“Kamu mau anak laki-laki atau perempuan?”
“Apa saja.”
Sawitri, sepupuku, ia sedang hamil tua. Sudah tujuh bulan ia
tinggal di rumahku lantaran tak diijinkan emaknya tinggal di rumah selama janin
itu membesar di perutnya. Ah, tentu kalian mengerti apa sebabnya, tak seorang
lelakipun disebut Sawitri ketika semua orang, termasuk emak dan bapakanya
menanyakan siapa ayahnya. Dan memang Sawitri tak mengerti soal ini.
Saat itu malam hari. Tiba-tiba ia menggedor pintu rumah
kami. Aku dan simbah, yang memang
tinggal berdua saja di rumah sangat terkejut ketika melihat seorang perempuan
dengan baju koyak-moyak menangis tersedu di depan pintu. Suaranya parau dan
kepalanya menunduk dalam. Beberapa menit kami baru menyadari bahwa perempuan
itu adalah sepupuku, cucu simbah juga.
“Astaghfirullah, kamu kenapa? Siapa yang menyiksamu, Nduk?”
aku dan simbah terkejut, tak percaya
dengan penglihatan kami. Tentu saja, koyak-moyak baju Sawitri membuat kami
berpikir begitu. Manusia mana tega menyiksa perempuan separah itu?
“Masuk.” Bimbingku dan simbah.
Sawitri
belum mengucapkan apapun. Bahkan kakinya seperti sudah tak memiliki tenaga
untuk melangkah. Kami memapahnya dengan susah payah. Kami baringkan Sawitri di
atas dipan simbah yang bau balsem. Aku mengambilkan air hangat. Simbah
melepaskan baju Sawitri pelan-pelan.
“Ada apa kamu, Nduk?”
Sawitri menyembunyikan suaranya. Tatap matanya kosong dan
tak bergerak. Tetapi kami lega sebab napasnya sudah mulai teratur. Aku
mengelapkan kain basah dengan air hangat di kulitnya yang lebam dan terdapat
bercak darah serta belepotan tanah. Ia tak merasa geli padahal aku mengelap
bagian tertentu yang cukup sensitif. Lalu simbah
datang dengan mangkuk berisi param.
“Biar aku urut.” Katanya.
Sawitri masih tak bergerak. Kami tahu ia tak pingsan tetapi
pikirannya sedang tak ingin bertemu dengan siapapun. Termasuk aku dan simbah.
Ah, ada apa sebenarnya? Sepupuku itu gadis yang baik-baik saja menurutku.
Lalu
simbah mulai memijat. Dimulai dari ujung kaki. Pelan dan hati-hati sekali simbah menekankan jari-jarinya, takut
membuat Sawitri kesakitan terlebih menjerit. Lalu simbah menggeser tangannya ke paha, lalu ke bagian lebih atas lagi,
sampai bagian perut.
“Aauww!” Sawitri menjerit.
Sekali lagi simbah menekankan tanganya, dengan pelan.
“Auwww!” Sawitri
menjerit lagi. Lebih tak berdaya. Napasnya tak teratur lagi. Air matanya
sedikit tetapi terlihat basah di pangkal mata.
“Astaghfirullah.”
Kata simbah.
“Ada apa?”
Simbah menghela napas. Pandangannya
seperti orang kebingungan. Berulangkali ia mengucapkan istighfar. Lalu
beranjak. Lalu duduk lagi. Beranjak lagi. Duduk di samping Sawitri dan
memandang cucunya itu serta aku bergantian.
“Kenapa, Nek?”
Saat itu aku dan simbah
baru tahu bahwa Sawitri hamil. Baru beberapa minggu usia janinnya. Tentu tak
ada yang tak terkejut dengan berita seperti ini. seorang gadis tak bersuami
mengandung seorang anak.
Saat itu aku dan simbah hampir mengerti apa yang terjadi
sehingga Sawitri datang kemari. Ia melarikan diri dari rumahnya, di Ngasem,
yang memerlukan waktu tiga jam perjalanan dengan jalan kaki ke Pathok, desa
kami. Kami benar-benar tak mengerti mengapa tubuhnya koyak moyak. Namun
beberapa hari kemudian, setelah Sawitri sadar, ia memberitahukan pada kami
segala kejadiannya. Kami tercengang.
“Benar tak ada seorang pun menghamilimu?”
“Iya.” Sawitri mengangguk. Usianya baru tujuh belas.
Terlihat lugu.
“Benar, Nduk, kamu tak bohong?” Simbah mengulang
pertanyaaannya.
“Iya.” Sawitri lantas menunduk. “Tetapi orang-orang di desa
mengangapku membual, sehingga mereka tidak terima.” Lanjutnya. Lantas terisak.
Aku melihat lampu-lampu, aku melihat kegelapan di luar
melalui jendela, aku melihat gorden bergerak-gerak, aku melihat curut berlari
sembunyi-sembunyi menuju dapur, aku melihat jam, aku memikirkan banyak hal.
Dahulu kala pernah Siti Maryam dianggap hina oleh kaumnya
lantaran ia mengandung seorang bayi tetapi tak ada seorang suami di sampingnya.
Namun itu kan jaman Siti Maryam. Jaman Nabi Isa. Jaman segala yang ajaib
masih ada. Mukjizat bagi nabi dan rosul. Nah, sekarang? Kepalaku pening dan
berkunang-kunang. Kamu sedang berbicara jujur atau mengelabuhi kami, Wit?
***
“Kamu harus rewang. Ndak enak sama tetangga nek
kamu ndak kelihatan.”
Sawitri merengut. Bibirnya barangkali bisa dikuncir. Matanya
seperti lampu redup. Ia tak menjawab perintah emak. Ia meletakkan dengan kasar
buku-buku yang sejak tadi menyibukkannya.
“Wit, kamu dengar emak ndak?”
Sawitri masih tak menghiraukan.
“Wit??”
“Iya!” Ucapnya ketus. Belum menoleh kepada emak.
Sawitri punya alasan mengapa ia bersungut-sungut dan malas
untuk rewang. Esok hari ia kan mengikuti try out di SMA. Tentu ia perlu belajar dan menjaga fisik supaya tak
terlalu capek. Tetapi sayangnya, ia mesti mengalihkan sebagian tenaganya untuk
hal lain yang tidak ia sukai. Rewang.
Sebenarnya bukan saat ini saja ia tak menyukai segala hal
yang berkaitan dengan desanya. Ia sering harus mengorbankan kepentingannya
sendiri untuk memenuhi keinginan emaknya supaya ia turut dalam
kegiatan-kegiatan desa. Pengajian, rewang, kerja bhakti, dan lainnya.
Padahal ia lebih senang ikut kegiatan di sekolah, yang bagi ia, oranglain tidak
ikut campur tentang kehidupannya. Berbeda dengan di desa yang mudah memancing
gosip dan bikin panas telinga.
Emak masih berdiri di pintu kamar. Beliau tak membiarkan
Sawitri berlama-lama ganti baju. Beberapa menit kemudian mereka berjalan di keremangan
malam, melewati jalan aspal yang sudah rusak, dengan lampu jalan seadanya,
beberapa lampu kuning yang diperkirakan hanya 5-10 watt. Tak lama, sampailah
mereka di sebuah rumah dengan cahaya lampu paling gemebyar di antara yang lain.
Ada deklit, ada kursi-kursi, ada salon besar dengan suara lagu dangdut yang
memekakkan telinga.
Sawitri melihat sekeliling. Itu adalah pernikahan temannya
sendiri. Teman masa kecilnya, Susi. Usia Susi tiga tahun di bawah Sawitri.
Tetapi ia menikah dahulu. Karena setelah lulus SMP ia tak mau melanjutkan
sekolah, melainkan langsung bekerja dan menikah. Begitu cita-citanya waktu
kecil, seingat Sawitri.
Ya. Sawitri dan teman-temannya sering mengucapkan mimpi
serta cita-citanya, dahulu. Sawitri ingat Romlah, ia ingin menjadi guru
supaya dihormati, tetapi kini ia jualan di pasar dan sudah tak ingat
cita-citanya. Neneng kepingin jadi
dokter, tetapi sekarang lebih sering ke sawah karena ia membantu suaminya yang
seorang kadus, yang setiap hari mengurusi bengkok mereka. Lilik yang
bercita-cita jadi biduan, dan keinginannya tercapai beberapa tahun kemudian,
tetapi ia hamil duluan dan tak melanjutkan karirnya itu. Sawitri sendiri tak
mengerti mau jadi apa. Yang pasti ia tak ingin hidup di desa.
Sawitri melihat beberapa orang yang dikenalnya sedang sibuk
dengan pekerjaan masing-masing. Beberapa teman lelaki mapun perempuannya, di
salah satu sudut sedang berjaga laden dan mengantar berkat.
Pakaian mereka rapi. Mereka sedang bercanda. Entah meilhat Sawitri atau tidak
tetapi Sawitri berpura-pura tak tahu dan terus mengikuti langkah emaknya.
“Kok ikut ke sini?
Kamu di sana saja, sama cah enom-enom yang lain. Laden!”
“Ndak mau.”
“Kok ndak mau to?
Di sini kotor. Lagi pada racik-racik. Nanti kamu batuk-batuk soalnya
banyak asap pawon juga.”
“Ndak apa-apa.”
“Pancen bocah iki angel kandanane.”
Sawitri lalu duduk. Dekat emaknya. Ia memegang pisau dan
membantu ibu-ibu yang lain memotong tempe, kentang, tahu, dan bahan lainnya.
Sawitri merasa capek namun ditahannya. Emaknya beranjak dan sibuk adang
nasi. Sawitri lantas melamun. Banyak pikiran melintas di kepalanya. Sesekali ia
melihat pawon, melihat dandang, melihat pisau, melihat padhi-padhi
yang di luar, melihat apapun. Ah, ia ngeri jika teringat kejadian yang menimpa
sepupunya beberapa bulan lalu.
Asih, sepupunya itu, menikah. Dapur keluarga Asih luas
sehingga tak memerlukan rumah lain untuk memasak, termasuk adang nasi.
Namun beberapa orang memperingatkan supaya adang nasi di rumah lain
saja, jangan di rumah sendiri, sebab jika dilakukan, akan segera terjadi
bencana. Keluarga Asih yang berpendidikan tinggi tak percaya pada hal semacam
itu. Mereka melanggar peraturan tak tertulis itu. Dan belum genap satu hari
Asih menikah, mobil keluarga suami Asih kecelakaan saat pulang dari rumahnya.
Kedua mertuanya meninggal. Keluarga Asih menangis tak henti-henti. Mereka
menyesal tak menuruti nasihat orang desa.
Asih menghela napas. Tiba-tiba ia merinding. Diletakkan
pisau di pangkuannya. Ia mengelap keringat dengan
punggung
tangan, lalu membenarkan kunciran rambut sebahunya.
“Nduk, kalau mau
pulang dulu ndak apa-apa.” Beberapa jam kemudian emak menghampirinya.
Sawitri mengangguk. Ia tahu sebenarnya emak baik. Hanya
caranya saja kadang sedikit kasar dalam menasehati.
“Berani pulang
sendiri to?”
“Iya.”
Emak mengantar Sawitri sampai pintu depan. Ia mencium tangan
emak. Emak mengucapkan Hati-hati.
“Eh, Wit, ndak lupa
pesen emak to?”
“Ndak lupa, Mak.
”Sawitri menggeleng. Tetapi ia tahu bahwa ia sudah melanggar pesan emak. Dan
tak tahu mesti percaya atau tidak pada semua itu. Ia meletakkan piasu di
pangkuan tadi. Padahal emak melarangnya. “Bisa kena bencana.” Kata emak. Ia
berjalan saja. Sedikit terganggu. Tetapi lantas melupakannya.
***
“Apa maksudmu Nduk?”
“Saya ndak boleh ikut ujian.”
“Kenapa?”
Di ruang tamu dengan lampu sepuluh watt itu wajah Sawitri
terlihat pucat. Bibirnya kelabu.
“Kenapa??” Bentak emak lebih keras.
Sawitri menangis. Bapak bingung. Emak kalap. Beberapa
perabot yang ada di ruangan itu menjadi korban. Hiasan keramik pecah berserak
di lantai.
“Ana apa tha Nduk, ngomong…” Emak memegang bahu
Sawitri, mengguncangnya agak kencang.
Bu Indah, seorang guru yang duduk di samping Sawitri, yang
kebetulan tetangga, sengaja datang atas permintaan Sawitri untuk mengatakan
berita ini kepada kedua orang tuanya. Bu Indah berusaha menenangkan
Emak.
Setelah suasana tenang ia mulai berbicara.
“Begini, Bu,“ Kalimat Bu Indah dengan terputus-putus. “Mmm,
Sawitri tidak bisa mengikuti Ujian Nasional, karena bagaimanapun ini sudah
peraturan…. Mmm, begini, kata teman-teman, ah, tidak, sudah di tes juga, bahwa
ternyata, Sawitri, mengandung, ah, ya, mengandung, makanya kami tak bisa
menolong.” Bu Indah lantas menunduk. Menghela napas, dalam sekali. Sawitri
terisak. Bapak berdiri. Emak melotot sebentar lalu lemas.
Udara dingin menyergap kulit mereka masing-masing. Tetapi
darah mendidih entah hawa panas dari mana. Baik emak maupun bapak tak ada yang
mengucapkan apapun. Mereka cuma bisa mendengarkan ucapan Bu Indah. Mereka
berkata sedikit saja, yakni meminta Bu Indah supaya tak mengatakan ini kepada
warga desa. Mereka belum siap dengan guncangan-guncangan di telinga.
Namun percuma permintaan itu. Di luar berdiri Sarmin dan
beberapa orang lainnya yang hendak mengajak bapak berangkat ronda. Begitu
melihat di dalam ada tamu, mereka tak segera pergi tetapi malah bertahan di
pintu. Mereka mendengar semuanya, tak terkecuali. Dasar manusia, mereka
langsung heboh dengan mulutnya sendiri.
Orang yang kebetulan lewat depan rumah jadi tahu. Tetangga
yang sedang istirahat di dalam rumah jadi tahu. Semua orang yang tak tahu jadi
tahu. Semua orang keluar rumah dan mencari tahu.
Halaman rumah Sawitri tiba-tiba ramai oleh beberapa orang.
Satu dua ada yang membawa obor. Menjadikan suasana ngeri seperti dalam film
kolosal zaman dulu. Beberapa ada yang mulai berteriak. Lalu diikuti yang lain.
Kemudian suara mereka serempak.
“Sawitri keluar!”
“Sundal keluar!”
“Desa iki dadi reged!!”
“Oo dasar pelacur, metu, metu..!!!”
Bapak, emak, Sawitri, dan Bu indah belum menampakkan diri.
Mereka tak tahu bahwa kejadiannya akan seperti ini. Mereka sedang menyiapkan
tenaga untuk menghadapi kaum yang sedang dilanda amarah itu. Mereka berdebar
memutar gagang pintu, dan keluarlah. Orang di depan berteriak semakin kencang.
“Usir-usir!!”
“Obong, obong!!”
“Usir, usir!!”
Orang-orang semakin kalap dengan teriakan mereka. Keluarga
Sawitri tak diberi kesempatan berbicara apapun. Mereka seperti ada di tengah
banjir dan tak dapat lari kemanapun. Dan mereka mengerti, sekencang apapun mereka berteriak,
suara hanya akan menjadi cacing yang diinjak-injak kemudian dibuang. Tak
dipedulikan. Maka, mereka menyerah.
Tak ada yang meyadari bagaimana prosesnya tiba-tiba Sawitri
sudah berada di tengah massa itu. Ia ditarik ke sana kemari. Seperti bola
tendang. Bajunya ditarik ke sana kemari, jadi robek. Beberapa tangan memukul atau menampar dengan kasar. Sawitri tak
berdaya. Lalu menurut saja ketika seseorang menarik tangannya, menyelamatkannya
dari orang-orang tak sadarkan diri itu. Entah siapa Sawitri tak kenal. Ia
disuruh pergi dari sini, lari sekencang-kencangnya. Menuju kemanapun. Pokoknya
mencari perlindungan. Sawitri menurut. Massa kehilangan Sawitri. Juga
keluarganya.
***
Jam 12 malam. Aku menyalakan kompor, merebus air dalam
jumlah cukup banyak. Simbah di kamar
bersama Sawitri. Ini tepat sembilan bulan lebih sepuluh hari ia hamil. Dan
sudah saatnya sepertinya. Sejak dua hari lalu Sawitri merasa njarem di
perutnya. Kakinya bengkak. Dan sore tadi kemaluannya mengeluarkan cairan yang
lantas membasahi kedua kakinya.
“Ia pasti melahirkan malam ini.” Kata simbah, yang sudah
puluhan tahun menjadi dukun bayi. Tetapi kini tak begitu laku, karena
orang-orang lebih percaya pada bidan dari pada dukun bayi.
Maka sejak sore aku dan simbah tak beranjak kemanapun. Kami
terus berada di samping Sawitri. Ia terus merintih sesekali menangis. Aku dan simbah
berusaha menguatkan tetapi ia terus saja mengeluarkan suara yang membuat dadaku
teriris. Pintu dan jendela kami tutup. Biarlah tetangga tak tahu, kami bisa
mengatasinya sendiri. Lagipula, mereka hanya akan mencemooh saja.
Sampai menjelang tengah malam Sawitri masih merintih. Kata simbah
sebentar lagi. Seingatku sejak sore simbah bilang begitu. Tetapi kali ini
katanya pasti.
“Dia udah mulai ngeden.” Kata simbah.
Makanya aku disuruh keluar dan menyiapkan air hangat. Selain
itu, aku juga tak tega melihat darah yang pasti akan keluar sangat banyak. Dan
sedikit kotoran, yang beberapa kali keluar setiap kali Sawitri ngeden.
Kata simbah.
Sudah satu jam lebih aku di luar kamar. Air hangat sudah
siap. Aku gemetar dan tak bisa duduk dengan tenang. Kakiku tak bisa diajak
diam. Mondar-mandir saja dari tadi. Ah, dadaku lebih capek lagi. Gemetar yang
berlebihan. Kulihat jam dinding lagi. Belum ada suara bayi. Belum ada. Lama
sekali?
Lalu aku mondar-mandir lagi. Menuju dapur lagi, memastikan
bahwa airnya masih panas sehingga aku tak perlu merebus lagi. Saat aku berjalan
hendak ke kakus karena saking gemetarnya sehingga perut melilit, kudengar suara
gaduh di kamar, Sawitri menjerit tinggi lalu diam. Simbah kudengar samar
mengucapkan Alhamdulillah. Lalu Astaghfirullah yang yang tak diucapkan penuh.
Aku tak mendengar suara bayi.
Aku langsung berlari menuju kamar. Takut jika ada seuatu
yang tak diinginkan terjadi. Aku terseok-seok entah kenapa. Lalu pintu kubuka
dengan sedikit kasar. Aku melihat simbah mendekap makhluk kecil di dadanya. Simbah menggoyang-goyangkan tubuhnya
sedikit. Tangannya belepotan darah. Aku mendekatinya pelan. Aku melihat
Sawitri.
“Mbak, anakku laki-laki atau perempuan?”
Aku mendekati simbah. Aku terkejut. Sulit mesti bilang apa
pada Sawitri. Aku sendiri tak percaya. Tapi bagaimana lagi. Aku tak tahu,
benarkah ini?
“Mbak??”
Sawitri berusaha bangun. Tetapi jatuh lagi.
***
Sawitri duduk di kursi. Simbah
di samping kanannya. Di samping kanannya lagi aku. Seorang laki-laki, ah,
tidak, seekor jantan, seekor ular jantan, melingkar di hadapan kami bertiga.
“Rek, ibumu sudah mengijinkan kamu pergi.” Kata simbah. Sawitri tak berbicara.
“Carilah ayahmu. Ia sedang bertapa di Goa Lereng Gunung
Telamaya. Ia bernama Ki Hajar Salokantara.”
Sawitri memejamkan mata. Gemuruh dadanya kencang sekali.
“Nanti berikan ini pada ayahmu, ia pasti tahu bahwa kamu
adalah anaknya.”
“Apa ini?” Tanya ular itu. Sambil meraba benda lembut
dibungkus kain putih.
“Potongan rambut ibumu.” Jawab simbah.
Sawitri terjingkat. Tetapi ia tak mampu mengatakan apapun.
Ia hanya bisa melihat anaknya, seekor ular belang itu, yang ia namai Borek
karena sesuai dengan kulitnya, lalu menunduk lagi. Rasanya ia tak sanggup
menanggung semua ini.
Saat ia tahu anaknya adalah seekor ular, ia hampir bunuh
diri. Ia tak tahu mengapa bisa terjadi hal seaneh itu. Para tetangga menanyakan
ke mana bayi Sawitri, kok tahu-tahu perutnya sudah kempes. Simbah, aku, dan Sawitri menyembunyikan rahasia ini selama lima
tahun, dengan mengatakan bayi Sawitri mati. Dan memang sudah waktunya Borek tak
disembunyikan lagi, tetapi tidak di sini, ia harus mencari ayahnya, ia akan
bebas di sana.
“Simbah tahu dari mana soal seperti ini??”
Sawitri meledak dengan tangisnya, yang sejak tadi ia tahan
sekuat tenaga.
“Dia anakku, simbah tidak berhak memisahkan kami.”
Tetapi simbah tak menghiraukan Sawitri. Cuma aku yang
sesekali mengelus pundaknya. Lalu Borek mulai menggeliat dan bergerak menjauh.
Aku tahu ia tak sanggup melihat ibunya. Air matanya menetes, terus menetes.
Membasahi lantai dan tanah yang ia lewati. Basahnya menggenang. Entah kenapa
aku membayangkan sebuah rawa yang besar sekali.
BSB,
Februari 2013
*adaptasi Legenda Rawa Pening