Selasa, 26 Agustus 2014

Aforisma Panjang


Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal
(GM)

Kutulis ini dengan keberanian yang kukumpulkan sejak lama. Meski sampai hari ini keberanian yang kukumpulkan belum cukup banyak, hingga gemetar hebat tak dapat kuhindarkan.

Aku seperti menonton sebuah pertunjukkan, di mana pemainnya adalah aku dan kamu. Kulihat di panggung mereka murung, memang sesekali tertawa, tetapi sesekali saja. Mereka senang saling membacakan atau mendengarkan cerita, atau membicarakan puisi dan cerpen yang baru saja dibuat. Saat seperti itu mereka tampak sebagai kawan dekat, atau kekasih. Namun pada saat lain, kemurungan melengkung seperti langit dan memantulkan wajah mereka di semua tempat. Dan satu sama lain saling diam dalam membaca.

Si perempuan membuka matanya seperti jendela di musim kemarau, sangat terang sampai ia tak bisa menyembunyikan apa-apa, juga cintanya. Dan si lelaki, adalah musim dingin yang tak berganti sepanjang tahun, ia membuka matanya. Tak ada yang terbaca, selain warna abu-abu yang bergerak pelan seperti mega, seperti hujan salju yang lebat.

“Aku tak bisa membacanya, ia sering menutup jendelanya tiba-tiba.” Gumam perempuan.

Pertunjukkan itu masih berlangsung sampai bertahun-tahun kemudian. Kaki lelaki itu lebih kuat dari pejalan manapun. Ia sering berjalan cepat tanpa menoleh. Si perempuan adalah pejalan lain yang tak pernah meninggalkannya, meski langkahnya sering tertinggal jauh dari si lelaki. Ia sering berhenti sejenak untuk istirahat, menambal sepatunya, menempel plester pada kulitnya yang luka. Menjadi pejalan harus tabah. Kerikil, batu kecil, dan jalan yang bercabang-cabang adalah kenyataan yang harus dihadapi. Gumamnya pada diri sendiri. Si lelaki masih berjalan dengan kakinya yang kuat.

“Sesekali aku tak ingin berjalan di belakangmu, tapi di sampingmu dan bergenggaman tangan denganmu.”

Si lelaki tidak keberatan. Tapi langkah mereka yang beriringan sering tampak tak sejalan.
Perempuan terus memandang pada lelaki, ingin menembus tatap matanya yang keras dengan segala upaya. Lelaki hanya berjalan saja. Menoleh baginya seperti peristiwa yang terjadi puluhan tahun sekali, sangat ditunggu-tunggu. Dan mata perempuan yang menunggu, tak tahu pada tahun keberapa akan mendapatkan.

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga.”

Jaminan apa yang bisa diberikan oleh perasaan yang sama?

Perempuan itu gemetar. Apa benar cinta harus selalu menampakkan dirinya? Mendesak dari bagian paling dalam. Menumbuhkan bunga-bunga kecil, kata-kata, atau keinginan kecil untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Namun pada lelaki tak tampak apa-apa. Barangkali cinta baginya bukan bunga-bunga atau pernik-pernik kecil seperti lampu di malam hari, tak harus gemerlap dan tampak oleh mata. Namun bagaimana keyakinan bisa tumbuh kuat hanya dari sebuah dugaan?

Perempuan menunduk. Lelaki duduk tegap.

“Bagian mana yang harus diperbaiki, Kasihku?”

Ada yang terasa berlubang. Namun keduanya hanya mengela napas. Membiarkan babak demi babak berlangsung baik. Tahun demi tahun berlalu dengan semestinya....


2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar