Jumat, 10 April 2015

JARAK



kalimat apa yang mesti kusampaikan
ruang panjang tak bersekat itu memberitahuku
kau sedang ingin berlama-lama berdoa
menemukan tuhan yang sembunyi dalam tubuhmu
lalu aku menulis surat dengan huruf dari remah jantungku
supaya detaknya sampai kepadamu
yang barangkali menutup mata, dari cahaya
denyut kehidupan yang mestinya diterima
aku sedang memikirkan semua itu
ketika seseorang datang dan menyampaikan jeritanmu
kau di mana?
suara itu panjang melengking dan jutaan tahun cahaya jauhnya


Boja, Januari 2014


 

Selasa, 24 Maret 2015

dari Nyonya Dutta



Roma yang baik,

Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu tentang apakah aku bahagia, karena aku sudah tidak yakin apa sebenarnya kebahagiaan. Yang kutahu hanya bahwa kebahagiaan bukan seperti yang kusangka. Bukan tentang rasa dibutuhkan. Bukan juga tentang berkumpul bersama keluarga. Ada hubungannya dengan cinta, aku masih beranggapan begitu, tetapi dengan cara yang berbeda dengan yang kuyakini dulu, suatu cara yang tidak bisa kujelaskan. Mungkin kita bisa memikirkannya bersama, dua wanita tua minum cha di flat lantai bawahmu (karena kuharap kau mau menyewakannya kepadaku sekembaliku ke sana), sementara di sekitar kita gosip beredar—tetapi ringan saja, seperti hujan musim panas, karena itu saja yang akan kita bolehkan terjadi. Kalau aku beruntung—dan mungkin, walau semua yang sudah terjadi, aku memang beruntung—kebahagiaan itu letaknya dalam memikirkannya.

(Nyonya Dutta Menulis Surat – Chitra Banerjee Divakaruni)

Selasa, 17 Maret 2015

dalam menunggu

ada yang berdentang, seperti dunia yang diulang-ulang
aku tak menutup telingaku, membiarkan suara seperti nyamuk-nyamuk bagi sebuah rumah
apa kau mengatakan sesuatu, aneh aku tidak mendengarnya
apa kau menanyakan sesuatu? oh, tidak, itu suaraku sendiri
di jendela ada kegelapan. di langit ada kegelapan
udara diliputi suara-suara
apa tidak bisa kita bergegas saja

seperti kunang-kunang,
pertanyaanku luput dari umur panjang


Boja, Maret 2015



Rabu, 17 Desember 2014



setiap orang memiliki hujannya masing-masing
apakah kita memiliki hujan yang sama (?)


Senin, 15 Desember 2014

Jumat, 28 November 2014

mendengarkan frau lagi, kekasihku


I give you warmth, you tell me tales...


Oktober


Sesuatu terkubur di dalam tanah. Di dalam rumput. Di dalam hujan bulan Oktober pada usianya yang ke lima belas.  Susah payah Airin menguburkannya. Tapi siapapun tahu, bangkai, atau yang mati atau sesuatu yang buruk memang harus dikubur. Dilesakkan jauh, kalau bisa sampai ke lambung bumi agar baunya tak lagi meruap ke permukaan.  Tapi jendela dan hujan  deras  yang gerakannya miring oleh angin mampu mengangkat seonggok daging busuk mirip zombie itu.
Tangannya yang terlipat di meja tiba-tiba terasa dingin. Ada getaran aneh menampar ingatannya. Ia harus bergerak, harus. Supaya gambar yang tak diinginkannya itu tak perlu ia lihat lagi, dalam bingkai jendela. Dalam hujan yang sama.
“Mau kopi, Mbak?”
Tanya seseorang dengan setengah membungkuk di sampingnya. Entah sejak kapan ia berada di sana. Airin seperti melihat hantu atau boneka barbie yang sangat ditakutinya.
“Pak Parman, bikin kaget saja.”
Mbak Airin sih melamun. Mau kopi panas, Mbak? Udaranya dingin sekali lho.”
“Mmm, teh aja deh, Pak.”
“Lho, kok tumben?”
“Lagi pengen.”
Pak Parman berlalu. Airin memandang lelaki itu sejenak sampai ia hilang di pintu. Beberapa temannya sedang melakukan kegiatan di meja masing-masing. Ada beberapa yang menggerombol di meja yang sama sambil mengobrolkan sesuatu. Di antara mereka semua ada sebuah cangkir dengan asap tipis mengepul. Ia tak ingin minum kopi hari ini.
Bayangan itu lagi. Bagaimana bisa Pak Parman yang sudah enam puluhan dan kurus itu membuat ia mengingat rupa bobeka barbie. Ia mendadak sangat jijik. Mual. Bau busuk entah darimana menusuk hidungnya. Airin menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada yang janggal. Tak ada yang diluar kebiasaan. Teman-temannya yang di sana tidak bertambah atau berkurang, orang-orang yang sama. Tapi penciumannya tak mungkin salah. Ia menangkap aroma lain menyengat hidungnya.
“Rin, kamu kenapa?” Tanya Rudi, meja kerjanya hanya berjarak satu meter dari meja Airin.
“Bisa minta tolong matikan AC-nya, Rud?”
Tanpa banyak bicara Rudi beranjak dan mengarahkan remote kecil ke arah AC. Klik. Perlahan ruangan yang dinginnya menggigit kulit menjadi hangat. Sekalipun di luar, langit benar-benar sedang menumpahkan kemarahannya. Hujan masih turun dengan lebat. Garis air yang turun tampak miring.
“Kamu masuk angin?”
Airin menggeleng. Tangannya sedang sibuk merogoh minyak kayu putih di loker meja. Wajahnya memang tampak pucat. Sesuatu di jendela itu menyedot rona gembira yang beberapa menit lalu masih memenuhi matanya.
“Bisa minta tolong tutup gordennya?”
Rudi merasa aneh, namun ia melakukannya juga. Bingkai jendela yang memperlihatkan pohon kersen yang basah kuyup oleh tamparan air hujan itu kini berubah warna menjadi kelabu. Gorden kelabu memisahkan kantor itu dan dunia luar.
“Rud, apa tadi ada yang datang kemari selain orang kita?”
Rudi berpikir sebentar. Lantas menjawab dengan perlahan. Sekalipun sejak tadi ia berada di sana, ia takut salah memberi informasi.
“Setahuku tidak ada.”
Airin begitu saja meninggalkan tempat ia duduk. Ia berlari ke arah pintu kamar mandi. Dari luar sama-samar terdengar, ia terbatuk-batuk, lantas muntah beberapa kali.

…….
“Kamu sakit?”
“Tidak.”
“Dari tadi bolak-balik kamar mandi terus?”
Hari itu udara dingin sekali. Akhir tahun. Curah hujan turun tak tahu diri, terus menerus tanpa jeda yang panjang. Airin dan ibunya sedang bersantai menonton televisi ketika seseorang mengetuk pintu. Ibu duduk saja di kursi, kakinya sudah tak bisa digerakkan sejak beberapa bulan yang lalu. Airin beranjak keluar dan membukanya.
“Siapa, Rin?”
“Om Ubay.”
Setelah mengantar sampai ruang keluarga, Airin melesat ke kamar. Bahkan ketika Ibu memanggilnya untuk membuatkan minuman, ia tak menyahut.
“Biar saya ambil sendiri, Mbak. Kaya tamu aja.”
Om Ubay meletakkan tas punggungnya kemudian pergi ke dapur. Ia menyeduh kopi panas. Ketika kembali dari dapur, Om Ubay berhenti sebentar. Ia menghela napas, lalu mengetuk pintu kamar Airin dengan lembut.
“Rin, Om bawa oleh-oleh lho, barbie kesukaanmu, kali ini rambutnya pirang dan panjang.”
Tidak ada jawaban. Om Ubay kembali ke ruang keluarga. Ibu masih menonton televisi. Untuk beberapa saat mereka melakukan kegiatan masing-masing. Sesekali ibu membuka-buka majalah yang ada dipangkuannya. Om Ubay mengeluarkan sebuah kado dari dalam tasnya. Ia letakkan bungkusan persegi panjang itu di atas meja.
“Kamu ini, nanti Airin manja kalau kamu terus bawa oleh-oleh buat dia.”
“Ndak terus lho Mbak, kebetulan aja pas ada rejeki. Dulu Mbak juga sering mbawakan aku oleh-oleh tho.”
Ibu tersenyum. Adik sepupunya itu memang satu-satunya kerabat yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Anak laki-laki yang dulu sering ia urus, kini sudah menjadi pemuda dewasa dengan pekerjaan yang baik. Ia menjadi pegawai atasan di kantor pos di kota kecamatan tempat mereka tinggal. Karena masih bujang, ya pantas saja ia sering membawa oleh-oleh setiap kali datang. Katanya daripada uang dihambur-hamburkan untuk hal-hal yang tidak penting, lebih baik untuk balas budi. Jika sudah begitu, Ibu tak bisa menolak. Bukan berarti ia minta dibayar atas kebaikannya ketika muda yang sering membawakan mainan kepada adik sepupunya itu.
“Kamu kok masih sendirian aja to, Bay. Mbak bosen lho lihat kamu ke sini bawanya tas punggung terus. Bawa gandengan dong sekali-kali,” goda Ibu. Ubay cuma cengar-cengir.
“Belum nemu kok, Mbak.”
“Halah, belum nemu atau kamu pilih-pilih?”
“Mbak ini, memangnya seganteng apa aku kok bisa pilih-pilih.”
Saat itu Airin muncul dari kamar, wajahnya cemberut. Tanpa mengucapkan permisi ia begitu saja mengambil buku-buku dongeng yang tadi di bacanya, buku-buku itu disambarmnya dari samping Ubay.
“Rin, menurutmu Om Ubay ganteng tidak?”
Airin tidak menggubris ucapan ibu. Tanpa menoleh ia berjalan cepat kembali menuju kamar. Pintu ia banting dengan keras. Ibu merasa tabiat Airin mudah sekali berubah. Beberapa menit yang lalu ia masih anak gadisnya yang lembut dan periang, yang terbuka. Kini sebaliknya.
Di kamar, Airin duduk berdiam di depan cermin. Ia memandangi dirinya yang kurus dengan rambut lurus berponi, dengan kulit yang kecoklatan. Diperhatikan matanya baik-baik, hidungnya, bibirnya, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, ia perhatikan daun telinganya, lehernya, sepasang bahunya. Tiba-tiba ia merasa mual lagi...
Namun ia tak beranjak ke mana-mana. Masih tabah ia di depan cermin saling memandang dengan dirinya yang mematung di sana. Dengan cahaya mata yang perlahan redup. Ada warna merah menyelimuti bola matanya. Alisnya mulai mengkerut. Tiba-tiba di bayangannya sebuah lengan yang kuat menyentuh pundaknya. Dadanya yang belum sepenuhnya menonjol naik turun dengan cepat.
“Rin, Om mau ngomong.”
Pintu kamar diketuk. Suara Om Ubay. Airin membiarkan suara itu memantul di kedua telinganya yang memerah. Rasa tak enak mulai bergulung di dadanya.
“Rin, sebentar aja, Om mau ngomong.”
Airin tak menyahut. Tangannya mengepal dengan kuat. Di cermin ia melihat sepasang tangan sedang menyusuri pundak dan lehernya. Tangan yang sama. Tangan yang menawarkan perlindungan. Kulitnya kini meremang. Detik-detik berjalan dengan cepat. Ia seperti sedang mengikuti sebuah pertandingan lari, ia ingin peristiwa yang dilihatnya di cermin segera usai. Namun ia tahu, yang akan terjadi adalah sebaliknya. Ia akan melihat gerak lambat yang menjijikkan. Sepasang tangan yang mulai merayap di telinga mungilnya, kemudian lama berhenti di bibir. Sesudahnya tangan itu merayap pelan-pelan mirip seekor binatang melata, ia berhenti di dadanya yang ngilu. Disana tangan itu bergerak-gerak, namun tak segera beranjak. Segalanya runtut. Airin ingin muntah. Terlebih ketika sesuatu merogoh tubuhnya bagian bawah. Suara Om Ubay semakin mirip lebah yang mendenging. Makin lama makin riuh dan mengganggu. Suara yang mendekat, memekakkan telinga.
Pyar.
Pecahan kaca yang mengagetkan. Lebah-lebah di telinga Airin lenyap. Suara laki-laki di luar masih sama. Airin masih duduk dengan cara yang sama. Namun kini tangan kanannya yang masih mengepal terluka. Ada sayatan luka-luka tipis, dan darah merembes dari sana.
“Rin, buka pintunya atau Om akan mendobraknya.”
Suara Om Ubay yang panik disusul suara ibu dari jauh. Ya. Dari jauh. Ibu tak bisa dengan cepat mendekat. Ia tak seperti dulu yang kemanapun kapanpun dengan kaki sendiri. Kini ia butuh kursi roda atau bantuan orang lain. Ya, selalu begitu, bahkan ketika Airin betul-betul membutuhkan pertolongannya.
Terngiang di telinga Airin suara tangisnya sendiri, tangis yang lirih di tengah malam pada pertengahan bulan Oktober, di mana curah hujan lebih mirip air terjun yang berisik daripada gerimis yang lembut. Saat itu ia demam. Ibu tak mungin bolak-balik kamar-kamar mandi-dapur untuk menemaninya, mengingat kondisi ibu sendiri seperti demikian. Maka om kesayangannya itu yang merelakan waktu untuk merawatnya. Mengantar ke dokter, menyuapi makan, mengambilkan obat. Dan memeluknya ketika tidur. Padahal Airin menolak, padahal Airin sudah mengusirnya berkali-kali. Padahal Airin sudah mengeluarkan kata-kata kasar supaya om kesayangannya itu tak datang lagi, tak mendesaknya lagi.
“Airin, tolong keluar. Ada apa kamu? Airin tolong buka pintunya….”
Suara ibu setengah menangis. Airin tak mungkin menceritakan apapun pada ibu. Termasuk ketika pangkal kakinya terasa perih. Beberapa hari, beberapa tahun, sampai ia merasa tak sanggup mengobatinya sama sekali….

……….
Airin masih duduk di kursinya sembari membuak-buka majalah dan membacanya sekilas. Di jendela air hujan mulai renggang, tak ada lagi petir yang cerewet, dan langit sudah berkurang pekatnya meski warna biru belum nampak juga. Ia mengecek jam di pergelangan kirinya. Setengah jam lebih Pak Parman tak juga muncul. Sekalipun tadi ia tak memesan dan lebih sebagai tawaran atas kebaikan Pak Parman, namun saat ini ia mengharapkannya juga.
Tak lama kemudian, seseorang yang dinantikannya muncul di pintu. Kedua tangannya menyangga penampan berisi satu teko kecil dan dua cangkir kecil yang mengepulkan asap tipis. Ia berjalan ke arah Airin. Airin menghela napas dengan halus.
“Lama sekali, Pak?” Ujar Airin, “Kirain Pak Parman kesasar.”
Pak Parman tersenyum. Ketika sudah berada beberapa meter dari meja Airin, Pak Parman membelokkan langkahnya ke arah meja lain, dan meletakkan dua cangkir serta teko di sana.
Mata Airin masih mengikuti lelaki itu. Mulanya ia merasa aneh, namun barangkali harus sesuai antrean. Lagipula, mungkin saja ada kesulitan di dapur, mungkin gula sedang habis, atau teh habis, sehingga mendahulukan siapa yang memesan terlebih dahulu. Ketika Pak Parman hendak kembali, Airin memanggilnya.
“Pak Parman, tehku yang lebih kental ya,” ucap Airin, lebih sebagai mengingatkan lelaki itu bahwa ia juga memesan minuman hangat.
“Lho, Bu Airin jadi pesen?”
“Hmm, Pak Parman ini, masak udah lupa...”
Lelaki itu nampak kebingungan, ia terlihat memikirkan sesuatu.
“Hmm, trus pesennya satu atau dua, Bu?”
Airin tercekat. Mendadak ternggorokannya sangat kering.
“Pak Parman, yang satu lagi mau diminum siapa?”
Ia tahu banyak hal sedang bergerak di luar kehendaknya. Semacam firasat. Konsentrasinya mendadak ambyar. Rasa mual yang tadi mengganggu kini terasa lagi, mendesak naik di perut bagian atas, merayap pelan-pelan ke tenggorokan, mengirimkan sinyal pahit di pangkal mulut. Ia merasa pusing lagi.
“Lha ya Mas Ubay to, Katanya jauh-jauh dari luar kota langsung ke sini lho, Mbak. Katanya pengen ketemu Mbak Airin.”
“Suruh pulang aja, Pak.”
“Lho, kok suruh pulang, dia udah hujan-hujanan juga lho, Mbak...”
Hujan lagi. Apa harus hujan selalu membawa seonggok daging busuk mirip zombie itu kembali? Hujan yang sama, hujan yang selalu sama. Pertengahan Oktober yang menjijikkan.
Airin beranjak. Rasa mual di perutnya sudah tak tertahankan. Lebih dari itu, rasa nyeri di dadanya menyebar lebih cepat dari kedatangan sepupu ibunya itu. Ia membuka kamar mandi. Suara Pak Parman kalah oleh air wastafel yang mengalir deras sekali...


Boja, 25 Juli 2014 00.42