Sebentar
lagi tengah malam. Perempuan itu duduk dengan mata terang di ruang tengah
rumahnya ditemani televisi yang nyaring menyala. Ia tak peduli orang-orang di
dalam televisi sedang melakukan apa. Matanya terus beralih pada jam dinding di
depannya, pada jam di pergelangan tangannya, di penunjuk waktu handphonenya.
Napasnya sesekali panjang. Ia tahu tak akan ada yang mengetuk pintu. Tetapi ia
terus menunggu.
***
Suatu
hari ada yang meletakkan bingkisan di depan pintu rumahnya. Bingkisan warna
biru muda dengan motif kupu-kupu bertaburan. Ia tak tahu pasti siapa yang
meletakkan di sana. Namun ia tahu tak ada orang lain yang mengetahui ia sedalam
itu. Beberapa saat kemudian ia gembira. Tetapi kemudian urung mengambil dan
menutup pintu tanpa mengatakan apa-apa.
“Mbak,
tahu bungkusan yang kemarin ada di teras saya?” tanyanya kepada para tetangga
beberapa hari kemudian.
“Tidak.”
“Masak?
Bungkusannya sebesar ini!” ia mengucapkan sembari membuka tangannya
lebar-lebar.
“Tidak.”
“Pasti
anda lihat, kan?”
“Tidak,
sungguh tidak!”
Beberapa
orang yang kebetulan lewat ia tanyai. Dan semuanya menjawab sama.
***
“Mbak,
ada yang nyari.”
“Sebentar.”
Jawabnya gugup dari dalam kamar.
“Mbak,
cepetan!”
“Iya
sebentar.” Jawabnya sembari gugup dan tergesa menyisir letak rambutnya di dalam
kamar.
“Mbak!”
“Iya,
sebentar, sebentar…..”
Beberapa
detik kemudian ia sudah di depan pintu. Dilihatnya seorang lelaki dengan tas
kain menggantung di pundak kanannya, tas berisi buku-buku fiksi.
“Kamu
suka dongeng?” tanya lelaki itu, pada pertemuan kesekian.
“Hmm,
lumayan.” Jawab perempuan itu ragu.
“Hmm,
aku butuh jawaban ya atau tidak.”
“Hmm,
aku cuma bisa menjawab begitu.”
Lalu
matanya menunduk. Jari-jari mereka saling mendekat. Mereka tahu ada janji yang
mesti di tepati. Ada rumah yang mesti di tempati.
“Kamu
suka dongeng?”
“Kenapa?
Aku mau hidup denganmu,
dan jawaban itu tak
penting, bukan?”
***
“Mbak,”
“Ya?”
“Ada
yang nyari.”
“Siapa?”
“Seseorang.”
“Siapa?”
“Gak
tahu.”
Perempuan
itu melihat cermin di kamarnya. Ia ragu harus menyisir rambutnya atau tidak. Ia
ragu harus membenahi bajunya atau tidak. Ia ragu, harus turun dan menemui
‘seseorang’ yang tidak ia ketahui atau tidak.
“Mbak,”
“Ya.”
“Kok
lama? Orangnya pergi.”
“Oh.”
Jawabnya.
Ia
melihat cermin. Ia ingin sekali mengambil sisir, ingin sekali membenahi
bajunya, ia ingin sekali berlari ke bawah dan berteriak kepada siapa saja yang
mengunjunginya; saya tidak suka dongeng! Tidak pernah suka!
***
“Besok
saya akan datang jam 10, tolong siapkan seorang guide untuk menemani saya keliling kota, saya tidak mau jalan-jalan
sendirian. Carikan pula referensi tempat makan yang enak. Apa? Makfav? Ah, bagi
saya sama saja yang penting enak, yang penting bukan café, yang penting bukan western food, yang penting bukan chinesse food, yang penting bukan
makanan arab, yang penting, ah ya sudah tidak usah, besok saya nyari tempat
sendiri saja, yang penting ada hotel ya, saya ingin langsung istirahat begitu
sampai sana, saya ingin hotel yang tidak terlalu mahal, ah mahal juga gak apa-apa,
ah tidak, yang harga menengah saja, mm, ya, harga menengah saja, kalau bisa
yang jauh dari keramaian, hmm, aduh tapi nanti sepi ya, ya sudah tidak apa-apa,
hmm, tapi kalau sepi tidak enak juga, tapi…. Eh, hmm, sebentar, nanti saya
kabari lagi.”
Perempuan
itu meletakkan telepon yang dari tadi menempel di telinganya. Ia memandang
kalender, ia melihat sebuah angka yang dilingkari, ia melihat tulisan di
bawahnya yang sudah pudar, ia tidak bisa lagi membacanya tetapi ingat betul apa
isinya. Ia kembali melihat telepon. Memencet angka. Membatalkan kepergiannya.
***
“Tahun
depan kita jadi ke sana, kan?”
“Tugasmu
berdoa supaya bukuku laris.”
Perempuan
diam saja. Lelaki di sampingnya masih khusyuk dengan komputer yang di layarnya
terus muncul teks-teks baru. Ia terus menulis dan menulis. Sepanjang hari.
Sepanjang malam. Ia merelakan pekerjaan tetapnya hanya untuk ini, menulis
fiksi, membukukannya meski belum banyak laku, menulis freelance di media massa, menulis di blog….
“Tapi
perempuan dalam fiksimu lebih pandai berdoa sepertinya.”
Lelaki
itu berhenti mengetik. Ia pandangi wajah istrinya yang sedang menyelesaikan
tugas kantor. Lalu beranjak dari kursi, mengambil jaket, dan pergi.
“Ke
mana?”
“Perempuan
dalam fiksiku lebih memahamiku.”
***
Sudah
saya katakan saya tidak suka dongeng. Tidak pernah suka sampai kapan pun. Tidak
ada keraguan sampai kapan pun. Dongeng itu cuma pembohong. Pembohong paling
kejam yang pernah saya kenal. Pembohong yang membuat saya dijauhi keluarga
saya. Pembohong yang membuat saya asing dengan diri saya sendiri.
“Saya
tidak pernah memaksamu.” Kata suami saya, kepada saya.
***
Sebentar
lagi tengah malam. Pintu masih terbuka. Seorang perempuan duduk di depan
televisi. Ia mengenggam remote dan
mengubah channel setiap satu menit sekali, dua menit sekali, sesukanya. Tetapi
ia tak pernah suka seperti itu. Sampai pagi. Sampai segalanya terang dan
terlihat. Pintu rumahnya masih terus terbuka dan ia tak tahu bagaimana cara
menutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar