cerah. Baru kali ini kulihat pagi dari sudut lain. Diantara banyak orang yang berbisik-bisik.
“Anaknya idiot, pantas saja disembunyikan. Di rumah satu ruangan. Tak beratap. Kasihan.”
Udara terasa lembut mengelus pipiku. Langitku roboh. Kulihat laki-laki itu berada di antara mereka. Ibu menuntunku sambil menangis. Ada apa?




Semarang, 10 Desember 2008

2 komentar: