“Pendek sekali.”
“Apanya?”
“Rumahnya.”
“Kok bisa?”
“Tidak tahu.”
Tetanggakau sedang membangun rumah. Rumahnya begitu pendek.
Kami para tetangga dibuat bingung. Entah apa maksud pemilik rumah. Yang pasti
ukurannya diluar kewajaran. Tinggi temboknya hanya satu setengah meter,
pintunya hanya seukuran anakku yang berusia lima tahun. Jendelanya pun mini
semua. Gentengnya hanya setinggi laki-laki dewasa. Aneh sekali. Padahal
pemiliknya adalah tokoh masyarakat yang terpandang di daerah kami.
Pak Taka. Namanya mungkin lebih tenar dari sabun colek
seribuan yang biasa kami beli untuk mencuci segala macam barang, baik baju,
sepatu, atau barang pecah belah. Setahuku ia pegawai kecamatan yang prestasinya
setinggi gunung. Bahkan Pak Camat pun mungkin kalah. Ia sering menyumbang
kesana kemari. Dari jalan, sekolahan, dan lain lain. semua didanai olehnya.
Itulah sebabnya, orang-orang heran kenapa rumahnya sependek itu. Tidak mungkin
kan kalau kekurangan uang untuk memberi material?
Rumah itu dibangun lima bulan yang lalu. Dan hari ini
adalah syukuran atas selesainya pembangunan rumah tersebut. Para tetangga dari
yang paling muda hingga lanjut usia bertandang ke sana. Memang seperti inilah
kebiasaaannya. Memberi kebahagiaan warga. Kalau selametan di sana biasanya
makanannya enak-enak. Tidak seperti warga lainnya yang hanya menyuguhkan bakwan
dan kawan-kawannya.
“Maaf, Pak. Tapi bagaimana cara kami masuk?”
Tanya seoang warga ketika berada di tepian teras.
Genteng terasnya hanya setinggi hidung kami yang bertinggi badan 160 senti
meter. Pak taka tersenyum dan tetap mempersilakan.
“Tapi pak, bagaimana cara kami masuk?”
Pertanyan diulang oleh warga yang lain. kembali lagi,
Pak Taka hanya tersenyum dan tetap mempersilakan masuk.
“Masuk saja, tidak usah sungkan.”
Bukan kami sungkan, tetapi anda tahu sendiri. Kalau
berlama-lama berada di dalam rumah tersebut, semua warga sekitar 75 orang akan
kehabisan napas di dalamnya. Kami semua akan mati bersama. Bukankah hal tersebut
sangat mengerikan? Mati massal di rumah seorang dermawan. Wah, repot kalau hal
semacam itu terjadi. Bisa-bisa Pak Taka dihukum pancung seperti Ruyati.
“Sudah, masuk saja.”
Karena dipaksa, akhirnya kami semua masuk kedalam rumah dengan
merunduk layaknya berjalan di depan seorang raja. Bagi yang mempunyai penyakit
encok pasti hal semacam ini sangat menyiksa. Untuk warga kami tidak ada yang
berpenyakit encok. Begitulah. Penyakit yang menyerang kami biasanya hanya panu,
gudig, atau digigit kamitetep. Penyakit yang agak parah paling hanya
tipus. Tidak pernah sampai encok atau penyakit sulit lainnya. Mungkin Tuhan
memang adil, orang kecil penyakitnya kecil-kecil saja. Tidak seperti pembesar
yang penyakitnya pun ikut begitu besar.
Kami semua telah berada di rumah Pak Taka. Luar biasa.
Habis uang berapa untuk membangun rumah sebagus ini? Temboknya bercat krem
putih mulus. Seperti kulit Santi, bunga desa kami yang sering keluar rumah
mengenakan singlet. Supaya seksi, katanya. Kemudian ubinnya begitu halus dan licin
seperti kulit anakku ketika lahir. Bedanya, ubin ini bisa digunakan untuk
bercermin. Ajaib, bukan? Pasti sabun yang digunakan untuk ngepel pun
bukan sabun sembarangan. Kemudian eternitnya, aku yakin satu kecamatan ini yang
mempunyai hanya ia. Betapa indahnya. Mana ada eternit motifnya batik? Ya tentu
ada. Nyatanya kini aku sedang mengamatinya dengan kekaguman luar biasa. Berapa
rupiah harga eternit semacam ini? Bidangnya pun tidak rata. Seperti teras rumah
yang beranak tangga dua.
Acara dimulai. Pak taka mengucapkan terimakasih kepada
warga yang telah banyak membantu pembangunan rumah ini. Meski sebagian besar dikerjakan
oleh tukang bangunan borongan, tapi warga juga berperan. Maka dari itu Pak Taka
mengundang kami kemari. Untuk makan-makan. Tentu. Segala hidangan keluar. Dari
nasi ingkung, es setrup, sampai kue bermacam bentuk dan warna digelar.
Ada lapis legit, soes kering, roti bolu, dan lain-lain. Mana mungkin warga lain
bisa menyuguhkan hidangan semacam ini...
Sampai acara selesai, kami hanya beramah tamah dan makan-makan.
Pertanyaan mengenai mengapa rumah ini pendek, tidak dijawab oleh Pak Taka.
“Biar kalian semua tidak sungkan kalau mau mampir. Coba kalau
rumahnya sebesar gedung bioskop. Pasti kalian enggan meski sekedar menyapa saya.”
Gedung bioskop memang bangunan paling megah di kecamatan
kami. Ah, tapi itu pasti hanya basa-basi. Pak Taka dan istrinya kan berpostur
tubuh tinggi. Pantas kalau warga mempertanyakan soal ini.
Minggu pertama dan kedua, rumah itu masih menjadi pusat
perhatian. Minggu ketiga, sudah banyak orang yang merasa terbiasa. Mingggu
keempat, kami membicarakannya sesekali. Semua sudah berjalan lancar seperti sebelumnya.
Tidak ada yang encok atau penyakit pegal lainnya setelah memasui rumah itu.
Maka kampung kami kembali adem-ayem saja.
***
Hari ini orang-orang dihebohkan oleh berita bahwa
katanya besok pagi Pak Gubernur akan datang ke desa ini. Berkunjung ke rumah
Pak Taka. Rumah yang nampak seperti istana mini itu. Kami tidak bisa
membayangkan kalau Pak Gubernur harus merunduk sedemikian rupa. Bagaimana
jadinya? Selain itu kami gugup mengenai desa kami.
Kerja baktipun dilaksanakan. Kami semua turun ke jalan
yang aspalnya sudah compang-camping. Njeglong di sana njeglong di
sini. Rusak di sana rusak disini. Pemandangan seperti demikian sudah biasa bagi
kami. Tetapi karena yang akan berkunjung kali ini adalah bukan orang
sembarangan, maka ya wajar kalau kami semua berusaha menutup-nutupi. Ditambal
semen dan sedikit batu kali. Rumput pun tak kami biarkan ikut menyambut Pak
Gubernur besok. Maka anda tahu, betapa bersih dan rapinya kampung kami nanti.
Yang paling repot adalah warga yang berada di sekitar
rumah Pak Taka. Selain sibuk mengurusi rumah sendiri, mereka juga sibuk
membantu bersih-bersih halaman rumah Pak Taka yang sangat luas, sepeti lapangan
tenis. Aneh sekali kalau dilihat. Tanah seluas itu rumahnya sependek rumah
kelinci. Ah, kembali terbayang Pak Gubernur yang akan merunduk-runduk
kesulitan.
“Ada lagi yang bisa kami bantu, Pak?”
Tanya warga kepada Pak Taka. Ia mengacungkan jempolnya yang
besar sembari tersenyum wibawa.
“Semua beres. Jangan lupa, besok datang pagi-pagi, ya.
Bantu saya. Temani saya menyambut Pak Gubernur.”
“Siap, komandan!”
“Pak, tapi kalau Pak Gubernur pulang dari sini encok
bagaimana? Apa Pak Taka tidak dihukum?”
“Tenang saja. Mbak Idah kan masih jualan obat encok.”
Jawab Pak Taka sembari menampakkan barusan giginya yang sudah jarang, padahal
usianya baru setengah abad.
Kami semua pulang ke rumah. Kembali pada tempat tinggal
kami masing-masing. Rumah setengah tembok, ubin hanya tambalan semen, atau
kalau tidak, keramik putih murahan, eternitnya juga eternit biasa. Asal
gentengnya tidak telihat, sudah cukup bagi kami. Ah, lelah sekali. Maka
malamnya kami terlelap tenang. Bibir tersenyum, dada berdebar. Membayangkan
pertemuan dengan Pak Gubernur esok pagi.
Lalu untuk keperluan apa Pak Gubernur datang? Pak Taka
tidak memberitahukan alasannya pada kami.
***
“Pak Gubernur sudah datang! Pak Gubernur sudah datang!”
Teriak seorang warga yang sengaja menanti di depan
gapura kampung kami. Ia berlari tergopoh-gopoh dan sengaja mengabarkan ini pada
warga yang menunggu di sekitar rumah Pak Taka.
“Yang benar? Beliau naik apa?”
“Mobil, ya?”
“Pasti mobil kijang?”
“Tidak mungkin, pasti sedan.”
“Mosok. Paling naik Nexian yang kaya di tivi itu.”
“Bukan Nexian, tapi Xenia.”
“Bukan.”
“Lha terus naik apa?”
“Pasti kalian semua tidak menyangka.”
“Lha emang naik apa?”
“Pokoknya kalian semua tidak akan menyangka.”
“Makanya bilang, Pak Gubernur naik apa??”
Ibu muda itu tampak susah mengucapkan. Ia berulang
menghela napas dan menelan ludah. Heran, apa susahnya menyebutkan? Pak Gubernur
jalan kaki pun aku tak akan kaget. Bukankah kita diberi kaki untuk berjalan?
“Beliau naik becak. Naik becak. Becaknya Pak Sobri.
Becak yang jelek itu!”
“Masak??”
Kami semua kaget. Tetapi sebelum kami stroke saking kagetnya, Pak Sobri dengan
becaknya sudah mengalun tenang di jalan tambal-tambalan. Dibelakangnya,
terlihat iring-iringan orang berpakaian rapi. Mungkin mereka pembantu atau
pengawal Pak Gubernur. Rasanya kami seperti kembali pada masa kerajaan,
pengawal berjalan, rajanya diangkat pakai tandu. Bedanya, yang diiring kali ini
adalah becak. Hampir sama, kan?
Orang-orang terpana. Mulanya heran, tetapi kini
terkagum-kagum.
“Mulia sekali hati Pak Gubernur…”
“Jarang pembesar seperti beliau.”
“Edan tenan, hebat pokoknya.”
Ribuan pujian muncul. Kenapa tak ada yang berpendapat bahwa,
siapa tahu, Pak Gubernur tidak punya ongkos seperti kami, yang jangankan naik mobil
bagus, ngojek atau mbecak saja kalau memang benar-benar
diperlukan.
Sampailah Pak Gubernur di depan rumah Pak Taka. Kami
semua menunggu kalimat pertama yang meluncur dari bibir Pak Gubernur mengenai
rumah Pak Taka. Apakah bagus, aneh, atau, merepotkan sekali rumah seperti
demikian?
“Senang sekali Pak Gubernur bisa sampai sini.”
“Saya juga senang bisa mengunjungi desa ini.”
“Terlebih di gubuk saya.”
“Ah, tidak, rumah ini seprti istana.”
“Istana kelinci?”
“Maafkan pengawal saya.”
“Tidak apa-apa. Memang ini seperti rumah kelinci.”
Mereka bercakap di dalam rumah. Kulihat dari luar, Pak
Gubernur berulang membetulkan posisi duduk. Seperti orang ambeyen. Pengawalnya
lebih menampakkan ketidak sukaan. Mereka berwajah murung. Seperti perempuan
kalau terlambat datang bulan.
Tak lama kemudian, mereka semua keluar. Kami begitu
gembira melihat wajah Pak Gubernur yang sumringah dan tetap berwibawa. Betapa
senang melihat pimpinan bahagia.
***
Dua minggu kemudian, warga kami kembali heboh.
Kali ini bukan karena Pak Gubernur atau tokoh lain akan bertandang lagi.
Melainkan serombongan mobil polisi menimbulkan suara bising dan mengilukan.
Sekitar tiga mobil polisi menuju rumah Pak Taka.
“Mohon maaf, Pak.
Kami diperintahkan untuk menangkap Bapak.”
“Lho, suami saya
salah apa, ya?” jawab Bu Tina, istri Pak Taka yang begitu panik melihat polisi
menyerbu rumah mungilnya.
“Suami ibu
sebenarnya tidak salah.”
“Lalu siapa yang
salah? Suami saya kok ditangkap?”
Pak polisi tidak
menjawab. Mereka memasang borgol di tangan Pak Taka. Beberapa saat kemudian,
mobil polisi membawa Pak Taka pergi.
***
Paginya, aku tak sengaja membaca
halaman depan koran yang hendak kujual dipinggiran jalan. Disana kulihat wajah
Pak Taka dalam gambar yang besar. Tanpa
berpikir panjang aku ngibrit lari menuju rumah kerdil Pak Taka, menemui
istrinya, memberitahukan perihal rumahnya yang menyebabkan suami tercinta masuk
penjara!
"Pak Gub ambeyen."
"Masak??"
"Ya." Jawab saya.
Tiba-tiba melintas di
kepala saya hukum pancung Ruyati. Ah.
Boja, 16 Juli 2011 07.03
ingatan, Kang Bowo Kajangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar