Sabtu, 18 Mei 2013

Surat dari Ibu


Sudah sejak pagi saya melihatnya tanpa berkedip. Surat-surat itu menguarkan aroma melati. Meskipun lembar-lembarnya sudah cokelat, tetapi masih nampak jelas goresan tangan dengan tinta tebal serupa dokter. Susah di baca. Tetapi seperti film horror yang disuguhkan di depan mata. Jantung saya begitu berdebar menghadapinya.
          Surat-surat dari ibu saya yang tergolek rapi di kotak kayu ini memang nampak aneh. Setahu saya, ibu bukan pengoleksi surat atau suka menulis surat seperti Kartini. Atau saya saja yang tidak tahu? Mungkin. Tetapi yang saya tahu, dulu ibu hanya suka menjahit dan menangis sambil memandangi foto nenek dan lelaki yang tak saya kenal, saat saya mulai masuk kamar dan purapura tidur. Memang sejak lahir saya hanya tinggal berdua dengan ibu. Jadi tak heran jika ibu mengusir kesepian dengan hal demikian.
Ibu saya adalah seorang penjahit. Ia menerima jahitan di rumah saja. Meskipun tidak begitu laris, sepertinya ibu menikmati. Segala kebutuhan dapat terpenuhi. Untuk makan ibu dan saya sudah lebih dari cukup. Tetapi itu dulu. Beberapa bulan terakhir ini saya lihat ibu begitu gelisah. Usianya yang baru 40 tahun jadi nampak semakin tua. Yang tidak saya duga adalah, ketika pagi ini saya membuka mata, ibu sudah tidak ada di samping saya.
         Ibu tidak ada di samping saya? Ke mana? Saya tidak tahu. Terlebih tidak menduga. Atau mungkin ibu belanja dan berangkat ke pasar pagi-pagi sekali ketika saya masih terlelap di selimut yang didekapnya seperti biasa? Ah, tetapi sejak kapan ibu suka ke pasar? Atau ibu mengantar jahitan ke pelanggan? Saya rasa ibu tak pernah mau mengantar jahitan. Atau ibu membeli bahan-bahan untuk menjahit? Tidak biasanya sepagi ini.
            Dan saya tahu memang ini tidak biasanya. Ibu tak pernah pergi tanpa memberi tahu saya. Jadi saya mungkin mengerti apa yang sedang terjadi. Ibu sengaja meninggalkan saya? Kemungkinan besar, ya. Sehari saya menanti ibu pulang. Berdiam di kamar. Dengan pintu rumah rapat terkunci. Beberapa kali pelanggan ibu mengetuk pintu serta jendela saya biarkan. Saya hanya sedang ingin diam dan menangis. Ke mana ibu? Sejak saya lahir 20 tahun lalu ibu tak pernah meninggalkan saya seperti halnya ayah saya. Yang kata ibu sudah meniggal sebelum melihat saya lahir ke dunia.
            Saya masih belum berani menyentuh surat-surat itu. Benarkah ibu sengaja meninggalknannya untuk saya? Bukankah ibu tahu saya tidak suka membaca? Mungkin lebih tepatnya tidak lancar membaca. Mau bagaimana lagi, saya hanya belajar membaca dari ibu. Itu pun jarang-jarang. Kalau ibu sedang mempunyai waktu luang. Ya. Anda jangan kaget. Saya memang tak di ijinkan merasakan bangku sekolah. Kata ibu dunialuar rumah berbahaya. Termasuk sekolah. Maka saya memang tak pernah sekalipun ke luar rumah tanpa didampingi ibu.
            Gorden putih yang sejak pagi menutup jendela kamar saya mulai berwarna oranye. Hampir sama dengan warna lampu 10 watt yang sejak pagi saya biarkan menyala menemani saya. Saya tahu di luar langit mulai gelap. Dan saya tahu, ibu memang tak akan pulang. Ibu tak berpamitan. Tetapi lihatlah, surat-surat itu teronggok dan minta secepat mungkin  saya baca. Sedang aroma menakutkan belum luntur dari lembar-per lembarnya.

***

            Berhari-hari saya hanya duduk di sudut kamar seperti ketika hari pertama ibu tidak ada di samping saya. Jangan tanyakan perut saya keroncongan atau kulit saya semakin tebal karena tak mandi. Saya hanya ingin seseorang datang dan memberitahu saya. Bahwa surat itu tidak berisi apa-apa. Meski saya tahu itu mustahil. Sebab, saya tak dapat berbohong kepada anda, sejak berhari-hari yang lalu surat itu menangis, seperti bercerita kepada saya. Bercerita? Seperti apa suaranya? Seperti suara ibu ketika malam-malam mnegigau dan tak seorangpun membangunkkannya. Begitu lirih. Begitu menyakitkan. Dan menyayat kulit jantung saya sedikit demi sedikit.
            Aroma melati semakin menyengat semenjak hari pertama itu (meski saya tahu ibu tak punya parfum melati, tetapi saya memang yakin bahwa aroma itu berasal dari surat-surat yang ditinggalkan ibu). Tangan saya menyentuhnya perlahan. Dengan keberanian yang tertahan. Dengan debaran jantung begitu kuat. Yang baru kali ini saya rasakan.
            Tidak semenakutkan yang saya bayangkan rupanya. Begitu saya membuka lipatan surat yang berada pada tumpukan paling atas, tak lagi saya dengar suara orang seperti igauan ibu. Tak lagi saya temukan aroma melati itu menempel di hidung saya. Saya dengan sangat kesulitan mengeja surat itu. Lusuh. Dan tintanya sudah banyak yang pudar.
            Seperti yang saya katakan sejak awal, goresan di surat itu seperti tulisan dokter. Tetapi syukur saya masih dapat mengeja meski begitu lambat. Yang menjadi masalah bagi saya adalah, saya tidak mengerti isi surat itu. Memang nama ibu sudah tak asing di telinga saya. Tetapi beberapa nama lelaki itu. Ayah saya kah?
            Lembar kedua masih sama. Harus dengan apa saya katakan supaya anda percaya? Bahwa nama-nama asing itu masih saja bermunculan. Terlebih untuk lembar ini terdapat foto-foto yang tentu anda juga tahu, baru kali pertama saya melihat wajah-wajah itu.
            Ibu, inikah ayah saya? Ah, ibu tak mungkin mendengar. Atau ia memang sengaja tak mau menjawab apapun dari saya maka ia tak muncul lagi sampai berhari-hari ini? Tetapi, bukankah saya tak akan menanyakan apapun jika ibu tak meninggalkan surat ini untuk saya? Udara di kamar ini tak hanya pengap. Tetapi juga seolah bergerak-gerak. Membuat kepala saya berputar-putar.
            Lembar berikutnya dan berikutnya lagi. Ya Tuhan, sesungguhnya saya tak menyangka dapat membaca sebanyak ini. Tetapi memang setiap lembar hanya berisi sedikit tulisan. Maka paham tidak paham yang penting sudah saya baca semuanya. Dengan begitu saya pikir saya dapat bernafas dengan lega. Tetapi justru segalanya seperti pesawat ulang-alik yang berputar-putar dan tak mau mendarat selama bertahun-tahun.
            Surat-surat itu saya remas dan saya buang begitu saja di tempat sampah yang kebetulan tersedia di kamar saya. Saya sungguh tidak mengerti. Saya juga lupa tak pernah menanyakan siapakah nama ayah saya. Kepala saya belum berhenti berputar-putar. Bahkan kali ini diiringi angin yang berputar-putar juga. Entah datangnya darimana. Tetapi sepertinya angin itu muncul dari tempat sampah tempat saya membuang kertas-kertas surat ibu. Angin itu riuh. Gaduh. Bahkan gaduhnya melebihi sandiwara radio yang menemani ibu menjahit sampai larut malam itu.
            Seperti sandiwara radio? Ada suaranya? Tepat sekali. Anda tak percaya? Boleh saja. Tetapi perlu anda ketahui juga, bahwa mata saya masih sehat, belum kabur, apalagi mengelami kelainan dan telinga saya bahkan tak pernah mengalami gangguan sekalipun. Samasekali tidak pernah.
            Saya masih gadis bodoh yang mendekam di sudut kamar. Suara yang saya pikir tadinya hanya fatamorgana sudah sejak beberapa menit yang lalu menggaduhkan kamar saya dengan bermacam teriakan orang. Saya hafal betul suara itu. Seperti suara ibu. Ya. Suara ibu. Tetapi, siapa yang bertengkar dengan ibu? Suara itu seperti menyebut-nyebut nama saya.
            Lebih dari itu. Tiba-tiba segerombolan orang begitu saja sudah berada di kamar saya. Sepertinya mereka adalah pemilik suara tadi. Apakah mereka muncul dari tong sampah? tidak tahu. Yang pasti kertas-kertas yang tadi sudah berada di tempat pembuangan itu kini berserakan. Berantakan di ruangan. Tak beraturan.
            “Pahami surat ini, Diana!” ucap seorang laki-laki yang tentu saya tidak tahu siapa ia. Ibu di belakang laki-laki itu. Menatap mata saya pilu. Lalu menangis. Ia menyiksa ibu? Nafas saya mulai terengah. Saya ketakutan. Saya rasa mata saya tak kalah merah dengan mata ibu.
            “Pahami surat ini!”
            Di kamar saya benar-benar seperti terdapat guntur yang tak henti menggelegar. Lelaki yang memaksa saya itu belum juga pergi. Ia memberantakkan seluruh isi kamar. Ibu berdiri di sudut yang berlawanan dengan saya sambil masih memeras air mata. Benarkah itu ibu? Atau ibu pergi memang untuk menjemput laki-laki itu?
            Lelaki yang lain lagi tiba-tiba masuk dari jendela. Ia pecahkan kaca jendela dan disibakkannya gorden yang begitu tebal. Ia melangkah cepat. Matanya merah menatap kami satu-persatu. Tak lama lelaki itu melangkah ke arah saya. Di ciumnya dengan paksa kening saya. Tangan saya di cekal. Kontan saya tak dapat menolak. Suara di kamar semakin gaduh. Dengan kesulitan di antara lengan lelaki yang menciumi saya itu, saya lihat ibu bertengkar dengan lelaki yang sejak awal meminta saya membaca surat-surat itu.
            Saya bahkan tak mengerti apa yang sedang tejadi. Kain-kain jahitan ibu bertebaran. Bercampur dengan sisa surat-surat yang mustahil saya membacanya.
            Ibu menangis sesenggukan.    Tak dapat lagi saya melihat apa ayang terjadi di kamar. Dinding kamar saya berubah warna. Awalnya seperti warna-warna cat air yang tumpah dan bercampur buram. Warna-warni. Kacau. Tetapi lama-kelamaan warna itu berubah menjadi layar bioskop yang begitu lebar. Seperti hidup sesungguhnya. Seperti menonton film tiga dimensi. Tokoh-tokohnya adalah ibu saya serta dua orang yang sedari tadi membuat saya kebingungan itu. Bagaimana bisa mereka melewati tembok? Entah. Yang pasti mereka masih bertengkar. Tangisan ibu meraung. Meski akhirnya reda juga setelah berhasil dibacakannya surat-surat yang berada di genggaman tangannya.

***

Saya menyesal kemarin tidak ikut ibu pergi. Tetapi bagaimana caranya? Yang saya lihat seolah hanya mimpi. Ah. Biar saja. Kalau ibu merindukan saya, pasti ia datang lagi.
Tidak seperti yang saya harapkan. Yang muncul kali ini justru ibu-ibu belepotan dengan bermacam aroma masakan dan cucian. Seingat saya, mereka adalah ibu-ibu komplek yang sering datang untuk menjahitkan baju atau sekedar ngerumpi. Tetapi kali ini mereka tidak membawa jahitan atau topik pembicaraan. Melainkan dengan wajah murung dan pertanyaan tertahan.
”Masih?”
Seorang ibu menggeleng sambil membersihkan kertas yang menyumpal di mulut saya. Mereka tahu. Saya mati dengan menelan surat-surat ibu saya sendiri.

 


Semarang, 30 Juni 2010 19.01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar