Setiap kali hujan turun,
perempuan itu tak pernah beranjak dari pelataran. Kedua tangannya menengadah ke
langit. Matanya terpejam. Dan bajunya yang basah kuyup tak lagi dipedulikan. Ia
akan masuk rumah ketika air telah habis menetes dari langit. Sungguh.
Sepertinya ia ingin bersatu dengan hujan.
Namanya Daniela. Duapuluh lima
tahun lalu ia dilahirkan ibunya ketika musim kemarau menjajah bumi. Tidak ada
setetespun air turun dari langit. Dimana-mana kekeringan. Tumbuhan, binatang,
banyak yang mati kerana dehidrasi. Untung manusia masih bertahan. Bahkan ada
yang melahirkan.
Maka tangisan Daniela pada
musim kesakitan itu megundang perhatian banyak orang. Jerit tangisan melihat
bumi yang demikian panasnya. Bahkan gerak-gerik bayi itu seperti ingin masuk
lagi ke perut ibu yang penuh kedamaian dan sangat sejuk, tak perlu payung pun
sudah dapat tidur dengan tenang. Tetapi itu tidak mungkin ia lakukan. Bayi
itupun tumbuh menjadi gadis remaja. Dan hingga sebesar itu, ia hanya
bercita-cita ingin melihat sesuatu yang belum perah dilihatnya. Yang kata
orang, lebih sejuk dari beberbaring di dalam perut ibu. Hujan. Ya. Melihat
hujan. Tak perlu menjadi sarjana. Katanya.
Sedih sekali sang ibu
mendengar ucapan itu. bagaimana ia memenuhi keinginan putri semata wayangnya? Jangankan
hujan, mendung saja enggan lewat beberapa tahun terakhir ini. Angin meniup
begitu kering dan amat kasar dikulit. Bibir pecah-pecah. Mata merah. Ah. Ini
malah bercita-cita melihat hujan. Kalau bercita-cita menjadi sarjana, ibu bisa
mencarikan hutangan. Tetapi ini? Mustahil.
”Ibu tidak percaya doa, ya?”
tanya Daniela kepada ibu waktu itu.
”Tentu ibu percaya, anakku.”
”Lalu kenapa ibu mengatakan
mustahil pada keinginan yang datangnya hanya dari Tuhan? Daniela yakin pasti
Tuhan mendengarkan.”
”Iya, anakku. Tetapi kita juga
harus rasional...”
”Rasional, kan, hanya untuk
ilmu eksak, ibu...”
Ketika itu Daniela berusia 15
tahun. Di sekolah, Bu Guru sering menjelaskan mengenai ilmu pasti, ilmu yang
tidak bisa direkayasa, dan Daniela yang otaknya begitu encer, tak mungkin tidak
memikirkan setelah pelajaran usai. Nyatanya mujarab untuk membuat ibu gelagapan
dengan perkataannya. Anak semuda itu...
”Baiklah, berdoalah sepanjang
waktu. Ibu tak akan melarangmu memimpikan apapun di dunia ini. Maaf, ibu lupa,
kita memang perlu bermimpi supaya kita terus punya keinginan.”
Ibu tersenyum dan memeluk Daniela.
Matanya berkaca-kaca. Saat seperti ini pasti ibu mengingat masa lalunya. Masa
ketika ayah Daniela menjanjikan berjuta mimpi padanya. Mimpi yang akhirnya ia
perjuangkan seorang diri. Sementara ayah Daniela hilang entah ke mana.
Setelah Daniela terlelap dalam
pangkuannya, sang ibu menapat ke langit. Diam-diam bibirnya mengucapkan
sesuatu. Ia memohon kepada Tuhan agar mengabulkan doa anaknya.
***
”Ibu, Tuhan belum mengabulkan
doaku.”
”Sabar.”
Ibu menjawab sembari
tersenyum. Tangannya masih sibuk menyerut es dan mengolahnya menjadi es buah
yang segar. Ya. Sejak melahirkan Daniela ia telah menekuni pekerjaan itu.
lumayan, meski hasilnya tidak banyak, tetapi cukup banyak yang bertandang.
Terlebih musim memang sangat menjamin dagangannya tak akan pernah sisa.
Daniela selalu membantu ibu. Setelah
pulang sekolah hingga malam hari. Bahkan ketika kedai telah tutup dan ada orang
yang bersikeras ingin minum, Daniela tetap setia menemani ibu. Ia amat rajin.
Maka tak jarang pengunjung kagum pada tangan mungilnya yang sepertinya tak
pernah capek. Tentu juga karena wajahnya yang begitu ayu. Mana ada gadis
dikampungnya yang ayunya sealami itu. Lembut. Anggun. Mungkin dewi kecantikan
telah menetap di dalam tubuhnya.
”Bu, laki-laki itu
menggodaku.”
Katanya pada ibu suatu hari.
”Yang mana?”
”Yang berbaju biru. Lihat, Bu,
matanya seperti laut.”
”Hush, apa-apaan kamu. Mana
ada seseorang bermata laut. Laut kan dalam. Penuh air. Nanti bisa-bisa kita
tenggelam. Tempat ini jadi banjir, dan halaman akan dipeuhi ikan berloncatan.”
”Iya, Bu, memang seperti itu.”
”Hush. Apa-apaan kamu?”
”Memang seperti itu. Di sini
akan terjadi banjir.”
Ibu tidak lagi menggubris
ucapan Daniela yang nyeleneh itu. Ia kemudian ke dapur dan mengamati,
adakah yang terjadi pada putrinya? Jangan-jangan ia jatuh cinta? Hujan dan
laut. Selisihnya sedikit. Sama-sama air. Jangan-jangan ia memang sedang jatuh
cinta.
Maka setelah hari itu, ibu
melarang Daniela ikut ke warung. Ia tak mau kehilangan Daniela. Berlebihan,
bukan? Ia teringat lagi akan ayah putrinya. Cinta, anakku, hanya akan membuatmu
terluka. Bisiknya setiap kali pulang ke rumah dan Daniela sudah tenang dengan
lelapnya.
***
”Jaga
rumah baik-baik.”
Daniela
mengangguk sambil tersenyum.
”Ibu pulang jam berapa?”
”Mungkin jam sepuluh malam.
Kenapa?”
”Tidak apa-apa. Hati-hati.”
”Kamu juga hati-hati. Banyak
perampok mengincar rumah yang berpenghuni cantik.” Lalu ibu beranjak,
meninggalkan Daniela yang memandangnya di depan pintu.
Genap dua minggu Daniela tidak
diperbolehkan ikut berjualan. Ia menjaga rumah. Ia tahu alasan ibu tak
mengijinkan ia ikut serta. Lelaki bermata laut itu. Ah. Ibu takut kehilanganku
karena lelaki laut itu.
Duapuluh menit setelah ibu Daniela
pergi, gadis itu keluar rumah dan mengunci pintu. Wajahnya memang sangat ayu.
Tentu bukan karena bunga-bunga yang menempel di rok selutunya, melainkan
matanya yang sangat berbinar karena hendak menemui lelaki itu. lelaki yang
menyimpan laut di matanya.
”Mas.”
”Hei. Kupikir kamu tidak
datang.”
”Menunggu ibu berangkat ke
kedai.”
”Kamu nakal, ya.”
”Itu karena aku ingin
menemuimu.”
Daniela tertegun. Sungguh. Ia
bisa merasakan bahwa mata lelaki itu menyimpan berliter air dan kedalamannya.
Seperti hujan yang ia bayangkan turun sepanjang tahun. Hingga menjadi danau dan
akhirnya menjelma laut maha luas. Laut yang bisa menenggelamkan dirinya serta
kehidupannya.
”Kamu sudah pertimbangkan
permintaanku waktu itu?”
”Membawaku pergi dan akan kau
nikahi?”
”Tentu.”
”Aku datang untuk itu.”
”Tetapi ibumu tidak
mengetahui.”
”Kalau ibu mengetahui, aku
tidak akan ada di sini.”
”Aku janji. Akan memberi hujan
seperti yang kau mau.”
Merekapun bergandengan tangan.
Menuju jalan yang tak pernah dilalui. Jalan dengan aspal yang sangat halus.
Bahkan Daniela tidak tahu jalan mana itu. Seumur hidup baru sekali ini
dilihatnya. Terlebih di samping kanan-kiri jalan tersebut, pohonan tumbuh gemuk
dengan daunnya berguguran seperti hujan yang ia bayangkan. Burung-burung
berkicau bersahutan. Angin mengiring mereka dengan lembut. Dan tiba di sebuah
rumah, Daniela tahu, di sana hujan turun berhamburan.
***
Tetesan air mengetuk atap
rumah dengan tajam. Menancap di gendang telinga dan bola mata. Menggerus ulu
hati. Menghadirkan keringat dingin yang membuat seorang perempuan tak penah
membuka mulut hanya untuk melepas hawa dingin. Ia senantiasa mendekap selimut
dan menatap jendela yang dibiarkan terbuka.
Kini bumi telah kembali
normal. Musim muncul pada waktu yang telah dijadwalkan. Dan sejak beberapa
minggu yang lalu hujan sangat rutin membasahi pekarangan. Membuat bunga serta
pohonan kembali segar, menghiasi pemilik rumah yang masih murung sepanjang
hari.
Daniela masih setia dengan
hujannya. Kali ini tidak lagi ia memimpikan hujan seperti dulu. Katanya ia
telah bertemu dengan hujan yang diimpikan beberapa tahun lalu. Tetapi hujan itu
benar-benar menjelma laut. Ia tenggelam sedalam-dalamnya. Dan ketika bangun. Ia
hanya tahu, air telah turun dari langit. Lelaki itu menurunkan hujan untuknya.
Sementara sang ibu, tetap setia menantinya bermandi hujan sepanjang tahun.
Hanya supaya si anak dapat bertemu dengan kekasihnya. Bulir hujan yang turun
menyiksa itu.
Boja, 16 Juli 2011 21.43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar