Seorang anak perempuan, ia senang datang dan duduk di samping meja kerja saya, persis di hadapan saya, tanpa saya tanya ia bercerita, tentang hidupnya yang paling rahasia.
“Saya punya seorang teman. Tapi teman saya itu tidak terlihat, dan saya menyukainya,” katanya.
“Oh,” saya menanggapinya. Sedikit bingung . “Lalu siapa nama temanmu?” Tanya saya.
“Ia tak punya nama.” Jawabnya.
Saya menelan ludah. Mengapa mesti saya tanggapi?
“Di mana kamu menemukannya?”
“Di sini,” ia menunjuk dadanya.
“Maksudnya?”
“Hati saya.”
Anak kelas tiga SD, berusia delapan tahun, sedang berbicara soal hati di depan saya! Saya melongo.
“Boleh saya berkenalan dengannya?” Tanya saya kemudian.
“Boleh. Tetapi ia cuma bisa dilihat orang yang meyakininya.”
“Oh, iya, ibu meyakininya.”
”Tidak. Ibu meragukannya.”
Saya tersenyum.
“Bagaimana kamu bisa mempunyai penilaian begitu?”
“Ibu melihatnya sekarang?”
“Tidak.”
“Padahal daritadi dia di samping saya.”
Lalu ia beranjak. Ia berjanji besok akan datang dan bercerita lagi.
Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar