Sabtu, 18 Mei 2013

Ranjau, Ada yang Mengalir Di Kamarku


Kau boleh marah, Kawan. Tapi inilah yang kualami dan akan kuceritakan. Cuci dulu mukamu, lalu seduh kopi panas. Siapa tahu di tengah cerita kau perlu ketenangan dan membutuhkan sesuatu untuk dilemparkan padaku. Cangkirmu akan begitu mudah membuatku terluka.
          Tempohari, kau tahu, hujan turun begitu deras. Saat itu kuajak kau bermain sepakbola di tanah lapang yang sedikit berumput di bagian samping kampus kita. Toh, tidak terlalu jauh baik dari kontrakanku maupun tempat kosmu. Aku telah begitu memelas merengek padamu seperti balita minta susu, tetapi kau menolak. ”Gila, hujan begini, malam-malam lagi. Mau nyari apa kamu?” ceracaumu di telepon. Meski aku tahu, bukan hujan alasanmu. Kau selalu menolak pergi jika tidak punya uang. Jangan mengelak. Berapa lama kita bersama? Kau tahu tentangku, aku tahu tentangmu. Dan aku malas berdebat denganmu meski hanya untuk meyakinkan bahwa kau tahu sendiri, ajakanku ini tidak membutuhkan sepeserpun uang. Kau tetap mengelak. Maka kumasukkan bola pada keranjang dan bersepeda sendirian.
            Di lapangan. Tepatnya ditempat becek yang aku suka menyebutnya lapangan. Ricik air begitu damai turun dari langit dan berrdesak di antara rumputan. Sedikit cahaya dari gedug samping membuat percikannya berkilau. Inilah yang kusuka. Sebentar lagi tubuh dan gesit kakiku akan bersatu dengan katak yang berlompatan di antaranya.
            Ketika aku mulai bermain bola, belum kulihat siapa pun di sekitar lahan itu. Hanya sesekali mobil dan sepeda motor ngebut sambil di atasnya sepasang kekasih saling bermanja. Itu pun nampak dari jauh. Selebihnya senyap. Aku semakin bahagia sebab tak ada yang mengusik fantasiku bermain bola, menjadi seperti idolaku, Gerrad.
            Saat itulah, Kawan. Seorang perempuan dari kejauhan berlarian membawa payung. Kakinya sedikit tergesa, maka langkahnya menghasilkan percik-percik putih, yang aku membayangkan seperti air sisa cuci muka gadis porselin pada iklan-iklan sabun pencuci muka. Perempuan itu memangil namaku. Aku terpana sebentar. Tapi selebihnya tidak. Sebab aku tahu, ia Putri. Kekasihmu yang sering kau ceritakan padaku itu.
            Jangan marah dulu. Tetapi maaf. Sungguh aku tidak tertarik. Bukan karena dia tidak cantik. Bukan. Tetapi karena bagiku, dia bukan lagi misteri karena sudah terlalu sering kau narasikan tentangnya di depanku. Ya. Dia cantik, lesung pipinya begitu menonjol, wajahnya riang dan suaranya renyah. Tetapi aku pikir, masih lebih menarik ceritamu daripada objek yang kau ceritakan. Atau karena kau begitu pandai bercerita? Tiba-tiba ia ikut aku main bola dan mengajukan permohonan untuk menginap di kontrakanku.
            ”Nanti aku bilang Ranjau dulu.” Jawabku tergagap.
            Tentu saja. Yang kuingat kali pertama adalah wajahmu. Yang gagah dan mata setajam elang terbang. Tak mau juga aku jika nanti kau salah paham dan merubuhkan kontrakanku. Yang lebih membuatku terpana adalah, keberaniannya mengajukan permintaan itu. Kau tahu aku dan kekasihmu baru sekali bertemu itu pun lama sekali. Dan kali kedua ia meminta menginap begitu saja. Bukankah ini gila? –kau boleh tertawa. Aku memang satu-satunya jejaka di kelas kita, jadi perempuan menginap.... masih sedikit tabu bagiku. Tetapi, ya tidak apa-apa.
            Aku tidak bisa menolak, kekasihmu itu merajuk begitu cerdasnya. Ia tidak menggodaku. Sama sekali tidak. Jadi kau tenang saja. Cukup lama aku berpikir dan kebingungan, baru kali ini kepalaku berat terkena air. Bagaimana tidak? Setelah aku memperbolehkan –dengan sangat terpaksa- ia menginap di kontrakanku, ia melarangku untuk menceritakan semua itu padamu. Bayangkan. Ia membuat kami berdua menyimpan rahasia. Darimu. Kawan baikku! Kekasihnya sendiri!
            Baiklah. Mungkin kekasihmu –aku belum berani menyebutnya dengan nama Putri- sedang tidak ingin diganggu atau sedikit stres, sehingga yang ia lakukan pun sangat janggal bagi orang lain. Bodohnya, aku juga lupa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau memberitahumu. Dan tentu saja, kenapa tiba-tiba ia ingin menginap di kontrakanku? Atau karena kebetulan yang ditemuinya adalah aku? Atau... dia sedang ingin mencari suasana baru? Atau... atau... atau... Entahlah. Masih banyak lagi atau menyelusup di kepalaku seperti air yang terasa dingin. Sejenak terbersit akan terjadi kerenggangan janggal antara kau dan aku. Ah, semoga tidak.
            Setelah beberapa menit ia menjebakku dalam udara yang kosong dan beku –karena aku masih begitu bingung. Akhirnya aku menyerah juga dari serangan hujan. Aku menghampirinya di tepi lapangan yang sedang mengelap rok lebar selutut dengan celana ketat hitam warna hitam di dalamnya –kata orang namanya legging. Ia yang jongkok sambil membawa payung seperti jamur segera mendongak. Kulihat wajahnya telah basah sepenuhnya. Ia tertawa. Kekasihmu tertawa. Ia berdiri dan membuang payungnya.
            ”Sepertinya payung sudah tidak diperlukan lagi.” Katanya sambil tersenyum.
            Tentu saja, bukannya tadi ia juga berani bermain bola denganku tanpa payung? Kekasihmu aneh, Jo –namamu Ranjau, tetapi aku lebih suka memanggil nama belakang mu menjadi O. lebih praktis.
            Aku kikuk. Jalanan telah sepenuhnya terendam air. Membuatku merasakan sampah yang berseliweran. Memalukan. Kota kok serba sampah. Untung banjirnya hanya setinggi mata kaki. Coba kalau setinggi mata yang bukan kaki? Kekasihmu tertawa, Kawan. Ia tahu aku sedang ragu untuk mengeluarkan banyak suara. Ia mengikuti gerak mataku. Dan rupanya ia benar-benar punya banyak cadangan tawa. Ia memainkan roknya yang basah.
            ”Untuk apa dipikirkan? Sampah punya tempatnya sendiri –seperti burung, ingin bebas, jadi tak perlu takut kebanjiran.” ucapnya sambil menggodaku. Oh maaf, maksudnya nada suaranya seperti menggoda. Berbisik pada kalimat terakhir. Lirih. Aku tidak tergoda. Sungguh.
            ”Kalau mampat di selokan? Di sungai?”
            ”Apanya?”
            ”Sampahnya.”
            ”Ya salah manusia sendiri. Kenapa membuangnya di jalanan. Padahal rumah sampah kan telah begitu banyak.”
            Dahiku mengernyit. Gadismu berlagak sok dewasa. Suaranya menyerap pita suaraku yang akhirnya hanya menaikkan kedua bahu. Tiba-tiba ia berlari sambil tertawa. Menertawakan aku. Hey, ia seperti anak nakal yang mengerjaiku! Begitukah ia denganmu? Jangan merasa ini sebuah perbandingan. Hanya pertanyaan.
            Dari jarak yang agak jauh, sekitar seratus meter, kontrakanku sudah terlihat begitu jelas, menjulang seperti istana berhantu. Di lantai dua. Sepi. Lampu padam. Maksudnya bukan daerahku yang lampunya padam, tetapi kontrakanku. Sudah beberapa hari ada saluran kabel yang rusak. Akan berbahaya jika lampu dinyalakan begitu saja dan belum ada satupun para pengontrak yang bisa memperbaiki. Untuk membayar tukang listrik, kami berpikir berulangkali, akhir bulan, keuangan sedang menipis. Ada sedikit perasaan lega menyelusup diantara dada dan bajuku yang basah. Pasti kekasihmu ketakutan dan urung menginap di tempatku.
            ”Wow, menakjubkan!”
”Apanya?”
            ”Itu.”
            ”Kamarku?”
            ”Kontrakanmu.”
            ”Iya maksudnya itu. Seperti rumah hantu kok.”
            ”Itu dia. Aku suka film horor.”
            Jo, Kawanku yang baik. Kau jejali apa kekasihmu yang manis ini? Hingga didalam dirinya bahkan di bulatan matanya tidak sedikitpun tersirat rasa canggung ataupun malu. Kikuk saja rasanya hanya ada di aliran darahku. Ia melangkah begitu tenang. Santai. Sambil mengagumi kamar kontrakanku. Yang kata temanku seperti rumah burung. Burung dara.
            ”Silakan naik dulu.”
            Ia meniti tangga pelan dengan tangannya menikmati serat kayu sebagai pegangannya. Sementara aku masih memarkir sepeda tercintaku. Dan memeluk bola tersayang kemudian mengikuti langkahnya. Untung ponselnya anti air dan menghasilkan cahaya yang cukup terang. Di kegelapan seperti itu wajahnya begitu seksi. Aku teringat wajahmu. Dan tersenyum.
            Jo, kau percaya padaku. Aku samasekali tidak tertarik pada kekasihmu. Sedikitpun. Hanya saja, maaf, aku tidak bisa melupakannya. Jangan berprasangka dulu. Tidak bisa melupakan belum tentu karena kesan yang begitu indah. Bisa juga karena kesan buruk, atau kesan aneh, dan langka. Itulah yang kualami bersama kekasihmu. Kawan, dengarkan sampai selesai. Jangan marah dulu.
            Kamarku, kau tahu, tidak selebar kamar kosmu. Hanya cukup untuk tidur, membaca, dan mengundang maksimal 4 orang saja untuk menemaniku main game atau minum kopi. Itupun mereka harus rela dengan lapang dada untuk berdesakan pantat dan kaki.
            ”Kamarmu sebenarnya tidak sempit-sempit amat, tapi kamu tidak pandai menata buku.” katamu waktu itu. Ya. Benda berlembar-lembar itu memang hanya kuletakkan seadanya. Di lantai. Bagaimana lagi, almariku telah penuh oleh pakaian. Kalau hanya pakaianku tidak apa. Begitu menjengkelkan jika almari dihuni pakaian berjejal tanpa lipatan. Dan itu bukan pakaianku. Bagi yang pernah meninggalkan barang apaun di sini. Tolong di ambil daripada nanti kubuang atau kubakar.
            Kekasihmu begitu saja mengambil handuk yang tergantung dekat almari itu. perlahan ditempelkan pada wajahnya. Kemudian tanpa kuduga, ia mencopot jilbabnya! Jo, kawanku sayang, tolong percaya padaku. Ini bukan aku yang meminta. Tetapi keinginannya sendiri. Saat itu aku benar-benar membeku di sudut kamar. Dekat pintu. Ia meminta maaf. Kemudian menanggalkan baju dan aku memilih keluar kamar.
            Jo, begitukah juga ia denganmu? Aku rasa itu bukanlah masalah jika di depannya adalah kau. Meski bukan suami, kau kekasihnya. Tidak perlu merasa bersalah, toh ia yang menyediakan diri untukmu. Tetapi itu, Jo, itu, kain di kepalanya. Ah. Sesungguhnya tidak hanya masalah kain yang tanggal dari kepala dan nampak rambut basah. Tetapi seluruhnya. Seluruh kain yang menutup kulitnya. Seluruh Putri-mu!
            Aku berlari kebawah. Menadah air hujan. Dan kuminum tetesannya mentah-mentah.
            Aku tidak tahu, ketika mendengar cerita ini kau tertawa atau justru mengamuk seperti singa lapar. Atau mungkin sudah ingin melemparkan cangkir serta menyemburkan kopi hitam pekatnya? Silakan saja. Tetapi mungkin lebih baik jika telingamu sabar menanti pungkasannya. Dan kau menurut.
            Saat kutunggu beberapa detik dan aku sadar bahwa tidak mungkin kawanmu ini semalaman mengenakan baju basah. Meski kulitku setebal bambu, tapi aku bukan bambu. Sebentar lagi mungkin kulit ariku mengelupas. Begitu dingin malam itu. Kuberanikan masuk kamar. Jantungku berdebar. Berdebur. Dengan sedikit cahaya dari pintu, kulihat ia telah berbaring dikasur memunggungiku. Ia mengenakan bajuku, Kawan, dan itu bukan aku yang meminta.
            Andai aku lelaki buaya, pasti sudah kusergap perempuan itu dari belakang. Terlebih dengkurannya terdengar begitu halus. Membuat siapa saja ingin mendengarnya, berulangkali.  Seperti sebuah kedamaian di atas langit, dekat matahari, dengan selimut mendekapnya lembut. Mana ia peduli di belakang punggungnya seorang pemuda sedang menatap sebab ia ingin tidur di tempat tidur itu. Tetapi aku tidak berhak. Ia kekasihmu.
            Malam rupanya berlangsung begitu lambat, Kawan. Dan itu begitu menyiksaku. Untung di kamarku selalu tersedia kompor elektrik dan kopi hitam serta gula. Jadi tidak begitu murunglah aku saat itu. meskipun tak dapat kupungkiri, bahwa kopi di cangkir malam itu seperti minuman keras yang kuharap dapat memanipulasi otakku sebentar saja. Kelinglunganku belum sembuh hingga pagi tiba. Kutunggu kekasihmu bangun, dan ingin kudengar kalimat pertamanya. Adakah ia merasa bersalah padaku? Akan minta maaf mungkin? Atu mengucapkan kalimat lain?
            Kawan, pukul tujuh pagi kekasihmu menggeliat seperti ulat yang daun tempatnya diam terusik. Ia menggeliat sebentar. Mungkin dalam tidur ia merasa kecapekan. Aku masih diam. Tak berani kubangunkan ia. Tak tahan pula jika kubiarkan lama-lama. Bagaimanapun, di kepalaku kau masih bercokol dan tidak mau pergi. Tolong, bangunkan kekasihmu, ajak ia pergi. Kau tak ingin membiarkan fantasi di kepalaku berjalan sesukanya, kan? Tak lama, ia membuka mata. Dan menatapku sambil mengucek mata. Bibirnya tersenyum.
            ”Selamat pagi.”
            Aku tidak menyambut ucapannya. Mungkin karena dongkol, mungkin karena malu, mungkin karena jantungku berdebar tidak berirama. Keakasihmu mengangkat kepalanya, duduk perlahan, dan beranjak dari tempat tidur. Menghampiriku.
            Kau tahu? Seandainya bisa, aku memilih pingsan saja saat itu. Baru kusadari bahwa kekasihmu hanya mengenakan bajuku bagian kemeja saja. Sedang kakinya –yang jika tidak tertutup kain ternyata tampak begitu jenjang. Dan gila kalau mataku tidak melihat apa-apa. Tetapi sungguh, kau harus percaya. Aku hanya diam. Hanya diam. Sementara perempuanmu tiba-tiba menelusuri kulit tubuhku dengan tangan mungilnya. Seluruhnya.
            ”Jauhi aku dan pergi dari sini.”
            Sungguh, Kawan. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Terlebih padamu. Meyakinkan bahwa semuanya berada di luar dugaanku. Perempuanmu memegang kendali. Ia paksa aku tak bernafas beberapa waktu. Hanya beberapa waktu. Tidak lama. Sudah itu ia beranjak dengan sendirinya. Tersenyum. Dan mengucapkan terimakasih padaku.
            ”Maaf, aku ambil uangmu.”
            Kuraba kantong celana pendek yang setiap saat kuletakkan dompet di sana. Ia tidak main-main. Meskipun hanya dua puluh ribu, ia membuatku tak dapat makan hingga awal bulan tiba.
            Ia meninggalkan kamar kontrakanku. Dengan pakaiannya semalam. Dan dengan kain penutup rambutnya yang dikenakan begitu rapi meski aku tahu masih agak basah. Tak kuucapkan apa-apa lagi padanya. Tak ia ucapkan sepatah kata pun padaku.
            Mungkin konyol jika kukatakan aku sangat terpukul. Sejak malam itu, selalu kubayangkan seorang perempuan tidur mendengkur lembut di ranjangku. Terlebih ketika hujan, seolah kulihat seseorang membuka penutup kepala dan dengan handuk mengelap basah rambutnya. O ya, mengenai uang itu, lupakan saja. Atau memang seharusnya tak perlu kuceritakan semua padamu?

            Maka kupungkasi cerita ini. Sebelum kau benar-benar membunuhku. Begini saja, matamu telah begitu merah, otot menegang, dan dengan begitu keras cangkir kopimu menghantam pelipis kepalaku. Pyar. Pecah sudah.

            


Kledungbuntu, 15 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar