Perempuan itu
tak pernah sendirian. Handphonenya
selalu berdering, mungkin lima menit sekali, mungkin satu menit sekali. Memang
nampak sibuk ia, terkadang menepi sambil berbisik-bisik dengan suara di dalam handphone, tak jarang pula wajahnya
serius memandang layar handphone
sambil sesekali bergumam, tersenyum-senyum, dan agaknya ia tak peduli pada
sekitar. Setiap hari seperti itu. Tetapi, entah mengapa, ia selalu nampak
kesepian.
Ia tinggal di
sebuah kontrakan. Agaknya tempat tinggalnya itu tidak terlampau mahal. Perabot
yang terdapat di dalam ruangan pun biasa-biasa saja, tidak begitu mewah, dan
acap berantakan. Mungkin karena kesibukannya yang selalu berada di luar, maka
ia tak sempat memberesakan perabotan, atau sekedar melipat selimut di atas
ranjang yang sesekali di datangi tamu lelaki. Seperti pagi ini.
Setelah
mengantar kawan lelakinya hingga ujung pintu dan menghilang, ia berjalan lemah
mendekati sebuah sofa tak jauh dari letak poci yang sengaja ia letakkan di
hampir setiap meja. Ia mengambil salah satu cangkir kuningan yang masih
tengkurap, lalu menuangkan sedikit teh dari poci kuningan pula. Entah itu teh
kapan, baginya tetap nikmat diminum pagi-pagi begini. Yang penting masih pahit
dan wangi, batinnya. Mana sempat merebus air, Ricky tak mau pulang meski
semalam berulangkali diusir. Matanya menerawang. Wangi teh terasa masuk ke
dalam hidungnya.
Drriiing...
Dering pertama
di handphonenya pagi ini. Ia tidak kaget. Hanya melirik pelan sambil kembali
menyeruput minuman di tangan kanannya. Kakinya menjulur ke meja. Diraihnya handphone dengan tangan kiri, ditekannya
salah satu tombol.
Dara..
Selamat pagi,,
bangunlah J
Sebuah pesan,
dari Dito. Ah, lelaki itu, tak bosan juga. Tabah sekali ia menjadi jam wekernya
setiap pagi.
Perempuan itu
tersenyum. Tersenyum tulus meski samar. Ia nampak tak bergairah membalasnya.
Hanya beberapa kata.
Ya, aku sudah bangun,
Dit.
Thanks
Kemudian ia
letakkan lagi handphone berkilat
silver itu. Ia tahu, tak akan ada balasan lagi. Maka ia meletakkan cangkir di
atas meja, lalu membalikkan badan, kembali tidur.
***
Perempuan itu
tak pernah sendirian. Handphonenya
selalu berdering, mungkin lima menit sekali, mungkin satu menit sekali. Memang
nampak sibuk ia, terkadang menepi sambil berbisik-bisik dengan suara di dalam handphone, tak jarang pula wajahnya
serius memandang layar handphone
sambil sesekali bergumam, tersenyum-senyum, dan agaknya ia tak peduli pada
sekitar. Setiap hari seperti itu. Tetapi, entah mengapa, ia selalu nampak
kesepian.
Terlebih malam
hari, ia suka berkeliaran di taman, taman manapun. Di sana ia hanya
berjalan-jalan. Memandangi lampu-lampu yang menyala serta laron atau serangga
yang mengerubuti lampu tersebut, memperhatikan kucing atau anjing yang
terkadang melintas sambil clingak-clinguk
entah mencari apa, tak jarang pula ia hanya duduk dan membiarkan beberapa ekor
nyamuk mengisap darah melalui pori-pori kulitnya. Begitu, sampai ia bosan dan handphonenya berdering.
Driingg...
“Ya?”
“Dara?”
“Adakah
oranglain yang punya suara sepertiku?”
Suara di
seberang tertawa.
“Tentu tak ada.
Hanya kau yang besuara seksi. Bisa ketemu?”
“Kapan?”
“Kapanpun kau
bisa. Tapi aku ingin sekarang.”
“Aku di taman
biasa.”
Suara di
seberang tertawa lagi. Perempuan itu pun turut tertawa. Ia tahu lelaki itu
menertawakan jawabannya. Taman yang biasa ia datangi banyak sekali, bagamana
lelaki itu bisa menemukannya jika jawabannya hanya demikian?
“Taman KB.”
“Baik, tunggu
aku.”
Suara di
seberang hilang. Perempuan itu baru sadar, di sampingnya dua lelaki remaja sedang
menyanyi dengan kentrung, suaranya sumbang. Salah satu dari mereka menadahkan
plastik bungkus permen, di dalamnya terlihat berkilat-kilat uang recehan juga beberapa
helai seribuan. Dara merogoh tas kecil di pangkuannya.
“Lainkali
belajar nyanyi yang serius.” Ucap dara sembari memasukkan selembar uang seribu
ke dalam plastik bungkus permen yang di genggam pengamen itu. Kedua remaja yang
sedang girang menyanyi menjadi diam. Barangkali sadar bahwa suaranya tak enak
di dengar, atau mungkin marah, atau mungkin berterimakasih. Dara tak peduli
pada semua itu. Sebab perhatiannya tertuju pada mobil merah yang menyorotinya
dengan lampu, amat silau. Lalu ia beranjak, menghampiri.
“Hei.”
“Kamu makin
cantik.”
“Itu karena
lampu redup.”
“Sungguh, matamu
berkilat.”
“Kau tahu aku
tak suka di rayu.”
Perempuan itu
telah berada di dalam mobil. Ia tersenyum tipis kemudian lurus memandang ke
depan. Matanya bertemu dengan pedagang kaki lima yang berjajar rapi, para
pembeli duduk tenang di atas tikar, menyeruput jus, atau memasukkan jangung ke
dalam mulut, atau roti bakar, atau lainnya. Ia teringat suatu hari ketika ia
masih remaja. Taman KB belum seindah ini, hidupnya pun belum sesesak itu.
Batinnya. Mobil melaju, ia tenggelam dengan pikirannya lebih dalam.
“Ra,”
“Ya?”
“Ya?”
“Kamu ingin ke
mana?”
“Terserah.”
“Loh, harus
menentukan pilihan.”
“Aku tak punya
pilihan.”
“Harus punya
dong, Ra.”
“Oke, aku tak
ingin ke mana-mana. Di mobil ini saja.”
“Lho, ya harus
suatu tempat, jangan di sini.”
“Bukannya di
dalam mobil ini pun merupakan sebuah tempat?”
Hujan tiba-tiba
turun. Mobil menepi di sebuah jalan yang tak banyak dilalui orang. Dari dalam
mobil, jalanan tak terlihat jelas. Dari luar pun sama. Hanya nampak samar-samar
dan gelap di kaca mobil.
“Kamu mau apa?”
“Aku
mencintaimu.”
“Tidak begini
caranya.”
Hujan semakin
deras. Tak ada suara apapun selain angin yang melempar tetesan air dengan
ganas.
***
“Di mana?”
“Kenapa?”
“Kamu selalu
curiga.”
“Kau juga selalu
mencurigaiku.”
Perempuan itu
tertawa ringan. Tawa pertamanya hari ini. Mungkin juga tawa tulusnya bagi
beberapa hari yang telah lewat. Ia menarik selimut, sambil sesekali menggeliat.
“Ada apa, Dit?
Tiba-tiba menanyakan keberadaanku.”
“Aku
mengkhawatirkanmu.”
“Sejak kapan?”
“Kamu tak pernah
sadar.”
Perempuan itu
tersenyum lagi. Ia tahu betul layar handphonenya
mati. Tak ada telepon, apalagi suara orang di seberang. Sungguh mati. Entah,
tiba-tiba ia teringat lelaki itu. Dan barangkali, ia telah gila pagi ini.
Beberapa hari ia
tak mengirim pesan untukku, mungkin ia bosan menjadi jam wekerku, batinnya.
***
Malam ini taman
tak begitu ramai. Pengunjung dapat dihitung dengan jari. Perempuan itu masih
duduk saja, seperti malam-malam sebelumnya. Ia tak mempunyai gairah untuk
melangkahkan kaki. Apalagi memberi nasihat pada para pengamen seperti
sebelum-sebelumnya. Matanya menerawang. Tangannya dingin. Handphonenya masih bergetar. Berulang.
“Mbak, Hpnya
bunyi.”
Kata sepasang
kekasih yang agaknya terganggu dengan bunyi ponsel yang nyaring itu. Seperti
dering ponsel bagi orang tuna rungu. Dering lawas pula, dering klasik yang amat
disukai Dara.
“Mbak, Hpnya
bunyi.”
Teguran itu
terdengar lagi. Perempuan bermata sayu namun berani itu masih tak berkutik. Ia
membersihkan kotoran di sela-sela kukunya.
“Mbak...”
Teguran ketiga.
Perempuan yang agaknya tak peduli pada apapun itu beranjak. Ia tak memandang
siapapun di sekitarnya. Ia melangkah menjauhi sepasang kekasih yang duduknya
semakin merapat dan bahagia.
“Ke mana, Mbak?”
“Lamper.”
“Lampernya?”
“Pertigaan.”
“TI?”
Pukul 1 malam.
Tentu saja sopir taksi tersebut kaget, untuk apa malam-malam begini seorang perempuan
datang ke tempat itu. Dengan dandanan sedikit menor pula. Pasti bayangannya ada
pada penjaja seks yang jangkung dan berjakun itu, atau kalau tidak, tentang
tempat prostitusi kecil di sebelah selatan jalan. Tidak demikan. Perempuan itu sedang
tak ingin datang ke tempat demikian.
“Dit,”
“Ya?”
“Boleh aku ke
rumahmu?”
“Sejak kapan
harus meminta ijin?”
“Aku di depan
rumahmu.”
Lelaki itu
mengerti bahwa perempuan yang suaranya ia dengar di dalam handphone telah berada di depan pintu rumahnya, meski jika ia tidak
diberitahu.
“Masuklah.”
Tak ada yang
asing, tak ada pula yang istimewa. Rumah lelaki itu masih seperti
sebelum-sebelumnya, ketika Dara dahulu kerap berkunjung, kerap menginap, kerap
memasak. Ia pun masih ingat betul kemana harus melangkah, mencari letak kamar
mandi, mencari letak dapur, menuju tempat tidur, atau sekedar mengingat letak
sofa. Ia duduk, dan memandang lelaki itu, sekilas, lalu merokok.
Lelaki yang
nampak acak-acakan itu tak menanyakan apapun. Entah kabar atau apa saja. Ia
duduk di jendela terbuka. Memandang langit yang kebetulan tak terhalang awan.
“Dit,”
“Ya?”
“Boleh menginap
di sini?”
“Sejak kapan
harus meminta ijin?”
Hingga pagi
demikian. Tak ada percakapan. Hanya dering handphone
yang berulangkali dimatikan.
“Siapa?”
“Entah.”
Boja, 25 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar