Sabtu, 26 Juli 2014

Hujan Pertama


Setiap kali hujan turun, perempuan itu tak pernah beranjak dari pelataran. Kedua tangannya menengadah ke langit. Matanya terpejam. Dan bajunya yang basah kuyup tak lagi dipedulikan. Ia akan masuk rumah ketika air telah habis menetes dari langit. Sungguh. Sepertinya ia ingin bersatu dengan hujan.
Namanya Daniela. Duapuluh lima tahun lalu ia dilahirkan ibunya ketika musim kemarau menjajah bumi. Tidak ada setetespun air turun dari langit. Dimana-mana kekeringan. Tumbuhan, binatang, banyak yang mati kerana dehidrasi. Untung manusia masih bertahan. Bahkan ada yang melahirkan.
Maka tangisan Daniela pada musim kesakitan itu megundang perhatian banyak orang. Jerit tangisan melihat bumi yang demikian panasnya. Bahkan gerak-gerik bayi itu seperti ingin masuk lagi ke perut ibu yang penuh kedamaian dan sangat sejuk, tak perlu payung pun sudah dapat tidur dengan tenang. Tetapi itu tidak mungkin ia lakukan. Bayi itupun tumbuh menjadi gadis remaja. Dan hingga sebesar itu, ia hanya bercita-cita ingin melihat sesuatu yang belum perah dilihatnya. Yang kata orang, lebih sejuk dari beberbaring di dalam perut ibu. Hujan. Ya. Melihat hujan. Tak perlu menjadi sarjana. Katanya.
Sedih sekali sang ibu mendengar ucapan itu. bagaimana ia memenuhi keinginan putri semata wayangnya? Jangankan hujan, mendung saja enggan lewat beberapa tahun terakhir ini. Angin meniup begitu kering dan amat kasar dikulit. Bibir pecah-pecah. Mata merah. Ah. Ini malah bercita-cita melihat hujan. Kalau bercita-cita menjadi sarjana, ibu bisa mencarikan hutangan. Tetapi ini? Mustahil.
”Ibu tidak percaya doa, ya?” tanya Daniela kepada ibu waktu itu.
”Tentu ibu percaya, anakku.”
”Lalu kenapa ibu mengatakan mustahil pada keinginan yang datangnya hanya dari Tuhan? Daniela yakin pasti Tuhan mendengarkan.”
”Iya, anakku. Tetapi kita juga harus rasional...”
”Rasional, kan, hanya untuk ilmu eksak, ibu...”
Ketika itu Daniela berusia 15 tahun. Di sekolah, Bu Guru sering menjelaskan mengenai ilmu pasti, ilmu yang tidak bisa direkayasa, dan Daniela yang otaknya begitu encer, tak mungkin tidak memikirkan setelah pelajaran usai. Nyatanya mujarab untuk membuat ibu gelagapan dengan perkataannya. Anak semuda itu...
”Baiklah, berdoalah sepanjang waktu. Ibu tak akan melarangmu memimpikan apapun di dunia ini. Maaf, ibu lupa, kita memang perlu bermimpi supaya kita terus punya keinginan.”
Ibu tersenyum dan memeluk Daniela. Matanya berkaca-kaca. Saat seperti ini pasti ibu mengingat masa lalunya. Masa ketika ayah Daniela menjanjikan berjuta mimpi padanya. Mimpi yang akhirnya ia perjuangkan seorang diri. Sementara ayah Daniela hilang entah ke mana.
Setelah Daniela terlelap dalam pangkuannya, sang ibu menapat ke langit. Diam-diam bibirnya mengucapkan sesuatu. Ia memohon kepada Tuhan agar mengabulkan doa anaknya.

***

”Ibu, Tuhan belum mengabulkan doaku.”
”Sabar.”
Ibu menjawab sembari tersenyum. Tangannya masih sibuk menyerut es dan mengolahnya menjadi es buah yang segar. Ya. Sejak melahirkan Daniela ia telah menekuni pekerjaan itu. lumayan, meski hasilnya tidak banyak, tetapi cukup banyak yang bertandang. Terlebih musim memang sangat menjamin dagangannya tak akan pernah sisa.
Daniela selalu membantu ibu. Setelah pulang sekolah hingga malam hari. Bahkan ketika kedai telah tutup dan ada orang yang bersikeras ingin minum, Daniela tetap setia menemani ibu. Ia amat rajin. Maka tak jarang pengunjung kagum pada tangan mungilnya yang sepertinya tak pernah capek. Tentu juga karena wajahnya yang begitu ayu. Mana ada gadis dikampungnya yang ayunya sealami itu. Lembut. Anggun. Mungkin dewi kecantikan telah menetap di dalam tubuhnya.
”Bu, laki-laki itu menggodaku.”
Katanya pada ibu suatu hari.
”Yang mana?”
”Yang berbaju biru. Lihat, Bu, matanya seperti laut.”
”Hush, apa-apaan kamu. Mana ada seseorang bermata laut. Laut kan dalam. Penuh air. Nanti bisa-bisa kita tenggelam. Tempat ini jadi banjir, dan halaman akan dipeuhi ikan berloncatan.”
”Iya, Bu, memang seperti itu.”
”Hush. Apa-apaan kamu?”
”Memang seperti itu. Di sini akan terjadi banjir.”
Ibu tidak lagi menggubris ucapan Daniela yang nyeleneh itu. Ia kemudian ke dapur dan mengamati, adakah yang terjadi pada putrinya? Jangan-jangan ia jatuh cinta? Hujan dan laut. Selisihnya sedikit. Sama-sama air. Jangan-jangan ia memang sedang jatuh cinta.
Maka setelah hari itu, ibu melarang Daniela ikut ke warung. Ia tak mau kehilangan Daniela. Berlebihan, bukan? Ia teringat lagi akan ayah putrinya. Cinta, anakku, hanya akan membuatmu terluka. Bisiknya setiap kali pulang ke rumah dan Daniela sudah tenang dengan lelapnya.

***
            ”Jaga rumah baik-baik.”
            Daniela mengangguk sambil tersenyum.
”Ibu pulang jam berapa?”
”Mungkin jam sepuluh malam. Kenapa?”
”Tidak apa-apa. Hati-hati.”
”Kamu juga hati-hati. Banyak perampok mengincar rumah yang berpenghuni cantik.” Lalu ibu beranjak, meninggalkan Daniela yang memandangnya di depan pintu.
Genap dua minggu Daniela tidak diperbolehkan ikut berjualan. Ia menjaga rumah. Ia tahu alasan ibu tak mengijinkan ia ikut serta. Lelaki bermata laut itu. Ah. Ibu takut kehilanganku karena lelaki laut itu.
Duapuluh menit setelah ibu Daniela pergi, gadis itu keluar rumah dan mengunci pintu. Wajahnya memang sangat ayu. Tentu bukan karena bunga-bunga yang menempel di rok selutunya, melainkan matanya yang sangat berbinar karena hendak menemui lelaki itu. lelaki yang menyimpan laut di matanya.
”Mas.”
”Hei. Kupikir kamu tidak datang.”
”Menunggu ibu berangkat ke kedai.”
”Kamu nakal, ya.”
”Itu karena aku ingin menemuimu.”
Daniela tertegun. Sungguh. Ia bisa merasakan bahwa mata lelaki itu menyimpan berliter air dan kedalamannya. Seperti hujan yang ia bayangkan turun sepanjang tahun. Hingga menjadi danau dan akhirnya menjelma laut maha luas. Laut yang bisa menenggelamkan dirinya serta kehidupannya.
”Kamu sudah pertimbangkan permintaanku waktu itu?”
”Membawaku pergi dan akan kau nikahi?”
”Tentu.”
”Aku datang untuk itu.”
”Tetapi ibumu tidak mengetahui.”
”Kalau ibu mengetahui, aku tidak akan ada di sini.”
”Aku janji. Akan memberi hujan seperti yang kau mau.”
Merekapun bergandengan tangan. Menuju jalan yang tak pernah dilalui. Jalan dengan aspal yang sangat halus. Bahkan Daniela tidak tahu jalan mana itu. Seumur hidup baru sekali ini dilihatnya. Terlebih di samping kanan-kiri jalan tersebut, pohonan tumbuh gemuk dengan daunnya berguguran seperti hujan yang ia bayangkan. Burung-burung berkicau bersahutan. Angin mengiring mereka dengan lembut. Dan tiba di sebuah rumah, Daniela tahu, di sana hujan turun berhamburan.

***

Tetesan air mengetuk atap rumah dengan tajam. Menancap di gendang telinga dan bola mata. Menggerus ulu hati. Menghadirkan keringat dingin yang membuat seorang perempuan tak penah membuka mulut hanya untuk melepas hawa dingin. Ia senantiasa mendekap selimut dan menatap jendela yang dibiarkan terbuka.
Kini bumi telah kembali normal. Musim muncul pada waktu yang telah dijadwalkan. Dan sejak beberapa minggu yang lalu hujan sangat rutin membasahi pekarangan. Membuat bunga serta pohonan kembali segar, menghiasi pemilik rumah yang masih murung sepanjang hari.
Daniela masih setia dengan hujannya. Kali ini tidak lagi ia memimpikan hujan seperti dulu. Katanya ia telah bertemu dengan hujan yang diimpikan beberapa tahun lalu. Tetapi hujan itu benar-benar menjelma laut. Ia tenggelam sedalam-dalamnya. Dan ketika bangun. Ia hanya tahu, air telah turun dari langit. Lelaki itu menurunkan hujan untuknya. Sementara sang ibu, tetap setia menantinya bermandi hujan sepanjang tahun. Hanya supaya si anak dapat bertemu dengan kekasihnya. Bulir hujan yang turun menyiksa itu.

Boja, 16 Juli 2011 21.43

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar