Hari ini Ping ulang tahun. Semua teman
sekelas diundang ke rumahnya. Tak seorang teman pun yang tak senang jika
diundang ke rumah Ping. Tentu saja, masuk ke rumah Ping sama dengan tersesat di
istana roti! Ya, rumah Ping adalah sebuah bakery besar yang terletak di tengah
sebuah desa. Menarik sekali, kan? Bakery di tengah sebuah desa. Ayah Ping yang
menyulapnya. Ia jago membuat jutaan jenis kue. Dan tentu saja kuenya menarik,
karena setiap kue yang dibuat, bisa diseusaikan dengan kondisi dan permintaan
pembeli. Tidak percaya? Mari kita buktikan.
Di ruangan yang luas itu teman-teman
Ping menyebar kegirangan seperti semut yang tersesat di ladang gula. Mereka
girang mencicipi kue dengan bermacam jenis dan rasa. Dengan bermacam variasi
dan kegunaan. Ya, kegunaan. Unik, kan? Tentu saja, seperti yang kukatakan sejak
awal. Bakery ini sangat menarik.
Di sebelah kanan ruangan yang berukuran
kurang lebih 15x15 meter ini, berjajar lima meja bundar dengan diameter dua
meter. Di atas masing-masing meja, terdapat tumpukan kue dengan bermacam
varian. Di meja paling pojok dekat pintu masuk, tersusun muffin dengan taburan
kacang almon dan kacang mete di atasnya, menurut bisik-bisik pemilik bakery,
kue itu bisa membantu seseorang yang sedang bimbang. Atau rasanya yang gurih
dengan sentuhan sedikit manis, mampu membuat pikiran orang yang tadinya tegang
bisa lebih rileks.
Meja di sampingnya, tampak susunan
muffin juga. Namun dengan toping dan warna berbeda. Nampak krim dan buah-buah
segar di atas tiap muffin. Katanya sih, kue dengan buah-buah itu bisa
meningkatkan imajinasi siapapun yang memakannya. Ditambah rasa vanila lembut di
dalamnya, siapapun yang mencoba seperti sedang melayang di atas awan sembari
mendengarkan lagu surga yang sangat indah!
Dan tentu masih banyak lagi jenis kue
yang tersaji hari ini. Kue cokelat, siffon lemon, kue pandan, pai susu, dan
banyak lagi yang membuat liur rasanya terus-menerus menetes.
Di antara kerumunan teman-teman Ping yang
girang mencicipi kue, terlihat seorang anak perempuan yang cuma melamun saja
sambil duduk di tepi ruangan. Tangannya memainkan muffin fanila yang mungkin
sudah sejak satu jam lalu di pegangnya. Fla! Aduh, kenapa dia? Mukanya murung
sekali. Ia nampak tak berminat pada banyak hidangan yang tersedia. Padahal biasanya
ia paling girang jika ada makanan manis bertebaran di sekitarnya.
“Ada apa?” Tanya Magi, di mulutnya kue
cokelat penuh dan hampir keluar.
“Tidak apa-apa.” Jawab Fla acuh.
“Ah, tidak usah dipikirkan, Ping memang
seperti itu. Mudah marah. Darahnya tinggi, jadi ada apa-apa sedikit, darahnya
muncrat dari kepala sini.” Ucap Magi, sambil memperagakan bagaimana jika larva
muncul dari ujung kepala, seperti dimuntahkan dari perut bumi. Dia memang
seringkali berlebihan, dan biasanya, Fla peduli terhadap celotehan-celotehan
Magi yang aneh dan menyebalkan, namun sekali lagi, kali ini, tidak.
“Hmm, baiklah, aku paham.” Lanjut Magi.
Karena merasa tak bisa menghibur Fla,
maka ia menyingkir dan tak mau melewatkan kesempatan memanjakan lidah dan perutnya
dengan gratis. Kapan lagi kesempatan seperti ini akan muncul? Fla masih acuh,
memandang temannya berjalan menjauh.
Ada apa gerangan dengan Fla? Ya, semua
orang bisa menebak, mengapa muka Fla saat ini lebih kusut dari kaos kaki yang
seminggu lebih tak dicuci? Ya, semua orang paham!
Siang tadi, sebelum teman-teman datang,
Fla datang terlebih dahulu ke rumah Ping. Seperti biasa, ia tak pernah sungkan
berjalan ke sana kemari, menyusup ke sana kemari, ke dapur, ke ruang makan,
kamanapun. Untuk kali ini, ia punya niat mulia hendak membantu ayah Ping
menyiapkan pesta ulang tahun putra kesayangannya, namun ternyata, diluar dugaan
Fla, semua hidangan di pesta itu, bukan Ayah Ping yang memasak, melainkan Ping
sendiri! Apa? Fla hampir memuntahkan semua organ tubuhnya melalui mulut, ia
kaget betul. Ya, dia tahu bahwa Ping mahir sekali memasak seperti ayahnya, itu
sudah jaminan dunia akhirat. Kata ibu guru, air atap jatuhnya ke pelimbahan
juga. Kebanyakan, kemampuan atau sifat anak menurun dari orang tuanya. Meski
Fla tak yain betul, namun dalam kasus Ping dan ayahnya, ia tak meragukan
sedikitpun. Maka, karena sudah punya niat hendak membantu, jadi siapapun yang
masak bukan masalah baginya. Ia akan tetap membantu.
Saat Fla datang, Ping sedang menghias
kue-kue dengan buah-buahan, sembari menunggu kue lain yang masih di dalam oven.
Saat itu ayahnya sedang menata dengan rapi kue yang sudah siap dihidangkan. Dan
Fla tentu saja menawarkan diri, ia menawarkan tangannya dengan sangat tulus,
dengan sangat girang.
“Ini sudah hampir selesai, Fla. Kamu
duduk saja sambil nonton tivi.” Ucap ayah.
“Hm, tidak, Yah, aku akan merasa sangat
berdosa jika datang awal tetapi tak membantu apa-apa.”
Ayah tersenyum, Ping tak menyahut.
Mungkin Ping sudah mengetahui banyak tenatng Fla yang tak diketahui ayahnya.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Ayah
kemudian, “Tolong ambilkan botol sirup leci di kulkas, kemudian tuangkan di
mangkuk kaca besar yang sudah Ping siapkan di dapur, mangkuk itu sudah diisi
air, kamu tinggal menuangkan sirup itu dan menambahkan leci segar yang sudah
Ping siapkan di samping mangkuk.”
Ayah berbicara dengan cukup cepat.
Mereka keluarga yang biasa bekerja cepat sepertinya. Meski begitu, Fla merasa
tak kesulitan menghafal intruksi yang panjang itu, hanya mengambil sirup leci
di dalam kulkas, menuangnya, menambahkan buah, sudah. Mendengar intruksi itu,
Fla senang sekali, setidaknya, ia merasa berguna. Maka ia bergegas menuju
dapur, membuka kulkas, dan mendekati meja makan di mana terdapat mangkuk kaca
seperti yang dikatakan ayah. Sambil membuka botol, ia melirik Ping sambil
mengejek kecil sesekali.
“Ping, kamu akting sakit gigi ya? Awas
kalau sakit gigi beneran...”
Ping lagi-lagi tak menyahut. Tangannya
masih dengan cekatan memberi garnis pada kue-kue kecil manis buatannya. Fla
tidak peduli, ia tetap bersiul-siul, merasa didengarkan, padahal entah Ping
mendengarkan atau tidak. Yang jelas, muka Ping memang seperti baru saja
dimasukkan ke dalam oven.
“Ayah, dibawa ke mana ini? Es buah leci
sudah siap!” Ucap Fla setengah teriak. Ayah menyahut dari luar.
“Bawa ke depan, di tata di meja yang
sudah ayah sediakan.”
“Baik!!”
“Tidak usah.” Ping mencegah. Fla justru
tertawa terbahak-bahak. “Lho, sudah sembuh sakit giginya?” Godanya.
Ping tak menggubris gurauan Fla. Ia beranjak
dari depan oven, menuju ruang makan di mana Fla sedang merengek menawarkan
jasanya. Namun baru beranjak beberapa langkah, Fla sudah berada di pintu yang
menghubungkan ruang tamu dan ruang makan. Tangannya menyangga beban yang tentu tidak
ringan, sebuah mangkuk kaca berisi air dan sirup manis!
“Fla! Sudah dibilang tidak usah
diangkat, berat.” Ping berusaha mengambil bawaan Fla.
“Tidak, tidak berat, aku bisa.”
“Sudah dibilang, ini bukan pekerjaan
mudah.”
“Aku bisa.”
“Sudah sana kamu duduk saja.”
“Sudah dibilang aku bisa.”
“Sudah, ...”
Sudah bisa ditebak kan, mangkuk yang
sangat berat itu akhirnya meleset dari genggaman Fla yang memang tampak begitu
berat membawa beban. Mangkuk itu terlepas perlahan seperti seperti seseorang
melepas dengan pelan benda yang berminyak.
Tentu saja bunyi yang ditimbulkan tidak
pelan. Ayah tahu apa yang terjadi. Ia langsung berlari dari luar dan mehampiri
kedua remaja di dalam rumah yang sama-sama sok kuat dan bisa melakukan
segalanya. Ayah hanya memandang mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah, ayah
dan Ping memebersihkan tumpahan es buah di lantai, Ping tak mengijinkan Fla
membantu, ia menyuruh Fla duduk saja di ruang tamu, menunggu siapa tahu sudah
ada teman yang sudah datang. Dan ternyata, memang ada teman yang sudah datang,
beberapa teman, termasuk si Magi yang banyak bicara. Maka tersebarlah berita
mengenai perisiwa tak mengenakkan itu di tengah pesta beberapa jam kemudian.
“Harusnya kamu memberi hadiah di hari ulang
tahunku ini. Malah datang membuatku repot.” Ucap Ping, ketika Fla terpaksa
bersalaman dan mengucapkan ulang tahun.
Entah apa yang terjadi, namun Fla tahu,
kemarahan Ping hari ini tak sekedar karena ia menjatuhkan es buah. Melainkan
ada hal lain. Ya, ada hal lain. Tetapi, bukankah harusnya Fla yang marah, bukannya Ping? Namun Ping tak mau memperumitnya.
Ia membiarkan Ping mendendam padanya di hari ulang tahunnya. Ia tak peduli. Ia
tak peduli!
“Mau, muffin cokelat? Bisa mengurangi
depresi.” Ucap ayah, sambil menyodorkan sebuah kue manis berawarna cokelat. Fla
tersenyum.
Pesta berlangsung menyenangkan. Semua
teman Ping bergembira. Tentu saja kecuali Fla.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar