Sena membiarkan tangan orang-orang
membuatnya sulit bergerak. Kemudian ia rasakan sebatang jarum menyusup di kulit
lengannya bagian kiri. Ia ingin menjerit namun suaranya luruh bersama dengan
zat yang menyerap seluruh kekuatan tubuhnya. Ia cuma bisa memandang kedukaannya
sendiri di mata orang-orang di sekelilingnya.
Ia duduk di sebuah ranjang yang sewarna
dengan seluruh yang ada di ruangan itu, serba putih. Ia menghadap ke jendela
terbuka yang terhalang oleh besi-besi panjang seperti berada di dalam penjara.
Ia membiarkan pandangannya menyentuh daun-daun kersen yang tampak rindang di
luar jendela. Beberapa burung kecil yang kebetulan hinggap dan menggerak-gerakkan
ranting tak menggoyahkan bola matanya. Seperti ada air keras yang membekukan
mata itu.
Di ujung dahan-dahan itu ia mendengar
seseorang berbicara tentang langit, tentang laut, tentang angin, dan tentang
apapun yang membuatnya terperangkapn pada semua kata-kata yang entah darimana
lahirnya itu. Ia terperangkap pada semua diksi yang pernah ia dengar. Ia merasa
tak bisa lari kemanapun, ia merasa membutuhkan pertolongan. Ia sungguh ingin
berlari ke pamakaman sekarang dan meminta pertolongan kepada gadisnya.
Tetapi ia tidak bisa berlari ke
pemakaman sekarang. Kakinya dirantai oleh zat yang tadi disuntikkan ke dalam
tubuhnya, begitu juga dengan tangannya, matanya, mulutnya, seluruhnya.
Ia membutuhkan pertolongan sekarang. Ia
tahu gadisnya tak akan marah jika saat ini ia datang dan meminta apa yang
pernah gadis itu janjikan. Ia justru takut apabila ia tidak datang, gadisnya
akan mengira bahwa ia tidak memedulikannya. Bahwa ia tidak membutuhkan apa yang
telah dijanjikan gadisnya. Setitik dua titik air merembes menembus kelopak
matanya.
Tak lama kemudian ia mendengar langkah
kaki mendekati pintu yang tertutup. Ia mendengarnya seperti gema yang merambat
sangat lambat di udara. Langkah kaki itu semakin terdengar dan suara orang yang
bercakap semakin jelas di telinganya. Tetapi saat ini ia adalah binatang yang
sedang terluka, dan cuma bisa meminta pertolongan kepada gadisnya.
Ia mendengar derit lubang kunci diputar.
Lalu pintu terbuka dan dua orang berdiri di depan pintu. Ia tak berusaha menoleh
atau mengenali kedua orang itu. Dia membiarkan kedua orang itu melihatnya
seperti tontonan.
“Saya akan membawanya.” Kata salah
seorang di antara mereka.
“Tetapi kondisinya sedang tidak baik,
berbahaya.” Timpal seorang lainnya.
“Tetapi ia harus saya bawa.”
“Tetapi ia akan membahayakan siapapun si
sekitarnya.”
Petcakapan itu masuk ke dalam
telinganya. Ia tak dapat menerka suara siapa itu. Ia hanya samar-samar merasa
pernah mendengar suara itu entah di mana. Ia tersingung ketika ia dikatakan
membahayakan siapapun. Kenyataannya kedua orang itu kini tak sedang berbahaya
berada di dekatnya.
“Tetapi seseorang sedang menunggunya
sekarang.”
Suara seseorang di pintu itu menggema,
memantul, membunyikan masa lalu dengan ngilu di kamar itu. Sena merasakan dadanya
sesak, beban itu cuma bisa ia tanggung sendiri. Bahkan anggota badannya sendiri
tak mampu menolongnya.
“Biarkan dia tenang dulu.” Ucap
seseorang yang lain.
Sena merasakan telapak tangannya
berkeringat. Basah yang lantas terasa dingin. Ia ingin sekali berteriak,
menanyakan kepada orang-orang itu bagian mana dari dirinya yang sedang tampak
tidak tenang. Bahkan seekor semut yang menggigit kulitnya tak bisa ia sentuh.
“Tetapi kita tidak bisa menunggu lagi, ada
seseorang yang benar-benar ingin bertemu dengannya sekarang.” Suara seseorang
di pintu tiba-tiba meninggi. Nyaris menjerit ia, lantas beberapa orang datang
dan mengajaknya pergi. Tak lama kemudian jarum suntuk yang serupa memasukkan
cairan kepadanya. Ia jadi seperti korban kedua setelah Sena.
Sudah itu Sena tahu tak ada siapa-siapa
lagi di ruangan itu. Ia kembali diperangap ruangan putih tanpa suara. Tatapan
mata kosongnya masih merayap di daun-daun kersen, dahan-dahan, dan buahnya yang
sesekali berjatuhan. Angin yang lewat membuat kelopak matanya perih dan berat.
Ia merasa lebih mati dari orang yang sudah mati.
Gadisku, apa begini rasanya mati?
Ucapnya dalam hati. Ia tak mengharapkan jawaban dari siapapun. Ia hanya ingin
pergi ke pemakaman dan memeluk gadisnya yang sebentar lagi akan habis dimakan
rayap, hidup sendirian di dalam kesepian.
Tidak, kita tidak akan kesepian di dalam
tanah. Ada orkes kecoak dan sejenisnya. Kata gadisnya suatu hari ketika mereka
sedang membayangkan kematian. Dan ia merasakan ketakutan menyerangnya
tiba-tiba, kesepian yang tiba-tiba begitu tebal mengepung tubuhnya. Disini
sesekali aku mendengar nyamuk mendenging, semut-semut serta kecoa entah
membicarakan apa, apakah itu yang dimaksud dengan konser para serangga? Tetapi
aku merasa lebih kesepian dari yang pernah kita bayangkan. Dadanya bergerak lebih
cepat.
Buku-buku dan seluruh tulisan yang
pernah ia baca bersama gadisnya menciptakan imajinasi liar yang tumbuh di kulit
kepalanya. Ia berharap imajinasi itu mampu menembus dinding, mampu menembus
jarak, mampu menembus batas-batas kesaradannya, mampu membawanya ke pemakaman
sekarang.
Erangan kecil terdengar dari bibirnya
yang kaku, yang pucat. Otot-ototnya menegang. Ia malah membayangkan dirinya
adalah ikan buntal, yang sebentar lagi meletus.
“Jangan, Pak, tolong jangan.” Suara
seoang perempuan, setengah menangis. Ia terkejut, tak menyadari sejak kapan ada
beberapa orang membuka pintu dan mengusik kesendiriannya lagi. Ia tak mampu
menoleh. Matanya masih kaku, rantai besi seperti mengikatnya supaya tak dapat
bergerak.
Perempuan yang menangis dan setengah
menjerit itu tiba-tiba menghambur kepada tubuh Sena, sampai ia hampir terjatuh
jika saja beberapa orang yang menyertai perempuan itu tidak menopangnya.
“Hati-hati, kalau salah satu terluka kan
kasihan.” Ucap seseorang, yang kini kedua tangannya mendekap Sena, cengkeraman
eratnya membuat kulit Sena perih.
Sena melihat jendela ditutup. Ia tak
sempat mengucapkan apa-apa pada daun-daun kersen, pada dahan-dahannya. Pada buah-buahnya
yang masak. Ia tak sempat menyampaiakan keinginannya.
***
“Sudah.” Ucap seseorang.
Sena duduk di tepian ranjang sambil
masih merasakan perih dan pegal di pergelangan tangan kirinya. Ia melihat
beberapa orang yang tadi menyerang kini berangsur pergi. Tinggal ia dan kamar
serba putih yang saling diam.
Sena merasakan kunang-kunang penuh di
kepalanya. Menyerap energi yang beberapa menit lalu masih bisa membuatnya
bergerak sesuka hati, berlari, berjalan, melakukan apapun. Namun tak semua
orang menghendaki ia melakukan apapun. Maka saat ini ia duduk di ruang itu,
dengan sisa-sisa ingatan yang pelan-pelan membuat matanya mulai terbuka dan
menemukan titik pandang.
Jendela dengan jeruji penjara itu
senantiasa terbuka, memberikan kesempatan kepadanya untuk menghirup udara
segar. Sebab pintu tak mungkin terlepas dari cengkeraman kunci. Ia tahu bahwa
ia sedang diamankan. Namun ia tak mau memahami mengapa ia harus diamankan.
Semua orang tahu bahwa dirinya bukan
pembunuh, bukan pencuri, bukan perusak. Tetapi semua orang memandangnya dengan
tatapan yang menakutkan. Sebagian karena iba, sebagian, karena jijik, sebagian
lagi menyalahkan entah dengan alasan apa. Ia cuma tahu bahwa ia sering disergap
sebagaimana seorang buronan.
Ia sedang berada di tepian pekuburan
ketika tiba-tiba seseorang melihatnya dan terkejut sehingga berteriak agak
kencang sembari menyebut namanya. Beberapa orang yang kebetulan mendengar,
mengalihkan sebentar kesedihan mereka untuk menoleh kepadanya. Lantas beberapa
orang yang sedang dirundung duka itu mendekatinya, mencekal tangannya,
menariknya untuk tak mendekat ke tengah tanah pekuburuan yang di sana nampak
lubang dalam berbentuk panjang di mana di dalamnya seseorang yang ia cintai
hendak menghuni.
“Dia ingin bertemu denganku, tolong,
jangan sentuh ia dengan tanah sedikitpun, ia hendak mengatakan sesuatu
kepadaku!”
Teriakan-teriakan Sena membuat
orang-orang yang mencengkeram tangannya, semakin kuat menariknya menjauhi
tempat itu. Mereka semakin berjuang keras mejauhkan Sena dari kesedihan yang
sedang masyuk di tempat itu.
“Tolong, jangan kuburkan dia, ada yang
ingin kukatakan, ada yang ingin kusampaikan. Tolong, hanya dia yang bisa menolongku!!”
Dan teriakannya benar-benar seperti
gonggongan anjing, tak luput dari telinga namun pada akhirnya diabaikan.
Sena melihat orang-orang mengerumuni
lubang dalam dengan bentuk memanjang. Ia tahu di dalam lubang itu seseorang
sedang menunggunya. Sedang menantikannya untuk mendengarkan sesuatu yang akan
keluar dari bibirnya. Dari kejauhan Sena hanya bisa melihat kerumunan. Hanya
melihat dan mendengar tangisan. Hanya mampu menangis dan akhirnya tubuhnya
benar-benar menjauh dibawa sebuah mobil entah akan ke mana. Ia tahu seseorang
di dalam lubang panjang itu mendengarkan teriakannya, turut menangis sebab ia
tak dapat menemuinya.
“Di makan. Jangan dibuang lagi.” Ucap
seseorang.
Sena sering menganggap seseorang yang
ada di sampingnya itu adalah hantu yang tiba-tiba ada tiba-tiba pergi tiba-tiba
bicara tiba-tiba menghilang berhari-hari. Kini tiba-tiba ia ada di samping
ranjangnya membawa penampan berisi nasi dan lauk pauk, di sebelahnya segelas
penuh susu putih mengeluarkan uap panas.
Sena melirik sebentar. Ia masih tak
sanggup menggerakkan jari-jarinya, menggerakkan apapun di tubuhnya. Ia melirik
perempuan yang membawa penampan itu. Ia ingin menajamkan lirikan matanya, ingin
mengatakan sesuatu, namun ototnya kembali lemas. Ia kembali seperti orang
lumpuh, bahkan hanya untuk menggerakkan bola mata dan kelopaknya.
Setelah meletakkan penampan di meja, perempuan
itu memandang Sena. Ia mengerti bahwa tangan Sena dan seluruh tubuhnya sedang
tak bisa digerakkan. Lantas bagaimana ia memintanya untuk makan? Perempuan itu
duduk sedikit berjarak dari Sena. Ia turut memperhatikan apa yang sedang
menjadi titik pandang mata Sena. Kemudian melongok ke jendela sebentar dan
berbicara.
“Kamu memperhatikan burung-burung itu
ya?”
Sena berkedip. Ia tak berniat menjawab pertanyaan
perempuan itu dengan apapun.
“Mestinya kamu tak perlu punya keinginan
menjadi seperti burung-burung itu.” Perempuan yang sedang duduk di sampingnya
seperti seorang remaja yang sedang menghibur temannya. Ringan. Tanpa beban.
Sena merasa tak senang dengan ucapan
seseorang di sampingnya. Ia seperti didakwa bahwa ia tak perlu macam-macam
supaya ia tak di suntik dan di suntik lagi, supaya ia tidak dirantai dan
dirantai lagi, supaya ia tidak dikurung dan dikurung lagi. Tetapi, memangnya
selama ini ia macam-macam bagaimana? Ia belum sempat melakukan apa-apa. semua
tangan seolah berkehendak untuk mencegahnya melakukan apa yang diinginkan.
Lantas bagian mana yang berbahaya dariku? Jika mulutnya bisa dibuka ia pasti sudah
melemparkan kalimat itu dengan sinis ke mukanya.
“Aku juga pernah ingin jadi
burung-burung.” Kata perempuan itu. “Tetapi, setelah tahu burung itu tidak
punya rumah, aku jadi tak ingin seperti mereka. Memangnya terbang terus menerus
di langit atau hinggap di dahan pohon tidak berbahaya.” Perempuan itu bicara
dengan santai. Barangkali ia pun pandai berimajinasi seperti Sena, ia
membayangkan Sena mendengarkan ucapannya dengan senang, padahal ia tahu, Sena cuma
ingin mendengarkan dirinya sendiri.
“Bagaimana dengan orkes serangga di
kamar ini? Kamu masih sering mendengarnya?”
Sena menarik napasnya dengan berat. Lalu
menghembuskan pelan-pelan sekali seperti sedang berlatih olah vokal. Apa yang
harus dijawabnya? Ia bahkan tak ingat banyak. Orkes serangga. Daun kersen.
Jendela penjara. Burung-burung kecil. Para perawat. Sebanyak apa dalam sehari
ia dapat mengingat itu semua? Namun orkes serangga tiba-tiba membuat dadanya
nyeri.
Ia sering begitu saja mengingat orkes
serangga setiap kali merasa kesepian sedang mengintai dan hendak mencekik
lehernya, menyayat tubuhnya. Jika sudah begitu, ia akan segera melebarkan
kelopak mata, memeperhatikan setiap sudut ruangan dengan jeli, menerka ada
serangga apa di sudut sana, ada serangga apa di sudut sini, ada suara apa di
sana, ada suara apa di sini... Telinganya tak jarang kecewa karena pada saat
tertentu serangga-serangga yang ia harapakan dapat menyanyi untuknya justru
membuat kesepiannya semakin menakutkan. Tak jarang ia tak mendengar apapun
selain kecemasannya sendiri. Namun, pada saat tertentu, ia seperti berada di
sebuah ruangan luas, dengan panggung megah di depannya, kelompok musik orkes sedang
bersiap memainkan lagu-lagu yang disukainya. Ia melongo duduk di tepi tempat
tidur. Menikmati suara-suara yang ia yakini tak sedang ia dengarkan sendiri.
“Dari mana kamu tahu soal orkes
serangga?” Dalam hati ia ingin sekali menanyakan hal itu kepada perempuan yang
sedang mengerak-gerakkan kakinya. Melihat-lihat ruangan itu seolah baru pertama
kali mengunjungi.
“Hmm, aku ingin mendengarnya sesekali.”
Ujar perempuan itu. Setelahnya ia berdiri dan mengambil piring yang tadi ia
letakkan di atas meja di samping ranjang. “Jika tidak dimakan, tak ada serangga
yang mau datang.” Perempuan itu menyendok nasi dan lauk kemudian mendekatkan ke
bibir Sena.
Sena tak melirik. Ia masih tenggelam
dalam bayangan serangga, orkes serangga, belalang, jengkerik, kupu-kupu, lebah,
nyamuk, serangga-serangga yang sering ia lihat mampir di kamarnya kini sedang
berebut melintas ke dalam kepalanya. Ia sedang berusaha mengingat bunyi
serangga itu satu persatu. Ia sedang membayangkan bagaimana suara serangga yang
ia dengar itu jika didengarkan dari dalam tanah....
Begitu cepat ingatannya melompat ke
sebuah tempat di mana ia pernah diusir seperti seekor anjing yang menakutkan.
Ia seperti sedang menyambung percakapan jarak jauh dengan seseorang. Ia sedang
menemui seseorang.
Ia melihat seseorang sedang menunggunya
di sebuah tempat. Seseorang itu tersenyum lebih manis dari yang pernah ia lihat
sebelumnya (setiap kali bertemu dan setiap kali membayangkan, ia selalu
mempunyai argumen seperti itu). Ia sedang berjalan mendekati seseorang yang
entah kenapa tak berbicara apa-apa, namun ia begitu nyaman melihat cahaya
matanya yang menyala-nyala. Bagaimana kerinduan bisa disampaikan oleh seseorang
yang seluruh jiwa raganya dipenjarakan?
Ia merasakan dadanya sesak. Pasti
seseorang sedang berusaha menyerap seluruh cahaya sehingga ia tak dapat melihat
apa-apa. Samar-samar suara seorang perempuan menyusup ke telinganya. Seketika
ia tak mampu mengingat apa-apa bahkan dirinya sendiri....
***
“Pak, tolong kunci pintunya.”
“Kenapa?”
“Pokoknya kunci pintunya.”
Beberapa orang berada di luar kamar.
Mereka berduyun-duyun mengintip ke dalam kamar melalui celah kunci. Bisik-bisik
suara mereka mendengung hebat di telinga Sena, nyaris membuat kepalanya
meledak.
“Hush, sudah, ini bukan tontonan, sudah,
ayo minggir, sudah.” Suara seorang petugas terdengar jelas. Sena masih menutup
telinga, tak sanggup menampung seluruh yang menyerang telinganya.
Beberapa menit berlangsung menakutkan.
Ia seperti berada di sebuah kotak yang tak ia kenal. Sebuah kotak yang menyudutkannya.
Ia tak mengenali jendela, ranjang, almari, dan tulisan-tulisan kecilnya di
dinding. Ia seperti baru saja menggelinding dari tempat sangat tinggi. Kepalanya
pening.
Entah berapa lama ia terperangkap pada
situasi menyeramkan itu. Perlahan dunia membaik. Ia melihat seekor burung kecil
menengoknya di jendela. perlahan ia merasakan hatinya tenang. Tetapi, kenapa
lengannya selalu terasa pegal setiap kali ia berangsur mendapatkan ketenangan?
Ia melongok ke jendela. Memperhatikan
gerak burung kecil yang berpindah-pindah ringan dari satu dahan ke dahan
lainnya. Hari ini tubuhnya membaik. Ia bisa menggerakkan semua organ tubuhnya.
Ia bisa menyisir rambutnya. Ia bisa memandang wajahnya di cermin. Ia bisa
meggerakkan kakinya. Ia bisa berjalan ke mana-mana...
Ya, berjalan ke mana-mana. Pagi tadi setelah
mandi dan menyisir rambut ia membuka pintu kamar dan berjalan-jalan keluar. Ia
menyapa seorang satpam yang kebetulan bertugas tak jauh dari kamarnya. Ia
menganggukkan kepala. Pak satpam melakukan hal serupa. Lalu ia melangkah, ke
arah yang setiap hari cuma bisa ia lihat dari dalam penjara.
Sebuah taman, tanah lapang dengan rumput
hijau dan beberapa pohon kersen serta pohon ketapang tumbuh rindang di sana.
Daun-daunan yang gugur. Bunga-bunga bugenvil ungu yang sedang mekar. Dan
bangku-bangku panjang tabah menerima siapapun yang datang ke sana.
“Hai,” sapa seseorang, ketika ia
menyandarkan tubuhnya di sebuah bangku.
Sena tersenyum. Kepalanya mengangguk. Ia
memperhatikan seseorang yang menyapanya itu dengan jeli. Ia ingin menjawab
sapaannya dengan ucapan serupa, namun ia cuma bisa tersenyum, dan berharap
betul-betul bahwa senyumnya dapat mewakili apa yang ingin ia sampaikan.
“Selamat pagi, kamu sudah makan?”
Sena masih memandang orang itu. Tanpa
berkedip. Ia memperhatikan apa yang ada di tangan seseorang yang ada disampingnya.
Kotak bekal entah apa isinya.
“Jika kamu mau, aku mau membaginya
denganmu.”
Seseorang di depannya itu ramah sekali.
Ia mengangkat kotak bekal di pangkuannya. Matanya meyakinkan Sena bahwa
ucapannya sungguh-sungguh. Bahwa Sena boleh mengambil isinya jika ia mau.
Sena mengalihkan pandangan dari orang
itu ke arah sendal jepitnya. Ia mirip bocah kecil yang malu-malu berdekatan
dengan seseorang yang disukainya.
“Hmm, kamu sih, selalu sembunyi di
kamar. Harusnya kamu sering-sering duduk di tempat ini. Setiap hari aku datang
ke sini, dan aku tak pernah lupa membawa makanan enak. Aku selalu melihatmu
melalui jendela. Dari jendela itu, kamu tampak selalu sedih dan melamun.”
Sena mendengarkan cerita panjang
seseorang di sampingnya. Ia seperti sangat mengenalnya. Namun ia sulit menemukan
di sebelah mana dalam hidupnya ia pernah bersinggungan dengan seorang itu.
“Kamu tidak sakit kan hari ini?”
Sena masih tersenyum. Kepalanya
mengangguk kecil.
“Aku benar-benar senang pagi ini bisa
melihatmu di sini. Kamu sungguh tampak cerah dari sebelum-sebelumnya. Coba
setiap hari begini. Pasti burung-burung kecil itu tak perlu mengintipmu melalui
jendela. Pasti kelopak hitam di bawah matamu tak perlu ada.”
Sena merasa sedang berada di negeri
dongeng. Di mana kupu-kupu warna-warni terbang riang ke sana kemari.
Bunga-bunga tumbuh subur, ia ingin memetiknya satu-satu. Langit biru laut. Pohonan
menyanyi pelan, suaranya merdu sampai di telinganya. Semua hal, semua hal seperti
lukisan yang sangat indah.
“Kamu tahu kenapa aku selalu datang ke
sini?”
Sena sedang melayang di keindahan yang
tak ia bayangkan dapat ditemuinya pagi ini, di tempat yang selama ini tak luput
dari pandangannya meski dari kejauhan. Matahari terang sekali, sampai ia merasa
seseorang di sampingnya bisa menyerap semua cahaya yang silau dari timur itu.
Ia menyipitkan mata.
“Hei, tahu tidak kenapa aku selalu
datang ke sini?”
Seseorang di sampingnya itu pelan-pelan
tampak memudar. Semuanya terlihat sangat terang. Nyaris seperti cahaya. Nyaris
seluruhnya putih.
“Aku tak pernah melupakan janji yang
pernah kuucapkan kepadamu.”
Suara itu entah datang dari mana, entah
seseorang di sampingnya, atau seseorang di tempat yang jauh. Suara itu
menggema. Nyaris tak bisa ia tangkap dengan kedua telinganya.
“Kamu ingat tidak, suatu hari aku pernah
bertanya kepadamu, apa yang paling kamu sukai dari tubuhku, matamu, katamu.
Lalu aku bertanya, kenapa? Matamu lebih terang dari matahari, katamu. Lalu aku
bertanya lagi, kalau aku mati, bagaimana dong? Kamu menjawab dengan girang dan
penuh keyakinan, akan kucongkel matamu dan kusimpan di almariku. Lantas kamu
mencium kedua mataku, dan tertawa terbahak-bahak.... ”
Tak lama kemudian, Sena merasakan
pandangannya perlahan normal. Ia melihat seseorang di depannya. Masih menatapnya
dengan cara yang sama. Di pangkuannya sebuah kotak masih digenggam dengan cara
yang sama. Di sudut kotak itu ia melihat warna merah merembes, sedikit demi
sedikit, kemudian merah itu basah di tangan seseorang itu, lalu warna merah itu
terus merembes, terus mengalir, tenggorokan Sena berat, ia melihat sepasang
mata memandangnya, ia melihat sepasang mata memandangnya iba dari dalam kotak
itu....
Tak berapa lama terdengar jeritan dari
arah taman. Pak Satpam yang sedang mengantuk sebab berjaga semalaman sontak
terbangun dan mencari sumber suara. Beberapa perawat yang sedang melintas di
koridor bergegas menuju suara itu. Mereka semua melihat seorang lelaki muda
sedang dengan kasar mengobrak-abrik kotak makanan dan bangku sembari memukulkannya
keras kepada seseorang di sampingnya.
“Tolong, tolong saya....!”
Pak Satpam dan beberapa perawat
mencengkeram kedua lengan Sena. Menarik tubuhnya. Membawanya ke kamar.
Menyuntikkan obat penenang. Membiarkannya sendirian di dalam kamar.
***
“Mau ke sana lagi?”
“Ya.”
“Bahkan ia tidak mengingatmu.”
...........
Ia tahu. Ia cuma mengulang-ulang hari
yang sama.
Boja,
22 Maret 2014 00.07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar