Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal
mungkin pula tak kekal
(GM)
Kutulis
ini dengan keberanian yang kukumpulkan sejak lama. Meski sampai hari ini keberanian
yang kukumpulkan belum cukup banyak, hingga gemetar hebat tak dapat kuhindarkan.
Aku
seperti menonton sebuah pertunjukkan, di mana pemainnya adalah aku dan kamu.
Kulihat di panggung mereka murung, memang sesekali tertawa, tetapi sesekali
saja. Mereka senang saling membacakan atau mendengarkan cerita, atau
membicarakan puisi dan cerpen yang baru saja dibuat. Saat seperti itu mereka
tampak sebagai kawan dekat, atau kekasih. Namun pada saat lain, kemurungan
melengkung seperti langit dan memantulkan wajah mereka di semua tempat. Dan
satu sama lain saling diam dalam membaca.
Si
perempuan membuka matanya seperti jendela di musim kemarau, sangat terang
sampai ia tak bisa menyembunyikan apa-apa, juga cintanya. Dan si lelaki, adalah
musim dingin yang tak berganti sepanjang tahun, ia membuka matanya. Tak ada
yang terbaca, selain warna abu-abu yang bergerak pelan seperti mega, seperti
hujan salju yang lebat.
“Aku
tak bisa membacanya, ia sering menutup jendelanya tiba-tiba.” Gumam perempuan.
Pertunjukkan
itu masih berlangsung sampai bertahun-tahun kemudian. Kaki lelaki itu lebih
kuat dari pejalan manapun. Ia sering berjalan cepat tanpa menoleh. Si perempuan
adalah pejalan lain yang tak pernah meninggalkannya, meski langkahnya sering
tertinggal jauh dari si lelaki. Ia sering berhenti sejenak untuk istirahat,
menambal sepatunya, menempel plester pada kulitnya yang luka. Menjadi pejalan
harus tabah. Kerikil, batu kecil, dan jalan yang bercabang-cabang adalah
kenyataan yang harus dihadapi. Gumamnya pada diri sendiri. Si lelaki masih
berjalan dengan kakinya yang kuat.
“Sesekali
aku tak ingin berjalan di belakangmu, tapi di sampingmu dan bergenggaman tangan
denganmu.”
Si
lelaki tidak keberatan. Tapi langkah mereka yang beriringan sering tampak tak
sejalan.
Perempuan
terus memandang pada lelaki, ingin menembus tatap matanya yang keras dengan
segala upaya. Lelaki hanya berjalan saja. Menoleh baginya seperti peristiwa
yang terjadi puluhan tahun sekali, sangat ditunggu-tunggu. Dan mata perempuan
yang menunggu, tak tahu pada tahun keberapa akan mendapatkan.
“Aku
mencintaimu.”
“Aku
juga.”
Jaminan
apa yang bisa diberikan oleh perasaan yang sama?
Perempuan
itu gemetar. Apa benar cinta harus selalu menampakkan dirinya? Mendesak dari
bagian paling dalam. Menumbuhkan bunga-bunga kecil, kata-kata, atau keinginan
kecil untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Namun pada lelaki tak tampak
apa-apa. Barangkali cinta baginya bukan bunga-bunga atau pernik-pernik kecil
seperti lampu di malam hari, tak harus gemerlap dan tampak oleh mata. Namun
bagaimana keyakinan bisa tumbuh kuat hanya dari sebuah dugaan?
Perempuan
menunduk. Lelaki duduk tegap.
“Bagian
mana yang harus diperbaiki, Kasihku?”
Ada
yang terasa berlubang. Namun keduanya hanya mengela napas. Membiarkan babak
demi babak berlangsung baik. Tahun demi tahun berlalu dengan semestinya....
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar