Sabtu, 18 Mei 2013

Perempuan dan Dering Handphone


Perempuan itu tak pernah sendirian. Handphonenya selalu berdering, mungkin lima menit sekali, mungkin satu menit sekali. Memang nampak sibuk ia, terkadang menepi sambil berbisik-bisik dengan suara di dalam handphone, tak jarang pula wajahnya serius memandang layar handphone sambil sesekali bergumam, tersenyum-senyum, dan agaknya ia tak peduli pada sekitar. Setiap hari seperti itu. Tetapi, entah mengapa, ia selalu nampak kesepian.
Ia tinggal di sebuah kontrakan. Agaknya tempat tinggalnya itu tidak terlampau mahal. Perabot yang terdapat di dalam ruangan pun biasa-biasa saja, tidak begitu mewah, dan acap berantakan. Mungkin karena kesibukannya yang selalu berada di luar, maka ia tak sempat memberesakan perabotan, atau sekedar melipat selimut di atas ranjang yang sesekali di datangi tamu lelaki. Seperti pagi ini.
Setelah mengantar kawan lelakinya hingga ujung pintu dan menghilang, ia berjalan lemah mendekati sebuah sofa tak jauh dari letak poci yang sengaja ia letakkan di hampir setiap meja. Ia mengambil salah satu cangkir kuningan yang masih tengkurap, lalu menuangkan sedikit teh dari poci kuningan pula. Entah itu teh kapan, baginya tetap nikmat diminum pagi-pagi begini. Yang penting masih pahit dan wangi, batinnya. Mana sempat merebus air, Ricky tak mau pulang meski semalam berulangkali diusir. Matanya menerawang. Wangi teh terasa masuk ke dalam hidungnya.
Drriiing...
Dering pertama di handphonenya pagi ini. Ia tidak kaget. Hanya melirik pelan sambil kembali menyeruput minuman di tangan kanannya. Kakinya menjulur ke meja. Diraihnya handphone dengan tangan kiri, ditekannya salah satu tombol.

Dara..
Selamat pagi,, bangunlah J

Sebuah pesan, dari Dito. Ah, lelaki itu, tak bosan juga. Tabah sekali ia menjadi jam wekernya setiap pagi.
Perempuan itu tersenyum. Tersenyum tulus meski samar. Ia nampak tak bergairah membalasnya. Hanya beberapa kata.

Ya, aku sudah bangun, Dit.
Thanks

Kemudian ia letakkan lagi handphone berkilat silver itu. Ia tahu, tak akan ada balasan lagi. Maka ia meletakkan cangkir di atas meja, lalu membalikkan badan, kembali tidur.

***

Perempuan itu tak pernah sendirian. Handphonenya selalu berdering, mungkin lima menit sekali, mungkin satu menit sekali. Memang nampak sibuk ia, terkadang menepi sambil berbisik-bisik dengan suara di dalam handphone, tak jarang pula wajahnya serius memandang layar handphone sambil sesekali bergumam, tersenyum-senyum, dan agaknya ia tak peduli pada sekitar. Setiap hari seperti itu. Tetapi, entah mengapa, ia selalu nampak kesepian.
Terlebih malam hari, ia suka berkeliaran di taman, taman manapun. Di sana ia hanya berjalan-jalan. Memandangi lampu-lampu yang menyala serta laron atau serangga yang mengerubuti lampu tersebut, memperhatikan kucing atau anjing yang terkadang melintas sambil clingak-clinguk entah mencari apa, tak jarang pula ia hanya duduk dan membiarkan beberapa ekor nyamuk mengisap darah melalui pori-pori kulitnya. Begitu, sampai ia bosan dan handphonenya berdering.
Driingg...
“Ya?”
“Dara?”
“Adakah oranglain yang punya suara sepertiku?”
Suara di seberang tertawa.
“Tentu tak ada. Hanya kau yang besuara seksi. Bisa ketemu?”
“Kapan?”
“Kapanpun kau bisa. Tapi aku ingin sekarang.”
“Aku di taman biasa.”
Suara di seberang tertawa lagi. Perempuan itu pun turut tertawa. Ia tahu lelaki itu menertawakan jawabannya. Taman yang biasa ia datangi banyak sekali, bagamana lelaki itu bisa menemukannya jika jawabannya hanya demikian?
“Taman KB.”
“Baik, tunggu aku.”
Suara di seberang hilang. Perempuan itu baru sadar, di sampingnya dua lelaki remaja sedang menyanyi dengan kentrung, suaranya sumbang. Salah satu dari mereka menadahkan plastik bungkus permen, di dalamnya terlihat berkilat-kilat uang recehan juga beberapa helai seribuan. Dara merogoh tas kecil di pangkuannya.
“Lainkali belajar nyanyi yang serius.” Ucap dara sembari memasukkan selembar uang seribu ke dalam plastik bungkus permen yang di genggam pengamen itu. Kedua remaja yang sedang girang menyanyi menjadi diam. Barangkali sadar bahwa suaranya tak enak di dengar, atau mungkin marah, atau mungkin berterimakasih. Dara tak peduli pada semua itu. Sebab perhatiannya tertuju pada mobil merah yang menyorotinya dengan lampu, amat silau. Lalu ia beranjak, menghampiri.
“Hei.”
“Kamu makin cantik.”
“Itu karena lampu redup.”
“Sungguh, matamu berkilat.”
“Kau tahu aku tak suka di rayu.”
Perempuan itu telah berada di dalam mobil. Ia tersenyum tipis kemudian lurus memandang ke depan. Matanya bertemu dengan pedagang kaki lima yang berjajar rapi, para pembeli duduk tenang di atas tikar, menyeruput jus, atau memasukkan jangung ke dalam mulut, atau roti bakar, atau lainnya. Ia teringat suatu hari ketika ia masih remaja. Taman KB belum seindah ini, hidupnya pun belum sesesak itu. Batinnya. Mobil melaju, ia tenggelam dengan pikirannya lebih dalam.
“Ra,”
“Ya?”
“Kamu ingin ke mana?”
“Terserah.”
“Loh, harus menentukan pilihan.”
“Aku tak punya pilihan.”
“Harus punya dong, Ra.”
“Oke, aku tak ingin ke mana-mana. Di mobil ini saja.”
“Lho, ya harus suatu tempat, jangan di sini.”
“Bukannya di dalam mobil ini pun merupakan sebuah tempat?”
Hujan tiba-tiba turun. Mobil menepi di sebuah jalan yang tak banyak dilalui orang. Dari dalam mobil, jalanan tak terlihat jelas. Dari luar pun sama. Hanya nampak samar-samar dan gelap di kaca mobil.
“Kamu mau apa?”
“Aku mencintaimu.”
“Tidak begini caranya.”
Hujan semakin deras. Tak ada suara apapun selain angin yang melempar tetesan air dengan ganas.

***

“Di mana?”
“Kenapa?”
“Kamu selalu curiga.”
“Kau juga selalu mencurigaiku.”
Perempuan itu tertawa ringan. Tawa pertamanya hari ini. Mungkin juga tawa tulusnya bagi beberapa hari yang telah lewat. Ia menarik selimut, sambil sesekali menggeliat.
“Ada apa, Dit? Tiba-tiba menanyakan keberadaanku.”
“Aku mengkhawatirkanmu.”
“Sejak kapan?”
“Kamu tak pernah sadar.”
Perempuan itu tersenyum lagi. Ia tahu betul layar handphonenya mati. Tak ada telepon, apalagi suara orang di seberang. Sungguh mati. Entah, tiba-tiba ia teringat lelaki itu. Dan barangkali, ia telah gila pagi ini.
Beberapa hari ia tak mengirim pesan untukku, mungkin ia bosan menjadi jam wekerku, batinnya.

***

Malam ini taman tak begitu ramai. Pengunjung dapat dihitung dengan jari. Perempuan itu masih duduk saja, seperti malam-malam sebelumnya. Ia tak mempunyai gairah untuk melangkahkan kaki. Apalagi memberi nasihat pada para pengamen seperti sebelum-sebelumnya. Matanya menerawang. Tangannya dingin. Handphonenya masih bergetar. Berulang.
“Mbak, Hpnya bunyi.”
Kata sepasang kekasih yang agaknya terganggu dengan bunyi ponsel yang nyaring itu. Seperti dering ponsel bagi orang tuna rungu. Dering lawas pula, dering klasik yang amat disukai Dara.
“Mbak, Hpnya bunyi.”
Teguran itu terdengar lagi. Perempuan bermata sayu namun berani itu masih tak berkutik. Ia membersihkan kotoran di sela-sela kukunya.
“Mbak...”
Teguran ketiga. Perempuan yang agaknya tak peduli pada apapun itu beranjak. Ia tak memandang siapapun di sekitarnya. Ia melangkah menjauhi sepasang kekasih yang duduknya semakin merapat dan bahagia.
“Ke mana, Mbak?”
“Lamper.”
“Lampernya?”
“Pertigaan.”
“TI?”
Pukul 1 malam. Tentu saja sopir taksi tersebut kaget, untuk apa malam-malam begini seorang perempuan datang ke tempat itu. Dengan dandanan sedikit menor pula. Pasti bayangannya ada pada penjaja seks yang jangkung dan berjakun itu, atau kalau tidak, tentang tempat prostitusi kecil di sebelah selatan jalan. Tidak demikan. Perempuan itu sedang tak ingin datang ke tempat demikian.
“Dit,”
“Ya?”
“Boleh aku ke rumahmu?”
“Sejak kapan harus meminta ijin?”
“Aku di depan rumahmu.”
Lelaki itu mengerti bahwa perempuan yang suaranya ia dengar di dalam handphone telah berada di depan pintu rumahnya, meski jika ia tidak diberitahu.
“Masuklah.”
Tak ada yang asing, tak ada pula yang istimewa. Rumah lelaki itu masih seperti sebelum-sebelumnya, ketika Dara dahulu kerap berkunjung, kerap menginap, kerap memasak. Ia pun masih ingat betul kemana harus melangkah, mencari letak kamar mandi, mencari letak dapur, menuju tempat tidur, atau sekedar mengingat letak sofa. Ia duduk, dan memandang lelaki itu, sekilas, lalu merokok.
Lelaki yang nampak acak-acakan itu tak menanyakan apapun. Entah kabar atau apa saja. Ia duduk di jendela terbuka. Memandang langit yang kebetulan tak terhalang awan.
“Dit,”
“Ya?”
“Boleh menginap di sini?”
“Sejak kapan harus meminta ijin?”
Hingga pagi demikian. Tak ada percakapan. Hanya dering handphone yang berulangkali dimatikan.
“Siapa?”
“Entah.”




 
Boja, 25 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar