Sudah sejak pagi saya melihatnya tanpa berkedip. Surat-surat itu menguarkan aroma melati.
Meskipun lembar-lembarnya sudah cokelat, tetapi masih nampak jelas goresan
tangan dengan tinta tebal serupa dokter. Susah di baca. Tetapi seperti film
horror yang disuguhkan di depan mata. Jantung saya begitu berdebar
menghadapinya.
Surat-surat
dari ibu saya yang tergolek rapi di kotak kayu ini memang nampak aneh. Setahu
saya, ibu bukan pengoleksi surat atau suka menulis surat seperti Kartini. Atau
saya saja yang tidak tahu? Mungkin. Tetapi yang saya tahu, dulu ibu hanya suka
menjahit dan menangis sambil memandangi foto nenek dan lelaki yang tak saya
kenal, saat saya mulai masuk kamar dan purapura tidur. Memang sejak lahir saya
hanya tinggal berdua dengan ibu. Jadi tak heran jika ibu mengusir kesepian
dengan hal demikian.
Ibu saya adalah seorang penjahit. Ia menerima jahitan di rumah saja. Meskipun tidak
begitu laris, sepertinya ibu menikmati. Segala kebutuhan dapat terpenuhi. Untuk
makan ibu dan saya sudah lebih dari cukup. Tetapi itu dulu. Beberapa bulan
terakhir ini saya lihat ibu begitu gelisah. Usianya yang baru 40 tahun jadi
nampak semakin tua. Yang tidak saya duga adalah, ketika pagi ini saya membuka
mata, ibu sudah tidak ada di samping saya.
Ibu tidak ada di samping saya? Ke mana? Saya tidak tahu. Terlebih
tidak menduga. Atau mungkin ibu belanja dan berangkat ke pasar pagi-pagi sekali
ketika saya masih terlelap di selimut yang didekapnya seperti biasa? Ah, tetapi
sejak kapan ibu suka ke pasar? Atau ibu mengantar jahitan ke pelanggan? Saya
rasa ibu tak pernah mau mengantar jahitan. Atau ibu membeli bahan-bahan untuk
menjahit? Tidak biasanya sepagi ini.
Dan saya tahu
memang ini tidak biasanya. Ibu
tak pernah pergi tanpa memberi tahu saya. Jadi saya mungkin
mengerti apa yang sedang terjadi. Ibu sengaja meninggalkan saya? Kemungkinan
besar, ya. Sehari saya menanti ibu pulang. Berdiam di kamar. Dengan pintu rumah
rapat terkunci. Beberapa kali pelanggan ibu mengetuk pintu serta jendela saya
biarkan. Saya hanya sedang ingin diam dan menangis. Ke mana ibu? Sejak saya
lahir 20 tahun lalu ibu tak pernah meninggalkan saya seperti halnya ayah saya.
Yang kata ibu sudah meniggal sebelum melihat saya lahir ke dunia.
Saya masih belum
berani menyentuh surat-surat itu. Benarkah ibu sengaja meninggalknannya untuk
saya? Bukankah ibu tahu saya tidak suka membaca? Mungkin lebih tepatnya tidak
lancar membaca. Mau bagaimana lagi, saya hanya belajar membaca dari ibu. Itu pun
jarang-jarang. Kalau ibu sedang mempunyai waktu luang. Ya. Anda jangan kaget.
Saya memang tak di ijinkan merasakan bangku sekolah. Kata ibu dunialuar rumah
berbahaya. Termasuk sekolah. Maka saya memang tak pernah sekalipun ke luar
rumah tanpa didampingi ibu.
Gorden putih yang
sejak pagi menutup jendela kamar saya mulai berwarna oranye. Hampir sama dengan
warna lampu 10 watt yang sejak pagi saya biarkan menyala menemani saya. Saya
tahu di luar langit mulai gelap. Dan saya tahu, ibu memang tak akan pulang. Ibu
tak berpamitan. Tetapi
lihatlah, surat-surat itu teronggok dan minta secepat mungkin saya baca. Sedang
aroma menakutkan belum luntur dari lembar-per lembarnya.
***
Berhari-hari saya
hanya duduk di sudut kamar seperti ketika hari pertama ibu tidak ada di samping
saya. Jangan tanyakan perut
saya keroncongan atau kulit saya semakin tebal karena tak mandi. Saya hanya
ingin seseorang datang dan memberitahu saya. Bahwa surat itu tidak berisi
apa-apa. Meski saya tahu itu mustahil. Sebab, saya tak dapat berbohong kepada
anda, sejak berhari-hari yang lalu surat itu menangis, seperti bercerita kepada
saya. Bercerita? Seperti apa suaranya? Seperti suara ibu ketika malam-malam
mnegigau dan tak seorangpun membangunkkannya. Begitu lirih. Begitu menyakitkan.
Dan menyayat kulit jantung saya sedikit demi sedikit.
Aroma
melati semakin menyengat semenjak hari pertama itu (meski saya tahu ibu tak
punya parfum melati, tetapi saya memang yakin bahwa aroma itu berasal dari
surat-surat yang ditinggalkan ibu). Tangan saya menyentuhnya perlahan. Dengan keberanian yang tertahan. Dengan
debaran jantung begitu kuat. Yang baru kali ini saya rasakan.
Tidak
semenakutkan yang saya bayangkan rupanya. Begitu saya membuka lipatan surat
yang berada pada tumpukan paling atas, tak lagi saya dengar suara orang seperti
igauan ibu. Tak lagi saya
temukan aroma melati itu menempel di hidung saya. Saya dengan sangat kesulitan
mengeja surat itu. Lusuh. Dan tintanya sudah banyak yang pudar.
Seperti
yang saya katakan sejak awal, goresan di surat itu seperti tulisan dokter. Tetapi
syukur saya masih dapat mengeja meski begitu lambat. Yang menjadi masalah bagi
saya adalah, saya tidak mengerti isi surat itu. Memang nama ibu sudah tak asing
di telinga saya. Tetapi beberapa nama lelaki itu. Ayah saya kah?
Lembar
kedua masih sama. Harus dengan apa saya katakan supaya anda percaya? Bahwa
nama-nama asing itu masih saja bermunculan. Terlebih untuk lembar ini terdapat
foto-foto yang tentu anda juga tahu, baru kali pertama saya melihat wajah-wajah
itu.
Ibu,
inikah ayah saya? Ah, ibu tak mungkin mendengar. Atau ia memang sengaja tak mau
menjawab apapun dari saya maka ia tak muncul lagi sampai berhari-hari ini?
Tetapi, bukankah saya tak akan menanyakan apapun jika ibu tak meninggalkan
surat ini untuk saya? Udara di kamar ini tak hanya pengap. Tetapi juga seolah bergerak-gerak.
Membuat kepala saya berputar-putar.
Lembar
berikutnya dan berikutnya lagi. Ya Tuhan, sesungguhnya saya tak menyangka dapat
membaca sebanyak ini. Tetapi memang setiap lembar hanya berisi sedikit tulisan.
Maka paham tidak paham yang penting sudah saya baca semuanya. Dengan begitu
saya pikir saya dapat bernafas dengan lega. Tetapi justru segalanya seperti
pesawat ulang-alik yang berputar-putar dan tak mau mendarat selama
bertahun-tahun.
Surat-surat
itu saya remas dan saya buang begitu saja di tempat sampah yang kebetulan
tersedia di kamar saya. Saya sungguh tidak mengerti. Saya juga lupa tak pernah
menanyakan siapakah nama ayah saya. Kepala saya belum berhenti berputar-putar.
Bahkan kali ini diiringi angin yang berputar-putar juga. Entah datangnya darimana.
Tetapi sepertinya angin itu muncul dari tempat sampah tempat saya membuang
kertas-kertas surat ibu. Angin itu riuh. Gaduh. Bahkan gaduhnya melebihi
sandiwara radio yang menemani ibu menjahit sampai larut malam itu.
Seperti
sandiwara radio? Ada suaranya? Tepat sekali. Anda tak percaya? Boleh saja.
Tetapi perlu anda ketahui juga, bahwa mata saya masih sehat, belum kabur,
apalagi mengelami kelainan dan telinga saya bahkan tak pernah mengalami
gangguan sekalipun. Samasekali tidak pernah.
Saya
masih gadis bodoh yang mendekam di sudut kamar. Suara yang saya pikir tadinya
hanya fatamorgana sudah sejak beberapa menit yang lalu menggaduhkan kamar saya
dengan bermacam teriakan orang. Saya hafal betul suara itu. Seperti suara ibu.
Ya. Suara ibu. Tetapi, siapa yang bertengkar dengan ibu? Suara itu seperti
menyebut-nyebut nama saya.
Lebih
dari itu. Tiba-tiba segerombolan orang begitu saja sudah berada di kamar saya.
Sepertinya mereka adalah pemilik suara tadi. Apakah mereka muncul dari tong
sampah? tidak tahu. Yang pasti kertas-kertas yang tadi sudah berada di tempat
pembuangan itu kini berserakan. Berantakan di ruangan. Tak beraturan.
“Pahami
surat ini, Diana!” ucap seorang laki-laki yang tentu saya tidak tahu siapa ia.
Ibu di belakang laki-laki itu. Menatap mata saya pilu. Lalu menangis. Ia
menyiksa ibu? Nafas saya mulai terengah. Saya ketakutan. Saya rasa mata saya
tak kalah merah dengan mata ibu.
“Pahami
surat ini!”
Di
kamar saya benar-benar seperti terdapat guntur yang tak henti menggelegar.
Lelaki yang memaksa saya itu belum juga pergi. Ia memberantakkan seluruh isi
kamar. Ibu berdiri di sudut yang berlawanan dengan saya sambil masih memeras
air mata. Benarkah itu ibu? Atau ibu pergi memang untuk menjemput laki-laki
itu?
Lelaki
yang lain lagi tiba-tiba masuk dari jendela. Ia pecahkan kaca jendela dan
disibakkannya gorden yang begitu tebal. Ia melangkah cepat. Matanya merah
menatap kami satu-persatu. Tak lama lelaki itu melangkah ke arah saya. Di ciumnya dengan paksa kening saya.
Tangan saya di cekal. Kontan
saya tak dapat menolak. Suara di kamar semakin gaduh. Dengan kesulitan di antara
lengan lelaki yang menciumi saya itu, saya lihat ibu bertengkar dengan lelaki
yang sejak awal meminta saya membaca surat-surat itu.
Saya bahkan tak mengerti apa yang sedang
tejadi. Kain-kain jahitan ibu
bertebaran. Bercampur dengan sisa surat-surat yang mustahil saya membacanya.
Ibu
menangis sesenggukan. Tak dapat lagi saya melihat apa ayang terjadi di kamar. Dinding
kamar saya berubah warna. Awalnya seperti warna-warna cat air yang tumpah dan
bercampur buram. Warna-warni. Kacau. Tetapi lama-kelamaan warna itu berubah
menjadi layar bioskop yang begitu lebar. Seperti hidup sesungguhnya. Seperti
menonton film tiga dimensi. Tokoh-tokohnya adalah ibu saya serta dua orang yang
sedari tadi membuat saya kebingungan itu. Bagaimana bisa mereka melewati tembok? Entah. Yang
pasti mereka masih bertengkar. Tangisan ibu meraung. Meski akhirnya reda juga
setelah berhasil dibacakannya surat-surat yang berada di genggaman tangannya.
***
Saya menyesal kemarin tidak
ikut ibu pergi. Tetapi bagaimana caranya? Yang saya lihat seolah hanya mimpi.
Ah. Biar saja. Kalau ibu merindukan saya, pasti ia datang lagi.
Tidak seperti yang saya
harapkan. Yang muncul kali ini justru ibu-ibu belepotan dengan bermacam aroma
masakan dan cucian. Seingat saya, mereka adalah ibu-ibu komplek yang sering
datang untuk menjahitkan baju atau sekedar ngerumpi. Tetapi kali ini mereka
tidak membawa jahitan atau topik pembicaraan. Melainkan dengan wajah murung dan
pertanyaan tertahan.
”Masih?”
Seorang ibu menggeleng sambil
membersihkan kertas yang menyumpal di mulut saya. Mereka tahu. Saya mati dengan
menelan surat-surat ibu saya sendiri.
Semarang, 30 Juni 2010 19.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar