Aku punya langit sendiri di kamarku.
Kata ibu langit itu sudah ada sejak aku belum lahir. Tepatnya ketika usiaku empat bulan di kandungan.
Kata ibu langit itu awalnya hanya nampak seperti bercak hitam yang menempel di
langit-langit kamar, yang jika dibersihkan tidak mau hilang. Lalu bercak itu
lama-lama semakin luas dan melebar. Ia menjadi langit penuh di langit-langit
kamar tepat saat aku dilahirkan ke dunia. Karena itu ibu beranggapan langit itu
memang diciptakan Tuhan untukku.
Langitku berukuran 4 x 4 meter. Tepat
seperti ukuran kamarku. Aku tak tahu apa yang berbeda antara langitku dan
langit yang ada di luar sana. Tapi yang kutahu di langitku juga ada yang
namanya matahari dan awan-awan putih seperti kapas. Kata ibu itu adalah siang.
Lalu ada waktu ketika langit berubah menjadi
merah dan lama-lama menjadi gelap serta
muncul benda-benda langit seperti kristal. Yang kata ibu adalah malam yang
penuh dengan bintang-gemintang.
Kini usiaku 17 tahun. Ibu selalu
memanggilku Gadis. Mungkin itulah namaku. Selama 17 tahun ini aku tak pernah
sekalipun keluar dari kamar. Jika aku membutuhkan sesuatu, ibu membawakannya ke
kamarku. Mulai dari makan, minum, mandi hingga buang air besar pun kulakukan di
kamar. Awalnya aku senang dengan keadaan
seperti ini. Seorang anak sepertiku
punya langit sendiri. Punya dunia dimana aku seorang
diri yang berkuasa. Tak ada yang mengganggu. Tak ada seorangpun yang melarangku
melakukan ini itu. Ini suatu kebahagiaan. Belum tentu orang lain punya keistimewaan
sepertiku, bukan?
Tapi lama-kelamaan aku merasa seperti
orang asing. Kenapa aku tidak
diijinkan melihat langit selain langit yang ada di kamarku ini? Kenapa aku
tidak diijinkan melihat dunia selain yang ada di kamarku ini? Aku mulai merasa ibu
memperlakukanku tak seperti manusia pada umumnya.
Aku mulai berfikiran seperti ini sejak
kemunculan seorang laki-laki dari perbatasan dinding langitku saat
bintang-gemintang mulai datang. Nampaknya ia
seusia denganku. Aku kaget bukan main, pasalnya aku tak pernah melihat orang
lain selain ibu. Bahkan aku dapat menyatakan bahwa ia laki-laki karena
kulihat ia berbeda dengan ibu. Rambutnya cepak agak
ikal, kulitnya coklat legam lebih gelap dari kulitku, tingkahnya tak sehalus
dan selembut ibuku. Kata ibu makhluk dengan ciri-ciri demikian adalah
laki-laki.
“Kau tak ingin ikut aku?”
“Ke mana?”
“Melihat dunia dan langit yang indah di
luar sana.”
“Di mana?”
“Di sana.”
“Di mana?”
“Di sana.”
Aku mulai tertarik.
“Langit di sana lebih indah dari langit
yang kau lihat ini.”
“Bohong”
“Benar”
“Kata Ibu langit ini paling indah”
“Kau dibohongi Ibumu”
“Ibu tidak pernah bohong”
“Kau yang tidak tahu”
Lalu orang itu menghilang. Sebelum
menghilang, ia mengucapkan sesuatu padaku.
“Tunggu aku lagi besok. Ternyata kau
gadis yang cantik”
***
Sejak malam yang penuh bintang-gemintang
itu, ia selalu datang. Bahkan kedatangannya selalu kutunggu. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku
merasa ada orang yang memperhatikanku melebihi
ibuku. Memberiku kebebasan untuk memilih. Meski aku tak
bisa memilih. Hingga akhirnya aku merasa ibu tak bisa dipercaya lagi. Aku
penasaran dengan segala keindahan yang diceritakan orang itu. Aku benar-benar ingin
keluar dari kamar ini. Bolehkah?
***
Hari ini saat cahaya mentari mulai
membuat langitku terang dan udara pagi sejuk mengisi kamarku. Ibu masuk dengan
membawa segelas susu putih.
“Gadisku sayang. Habiskan susunya.”
Aku hanya diam. Aku tak percaya lagi kepada
Ibu. Rasanya malas sekali.
“Ada apa, anakku?”
“Boleh aku bertanya sesuatu, Ibu?
“Bertanyalah”
Ibu bersikap begitu lembut padaku. Dari
dulu beliau memang demikian. Amat halus. Satu-satunya orang yang aku kenal
sejak aku lahir (sekarang tidak, aku sudah mengenal laki-laki itu). Ayahku?
Kata Ibu, Ayah sudah pergi ke surga
sejak Ibu mengetahui bahwa di perutnya
ada aku. Malang sekali nasibku. Sejak janin pun sudah tidak punya ayah. Ibu
juga meyakinkanku bahwa langit di kamar ini yang memesan Ayah. Waktu Ayah sudah
di surga, beliau meminta Tuhan untuk membuatkan langit kecil khusus untuk
anaknya. Karena Ayah pergi dan tidak ada di sampingku, maka ayah meminta Tuhan
untuk menjagaku melalui langit itu. Begitu kata Ibu. Aku pun tak tahu itu semua
benar atau tidak. Tapi karena sejak aku lahir,
suara yang kudengar hanyalah suara ibuku, dan orang yang ku kenal hanya Ia,
maka ya aku percaya saja.
“Bertanya apa, Anakku?” Ibu duduk di
tepi tempat tidur di mana
di situlah kuhabiskan siang dan malamku.
“Ibu, kenapa kau tak mengiijinkanku
melihat dunia selain di bawah langit ini?”
Ibu tersenyum. Matanya tetap
menyala-nyala seperti bintang yang kulihat ketika gelap datang di langitku.
“Kau tahu dunia itu seperti apa?”
“Tidak”
“Langit di luar sana?”
“Tidak juga”
“Jika begitu, kenapa kau ingin keluar
dari kamar ini?”
“Karena
aku ingin melihat dunia di luar itu.”
“Belum tentu dunia di luar lebih indah
dari duniamu.”
“Jika demikian, kenapa aku tak diijinkan
melihat langitnya saja?”
“Langit di luar juga belum tentu lebih
indah dari langitmu.”
“Ibu bohong.”
Segerombolan burung pipit beterbangan
melewati atas kamarku. Sayapnya yang hitam kecoklatan nampak bercahaya terkena pias
matahari yang terang. Bulu-bulu lembutnya beberapa jatuh ke kamarku. Kulihat
sekelilingku. Aku merasa sudah
dikubur hidup-hidup sejak lahir di peti yang berukuran seperti kamar tanpa
tutup ini. Hh. Sebenarnya aku
harus bagaimana? Harus mengeluh atau bersyukur kepada Tuhan karena sudah
memberikan tempat istimewa ini untukku? Kutatap tembok-tembok bercat putih
pucat itu, kuharap ada jawaban kutemukan di sana. Tapi percuma, tembok-tembok
itu malah seolah bertanya padaku.
“Ibu belum menjawab pertanyaanku”
“Yang mana?”
“Kenapa Ibu tak mengijinkan aku melihat
dunia selain di bawah langit ini?”
“Tadi sudah Ibu jawab”
“Itu bukan jawaban”
“Tapi Ibu sudah menjawabnya”
“Tapi gadis tak merasa bahwa itu sebuah
jawaban”
“Gadis?”
Ibu
bertanya melalui matanya. Kenapa aku agak berubah?
Bukankah selama ini aku menerima saja apa kodratku? Hidup di antara empat
dinding mati ini. Apakah karena usia yang bertambah sehingga pemikiranku dapat
berubah? Atau karena laki-laki yang sering datang saat malam itu?
Ibu menghela napas panjang. Ia kecewa
dan seperti menyimpan sesuatu. Ia mengelap keningnya yang tak berkeringat.
Tembok-tembok mati ini seolah semakin panas melihat kami yang tak seperti biasanya.
“Katakan pada Ibu, apa yang terjadi
padamu?”
Langit amat cerah tapi terasa begitu sesak
di ruangan ini. Benarkah telah terjadi sesuatu padaku?
***
Malam datang. Bulan dan bintang malam
ini nampak lebih indah dari biasanya. Orang itu datang lagi. Entah kenapa
semakin sering bertemu semakin aku ingin terus melihatnya.
“Aku
tak berhasil”
“Jika
begitu, bicara lagi pada Ibumu”
“Tidak
mungkin bisa”
“Kenapa?”
“Aku
tak berani melawan Ibu”
“Akan
kubantu. Robohkan saja temboknya”.
Malam itu hanya demikian. Percakapan
yang singkat. Tapi membuatku semakin bergejolak untuk merobohkan empat dinding
ini. Ya tuhan, benar juga. Orang itu juga bilang demikian, bukan? Robohkan saja
temboknya! Benar!
Malam ini juga. Setelah orang itu pergi,
aku tak henti-hentinya membayangkan. Aku akan keluar dari dinding sempit ini.
Ya. Aku akan bebas!
“Gadis, tenanglah, besok pagi semua
keinginanmu akan terwujud”.
***
Malam hampir habis. Kudengar kokok ayam
jantan dari arah langit. Hari
ini tak seperti biasanya. Ibu membangunkanku amat tergesa. Ia masuk kamarku
lebih awal dari biasanya. Ada apa sebenarnya? Aku masih setengah sadar. Pagi sayup-sayup datang. Itu artinya,
sebentar lagi orang itu akan menepati janjinya. Ya. Aku tak akan berada di
antara empat dinding ini lagi.
Aku akan pergi dari langit kecil
ini.
Tapi ibu? Ada apa dengannya?
“Cepat Nak. Kita tak punya banyak waktu lagi.
Kita harus pergi.”
“Pergi? Kenapa Ibu?”
Ibu amat panik. Ibu akan
membawaku pergi? Benarkah?
Bukankah Ibu tak mengijinkanku keluar?
Tapi aku ingin menunggu orang itu dulu. Ada apa ini?
Ibu mengenakan jaket tebal di tubuhku. Dipasangkannya
sarung tangan dan kaos kaki agar aku tidak kedinginan. Aku ingin menolak. Tapi
aku tak bisa apa-apa.
Ibu sudah siap dengan segala bawaannya.
Tapi selangkah sebelum Ibu membuka pintu, kurasakan dinding-dinding kamarku ini
dihantam benda keras. Sedikit demi sedikit dinding itu keropos, dan tak lama
empat dinding itu roboh satu persatu. Ya Tuhan, apa yang terjadi?
Ibu mendekapku erat. Ibu menangis. Lalu
pelan-pelan beliau berteriak,
“Tolong jangan hancurkan rumahku!”
Ibu menangis. Aku tak tahu apa yang
terjadi. Aku melepaskan diri dari dekapan ibuku. Perlahan aku mulai melihat apa
yang ada di depan mataku. Dinding-dinding itu roboh. Beberapa robohan
temboknya mengenai aku dan ibu. Agak sakit. Tapi aku tak peduli. Aku hanya
takjub melihat apa yang ada di depanku. Langitku hilang! yang kulihat adalah
langit luas yang berbentuk melengkung dari ujung barat hingga timur, dari ujung
utara hingga selatan!
***
Aku dan ibu beranjak. Ibu menuntunku
yang berjalan terseok-seok. Kulihat banyak orang di sekitar kami. Orang-orang
asing. Aku tak tahu mereka siapa. Menakutkan. Apakah dunia luar seperti ini?
Pagi cerah. Baru kali ini kulihat pagi
dari sudut lain. Diantara banyak orang yang berbisik-bisik.
“Anaknya idiot, pantas saja
disembunyikan. Di rumah satu ruangan. Tak beratap. Kasihan.”
Udara terasa lembut mengelus pipiku.
Langitku roboh. Kulihat laki-laki itu berada di antara mereka. Ibu menuntunku
sambil menangis. Ada apa?
Semarang,
10 Desember 2008
Bagus, , , (y) :)
BalasHapusterimakasih, Dinda. terimakasih kunjungannya yah :)
BalasHapus