Diandra
melepas alas kaki kemudian membiarkan beban tubuhnya berada di atas
jungkat-jungkit. Bunyi keresak daun kering terdengar ketika salah satu ujung
jungkat-jungkit mengenai tanah. Ia terus menggerakkan mainan yang cat dan
kayunya sudah lapuk, seolah sedang bermain-main dengan bayangannya sendiri.
Di
taman itu cuma ada ia seorang. Diantara pohon pinus yang berjajar, dan pohon
ketapang yang daun-daun kuningnya rontok menutupi rumputan yang tumbuh liar di
sana. Ada beberapa mainan yang membuat Diandra ingin terus datang dan menyentuh
mainan-mainan itu, jungkat-jungkit yang sudah tak bisa lagi memberi jarak
dengan kakinya, perosotan yang terasa sangat kecil, dan ayunan yang besi
pegangannya sudah berkarat serta menimbulkan bunyi derit yang sedih.
Sudah
berapa lama taman ini tak disentuh tangan orang? Batinnya. Ia seperti sedang
mengunjungi halaman rumah yang sudah ratusan tahun ditinggal penghuninya.
Padahal taman itu terletak di tengah kota.
“Jangan-jangan
taman ini tak bisa dilihat siapapun, cuma kita.” Candamu ketika suatu hari
pernah mengajak Diandra ke sana dan duduk di tempat yang sama dimana perempuan
berusia dua puluhan itu kini sedang berada.
“Jangan-jangan
iya?” Diandra menyahut.
Kalian
mirip sepasang kelinci yang pandai sekali membayangkan akan ada peri yang
mengajak kalian terbang ke bulan. Lalu kalian membangun dunia yang penuh wortel
di sana. Atau peristiwa ajaib lain.
Di
sisi taman itu tampak sebuah rumah besar mirip istana. Dindingnya dibangun dari
batu bata merah yang tersusun rapi. Atapnya rata tanpa genting seperti bangunan
jaman kolonial.
“Menurutmu,
siapa kira-kira penghuninya?” Tanyamu, setelah beberapa saat berdecak mengagumi
bangunan dengan corak asing yang tumbuh di tengah kota besar yang di sekitarnya
rumah-rumah sudah mirip masyarakat urban.
“Mungkin,
keluarga dari negeri Jerman.”
“Masak?
Kita bisa tanya-tanya soal Goethe dong?”
Kalian
girang membicarakan rumah yang pintunya senantiasa tertutup itu. Halaman rumah
dan jalanan dibatasi oleh gerbang besi yang tingginya hampir sama dengan lampu
taman usang yang tak menyala di atas kalian. Di kepalamu puisi Goethe begitu
saja melintas kemudian membuatmu menggumam pelan.
Tiada makhluk runtuh jadi tiada
Sang Abadi tak henti berkarya dalam
segala,
Pada sang Ada lestarikan diri tetap
bahagia*
“Menurutmu
apa benar rumah itu milik orang Jerman?”
“Mungkin
saja, mana ada rumah orang Indonesia berbentuk seperti itu.”
“Pasti
ada, orang kita kan mudah meniru.”
“Ssst,
kalau ucapanmu didengar orang lain bisa bahaya.”
Lalu
kalian melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian tertawa. Seolah ada yang begitu
lucu yang pantas ditertawakan. Sebagaimana sajak Goethe, dengan segala
harapannya yang terang.
“Tak
akan berbahaya, taman ini cuma kita yang tahu." Ucapmu setengah berbisik.
Lalu Diandra memintamu membacakan beberapa bait puisi lagi. Kamu kali ini
mengambil buku dan membacakan beberapa baris puisi sembari duduk di atas
jungkat-jungkit dan mempermainkan mainan itu. Diandra di jungkat-jungkit di
sisi seberang mendengarkanmu dengan khidmad. Aih, macam murid yang patuh pada
guru saja ia. Sesekali ia melamun, sesekali ia tersenyum-senyum, sesekali ia
memandang matamu tanpa berkedip. Menurutmu, bagaimana cara mengembalikan mata
Diandra supaya bercahaya seperti itu lagi?
Diandra
kini sedang melakukan hal yang sama. Jungkat-jungkit itu menahan beban tubuhnya
ke atas dan ke bawah. Namun tak ada seorang pun di sana. Apa kalian tak pernah
janjian untuk bertemu di taman itu lagi? Aku tak pernah berani menanyakan itu
kepada Diandra, matanya selalu memeperlihatkan permusuhan kepada siapapun.
Termasuk kepadaku.
Suatu
hari aku pernah menemukannya sedang berada di sebuah kamar. Di hadapannya
sebuah potret tergeletak. Ia memandangnya seolah ada lubang sangat dalam yang
ingin ia masuki. Potret itu berwarna hijau agak kekuningan. Ada gambar lampu
taman tua dengan lanskap daun-daun ketapang yang rindang. Apakah itu lampu
taman yang sering ia bicarakan?
Diandra
pernah bertanya padaku apakah aku suka jalanan dengan cahaya terang atau redup.
Aku menjawab lebih senang warna terang, sebab, dengan warna terang kesedihan
dan kegembiraan tak perlu disembunyikan. Diandra tertawa kecil, jarang sekali
aku melihatnya bisa tertawa tulus seperti itu. Sudah itu ia bilang ia tak suka
warna terang, sebab terlalu mudah menebak suasana hati orang katanya kurang
menyenangkan. Lalu ia memintaku untuk memasang lampu di halaman rumah dengan
warna tak terang. Dengan bentuk sama persis dengan lampu yang ada di potret
yang sering membuatku merasa sangat kehilangan dirinya.
Beberapa
kali aku berusaha menyentuh potret itu dan meletakkannya di sebuah bingkai
kemudian memasangnya di dinding. Tentu dengan harapan supaya ia tak perlu lagi
memandangi potret itu seolah dunia cuma ada di sana. Tetapi Diandra menolak dan
mendekap potret itu seolah aku adalah penjahat yang akan merampas
kebahagiaannya. Ketika kuhibur dia dengan mengatakan tamanmu tak akan ke
mana-mana, tamanmu akan terlihat lebih indah di dalam bingkai itu. Ia
menggeleng dan mengusirku.
Dia
sering sekali tidak menyahut ketika kuajak berbicara. Namun, ia sering
berbicara bahkan ketika tak seorang pun mengajaknya berbicara. Apakah saat itu
kamu datang tanpa sepengetahuan siapapun? Aku tidak tahu. Tetapi aku selalu
berusaha mendengarkan dan mencatat ucapan-ucapan lirih yang keluar dari bibir
pucatnya.
Beribu-ribu
pikiran naik-turun senantiasa di dalam diri;
jiwaku tak
pernah istirah, bagai pesta kembang api nan abadi.
Bukankah
itu salah satu sajak Goethe yang pernah kamu hadiahkan kepada telinganya? Dia
menghafalnya bahkan ketika ia sudah melupakan segalanya. Aku tak pernah
menanyakan apakah ia melupakanmu atau tidak. Mungkin sebagaimana larik itu, kau
memang tak akan pernah istirah, sedangkan Diandra ingin pulang dan merasakan
kehidupan yang tenang, nyaman. Ya, aku berusaha memberikannya. Namun barangkali
rumah yang diinginkan cuma kamu, seorang saja.
Aku
pernah mengajak Diandra tinggal di sebuah tempat yang mungkin bisa membuatnya
lebih tenang. Tempat dengan halaman lapang dengan kursi-kursi panjang
bertebaran, serta pohon-pohon rindang membuat tempat lapang itu teduh. Aku tahu
tak ada tempat yang bisa diciptakan sama persis, apalagi sebuah peristiwa. Maka
aku cuma seperti sedang memasang sebuah boneka pada lanskap yang tak tepat
sehingga boneka itu tampak tak bernyawa.
Diandra
terlihat lebih segar ketika seseorang membawanya kembali ke tempat tinggalnya
semula dengan beberapa hal dari taman yang sempat ia bawa; potret itu, dan
kenangan-kenangannya. Bagaimana bisa seseorang masuk ke dalam sebuah potret dan
hidup di sana?
Kutanyakan
hal itu kepada siapapun. Aku betul-betul berusaha mencari tahu bagaimana cara
mengeluarkan seseorang dari sana, atau ikut masuk ke sana dan menemaninya
tinggal supaya tak sendirian. Namun, ketika, entah melalui mimpi atau apa,
kakiku bisa menapak tanah yang juga ia pijak, taman yang juga ia kunjungi,
lampu taman yang juga menerangi tubuhnya, aku cuma sebuah suara tanpa wujud
yang tak akan didengarkan oleh telinga manapun, juga telinga Diandra.
Sudah
itu aku berjanji kepadanya juga diriku sendiri, aku pasti akan menemukanmu dan
membuat mata Diandra serta jiwanya hidup lagi. Tetapi mungkin kamu cuma masa
lalu yang menjelma masa depan, yang tak bisa digenggam siapapun sebelum
waktunya benar-benar tiba, atau sama sekali tak akan tiba.
Kini,
setiap hari aku memandangi potret itu sendirian. Tidak kalah gelisah dengan
seseorang yang bermain jungkat-jungkit di sana. Diandra, kapan kehidupan bisa
menemuimu lagi dan sebaliknya?
Boja, Juli 2014
*sajak Johann Wolfgang von Goethe
apik yang ini,
BalasHapus