Ini
adalah kedatanganku yang ke sekian-sekian kali ke kotamu, namun tetap saja aku
tak bisa tidur. Sepanjang malam cuma menatap langit-langit, mengingat satu
persatu buku-buku, oleh-oleh, foto berbingkai, dan hal-hal lain yang sudah
kumasukkan ke dalam tas. Takut ada yang tertinggal. Karena dalam setiap pertemuan,
ingin kuhadiahkan kepadamu sesuatu, entah dengan membawakan buku yang sudah lama
kamu inginkan, atau hanya membacakan sebuah sajak kecil.
Kamu
sendiri selalu terlihat gembira setiap kali kukatakan aku akan mengunjungimu.
Menginap beberapa hari di sana dan memintamu menemaniku jalan-jalan, atau di
dalam rumah saja seharian dengan kamu membacakan cerita dan aku mendengarkan.
Seluruhnya itu, membuatku ingin selalu melangkahkan kaki ke sana. Namun kita
tahu sendiri, jam-jam sibuk di kehidupan kita terkadang tak mendukung untuk
itu.
Maka,
ketika segala sesuatu terlihat longgar, aku langsung menyambar kesempatan itu.
Mengajakmu menyusun kenangan-kenangan lagi.
Kita seperti
stasiun yang berjauhan tetapi selalu dihubungkan oleh rel dan kereta-kereta
yang tak pernah lelah, ya. katamu. Bukan
hanya stasiun, kita udara, satu kesatuan yang dihubungkan oleh kehidupan. Kamu
di sana, aku di sini, tak ada yang membedakan. Imbuhku.
Barangkali
memang demikian kalimat-kalimat yang akan tumbuh dari orang-orang yang sedang
jatuh cinta. Segalanya tampak menyenangkan. Seolah tak akan ada satu waktu pun
untuk memikirkan kesedihan.
Kapan kamu akan
datang lagi?
Pertanyaanmu yang tak berubah membuatku selalu ingin kembali. Barangkali bukan
untuk sebuah kedatangan, melainkan kepulangan.
Aku akan selalu
kembali.
Jawabku, dengan senyum paling tulus yang kumiliki.
Lalu
kamu akan memperhatikan keretaku bergerak menjauh, mengantarku membelah rel-rel
asing dengan tatapan matamu yang hangat. Aku benar-benar telah memotretnya dan
mengawetkannya di dalam diriku. Semuanya itu tidak akan berubah.
Dan
hari ini, aku sudah menyiapkan segala sesuatu itu lagi. Potret paling canggih
dari mataku, suara renyahku, dan kebahagianku yang sudah tak tertampung. Aku
akan membawanya, seperti seorang anak kecil yang datang dengan gembira membawa
hadiah untuk seseorang yang sangat disayanginya. Kamu akan menerimaku
sebagaimana sebelumnya, kan?
Kamu
mengaku sering gedandapan kalau kukabarkan aku akan datang. Mengingat keadaan
rumahmu yang katanya selalu kotor dan tidak rapi, sehingga kamu harus
membersihkan dan menatanya serapi mungkin, supaya aku yang tak setiap hari
datang betah meski hanya beberapa jam saja akan tinggal. Yee, aku akan tinggal selamanya kok, candaku. Dan suaraku selalu
terbang dibawa angin setiap kali mengatakannya.
Mau datang jam
berapa?
Tanyamu ketika beberapa hari lalu kuutarakan rencanaku.
Hmm, mungkin
sore.
Jawabku, gugup. Masih gugup? Aneh kan.
Aku
memang selalu suka sore hari. Sebuah stasiun, bangku-bangku yang diam,
orang-orang yang menunggu, derit kereta yang datang maupun pergi, seluruhnya
itu akan tampak sangat menyenangkan dilihat pada sebuah senja, dengan langit
warna oranye yang mencolok, dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan. Saat itu
aku akan melihat bayanganku di dalam matamu memanjang, mungkin juga sebaliknya.
Maka aku selalu datang pada sore hari, dan kamu tak keberatan, dan kamu
memahami.
Hmm, berapa hari
akan di sini?
pertanyaanmu yang ini juga sudah biasa kamu lontarkan. Namun kali ini terasa
asing, tenggorokanmu kering mengatakannya.
Tergantung,
kalau tuan rumahnya pengen aku
tinggal sehari ya aku di sana sehari, kalau tuan rumahnya pengen aku tinggal
selamanya, ya aku akan di sana selamanya. Haha. Candaku. Kamu
tertawa, tetapi terlambat. Sebelum suara renyahmu terdengar, kamu terdiam cukup
lama.
Kamu sakit? Tanyaku.
Tidak, cuma
serak, lagi ambil minum. Sesudah itu kudengar kamu menenggak air. Dan aku
menanti detik-detik berikutnya dengan mendebarkan.
Hari
ini aku akan berangkat dengan kereta pagi, jadi diperkirakan akan sampai di
sana selepas jam tiga sore, tepat seperti yang kurencanakan. Dan percuma saja
mata ini kupejam-pejamkan, toh, bayang-bayang stasiun, kereta, dan kamu yang
berdiri diantara desak-desakan orang lain, betul-betul mengangguku dan tak
mengijinkanku terlelap. Ya akhirnya seperti
ini. Pagi hari dan mataku demikian pedas.
Beberapa
jam berikutnya aku sudah tiba di stasiun. Menggenggam tiket yang sudah kupesan
sejak hari sebelumnya, menenteng tas punggung berisi beberapa potong pakaian
dan tas jinjing berisi buku-buku dan makanan ringan. Di dalam tas itu ada
beberapa buku Murakami, ingin sekali aku memperlihatkan padamu. Sekalipun kamu
suka dengan novel-novel terjemahan, aku tahu kamu belum memiliki buku-buku
penulis Jepang ini.
Kenapa Murakami?
Ia bercerita
tentang orang-orang yang kesepian.
Aku
membayangkan percakapan itu, nanti ketika kuperlihatkan buku-buku ini kepadamu.
Saban
hari aku membacanya sendiri, menenggelamkan diri dalam kalimat-kalimatnya yang
panjang dan dalam. Membiarkan diriku menjadi seseorang yang kesepian di sana,
atau membayangkanmu sebagai seorang kesepian yang sedang kubaca, atau orang
lain. Begitu ngilu sebetulnya, dan aku ingin menularkan ini kepadamu,
membaginya dan merasakan bersama.
Keretaku
sudah datang. Aku bergegas masuk, berdesak dengan penumpang lain yang ganas
mencari tempat duduk. Seperti biasa aku memilih tempat dduk di sebelah kiri
tepian jendela. Dengan begitu, aku akan bisa melamun, atau membaca buku sepanjang
perjalanan sembari membayangkan kebahagaiaan yang akan berlompatan nanti di
stasiun yang menjadi tujuan.
Mau kemana,
Mbak?
Tanya seseorang, lelaki umur empat puluhan, ia duduk di sampingku, sepasang
tangannya menggenggam bungkusan, sepertinya roti tangkup di dalam sebuah kotak
bekal.
Majalengka. Jawabku.
Mau ketemu
pacarnya ya?
Kelihatan dari
muka Mbak, berseri-seri sekali.
Aku
tersenyum lagi. Bukan kebiasaanku berbicara banyak pada orang yang baru
dikenal, apalagi asing dan baru pertama kali bertemu.
Mbak, boleh
minta air mineralnya? Saya lupa bawa, istri saya juga lupa, di tas saya cuma
ada ini. Ia
menunjukkan sebuah roti tangkup dan menyodorkan padaku.
Tidak, terimakasih. Jawabku,
sembari menyodorkan air mineral yang tadi kubeli dari asongan di stasiun.
Rel ini
sebenarnya berkelok-kelok, Mbak, tapi kelihatannya lurus. Tiba-tiab ia
berujar. Mau tak mau aku melongok ke depan, sekalipun yang tampak bukan rel,
melainkan pintu menuju gerbong lain.
Asalkan semuanya
tetap mulus tak apa, Pak. Jawabku.
Kali
ini lelaki itu yang tersenyum. Barangkali
itu yang membuat wajah Mbak berseri-seri ya, masalah apapun pasti dihadpi
dengan enteng. Katanya.
Kami
saling membalas senyum. Rasanya tak ingin lagi kulanjutkan percakapan ini
dengan lelaki itu. Maka aku mengeluarkan buku, pura-pura ingin membaca supaya
ia juga sibuk dengan sesuatu di tangannya. Jendela kereta membawa kami pada
lanskap ladang yang sangat luas, di kejauhan bebukitan tampak kebiruan. Semuanya
berlalu cepat. Ingatan-ingatanku jadi kabur dan desak-mendesak.
Beberapa
jam kemudian seseorang di dalam kereta memberitahukan bahwa sebentar lagi
kereta akan tiba di stasiun terakhir, diharapkan setiap penumpang menyiapkan
dan mengecek barang bawaannya supaya tak ada yang tertinggal. Aku terbangun
dari tidur, betul-betul tak terasa aku tertidur lebih dari tiga jam. Seorang
lelaki di sampingku sudah beranjak dan mencari-cari tasnya di loker atas, aku
sendiri memilih memandang jendela dan mengembalikan kesadaran, mengingat beberapa
hal. Aku sudah sampai, aku sudah sampai! Tak terbayangkan, setelah ini aku akan
melihatmu lagi, aku akan memelukmu lagi, menumpahkan kerinduan yang ditimbun
begitu lama.
Kereta
melambat, semua penumpang menghambur dari kursinya, gerbong jadi ramai lagi,
orang-orang berdesakan lagi. Aku lupa belum menghubungimu, tetapi aku tahu,
pasti kau sudah di sana. Dengan kedua tangan tersimpan di dalam jaket, dengan
mata tenang dan senyum tipis yang menyenangkan.
Maka
ketika kereta berhenti, aku segera menghambur keluar bersama orang-orang yang
tak sabar itu, mungkin mereka juga akan menemui kekasihnya, atau keluarga
tercintanya, atau orang lain yang tak sabar hendak dipeluknya. Aku dan
penumpang lain sudah berada di luar kereta, membelakangi kereta yang sudah
mulai bergerak lagi. Ada peluit panjang lagi. Memekakkan telinga. Suara
orang-orang, bau tubuh mereka, semuanya menjadi satu di tempat ini. Tumben
sekali aku kesulitan mencarimu. Diantara banyak orang ini, dalam beberapa
menit, aku belum menemukanmu.
Datang jam
berapa?
Tanyamu lagi tempo hari. Aku sudah menjawab dengan sangat jelas sekalipun
sebelum itu kamu sudah menanyakannya. Sore,
jam tiga sampai. Jawabku. Ya.
Katamu. Ada aroma dingin dari suaramu. Mungkin saja kamu kecapekan. Kamu yang
lain yang tinggal di dalam diriku membisiki itu.
Hampir
pukul lima sore. Kereta lain dari arah berlawanan tiba. Peluit yang memekakkan
telinga berteriak lagi, begitu nyaring, sampai rasanya menyentuh pusat kepala. Senja hampir habis, bayang-bayang orang-orang
dan pilar-pilar di stasiun sudah
memanjang, dinding stasiun dan wajah orang-orang sudah menyala. Rasa cemas
mulai membengkak dalam hatiku, ponsel yang sejak tadi kugenggam tak juga
bergetar, segala upaya menelponmu cuma ditanggapi operator dengan menyarankan
untuk menelpon lagi beberapa waktu kemudian. Jangan-jangan terjadi sesuatu kepadamu.
Aku
berlari dan mencari taksi, aku akan ke rumahmu, dan berharap menemukanmu dalam
keadaan baik, atau menemukanmu yang mencemaskanku karena ternyata jam-jam sibuk
membuatmu tak bisa menghubungiku atau menjemputku di stasiun. Selama aku
menginjak stasiun ini, baru pertama kali terjadi. Rasa cemas dan ngilu
berganti-gantian. Langit mulai gelap.
Raras, datang
jam berapa?
Tanyamu
dalam sebuah pesan, beberapa jam kemudian. Ketika aku sudah berada di halaman
rumahmu yang terkunci dan kosong. Lampu tak menyala. Dari luar segalanya
menakutkan. Tubuhku lebih mengerikan, gigil yang aneh, perasaan yang aneh.
Barangkali sebentar lagi aku roboh. Mengapa kamu menanyakan itu lagi? Bukankah
sudah kujawab berkali-kali?
Aku
tak tahu harus menjawab pesanmu dengan bagaimana. Apakah ada yang berubah?
Barangkali iya. Tiba-tiba aku ingat lelaki di kereta dengan roti setangkup itu,
sebetulnya rel ini berkelok-kelok.. Tak
apa asal segalanya mulus.. barangkali itu yang membuat wajahmu berseri-seri...
Aku
tidak tahu setelah ini kamu akan menanyakan apa apalagi.
Jam tiga sore.
Aku
menjawab pesanmu, dan menangis.
Boja,
22 Juli 2014 06.50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar