Kau boleh marah, Kawan. Tapi
inilah yang kualami dan akan kuceritakan. Cuci dulu mukamu, lalu seduh kopi
panas. Siapa tahu di tengah cerita kau perlu ketenangan dan membutuhkan sesuatu
untuk dilemparkan padaku. Cangkirmu akan begitu mudah membuatku terluka.
Tempohari,
kau tahu, hujan turun begitu deras. Saat itu kuajak kau bermain sepakbola di
tanah lapang yang sedikit berumput di bagian samping kampus kita. Toh, tidak
terlalu jauh baik dari kontrakanku maupun tempat kosmu. Aku telah begitu
memelas merengek padamu seperti balita minta susu, tetapi kau menolak. ”Gila,
hujan begini, malam-malam lagi. Mau nyari apa kamu?” ceracaumu di telepon. Meski
aku tahu, bukan hujan alasanmu. Kau selalu menolak pergi jika tidak punya uang.
Jangan mengelak. Berapa lama kita bersama? Kau tahu tentangku, aku tahu
tentangmu. Dan aku malas berdebat denganmu meski hanya untuk meyakinkan bahwa
kau tahu sendiri, ajakanku ini tidak membutuhkan sepeserpun uang. Kau tetap
mengelak. Maka kumasukkan bola pada keranjang dan bersepeda sendirian.
Di
lapangan. Tepatnya ditempat becek yang aku suka menyebutnya lapangan. Ricik air
begitu damai turun dari langit dan berrdesak di antara rumputan. Sedikit cahaya
dari gedug samping membuat percikannya berkilau. Inilah yang kusuka. Sebentar
lagi tubuh dan gesit kakiku akan bersatu dengan katak yang berlompatan di antaranya.
Ketika
aku mulai bermain bola, belum kulihat siapa pun di sekitar lahan itu. Hanya
sesekali mobil dan sepeda motor ngebut sambil di atasnya sepasang kekasih
saling bermanja. Itu pun nampak dari jauh. Selebihnya senyap. Aku semakin
bahagia sebab tak ada yang mengusik fantasiku bermain bola, menjadi seperti
idolaku, Gerrad.
Saat
itulah, Kawan. Seorang perempuan dari kejauhan berlarian membawa payung.
Kakinya sedikit tergesa, maka langkahnya menghasilkan percik-percik putih, yang
aku membayangkan seperti air sisa cuci muka gadis porselin pada iklan-iklan
sabun pencuci muka. Perempuan itu memangil namaku. Aku terpana sebentar. Tapi
selebihnya tidak. Sebab aku tahu, ia Putri. Kekasihmu yang sering kau ceritakan
padaku itu.
Jangan
marah dulu. Tetapi maaf. Sungguh aku tidak tertarik. Bukan karena dia tidak
cantik. Bukan. Tetapi karena bagiku, dia bukan lagi misteri karena sudah
terlalu sering kau narasikan tentangnya di depanku. Ya. Dia cantik, lesung
pipinya begitu menonjol, wajahnya riang dan suaranya renyah. Tetapi aku pikir,
masih lebih menarik ceritamu daripada objek yang kau ceritakan. Atau karena kau
begitu pandai bercerita? Tiba-tiba ia ikut aku main bola dan mengajukan
permohonan untuk menginap di kontrakanku.
”Nanti
aku bilang Ranjau dulu.” Jawabku tergagap.
Tentu
saja. Yang kuingat kali pertama adalah wajahmu. Yang gagah dan mata setajam elang terbang. Tak mau juga aku jika nanti kau salah
paham dan merubuhkan kontrakanku. Yang lebih membuatku terpana adalah, keberaniannya
mengajukan permintaan itu. Kau tahu aku dan kekasihmu baru sekali bertemu itu
pun lama sekali. Dan kali kedua ia meminta menginap begitu saja. Bukankah ini
gila? –kau boleh tertawa. Aku memang satu-satunya jejaka di kelas kita, jadi
perempuan menginap.... masih sedikit tabu bagiku. Tetapi, ya tidak apa-apa.
Aku
tidak bisa menolak, kekasihmu itu merajuk begitu cerdasnya. Ia tidak
menggodaku. Sama sekali tidak. Jadi kau tenang saja. Cukup lama aku berpikir
dan kebingungan, baru kali ini kepalaku berat terkena air. Bagaimana tidak?
Setelah aku memperbolehkan –dengan sangat terpaksa- ia menginap di kontrakanku,
ia melarangku untuk menceritakan semua itu padamu. Bayangkan. Ia membuat kami
berdua menyimpan rahasia. Darimu. Kawan baikku! Kekasihnya sendiri!
Baiklah.
Mungkin kekasihmu –aku belum berani menyebutnya dengan nama Putri- sedang tidak
ingin diganggu atau sedikit stres, sehingga yang ia lakukan pun sangat janggal
bagi orang lain. Bodohnya, aku juga lupa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau
memberitahumu. Dan tentu saja, kenapa tiba-tiba ia ingin menginap di
kontrakanku? Atau karena kebetulan yang ditemuinya adalah aku? Atau... dia
sedang ingin mencari suasana baru? Atau... atau... atau... Entahlah. Masih
banyak lagi atau menyelusup di kepalaku seperti air yang terasa dingin. Sejenak terbersit akan terjadi
kerenggangan janggal antara kau dan aku. Ah, semoga tidak.
Setelah
beberapa menit ia menjebakku dalam udara yang kosong dan beku –karena aku masih
begitu bingung. Akhirnya aku menyerah juga dari serangan hujan. Aku
menghampirinya di tepi lapangan yang sedang mengelap rok lebar selutut dengan
celana ketat hitam warna hitam di dalamnya –kata orang namanya legging.
Ia yang jongkok sambil membawa payung seperti jamur segera mendongak. Kulihat
wajahnya telah basah sepenuhnya. Ia tertawa. Kekasihmu tertawa. Ia berdiri dan
membuang payungnya.
”Sepertinya
payung sudah tidak diperlukan lagi.” Katanya sambil tersenyum.
Tentu
saja, bukannya tadi ia juga berani bermain bola denganku tanpa payung?
Kekasihmu aneh, Jo –namamu Ranjau, tetapi aku lebih suka memanggil nama belakang
mu menjadi O. lebih praktis.
Aku kikuk. Jalanan telah sepenuhnya
terendam air. Membuatku merasakan
sampah yang berseliweran. Memalukan.
Kota kok serba sampah. Untung banjirnya hanya setinggi mata kaki. Coba kalau
setinggi mata yang bukan kaki? Kekasihmu tertawa, Kawan. Ia tahu aku sedang
ragu untuk mengeluarkan banyak suara. Ia mengikuti gerak mataku. Dan rupanya ia
benar-benar punya banyak cadangan tawa. Ia memainkan roknya yang basah.
”Untuk
apa dipikirkan? Sampah punya tempatnya sendiri –seperti burung, ingin bebas,
jadi tak perlu takut kebanjiran.” ucapnya sambil menggodaku. Oh maaf, maksudnya
nada suaranya seperti menggoda. Berbisik pada kalimat terakhir. Lirih. Aku
tidak tergoda. Sungguh.
”Kalau
mampat di selokan? Di sungai?”
”Apanya?”
”Sampahnya.”
”Ya
salah manusia sendiri. Kenapa membuangnya di jalanan. Padahal rumah sampah kan
telah begitu banyak.”
Dahiku mengernyit. Gadismu berlagak sok
dewasa. Suaranya menyerap pita suaraku yang akhirnya hanya menaikkan kedua
bahu. Tiba-tiba ia berlari sambil tertawa. Menertawakan aku. Hey, ia seperti
anak nakal yang mengerjaiku! Begitukah ia denganmu? Jangan merasa ini sebuah
perbandingan. Hanya pertanyaan.
Dari
jarak yang agak jauh, sekitar seratus meter, kontrakanku sudah terlihat begitu
jelas, menjulang seperti istana berhantu. Di lantai dua. Sepi. Lampu padam.
Maksudnya bukan daerahku yang lampunya padam, tetapi kontrakanku. Sudah
beberapa hari ada saluran kabel yang rusak. Akan berbahaya jika lampu
dinyalakan begitu saja dan belum ada satupun para pengontrak yang bisa
memperbaiki. Untuk membayar tukang listrik, kami berpikir berulangkali, akhir
bulan, keuangan sedang menipis. Ada sedikit perasaan lega menyelusup diantara dada dan bajuku yang basah.
Pasti kekasihmu ketakutan dan urung menginap di tempatku.
”Wow,
menakjubkan!”
”Apanya?”
”Itu.”
”Kamarku?”
”Kontrakanmu.”
”Iya
maksudnya itu. Seperti rumah hantu kok.”
”Itu
dia. Aku suka film horor.”
Jo,
Kawanku yang baik. Kau jejali apa kekasihmu yang manis ini? Hingga didalam
dirinya bahkan di bulatan matanya tidak sedikitpun tersirat rasa canggung
ataupun malu. Kikuk saja rasanya hanya ada di aliran darahku. Ia melangkah
begitu tenang. Santai. Sambil mengagumi kamar kontrakanku. Yang kata temanku
seperti rumah burung. Burung dara.
”Silakan
naik dulu.”
Ia
meniti tangga pelan dengan tangannya menikmati serat kayu sebagai pegangannya.
Sementara aku masih memarkir sepeda tercintaku. Dan memeluk bola tersayang
kemudian mengikuti langkahnya. Untung ponselnya anti
air dan menghasilkan cahaya yang cukup terang. Di kegelapan seperti itu wajahnya begitu seksi.
Aku teringat wajahmu. Dan tersenyum.
Jo,
kau percaya padaku. Aku samasekali tidak tertarik pada kekasihmu. Sedikitpun.
Hanya saja, maaf, aku tidak bisa melupakannya. Jangan berprasangka dulu. Tidak
bisa melupakan belum tentu karena kesan yang begitu indah. Bisa juga karena
kesan buruk, atau kesan aneh, dan langka. Itulah yang kualami bersama
kekasihmu. Kawan, dengarkan sampai selesai. Jangan marah dulu.
Kamarku,
kau tahu, tidak selebar kamar kosmu. Hanya cukup untuk tidur, membaca, dan
mengundang maksimal 4 orang saja untuk menemaniku main game atau minum kopi.
Itupun mereka harus rela dengan lapang dada untuk berdesakan pantat dan kaki.
”Kamarmu
sebenarnya tidak sempit-sempit amat, tapi kamu tidak pandai menata buku.”
katamu waktu itu. Ya. Benda berlembar-lembar itu memang hanya kuletakkan
seadanya. Di lantai. Bagaimana lagi, almariku telah penuh oleh pakaian. Kalau
hanya pakaianku tidak apa. Begitu menjengkelkan jika almari dihuni pakaian
berjejal tanpa lipatan. Dan itu bukan pakaianku. Bagi yang pernah meninggalkan
barang apaun di sini. Tolong di ambil daripada nanti kubuang atau kubakar.
Kekasihmu
begitu saja mengambil handuk yang tergantung dekat almari itu. perlahan
ditempelkan pada wajahnya. Kemudian tanpa kuduga, ia mencopot jilbabnya! Jo,
kawanku sayang, tolong percaya padaku. Ini bukan aku yang meminta. Tetapi keinginannya
sendiri. Saat itu aku benar-benar membeku di sudut kamar. Dekat pintu. Ia
meminta maaf. Kemudian menanggalkan baju dan aku memilih keluar kamar.
Jo, begitukah juga ia denganmu? Aku rasa
itu bukanlah masalah jika di depannya adalah kau. Meski bukan suami, kau
kekasihnya. Tidak perlu merasa bersalah, toh ia yang menyediakan diri untukmu.
Tetapi itu, Jo, itu, kain di kepalanya. Ah. Sesungguhnya tidak hanya masalah
kain yang tanggal dari kepala dan nampak rambut basah. Tetapi seluruhnya. Seluruh
kain yang menutup kulitnya. Seluruh Putri-mu!
Aku
berlari kebawah. Menadah air hujan. Dan kuminum tetesannya mentah-mentah.
Aku
tidak tahu, ketika mendengar cerita ini kau tertawa atau justru mengamuk
seperti singa lapar. Atau
mungkin sudah ingin melemparkan cangkir serta menyemburkan kopi hitam pekatnya?
Silakan saja. Tetapi mungkin lebih baik jika telingamu sabar menanti
pungkasannya. Dan kau menurut.
Saat
kutunggu beberapa detik dan aku sadar bahwa tidak mungkin kawanmu ini semalaman
mengenakan baju basah. Meski kulitku setebal bambu, tapi aku bukan bambu.
Sebentar lagi mungkin kulit ariku mengelupas. Begitu dingin malam itu.
Kuberanikan masuk kamar. Jantungku berdebar. Berdebur. Dengan sedikit cahaya
dari pintu, kulihat ia telah berbaring dikasur memunggungiku. Ia mengenakan
bajuku, Kawan, dan itu bukan aku yang meminta.
Andai
aku lelaki buaya, pasti sudah kusergap perempuan itu dari belakang. Terlebih
dengkurannya terdengar begitu halus. Membuat siapa saja ingin mendengarnya,
berulangkali. Seperti sebuah kedamaian
di atas langit, dekat matahari, dengan selimut mendekapnya lembut. Mana ia
peduli di belakang punggungnya seorang pemuda sedang menatap sebab ia ingin
tidur di tempat tidur itu. Tetapi aku tidak berhak. Ia kekasihmu.
Malam
rupanya berlangsung begitu lambat, Kawan. Dan itu begitu menyiksaku. Untung di
kamarku selalu tersedia kompor elektrik dan kopi hitam serta gula. Jadi tidak
begitu murunglah aku saat itu. meskipun tak dapat kupungkiri, bahwa kopi di
cangkir malam itu seperti minuman keras yang kuharap dapat memanipulasi otakku
sebentar saja. Kelinglunganku belum sembuh hingga pagi tiba. Kutunggu kekasihmu
bangun, dan ingin kudengar kalimat pertamanya. Adakah ia merasa bersalah
padaku? Akan minta maaf mungkin? Atu mengucapkan kalimat lain?
Kawan,
pukul tujuh pagi kekasihmu menggeliat seperti ulat yang daun tempatnya diam
terusik. Ia menggeliat sebentar. Mungkin dalam tidur ia merasa kecapekan. Aku
masih diam. Tak berani kubangunkan ia. Tak tahan pula jika kubiarkan lama-lama.
Bagaimanapun, di kepalaku kau masih bercokol dan tidak mau pergi. Tolong,
bangunkan kekasihmu, ajak ia pergi. Kau tak ingin membiarkan fantasi di
kepalaku berjalan sesukanya, kan? Tak lama, ia membuka mata. Dan menatapku
sambil mengucek mata. Bibirnya tersenyum.
”Selamat
pagi.”
Aku
tidak menyambut ucapannya. Mungkin karena dongkol, mungkin karena malu, mungkin
karena jantungku berdebar tidak berirama. Keakasihmu mengangkat kepalanya,
duduk perlahan, dan beranjak dari tempat tidur. Menghampiriku.
Kau
tahu? Seandainya bisa, aku memilih pingsan saja saat itu. Baru kusadari bahwa
kekasihmu hanya mengenakan bajuku bagian kemeja saja. Sedang kakinya –yang jika
tidak tertutup kain ternyata tampak begitu jenjang. Dan gila kalau mataku tidak
melihat apa-apa. Tetapi sungguh, kau harus percaya. Aku hanya diam. Hanya diam.
Sementara perempuanmu tiba-tiba menelusuri kulit tubuhku dengan tangan
mungilnya. Seluruhnya.
”Jauhi
aku dan pergi dari sini.”
Sungguh,
Kawan. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Terlebih padamu.
Meyakinkan bahwa semuanya berada di luar dugaanku. Perempuanmu memegang
kendali. Ia paksa aku tak bernafas beberapa waktu. Hanya beberapa waktu. Tidak
lama. Sudah itu ia beranjak dengan sendirinya. Tersenyum. Dan mengucapkan terimakasih
padaku.
”Maaf,
aku ambil uangmu.”
Kuraba
kantong celana pendek yang setiap saat kuletakkan dompet di sana. Ia tidak
main-main. Meskipun hanya dua puluh ribu, ia membuatku tak dapat makan hingga
awal bulan tiba.
Ia
meninggalkan kamar kontrakanku. Dengan pakaiannya semalam. Dan dengan kain
penutup rambutnya yang dikenakan begitu rapi meski aku tahu masih agak basah.
Tak kuucapkan apa-apa lagi padanya. Tak ia ucapkan sepatah kata pun padaku.
Mungkin
konyol jika kukatakan aku sangat terpukul. Sejak malam itu, selalu kubayangkan
seorang perempuan tidur mendengkur lembut di ranjangku. Terlebih ketika hujan,
seolah kulihat seseorang membuka penutup kepala dan dengan handuk mengelap
basah rambutnya. O ya, mengenai uang itu, lupakan saja. Atau memang seharusnya
tak perlu kuceritakan semua padamu?
Maka
kupungkasi cerita ini. Sebelum kau benar-benar membunuhku. Begini saja, matamu
telah begitu merah, otot menegang, dan dengan begitu keras cangkir kopimu
menghantam pelipis kepalaku. Pyar. Pecah sudah.
Kledungbuntu, 15 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar