Jumat, 29 Agustus 2014

Part 1; Pesta di rumah Ping


Hari ini Ping ulang tahun. Semua teman sekelas diundang ke rumahnya. Tak seorang teman pun yang tak senang jika diundang ke rumah Ping. Tentu saja, masuk ke rumah Ping sama dengan tersesat di istana roti! Ya, rumah Ping adalah sebuah bakery besar yang terletak di tengah sebuah desa. Menarik sekali, kan? Bakery di tengah sebuah desa. Ayah Ping yang menyulapnya. Ia jago membuat jutaan jenis kue. Dan tentu saja kuenya menarik, karena setiap kue yang dibuat, bisa diseusaikan dengan kondisi dan permintaan pembeli. Tidak percaya? Mari kita buktikan.

Di ruangan yang luas itu teman-teman Ping menyebar kegirangan seperti semut yang tersesat di ladang gula. Mereka girang mencicipi kue dengan bermacam jenis dan rasa. Dengan bermacam variasi dan kegunaan. Ya, kegunaan. Unik, kan? Tentu saja, seperti yang kukatakan sejak awal. Bakery ini sangat menarik.

Di sebelah kanan ruangan yang berukuran kurang lebih 15x15 meter ini, berjajar lima meja bundar dengan diameter dua meter. Di atas masing-masing meja, terdapat tumpukan kue dengan bermacam varian. Di meja paling pojok dekat pintu masuk, tersusun muffin dengan taburan kacang almon dan kacang mete di atasnya, menurut bisik-bisik pemilik bakery, kue itu bisa membantu seseorang yang sedang bimbang. Atau rasanya yang gurih dengan sentuhan sedikit manis, mampu membuat pikiran orang yang tadinya tegang bisa lebih rileks.

Meja di sampingnya, tampak susunan muffin juga. Namun dengan toping dan warna berbeda. Nampak krim dan buah-buah segar di atas tiap muffin. Katanya sih, kue dengan buah-buah itu bisa meningkatkan imajinasi siapapun yang memakannya. Ditambah rasa vanila lembut di dalamnya, siapapun yang mencoba seperti sedang melayang di atas awan sembari mendengarkan lagu surga yang sangat indah!

Dan tentu masih banyak lagi jenis kue yang tersaji hari ini. Kue cokelat, siffon lemon, kue pandan, pai susu, dan banyak lagi yang membuat liur rasanya terus-menerus menetes.
Di antara kerumunan teman-teman Ping yang girang mencicipi kue, terlihat seorang anak perempuan yang cuma melamun saja sambil duduk di tepi ruangan. Tangannya memainkan muffin fanila yang mungkin sudah sejak satu jam lalu di pegangnya. Fla! Aduh, kenapa dia? Mukanya murung sekali. Ia nampak tak berminat pada banyak hidangan yang tersedia. Padahal biasanya ia paling girang jika ada makanan manis bertebaran di sekitarnya.

“Ada apa?” Tanya Magi, di mulutnya kue cokelat penuh dan hampir keluar.

“Tidak apa-apa.” Jawab Fla acuh.

“Ah, tidak usah dipikirkan, Ping memang seperti itu. Mudah marah. Darahnya tinggi, jadi ada apa-apa sedikit, darahnya muncrat dari kepala sini.” Ucap Magi, sambil memperagakan bagaimana jika larva muncul dari ujung kepala, seperti dimuntahkan dari perut bumi. Dia memang seringkali berlebihan, dan biasanya, Fla peduli terhadap celotehan-celotehan Magi yang aneh dan menyebalkan, namun sekali lagi, kali ini, tidak.

“Hmm, baiklah, aku paham.” Lanjut Magi.

Karena merasa tak bisa menghibur Fla, maka ia menyingkir dan tak mau melewatkan kesempatan memanjakan lidah dan perutnya dengan gratis. Kapan lagi kesempatan seperti ini akan muncul? Fla masih acuh, memandang temannya berjalan menjauh.

Ada apa gerangan dengan Fla? Ya, semua orang bisa menebak, mengapa muka Fla saat ini lebih kusut dari kaos kaki yang seminggu lebih tak dicuci? Ya, semua orang paham!

Siang tadi, sebelum teman-teman datang, Fla datang terlebih dahulu ke rumah Ping. Seperti biasa, ia tak pernah sungkan berjalan ke sana kemari, menyusup ke sana kemari, ke dapur, ke ruang makan, kamanapun. Untuk kali ini, ia punya niat mulia hendak membantu ayah Ping menyiapkan pesta ulang tahun putra kesayangannya, namun ternyata, diluar dugaan Fla, semua hidangan di pesta itu, bukan Ayah Ping yang memasak, melainkan Ping sendiri! Apa? Fla hampir memuntahkan semua organ tubuhnya melalui mulut, ia kaget betul. Ya, dia tahu bahwa Ping mahir sekali memasak seperti ayahnya, itu sudah jaminan dunia akhirat. Kata ibu guru, air atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Kebanyakan, kemampuan atau sifat anak menurun dari orang tuanya. Meski Fla tak yain betul, namun dalam kasus Ping dan ayahnya, ia tak meragukan sedikitpun. Maka, karena sudah punya niat hendak membantu, jadi siapapun yang masak bukan masalah baginya. Ia akan tetap membantu.

Saat Fla datang, Ping sedang menghias kue-kue dengan buah-buahan, sembari menunggu kue lain yang masih di dalam oven. Saat itu ayahnya sedang menata dengan rapi kue yang sudah siap dihidangkan. Dan Fla tentu saja menawarkan diri, ia menawarkan tangannya dengan sangat tulus, dengan sangat girang.

“Ini sudah hampir selesai, Fla. Kamu duduk saja sambil nonton tivi.” Ucap ayah.

“Hm, tidak, Yah, aku akan merasa sangat berdosa jika datang awal tetapi tak membantu apa-apa.”

Ayah tersenyum, Ping tak menyahut. Mungkin Ping sudah mengetahui banyak tenatng Fla yang tak diketahui ayahnya.

“Baiklah kalau begitu,” ucap Ayah kemudian, “Tolong ambilkan botol sirup leci di kulkas, kemudian tuangkan di mangkuk kaca besar yang sudah Ping siapkan di dapur, mangkuk itu sudah diisi air, kamu tinggal menuangkan sirup itu dan menambahkan leci segar yang sudah Ping siapkan di samping mangkuk.”

Ayah berbicara dengan cukup cepat. Mereka keluarga yang biasa bekerja cepat sepertinya. Meski begitu, Fla merasa tak kesulitan menghafal intruksi yang panjang itu, hanya mengambil sirup leci di dalam kulkas, menuangnya, menambahkan buah, sudah. Mendengar intruksi itu, Fla senang sekali, setidaknya, ia merasa berguna. Maka ia bergegas menuju dapur, membuka kulkas, dan mendekati meja makan di mana terdapat mangkuk kaca seperti yang dikatakan ayah. Sambil membuka botol, ia melirik Ping sambil mengejek kecil sesekali.

“Ping, kamu akting sakit gigi ya? Awas kalau sakit gigi beneran...”

Ping lagi-lagi tak menyahut. Tangannya masih dengan cekatan memberi garnis pada kue-kue kecil manis buatannya. Fla tidak peduli, ia tetap bersiul-siul, merasa didengarkan, padahal entah Ping mendengarkan atau tidak. Yang jelas, muka Ping memang seperti baru saja dimasukkan ke dalam oven.

“Ayah, dibawa ke mana ini? Es buah leci sudah siap!” Ucap Fla setengah teriak. Ayah menyahut dari luar.

“Bawa ke depan, di tata di meja yang sudah ayah sediakan.”

“Baik!!”

“Tidak usah.” Ping mencegah. Fla justru tertawa terbahak-bahak. “Lho, sudah sembuh sakit giginya?” Godanya.

Ping tak menggubris gurauan Fla. Ia beranjak dari depan oven, menuju ruang makan di mana Fla sedang merengek menawarkan jasanya. Namun baru beranjak beberapa langkah, Fla sudah berada di pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang makan.  Tangannya menyangga beban yang tentu tidak ringan, sebuah mangkuk kaca berisi air dan sirup manis!

“Fla! Sudah dibilang tidak usah diangkat, berat.” Ping berusaha mengambil bawaan Fla.

“Tidak, tidak berat, aku bisa.”

“Sudah dibilang, ini bukan pekerjaan mudah.”

“Aku bisa.”

“Sudah sana kamu duduk saja.”

“Sudah dibilang aku bisa.”

“Sudah, ...”

Sudah bisa ditebak kan, mangkuk yang sangat berat itu akhirnya meleset dari genggaman Fla yang memang tampak begitu berat membawa beban. Mangkuk itu terlepas perlahan seperti seperti seseorang melepas dengan pelan benda yang berminyak.

Tentu saja bunyi yang ditimbulkan tidak pelan. Ayah tahu apa yang terjadi. Ia langsung berlari dari luar dan mehampiri kedua remaja di dalam rumah yang sama-sama sok kuat dan bisa melakukan segalanya. Ayah hanya memandang mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah, ayah dan Ping memebersihkan tumpahan es buah di lantai, Ping tak mengijinkan Fla membantu, ia menyuruh Fla duduk saja di ruang tamu, menunggu siapa tahu sudah ada teman yang sudah datang. Dan ternyata, memang ada teman yang sudah datang, beberapa teman, termasuk si Magi yang banyak bicara. Maka tersebarlah berita mengenai perisiwa tak mengenakkan itu di tengah pesta beberapa jam kemudian.

“Harusnya kamu memberi hadiah di hari ulang tahunku ini. Malah datang membuatku repot.” Ucap Ping, ketika Fla terpaksa bersalaman dan mengucapkan ulang tahun.

Entah apa yang terjadi, namun Fla tahu, kemarahan Ping hari ini tak sekedar karena ia menjatuhkan es buah. Melainkan ada hal lain. Ya, ada hal lain. Tetapi, bukankah harusnya Fla yang  marah, bukannya Ping? Namun Ping tak mau memperumitnya. Ia membiarkan Ping mendendam padanya di hari ulang tahunnya. Ia tak peduli. Ia tak peduli!

“Mau, muffin cokelat? Bisa mengurangi depresi.” Ucap ayah, sambil menyodorkan sebuah kue manis berawarna cokelat. Fla tersenyum.

Pesta berlangsung menyenangkan. Semua teman Ping bergembira. Tentu saja kecuali Fla.


(bersambung)

penunggu kabar


kau yang pernah menguji kedekatan dengan tuhan, kini apa kabar
aku pernah berjalan di sana
suatu sore dengan jam yang menunggu
orang-orang menabrakku tapi kamu tidak
aku tersungkur di aspal, sisa matahari yang perih
orang-orang menolongku, tapi kamu tidak
dari mataku sepasang tangan melambai padamu
dengan telingamu seluruh suara sama asingnya
kamu bilang tunggu saja, akan datang langkah-langkahmu,
menemuiku di jalan tuhan yang lain
tapi aku menunggumu sekarang
gemetar rumahmu, gemetar kamu
puluhan tahun kemudian kita melupakan segalanya
perihal kabar tak akan memberikan apa-apa

2014

melewati hari ini


kau sebutir telur, aku sepasang tangan yang kehilangan tulang
belum sempat kuimpikan, telah pecah kau oleh tangan lain
penyesalan tak menyelesaikan apa-apa, ketawa tak menyembuhkan apa-apa
gerimis yang ragu, setiap hari kita berlindung di atap yang sama
pulanglah kita sebelum hujan seharusnya
tapi aku tak bisa membawamu yang telah leleh, sebab tanganku lebih leleh
kita pulang bersama, dengan cara tak sama
kau kesepian, aku ketakutan
kita tak bisa memilah jalan mana tak berlubang
ketahuilah, mata bisa bicara tanpa perlu apa-apa
tapi kita tidak menggunakannya

2014
 

Selasa, 26 Agustus 2014

Aforisma Panjang


Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal
(GM)

Kutulis ini dengan keberanian yang kukumpulkan sejak lama. Meski sampai hari ini keberanian yang kukumpulkan belum cukup banyak, hingga gemetar hebat tak dapat kuhindarkan.

Aku seperti menonton sebuah pertunjukkan, di mana pemainnya adalah aku dan kamu. Kulihat di panggung mereka murung, memang sesekali tertawa, tetapi sesekali saja. Mereka senang saling membacakan atau mendengarkan cerita, atau membicarakan puisi dan cerpen yang baru saja dibuat. Saat seperti itu mereka tampak sebagai kawan dekat, atau kekasih. Namun pada saat lain, kemurungan melengkung seperti langit dan memantulkan wajah mereka di semua tempat. Dan satu sama lain saling diam dalam membaca.

Si perempuan membuka matanya seperti jendela di musim kemarau, sangat terang sampai ia tak bisa menyembunyikan apa-apa, juga cintanya. Dan si lelaki, adalah musim dingin yang tak berganti sepanjang tahun, ia membuka matanya. Tak ada yang terbaca, selain warna abu-abu yang bergerak pelan seperti mega, seperti hujan salju yang lebat.

“Aku tak bisa membacanya, ia sering menutup jendelanya tiba-tiba.” Gumam perempuan.

Pertunjukkan itu masih berlangsung sampai bertahun-tahun kemudian. Kaki lelaki itu lebih kuat dari pejalan manapun. Ia sering berjalan cepat tanpa menoleh. Si perempuan adalah pejalan lain yang tak pernah meninggalkannya, meski langkahnya sering tertinggal jauh dari si lelaki. Ia sering berhenti sejenak untuk istirahat, menambal sepatunya, menempel plester pada kulitnya yang luka. Menjadi pejalan harus tabah. Kerikil, batu kecil, dan jalan yang bercabang-cabang adalah kenyataan yang harus dihadapi. Gumamnya pada diri sendiri. Si lelaki masih berjalan dengan kakinya yang kuat.

“Sesekali aku tak ingin berjalan di belakangmu, tapi di sampingmu dan bergenggaman tangan denganmu.”

Si lelaki tidak keberatan. Tapi langkah mereka yang beriringan sering tampak tak sejalan.
Perempuan terus memandang pada lelaki, ingin menembus tatap matanya yang keras dengan segala upaya. Lelaki hanya berjalan saja. Menoleh baginya seperti peristiwa yang terjadi puluhan tahun sekali, sangat ditunggu-tunggu. Dan mata perempuan yang menunggu, tak tahu pada tahun keberapa akan mendapatkan.

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga.”

Jaminan apa yang bisa diberikan oleh perasaan yang sama?

Perempuan itu gemetar. Apa benar cinta harus selalu menampakkan dirinya? Mendesak dari bagian paling dalam. Menumbuhkan bunga-bunga kecil, kata-kata, atau keinginan kecil untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Namun pada lelaki tak tampak apa-apa. Barangkali cinta baginya bukan bunga-bunga atau pernik-pernik kecil seperti lampu di malam hari, tak harus gemerlap dan tampak oleh mata. Namun bagaimana keyakinan bisa tumbuh kuat hanya dari sebuah dugaan?

Perempuan menunduk. Lelaki duduk tegap.

“Bagian mana yang harus diperbaiki, Kasihku?”

Ada yang terasa berlubang. Namun keduanya hanya mengela napas. Membiarkan babak demi babak berlangsung baik. Tahun demi tahun berlalu dengan semestinya....


2014