Senin, 07 Juli 2014

Taman Rahasia


Diandra melepas alas kaki kemudian membiarkan beban tubuhnya berada di atas jungkat-jungkit. Bunyi keresak daun kering terdengar ketika salah satu ujung jungkat-jungkit mengenai tanah. Ia terus menggerakkan mainan yang cat dan kayunya sudah lapuk, seolah sedang bermain-main dengan bayangannya sendiri.
Di taman itu cuma ada ia seorang. Diantara pohon pinus yang berjajar, dan pohon ketapang yang daun-daun kuningnya rontok menutupi rumputan yang tumbuh liar di sana. Ada beberapa mainan yang membuat Diandra ingin terus datang dan menyentuh mainan-mainan itu, jungkat-jungkit yang sudah tak bisa lagi memberi jarak dengan kakinya, perosotan yang terasa sangat kecil, dan ayunan yang besi pegangannya sudah berkarat serta menimbulkan bunyi derit yang sedih.
Sudah berapa lama taman ini tak disentuh tangan orang? Batinnya. Ia seperti sedang mengunjungi halaman rumah yang sudah ratusan tahun ditinggal penghuninya. Padahal taman itu terletak di tengah kota.
“Jangan-jangan taman ini tak bisa dilihat siapapun, cuma kita.” Candamu ketika suatu hari pernah mengajak Diandra ke sana dan duduk di tempat yang sama dimana perempuan berusia dua puluhan itu kini sedang berada.
“Jangan-jangan iya?” Diandra menyahut.
Kalian mirip sepasang kelinci yang pandai sekali membayangkan akan ada peri yang mengajak kalian terbang ke bulan. Lalu kalian membangun dunia yang penuh wortel di sana. Atau peristiwa ajaib lain.
Di sisi taman itu tampak sebuah rumah besar mirip istana. Dindingnya dibangun dari batu bata merah yang tersusun rapi. Atapnya rata tanpa genting seperti bangunan jaman kolonial.
“Menurutmu, siapa kira-kira penghuninya?” Tanyamu, setelah beberapa saat berdecak mengagumi bangunan dengan corak asing yang tumbuh di tengah kota besar yang di sekitarnya rumah-rumah sudah mirip masyarakat urban.
“Mungkin, keluarga dari negeri Jerman.”
“Masak? Kita bisa tanya-tanya soal Goethe dong?”
Kalian girang membicarakan rumah yang pintunya senantiasa tertutup itu. Halaman rumah dan jalanan dibatasi oleh gerbang besi yang tingginya hampir sama dengan lampu taman usang yang tak menyala di atas kalian. Di kepalamu puisi Goethe begitu saja melintas kemudian membuatmu menggumam pelan.

Tiada makhluk runtuh jadi tiada
Sang Abadi tak henti berkarya dalam segala,
Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia*

“Menurutmu apa benar rumah itu milik orang Jerman?”
“Mungkin saja, mana ada rumah orang Indonesia berbentuk seperti itu.”
“Pasti ada, orang kita kan mudah meniru.”
“Ssst, kalau ucapanmu didengar orang lain bisa bahaya.”
Lalu kalian melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian tertawa. Seolah ada yang begitu lucu yang pantas ditertawakan. Sebagaimana sajak Goethe, dengan segala harapannya yang terang.
“Tak akan berbahaya, taman ini cuma kita yang tahu." Ucapmu setengah berbisik. Lalu Diandra memintamu membacakan beberapa bait puisi lagi. Kamu kali ini mengambil buku dan membacakan beberapa baris puisi sembari duduk di atas jungkat-jungkit dan mempermainkan mainan itu. Diandra di jungkat-jungkit di sisi seberang mendengarkanmu dengan khidmad. Aih, macam murid yang patuh pada guru saja ia. Sesekali ia melamun, sesekali ia tersenyum-senyum, sesekali ia memandang matamu tanpa berkedip. Menurutmu, bagaimana cara mengembalikan mata Diandra supaya bercahaya seperti itu lagi?
Diandra kini sedang melakukan hal yang sama. Jungkat-jungkit itu menahan beban tubuhnya ke atas dan ke bawah. Namun tak ada seorang pun di sana. Apa kalian tak pernah janjian untuk bertemu di taman itu lagi? Aku tak pernah berani menanyakan itu kepada Diandra, matanya selalu memeperlihatkan permusuhan kepada siapapun. Termasuk kepadaku.
Suatu hari aku pernah menemukannya sedang berada di sebuah kamar. Di hadapannya sebuah potret tergeletak. Ia memandangnya seolah ada lubang sangat dalam yang ingin ia masuki. Potret itu berwarna hijau agak kekuningan. Ada gambar lampu taman tua dengan lanskap daun-daun ketapang yang rindang. Apakah itu lampu taman yang sering ia bicarakan?
Diandra pernah bertanya padaku apakah aku suka jalanan dengan cahaya terang atau redup. Aku menjawab lebih senang warna terang, sebab, dengan warna terang kesedihan dan kegembiraan tak perlu disembunyikan. Diandra tertawa kecil, jarang sekali aku melihatnya bisa tertawa tulus seperti itu. Sudah itu ia bilang ia tak suka warna terang, sebab terlalu mudah menebak suasana hati orang katanya kurang menyenangkan. Lalu ia memintaku untuk memasang lampu di halaman rumah dengan warna tak terang. Dengan bentuk sama persis dengan lampu yang ada di potret yang sering membuatku merasa sangat kehilangan dirinya.
Beberapa kali aku berusaha menyentuh potret itu dan meletakkannya di sebuah bingkai kemudian memasangnya di dinding. Tentu dengan harapan supaya ia tak perlu lagi memandangi potret itu seolah dunia cuma ada di sana. Tetapi Diandra menolak dan mendekap potret itu seolah aku adalah penjahat yang akan merampas kebahagiaannya. Ketika kuhibur dia dengan mengatakan tamanmu tak akan ke mana-mana, tamanmu akan terlihat lebih indah di dalam bingkai itu. Ia menggeleng dan mengusirku.
Dia sering sekali tidak menyahut ketika kuajak berbicara. Namun, ia sering berbicara bahkan ketika tak seorang pun mengajaknya berbicara. Apakah saat itu kamu datang tanpa sepengetahuan siapapun? Aku tidak tahu. Tetapi aku selalu berusaha mendengarkan dan mencatat ucapan-ucapan lirih yang keluar dari bibir pucatnya.

Beribu-ribu pikiran naik-turun senantiasa di dalam diri;
 jiwaku tak pernah istirah, bagai pesta kembang api nan abadi.

Bukankah itu salah satu sajak Goethe yang pernah kamu hadiahkan kepada telinganya? Dia menghafalnya bahkan ketika ia sudah melupakan segalanya. Aku tak pernah menanyakan apakah ia melupakanmu atau tidak. Mungkin sebagaimana larik itu, kau memang tak akan pernah istirah, sedangkan Diandra ingin pulang dan merasakan kehidupan yang tenang, nyaman. Ya, aku berusaha memberikannya. Namun barangkali rumah yang diinginkan cuma kamu, seorang saja.
Aku pernah mengajak Diandra tinggal di sebuah tempat yang mungkin bisa membuatnya lebih tenang. Tempat dengan halaman lapang dengan kursi-kursi panjang bertebaran, serta pohon-pohon rindang membuat tempat lapang itu teduh. Aku tahu tak ada tempat yang bisa diciptakan sama persis, apalagi sebuah peristiwa. Maka aku cuma seperti sedang memasang sebuah boneka pada lanskap yang tak tepat sehingga boneka itu tampak tak bernyawa.
Diandra terlihat lebih segar ketika seseorang membawanya kembali ke tempat tinggalnya semula dengan beberapa hal dari taman yang sempat ia bawa; potret itu, dan kenangan-kenangannya. Bagaimana bisa seseorang masuk ke dalam sebuah potret dan hidup di sana?
Kutanyakan hal itu kepada siapapun. Aku betul-betul berusaha mencari tahu bagaimana cara mengeluarkan seseorang dari sana, atau ikut masuk ke sana dan menemaninya tinggal supaya tak sendirian. Namun, ketika, entah melalui mimpi atau apa, kakiku bisa menapak tanah yang juga ia pijak, taman yang juga ia kunjungi, lampu taman yang juga menerangi tubuhnya, aku cuma sebuah suara tanpa wujud yang tak akan didengarkan oleh telinga manapun, juga telinga Diandra.
Sudah itu aku berjanji kepadanya juga diriku sendiri, aku pasti akan menemukanmu dan membuat mata Diandra serta jiwanya hidup lagi. Tetapi mungkin kamu cuma masa lalu yang menjelma masa depan, yang tak bisa digenggam siapapun sebelum waktunya benar-benar tiba, atau sama sekali tak akan tiba.
Kini, setiap hari aku memandangi potret itu sendirian. Tidak kalah gelisah dengan seseorang yang bermain jungkat-jungkit di sana. Diandra, kapan kehidupan bisa menemuimu lagi dan sebaliknya?


Boja, Juli 2014
*sajak Johann Wolfgang von Goethe




1 komentar: