Senin, 13 Mei 2013

Sebentar Lagi Tengah Malam


Sebentar lagi tengah malam. Perempuan itu duduk dengan mata terang di ruang tengah rumahnya ditemani televisi yang nyaring menyala. Ia tak peduli orang-orang di dalam televisi sedang melakukan apa. Matanya terus beralih pada jam dinding di depannya, pada jam di pergelangan tangannya, di penunjuk waktu handphonenya. Napasnya sesekali panjang. Ia tahu tak akan ada yang mengetuk pintu. Tetapi ia terus menunggu.

***

Suatu hari ada yang meletakkan bingkisan di depan pintu rumahnya. Bingkisan warna biru muda dengan motif kupu-kupu bertaburan. Ia tak tahu pasti siapa yang meletakkan di sana. Namun ia tahu tak ada orang lain yang mengetahui ia sedalam itu. Beberapa saat kemudian ia gembira. Tetapi kemudian urung mengambil dan menutup pintu tanpa mengatakan apa-apa.
“Mbak, tahu bungkusan yang kemarin ada di teras saya?” tanyanya kepada para tetangga beberapa hari kemudian.
“Tidak.”
“Masak? Bungkusannya sebesar ini!” ia mengucapkan sembari membuka tangannya lebar-lebar.
“Tidak.”
“Pasti anda lihat, kan?”
“Tidak, sungguh tidak!”
Beberapa orang yang kebetulan lewat ia tanyai. Dan semuanya menjawab sama.

***

“Mbak, ada yang nyari.”
“Sebentar.” Jawabnya gugup dari dalam kamar.
“Mbak, cepetan!”
“Iya sebentar.” Jawabnya sembari gugup dan tergesa menyisir letak rambutnya di dalam kamar.
“Mbak!”
“Iya, sebentar, sebentar…..”
Beberapa detik kemudian ia sudah di depan pintu. Dilihatnya seorang lelaki dengan tas kain menggantung di pundak kanannya, tas berisi buku-buku fiksi.
“Kamu suka dongeng?” tanya lelaki itu, pada pertemuan kesekian.
“Hmm, lumayan.” Jawab perempuan itu ragu.
“Hmm, aku butuh jawaban ya atau tidak.”
“Hmm, aku cuma bisa menjawab begitu.”
Lalu matanya menunduk. Jari-jari mereka saling mendekat. Mereka tahu ada janji yang mesti di tepati. Ada rumah yang mesti di tempati.
“Kamu suka dongeng?”
“Kenapa? Aku mau hidup denganmu, dan jawaban itu tak penting, bukan?”

***
“Mbak,”
“Ya?”
“Ada yang nyari.”
“Siapa?”
“Seseorang.”
“Siapa?”
“Gak tahu.”
Perempuan itu melihat cermin di kamarnya. Ia ragu harus menyisir rambutnya atau tidak. Ia ragu harus membenahi bajunya atau tidak. Ia ragu, harus turun dan menemui ‘seseorang’ yang tidak ia ketahui atau tidak.
“Mbak,”
“Ya.”
“Kok lama? Orangnya pergi.”
“Oh.” Jawabnya.
Ia melihat cermin. Ia ingin sekali mengambil sisir, ingin sekali membenahi bajunya, ia ingin sekali berlari ke bawah dan berteriak kepada siapa saja yang mengunjunginya; saya tidak suka dongeng! Tidak pernah suka!

***

“Besok saya akan datang jam 10, tolong siapkan seorang guide untuk menemani saya keliling kota, saya tidak mau jalan-jalan sendirian. Carikan pula referensi tempat makan yang enak. Apa? Makfav? Ah, bagi saya sama saja yang penting enak, yang penting bukan cafĂ©, yang penting bukan western food, yang penting bukan chinesse food, yang penting bukan makanan arab, yang penting, ah ya sudah tidak usah, besok saya nyari tempat sendiri saja, yang penting ada hotel ya, saya ingin langsung istirahat begitu sampai sana, saya ingin hotel yang tidak terlalu mahal, ah mahal juga gak apa-apa, ah tidak, yang harga menengah saja, mm, ya, harga menengah saja, kalau bisa yang jauh dari keramaian, hmm, aduh tapi nanti sepi ya, ya sudah tidak apa-apa, hmm, tapi kalau sepi tidak enak juga, tapi…. Eh, hmm, sebentar, nanti saya kabari lagi.”
Perempuan itu meletakkan telepon yang dari tadi menempel di telinganya. Ia memandang kalender, ia melihat sebuah angka yang dilingkari, ia melihat tulisan di bawahnya yang sudah pudar, ia tidak bisa lagi membacanya tetapi ingat betul apa isinya. Ia kembali melihat telepon. Memencet angka. Membatalkan kepergiannya.

***

“Tahun depan kita jadi ke sana, kan?”
“Tugasmu berdoa supaya bukuku laris.”
Perempuan diam saja. Lelaki di sampingnya masih khusyuk dengan komputer yang di layarnya terus muncul teks-teks baru. Ia terus menulis dan menulis. Sepanjang hari. Sepanjang malam. Ia merelakan pekerjaan tetapnya hanya untuk ini, menulis fiksi, membukukannya meski belum banyak laku, menulis freelance di media massa, menulis di blog….
“Tapi perempuan dalam fiksimu lebih pandai berdoa sepertinya.”
Lelaki itu berhenti mengetik. Ia pandangi wajah istrinya yang sedang menyelesaikan tugas kantor. Lalu beranjak dari kursi, mengambil jaket, dan pergi.
“Ke mana?”
“Perempuan dalam fiksiku lebih memahamiku.”

***

Sudah saya katakan saya tidak suka dongeng. Tidak pernah suka sampai kapan pun. Tidak ada keraguan sampai kapan pun. Dongeng itu cuma pembohong. Pembohong paling kejam yang pernah saya kenal. Pembohong yang membuat saya dijauhi keluarga saya. Pembohong yang membuat saya asing dengan diri saya sendiri.
“Saya tidak pernah memaksamu.” Kata suami saya, kepada saya.

***

Sebentar lagi tengah malam. Pintu masih terbuka. Seorang perempuan duduk di depan televisi. Ia mengenggam remote dan mengubah channel setiap satu menit sekali, dua menit sekali, sesukanya. Tetapi ia tak pernah suka seperti itu. Sampai pagi. Sampai segalanya terang dan terlihat. Pintu rumahnya masih terus terbuka dan ia tak tahu bagaimana cara menutupnya.





BSB, April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar