Sabtu, 18 Mei 2013

Rumah Kerdil


“Pendek sekali.”
“Apanya?”
“Rumahnya.”
“Kok bisa?”
“Tidak tahu.”
Tetanggakau sedang membangun rumah. Rumahnya begitu pendek. Kami para tetangga dibuat bingung. Entah apa maksud pemilik rumah. Yang pasti ukurannya diluar kewajaran. Tinggi temboknya hanya satu setengah meter, pintunya hanya seukuran anakku yang berusia lima tahun. Jendelanya pun mini semua. Gentengnya hanya setinggi laki-laki dewasa. Aneh sekali. Padahal pemiliknya adalah tokoh masyarakat yang terpandang di daerah kami.
Pak Taka. Namanya mungkin lebih tenar dari sabun colek seribuan yang biasa kami beli untuk mencuci segala macam barang, baik baju, sepatu, atau barang pecah belah. Setahuku ia pegawai kecamatan yang prestasinya setinggi gunung. Bahkan Pak Camat pun mungkin kalah. Ia sering menyumbang kesana kemari. Dari jalan, sekolahan, dan lain lain. semua didanai olehnya. Itulah sebabnya, orang-orang heran kenapa rumahnya sependek itu. Tidak mungkin kan kalau kekurangan uang untuk memberi material?
Rumah itu dibangun lima bulan yang lalu. Dan hari ini adalah syukuran atas selesainya pembangunan rumah tersebut. Para tetangga dari yang paling muda hingga lanjut usia bertandang ke sana. Memang seperti inilah kebiasaaannya. Memberi kebahagiaan warga. Kalau selametan di sana biasanya makanannya enak-enak. Tidak seperti warga lainnya yang hanya menyuguhkan bakwan dan kawan-kawannya.
“Maaf, Pak. Tapi bagaimana cara kami masuk?”
Tanya seoang warga ketika berada di tepian teras. Genteng terasnya hanya setinggi hidung kami yang bertinggi badan 160 senti meter. Pak taka tersenyum dan tetap mempersilakan.
“Tapi pak, bagaimana cara kami masuk?”
Pertanyan diulang oleh warga yang lain. kembali lagi, Pak Taka hanya tersenyum dan tetap mempersilakan masuk.
“Masuk saja, tidak usah sungkan.”
Bukan kami sungkan, tetapi anda tahu sendiri. Kalau berlama-lama berada di dalam rumah tersebut, semua warga sekitar 75 orang akan kehabisan napas di dalamnya. Kami semua akan mati bersama. Bukankah hal tersebut sangat mengerikan? Mati massal di rumah seorang dermawan. Wah, repot kalau hal semacam itu terjadi. Bisa-bisa Pak Taka dihukum pancung seperti Ruyati.
“Sudah, masuk saja.”
Karena dipaksa, akhirnya kami semua masuk kedalam rumah dengan merunduk layaknya berjalan di depan seorang raja. Bagi yang mempunyai penyakit encok pasti hal semacam ini sangat menyiksa. Untuk warga kami tidak ada yang berpenyakit encok. Begitulah. Penyakit yang menyerang kami biasanya hanya panu, gudig, atau digigit kamitetep. Penyakit yang agak parah paling hanya tipus. Tidak pernah sampai encok atau penyakit sulit lainnya. Mungkin Tuhan memang adil, orang kecil penyakitnya kecil-kecil saja. Tidak seperti pembesar yang penyakitnya pun ikut begitu besar.
Kami semua telah berada di rumah Pak Taka. Luar biasa. Habis uang berapa untuk membangun rumah sebagus ini? Temboknya bercat krem putih mulus. Seperti kulit Santi, bunga desa kami yang sering keluar rumah mengenakan singlet. Supaya seksi, katanya. Kemudian ubinnya begitu halus dan licin seperti kulit anakku ketika lahir. Bedanya, ubin ini bisa digunakan untuk bercermin. Ajaib, bukan? Pasti sabun yang digunakan untuk ngepel pun bukan sabun sembarangan. Kemudian eternitnya, aku yakin satu kecamatan ini yang mempunyai hanya ia. Betapa indahnya. Mana ada eternit motifnya batik? Ya tentu ada. Nyatanya kini aku sedang mengamatinya dengan kekaguman luar biasa. Berapa rupiah harga eternit semacam ini? Bidangnya pun tidak rata. Seperti teras rumah yang beranak tangga dua.
Acara dimulai. Pak taka mengucapkan terimakasih kepada warga yang telah banyak membantu pembangunan rumah ini. Meski sebagian besar dikerjakan oleh tukang bangunan borongan, tapi warga juga berperan. Maka dari itu Pak Taka mengundang kami kemari. Untuk makan-makan. Tentu. Segala hidangan keluar. Dari nasi ingkung, es setrup, sampai kue bermacam bentuk dan warna digelar. Ada lapis legit, soes kering, roti bolu, dan lain-lain. Mana mungkin warga lain bisa menyuguhkan hidangan semacam ini...
Sampai acara selesai, kami hanya beramah tamah dan makan-makan. Pertanyaan mengenai mengapa rumah ini pendek, tidak dijawab oleh Pak Taka.
“Biar kalian semua tidak sungkan kalau mau mampir. Coba kalau rumahnya sebesar gedung bioskop. Pasti kalian enggan meski sekedar menyapa saya.”
Gedung bioskop memang bangunan paling megah di kecamatan kami. Ah, tapi itu pasti hanya basa-basi. Pak Taka dan istrinya kan berpostur tubuh tinggi. Pantas kalau warga mempertanyakan soal ini.
Minggu pertama dan kedua, rumah itu masih menjadi pusat perhatian. Minggu ketiga, sudah banyak orang yang merasa terbiasa. Mingggu keempat, kami membicarakannya sesekali. Semua sudah berjalan lancar seperti sebelumnya. Tidak ada yang encok atau penyakit pegal lainnya setelah memasui rumah itu. Maka kampung kami kembali adem-ayem saja.

***

Hari ini orang-orang dihebohkan oleh berita bahwa katanya besok pagi Pak Gubernur akan datang ke desa ini. Berkunjung ke rumah Pak Taka. Rumah yang nampak seperti istana mini itu. Kami tidak bisa membayangkan kalau Pak Gubernur harus merunduk sedemikian rupa. Bagaimana jadinya? Selain itu kami gugup mengenai desa kami.
Kerja baktipun dilaksanakan. Kami semua turun ke jalan yang aspalnya sudah compang-camping. Njeglong di sana njeglong di sini. Rusak di sana rusak disini. Pemandangan seperti demikian sudah biasa bagi kami. Tetapi karena yang akan berkunjung kali ini adalah bukan orang sembarangan, maka ya wajar kalau kami semua berusaha menutup-nutupi. Ditambal semen dan sedikit batu kali. Rumput pun tak kami biarkan ikut menyambut Pak Gubernur besok. Maka anda tahu, betapa bersih dan rapinya kampung kami nanti.
Yang paling repot adalah warga yang berada di sekitar rumah Pak Taka. Selain sibuk mengurusi rumah sendiri, mereka juga sibuk membantu bersih-bersih halaman rumah Pak Taka yang sangat luas, sepeti lapangan tenis. Aneh sekali kalau dilihat. Tanah seluas itu rumahnya sependek rumah kelinci. Ah, kembali terbayang Pak Gubernur yang akan merunduk-runduk kesulitan.
“Ada lagi yang bisa kami bantu, Pak?”
Tanya warga kepada Pak Taka. Ia mengacungkan jempolnya yang besar sembari tersenyum wibawa.
“Semua beres. Jangan lupa, besok datang pagi-pagi, ya. Bantu saya. Temani saya menyambut Pak Gubernur.”
“Siap, komandan!”
“Pak, tapi kalau Pak Gubernur pulang dari sini encok bagaimana? Apa Pak Taka tidak dihukum?”
“Tenang saja. Mbak Idah kan masih jualan obat encok.” Jawab Pak Taka sembari menampakkan barusan giginya yang sudah jarang, padahal usianya baru setengah abad.
Kami semua pulang ke rumah. Kembali pada tempat tinggal kami masing-masing. Rumah setengah tembok, ubin hanya tambalan semen, atau kalau tidak, keramik putih murahan, eternitnya juga eternit biasa. Asal gentengnya tidak telihat, sudah cukup bagi kami. Ah, lelah sekali. Maka malamnya kami terlelap tenang. Bibir tersenyum, dada berdebar. Membayangkan pertemuan dengan Pak Gubernur esok pagi.
Lalu untuk keperluan apa Pak Gubernur datang? Pak Taka tidak memberitahukan alasannya pada kami.

***

“Pak Gubernur sudah datang! Pak Gubernur sudah datang!”
Teriak seorang warga yang sengaja menanti di depan gapura kampung kami. Ia berlari tergopoh-gopoh dan sengaja mengabarkan ini pada warga yang menunggu di sekitar rumah Pak Taka.
“Yang benar? Beliau naik apa?”
“Mobil, ya?”
“Pasti mobil kijang?”
“Tidak mungkin, pasti sedan.”
“Mosok. Paling naik Nexian yang kaya di tivi itu.”
“Bukan Nexian, tapi Xenia.”
“Bukan.”
“Lha terus naik apa?”
“Pasti kalian semua tidak menyangka.”
“Lha emang naik apa?”
“Pokoknya kalian semua tidak akan menyangka.”
“Makanya bilang, Pak Gubernur naik apa??”
Ibu muda itu tampak susah mengucapkan. Ia berulang menghela napas dan menelan ludah. Heran, apa susahnya menyebutkan? Pak Gubernur jalan kaki pun aku tak akan kaget. Bukankah kita diberi kaki untuk berjalan?
“Beliau naik becak. Naik becak. Becaknya Pak Sobri. Becak yang jelek itu!”
“Masak??”
Kami semua kaget. Tetapi sebelum kami stroke saking kagetnya, Pak Sobri dengan becaknya sudah mengalun tenang di jalan tambal-tambalan. Dibelakangnya, terlihat iring-iringan orang berpakaian rapi. Mungkin mereka pembantu atau pengawal Pak Gubernur. Rasanya kami seperti kembali pada masa kerajaan, pengawal berjalan, rajanya diangkat pakai tandu. Bedanya, yang diiring kali ini adalah becak. Hampir sama, kan?
Orang-orang terpana. Mulanya heran, tetapi kini terkagum-kagum.
“Mulia sekali hati Pak Gubernur…”
“Jarang pembesar seperti beliau.”
Edan tenan, hebat pokoknya.”
Ribuan pujian muncul. Kenapa tak ada yang berpendapat bahwa, siapa tahu, Pak Gubernur tidak punya ongkos seperti kami, yang jangankan naik mobil bagus, ngojek atau mbecak saja kalau memang benar-benar diperlukan.
Sampailah Pak Gubernur di depan rumah Pak Taka. Kami semua menunggu kalimat pertama yang meluncur dari bibir Pak Gubernur mengenai rumah Pak Taka. Apakah bagus, aneh, atau, merepotkan sekali rumah seperti demikian?
“Senang sekali Pak Gubernur bisa sampai sini.”
“Saya juga senang bisa mengunjungi desa ini.”
“Terlebih di gubuk saya.”
“Ah, tidak, rumah ini seprti istana.”
“Istana kelinci?”
“Maafkan pengawal saya.”
“Tidak apa-apa. Memang ini seperti rumah kelinci.”
Mereka bercakap di dalam rumah. Kulihat dari luar, Pak Gubernur berulang membetulkan posisi duduk. Seperti orang ambeyen. Pengawalnya lebih menampakkan ketidak sukaan. Mereka berwajah murung. Seperti perempuan kalau terlambat datang bulan.
Tak lama kemudian, mereka semua keluar. Kami begitu gembira melihat wajah Pak Gubernur yang sumringah dan tetap berwibawa. Betapa senang melihat pimpinan bahagia.

***

             Dua minggu kemudian, warga kami kembali heboh. Kali ini bukan karena Pak Gubernur atau tokoh lain akan bertandang lagi. Melainkan serombongan mobil polisi menimbulkan suara bising dan mengilukan. Sekitar tiga mobil polisi menuju rumah Pak Taka.
            “Mohon maaf, Pak. Kami diperintahkan untuk menangkap Bapak.”
            “Lho, suami saya salah apa, ya?” jawab Bu Tina, istri Pak Taka yang begitu panik melihat polisi menyerbu rumah mungilnya.
            “Suami ibu sebenarnya tidak salah.”
            “Lalu siapa yang salah? Suami saya kok ditangkap?”
            Pak polisi tidak menjawab. Mereka memasang borgol di tangan Pak Taka. Beberapa saat kemudian, mobil polisi membawa Pak Taka pergi.

***

Paginya, aku tak sengaja membaca halaman depan koran yang hendak kujual dipinggiran jalan. Disana kulihat wajah Pak Taka dalam gambar yang besar.    Tanpa berpikir panjang aku ngibrit lari menuju rumah kerdil Pak Taka, menemui istrinya, memberitahukan perihal rumahnya yang menyebabkan suami tercinta masuk penjara!
"Pak Gub ambeyen."
"Masak??"
"Ya." Jawab saya.
Tiba-tiba melintas di kepala saya hukum pancung Ruyati. Ah.
            

Boja, 16 Juli 2011 07.03
ingatan, Kang Bowo Kajangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar