Fira dan Saya

Fir, saya tahu saya bukan pesulap dan kamu bukan objek yang bisa saya ubah jadi apapun. Tetapi seringkali saya melupakan itu dan memintamu menjadi seperti yang saya inginkan, persis, tidak kurang dan tidak lebih. Aih, serakah sekali, bukan, saya? Tetapi Fir, saya melakukan semua itu untuk kebaikan kita semua, ah, tidak, setelah dirunut, ternyata bukan untuk kebaikan siapa-siapa, tetapi untuk kepuasan saya.

Kamu seorang anak yang sedang tumbuh, saya tahu, dan saya seorang perempuan yang punya banyak sekali obsesi serta kaku, kamu tahu. Tetapi justru kamu yang mengerti saya dan saya tidak mengerti kamu. Apa itu tidak kebalik? Akhirnya, kamu menuruti apa yang saya inginkan dan, mungkin, saya abai terhadap apa yang kamu rasakan. “Aku bukan robot!” berteriaklah begitu Fir, supaya saya puas dan tahu bahwa kamu tidak tertekan.

Tetapi, ternyata kamu tidak melakukan itu. Tidak marah juga. Tidak menuding saya juga. Kamu justru sangat nurut, tambah nurut, dan menganggap saya berjasa kepadamu. Bertambah merasa bersalahnya saya, Fir. Sesekali kamu memang mengeluh. Dan karena itulah, saya mulai instropeksi diri. Sedikit.

Fir, pada akhirnya memang kamu benar menjadi seperti apa yang saya inginkan, meski tidak sepenuhnya, tetapi, entah girang atau sedih saya, saya justru merasa hambar, puas namun juga samar, saya masih memikirkan benar atau tidak yang saya berikan kepadamu, yang saya sampaikan kepadamu. Selama ini, selama kurang lebih satu bulan ini, saya cuma berupaya dengan sungguh-sungguh bahwa saya tidak ingin kamu malu di depan orang-orang, bahwa saya ingin kamu membuktikan bahwa kita mampu melakukan dengan baik apa yang diperintahkan dengan sangat ragu-ragu itu.

Begitulah, Fir, sekarang  kamu yang menentukan. Baik saya maupun orang lain cuma bisa menunggu dengan harap-harap cemas, berdoa, itupun dengan kemampuan yang pas-pasan. Saya mengharapkan kabar gembira, tetapi kalau tidak pun, saya akan tetap memelukmu seperti ketika kamu  berpamitan kepada saya.

Kita sedang belajar dewasa, bukan?

Mei 2013