Sabtu, 02 Agustus 2014

Mengunjungimu


Ini adalah kedatanganku yang ke sekian-sekian kali ke kotamu, namun tetap saja aku tak bisa tidur. Sepanjang malam cuma menatap langit-langit, mengingat satu persatu buku-buku, oleh-oleh, foto berbingkai, dan hal-hal lain yang sudah kumasukkan ke dalam tas. Takut ada yang tertinggal. Karena dalam setiap pertemuan, ingin kuhadiahkan kepadamu sesuatu, entah dengan membawakan buku yang sudah lama kamu inginkan, atau hanya membacakan sebuah sajak kecil.

Kamu sendiri selalu terlihat gembira setiap kali kukatakan aku akan mengunjungimu. Menginap beberapa hari di sana dan memintamu menemaniku jalan-jalan, atau di dalam rumah saja seharian dengan kamu membacakan cerita dan aku mendengarkan. Seluruhnya itu, membuatku ingin selalu melangkahkan kaki ke sana. Namun kita tahu sendiri, jam-jam sibuk di kehidupan kita terkadang tak mendukung untuk itu.

Maka, ketika segala sesuatu terlihat longgar, aku langsung menyambar kesempatan itu. Mengajakmu menyusun kenangan-kenangan lagi.

Kita seperti stasiun yang berjauhan tetapi selalu dihubungkan oleh rel dan kereta-kereta yang tak pernah lelah, ya. katamu. Bukan hanya stasiun, kita udara, satu kesatuan yang dihubungkan oleh kehidupan. Kamu di sana, aku di sini, tak ada yang membedakan. Imbuhku.

Barangkali memang demikian kalimat-kalimat yang akan tumbuh dari orang-orang yang sedang jatuh cinta. Segalanya tampak menyenangkan. Seolah tak akan ada satu waktu pun untuk memikirkan kesedihan.

Kapan kamu akan datang lagi? Pertanyaanmu yang tak berubah membuatku selalu ingin kembali. Barangkali bukan untuk sebuah kedatangan, melainkan kepulangan.

Aku akan selalu kembali. Jawabku, dengan senyum paling tulus yang kumiliki.

Lalu kamu akan memperhatikan keretaku bergerak menjauh, mengantarku membelah rel-rel asing dengan tatapan matamu yang hangat. Aku benar-benar telah memotretnya dan mengawetkannya di dalam diriku. Semuanya itu tidak akan berubah.

Dan hari ini, aku sudah menyiapkan segala sesuatu itu lagi. Potret paling canggih dari mataku, suara renyahku, dan kebahagianku yang sudah tak tertampung. Aku akan membawanya, seperti seorang anak kecil yang datang dengan gembira membawa hadiah untuk seseorang yang sangat disayanginya. Kamu akan menerimaku sebagaimana sebelumnya, kan?

Kamu mengaku sering gedandapan kalau kukabarkan aku akan datang. Mengingat keadaan rumahmu yang katanya selalu kotor dan tidak rapi, sehingga kamu harus membersihkan dan menatanya serapi mungkin, supaya aku yang tak setiap hari datang betah meski hanya beberapa jam saja akan tinggal. Yee, aku akan tinggal selamanya kok, candaku. Dan suaraku selalu terbang dibawa angin setiap kali mengatakannya.

Mau datang jam berapa? Tanyamu ketika beberapa hari lalu kuutarakan rencanaku.
Hmm, mungkin sore. Jawabku, gugup. Masih gugup? Aneh kan.

Aku memang selalu suka sore hari. Sebuah stasiun, bangku-bangku yang diam, orang-orang yang menunggu, derit kereta yang datang maupun pergi, seluruhnya itu akan tampak sangat menyenangkan dilihat pada sebuah senja, dengan langit warna oranye yang mencolok, dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan. Saat itu aku akan melihat bayanganku di dalam matamu memanjang, mungkin juga sebaliknya. Maka aku selalu datang pada sore hari, dan kamu tak keberatan, dan kamu memahami.

Hmm, berapa hari akan di sini? pertanyaanmu yang ini juga sudah biasa kamu lontarkan. Namun kali ini terasa asing, tenggorokanmu kering mengatakannya.

Tergantung, kalau tuan rumahnya pengen aku tinggal sehari ya aku di sana sehari, kalau tuan rumahnya pengen aku tinggal selamanya, ya aku akan di sana selamanya. Haha. Candaku. Kamu tertawa, tetapi terlambat. Sebelum suara renyahmu terdengar, kamu terdiam cukup lama.

Kamu sakit? Tanyaku.

Tidak, cuma serak, lagi ambil minum. Sesudah itu kudengar kamu menenggak air. Dan aku menanti detik-detik berikutnya dengan mendebarkan.

Hari ini aku akan berangkat dengan kereta pagi, jadi diperkirakan akan sampai di sana selepas jam tiga sore, tepat seperti yang kurencanakan. Dan percuma saja mata ini kupejam-pejamkan, toh, bayang-bayang stasiun, kereta, dan kamu yang berdiri diantara desak-desakan orang lain, betul-betul mengangguku dan tak mengijinkanku terlelap. Ya akhirnya seperti ini. Pagi hari dan mataku demikian pedas.

Beberapa jam berikutnya aku sudah tiba di stasiun. Menggenggam tiket yang sudah kupesan sejak hari sebelumnya, menenteng tas punggung berisi beberapa potong pakaian dan tas jinjing berisi buku-buku dan makanan ringan. Di dalam tas itu ada beberapa buku Murakami, ingin sekali aku memperlihatkan padamu. Sekalipun kamu suka dengan novel-novel terjemahan, aku tahu kamu belum memiliki buku-buku penulis Jepang ini.

Kenapa Murakami?

Ia bercerita tentang orang-orang yang kesepian.

Aku membayangkan percakapan itu, nanti ketika kuperlihatkan buku-buku ini kepadamu.
Saban hari aku membacanya sendiri, menenggelamkan diri dalam kalimat-kalimatnya yang panjang dan dalam. Membiarkan diriku menjadi seseorang yang kesepian di sana, atau membayangkanmu sebagai seorang kesepian yang sedang kubaca, atau orang lain. Begitu ngilu sebetulnya, dan aku ingin menularkan ini kepadamu, membaginya dan merasakan bersama.

Keretaku sudah datang. Aku bergegas masuk, berdesak dengan penumpang lain yang ganas mencari tempat duduk. Seperti biasa aku memilih tempat dduk di sebelah kiri tepian jendela. Dengan begitu, aku akan bisa melamun, atau membaca buku sepanjang perjalanan sembari membayangkan kebahagaiaan yang akan berlompatan nanti di stasiun yang menjadi tujuan.

Mau kemana, Mbak? Tanya seseorang, lelaki umur empat puluhan, ia duduk di sampingku, sepasang tangannya menggenggam bungkusan, sepertinya roti tangkup di dalam sebuah kotak bekal.

Majalengka. Jawabku.

Mau ketemu pacarnya ya?

Bapak ini, jangan-jangan cenayang ya? Tetapi aku tidak mengucapkannya, aku cuma tersenyum.

Kelihatan dari muka Mbak, berseri-seri sekali.

Aku tersenyum lagi. Bukan kebiasaanku berbicara banyak pada orang yang baru dikenal, apalagi asing dan baru pertama kali bertemu.

Mbak, boleh minta air mineralnya? Saya lupa bawa, istri saya juga lupa, di tas saya cuma ada ini. Ia menunjukkan sebuah roti tangkup dan menyodorkan padaku.

Tidak, terimakasih. Jawabku, sembari menyodorkan air mineral yang tadi kubeli dari asongan di stasiun.

Rel ini sebenarnya berkelok-kelok, Mbak, tapi kelihatannya lurus. Tiba-tiab ia berujar. Mau tak mau aku melongok ke depan, sekalipun yang tampak bukan rel, melainkan pintu menuju gerbong lain.

Asalkan semuanya tetap mulus tak apa, Pak. Jawabku.

Kali ini lelaki itu yang tersenyum. Barangkali itu yang membuat wajah Mbak berseri-seri ya, masalah apapun pasti dihadpi dengan enteng. Katanya.

Kami saling membalas senyum. Rasanya tak ingin lagi kulanjutkan percakapan ini dengan lelaki itu. Maka aku mengeluarkan buku, pura-pura ingin membaca supaya ia juga sibuk dengan sesuatu di tangannya. Jendela kereta membawa kami pada lanskap ladang yang sangat luas, di kejauhan bebukitan tampak kebiruan. Semuanya berlalu cepat. Ingatan-ingatanku jadi kabur dan desak-mendesak.

Beberapa jam kemudian seseorang di dalam kereta memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta akan tiba di stasiun terakhir, diharapkan setiap penumpang menyiapkan dan mengecek barang bawaannya supaya tak ada yang tertinggal. Aku terbangun dari tidur, betul-betul tak terasa aku tertidur lebih dari tiga jam. Seorang lelaki di sampingku sudah beranjak dan mencari-cari tasnya di loker atas, aku sendiri memilih memandang jendela dan mengembalikan kesadaran, mengingat beberapa hal. Aku sudah sampai, aku sudah sampai! Tak terbayangkan, setelah ini aku akan melihatmu lagi, aku akan memelukmu lagi, menumpahkan kerinduan yang ditimbun begitu lama.

Kereta melambat, semua penumpang menghambur dari kursinya, gerbong jadi ramai lagi, orang-orang berdesakan lagi. Aku lupa belum menghubungimu, tetapi aku tahu, pasti kau sudah di sana. Dengan kedua tangan tersimpan di dalam jaket, dengan mata tenang dan senyum tipis yang menyenangkan.

Maka ketika kereta berhenti, aku segera menghambur keluar bersama orang-orang yang tak sabar itu, mungkin mereka juga akan menemui kekasihnya, atau keluarga tercintanya, atau orang lain yang tak sabar hendak dipeluknya. Aku dan penumpang lain sudah berada di luar kereta, membelakangi kereta yang sudah mulai bergerak lagi. Ada peluit panjang lagi. Memekakkan telinga. Suara orang-orang, bau tubuh mereka, semuanya menjadi satu di tempat ini. Tumben sekali aku kesulitan mencarimu. Diantara banyak orang ini, dalam beberapa menit, aku belum menemukanmu.

Datang jam berapa? Tanyamu lagi tempo hari. Aku sudah menjawab dengan sangat jelas sekalipun sebelum itu kamu sudah menanyakannya. Sore, jam tiga sampai. Jawabku. Ya. Katamu. Ada aroma dingin dari suaramu. Mungkin saja kamu kecapekan. Kamu yang lain yang tinggal di dalam diriku membisiki itu.

Hampir pukul lima sore. Kereta lain dari arah berlawanan tiba. Peluit yang memekakkan telinga berteriak lagi, begitu nyaring, sampai rasanya menyentuh pusat kepala. Senja hampir habis, bayang-bayang orang-orang dan  pilar-pilar di stasiun sudah memanjang, dinding stasiun dan wajah orang-orang sudah menyala. Rasa cemas mulai membengkak dalam hatiku, ponsel yang sejak tadi kugenggam tak juga bergetar, segala upaya menelponmu cuma ditanggapi operator dengan menyarankan untuk menelpon lagi beberapa waktu kemudian.  Jangan-jangan terjadi sesuatu kepadamu.

Aku berlari dan mencari taksi, aku akan ke rumahmu, dan berharap menemukanmu dalam keadaan baik, atau menemukanmu yang mencemaskanku karena ternyata jam-jam sibuk membuatmu tak bisa menghubungiku atau menjemputku di stasiun. Selama aku menginjak stasiun ini, baru pertama kali terjadi. Rasa cemas dan ngilu berganti-gantian. Langit mulai gelap.

Raras, datang jam berapa?

Tanyamu dalam sebuah pesan, beberapa jam kemudian. Ketika aku sudah berada di halaman rumahmu yang terkunci dan kosong. Lampu tak menyala. Dari luar segalanya menakutkan. Tubuhku lebih mengerikan, gigil yang aneh, perasaan yang aneh. Barangkali sebentar lagi aku roboh. Mengapa kamu menanyakan itu lagi? Bukankah sudah kujawab berkali-kali?

Aku tak tahu harus menjawab pesanmu dengan bagaimana. Apakah ada yang berubah? Barangkali iya. Tiba-tiba aku ingat lelaki di kereta dengan roti setangkup itu, sebetulnya rel ini berkelok-kelok.. Tak apa asal segalanya mulus.. barangkali itu yang membuat wajahmu berseri-seri...

Aku tidak tahu setelah ini kamu akan menanyakan apa apalagi.

Jam tiga sore.

Aku menjawab pesanmu, dan menangis.

 
Boja, 22 Juli 2014 06.50



Tidak ada komentar:

Posting Komentar