Selasa, 01 Juli 2014

Hari-Hari yang Kekal Di Kepalanya

 Sena membiarkan tangan orang-orang membuatnya sulit bergerak. Kemudian ia rasakan sebatang jarum menyusup di kulit lengannya bagian kiri. Ia ingin menjerit namun suaranya luruh bersama dengan zat yang menyerap seluruh kekuatan tubuhnya. Ia cuma bisa memandang kedukaannya sendiri di mata orang-orang di sekelilingnya.
Ia duduk di sebuah ranjang yang sewarna dengan seluruh yang ada di ruangan itu, serba putih. Ia menghadap ke jendela terbuka yang terhalang oleh besi-besi panjang seperti berada di dalam penjara. Ia membiarkan pandangannya menyentuh daun-daun kersen yang tampak rindang di luar jendela. Beberapa burung kecil yang kebetulan hinggap dan menggerak-gerakkan ranting tak menggoyahkan bola matanya. Seperti ada air keras yang membekukan mata itu.
Di ujung dahan-dahan itu ia mendengar seseorang berbicara tentang langit, tentang laut, tentang angin, dan tentang apapun yang membuatnya terperangkapn pada semua kata-kata yang entah darimana lahirnya itu. Ia terperangkap pada semua diksi yang pernah ia dengar. Ia merasa tak bisa lari kemanapun, ia merasa membutuhkan pertolongan. Ia sungguh ingin berlari ke pamakaman sekarang dan meminta pertolongan kepada gadisnya.
Tetapi ia tidak bisa berlari ke pemakaman sekarang. Kakinya dirantai oleh zat yang tadi disuntikkan ke dalam tubuhnya, begitu juga dengan tangannya, matanya, mulutnya, seluruhnya.
Ia membutuhkan pertolongan sekarang. Ia tahu gadisnya tak akan marah jika saat ini ia datang dan meminta apa yang pernah gadis itu janjikan. Ia justru takut apabila ia tidak datang, gadisnya akan mengira bahwa ia tidak memedulikannya. Bahwa ia tidak membutuhkan apa yang telah dijanjikan gadisnya. Setitik dua titik air merembes menembus kelopak matanya.
Tak lama kemudian ia mendengar langkah kaki mendekati pintu yang tertutup. Ia mendengarnya seperti gema yang merambat sangat lambat di udara. Langkah kaki itu semakin terdengar dan suara orang yang bercakap semakin jelas di telinganya. Tetapi saat ini ia adalah binatang yang sedang terluka, dan cuma bisa meminta pertolongan kepada gadisnya.
Ia mendengar derit lubang kunci diputar. Lalu pintu terbuka dan dua orang berdiri di depan pintu. Ia tak berusaha menoleh atau mengenali kedua orang itu. Dia membiarkan kedua orang itu melihatnya seperti tontonan.
“Saya akan membawanya.” Kata salah seorang di antara mereka.
“Tetapi kondisinya sedang tidak baik, berbahaya.” Timpal seorang lainnya.
“Tetapi ia harus saya bawa.”
“Tetapi ia akan membahayakan siapapun si sekitarnya.”
Petcakapan itu masuk ke dalam telinganya. Ia tak dapat menerka suara siapa itu. Ia hanya samar-samar merasa pernah mendengar suara itu entah di mana. Ia tersingung ketika ia dikatakan membahayakan siapapun. Kenyataannya kedua orang itu kini tak sedang berbahaya berada di dekatnya.
“Tetapi seseorang sedang menunggunya sekarang.”
Suara seseorang di pintu itu menggema, memantul, membunyikan masa lalu dengan ngilu di kamar itu. Sena merasakan dadanya sesak, beban itu cuma bisa ia tanggung sendiri. Bahkan anggota badannya sendiri tak mampu menolongnya.
“Biarkan dia tenang dulu.” Ucap seseorang yang lain.
Sena merasakan telapak tangannya berkeringat. Basah yang lantas terasa dingin. Ia ingin sekali berteriak, menanyakan kepada orang-orang itu bagian mana dari dirinya yang sedang tampak tidak tenang. Bahkan seekor semut yang menggigit kulitnya tak bisa ia sentuh.
“Tetapi kita tidak bisa menunggu lagi, ada seseorang yang benar-benar ingin bertemu dengannya sekarang.” Suara seseorang di pintu tiba-tiba meninggi. Nyaris menjerit ia, lantas beberapa orang datang dan mengajaknya pergi. Tak lama kemudian jarum suntuk yang serupa memasukkan cairan kepadanya. Ia jadi seperti korban kedua setelah Sena.
Sudah itu Sena tahu tak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu. Ia kembali diperangap ruangan putih tanpa suara. Tatapan mata kosongnya masih merayap di daun-daun kersen, dahan-dahan, dan buahnya yang sesekali berjatuhan. Angin yang lewat membuat kelopak matanya perih dan berat. Ia merasa lebih mati dari orang yang sudah mati.
Gadisku, apa begini rasanya mati? Ucapnya dalam hati. Ia tak mengharapkan jawaban dari siapapun. Ia hanya ingin pergi ke pemakaman dan memeluk gadisnya yang sebentar lagi akan habis dimakan rayap, hidup sendirian di dalam kesepian.
Tidak, kita tidak akan kesepian di dalam tanah. Ada orkes kecoak dan sejenisnya. Kata gadisnya suatu hari ketika mereka sedang membayangkan kematian. Dan ia merasakan ketakutan menyerangnya tiba-tiba, kesepian yang tiba-tiba begitu tebal mengepung tubuhnya. Disini sesekali aku mendengar nyamuk mendenging, semut-semut serta kecoa entah membicarakan apa, apakah itu yang dimaksud dengan konser para serangga? Tetapi aku merasa lebih kesepian dari yang pernah kita bayangkan. Dadanya bergerak lebih cepat.
Buku-buku dan seluruh tulisan yang pernah ia baca bersama gadisnya menciptakan imajinasi liar yang tumbuh di kulit kepalanya. Ia berharap imajinasi itu mampu menembus dinding, mampu menembus jarak, mampu menembus batas-batas kesaradannya, mampu membawanya ke pemakaman sekarang.
Erangan kecil terdengar dari bibirnya yang kaku, yang pucat. Otot-ototnya menegang. Ia malah membayangkan dirinya adalah ikan buntal, yang sebentar lagi meletus.
“Jangan, Pak, tolong jangan.” Suara seoang perempuan, setengah menangis. Ia terkejut, tak menyadari sejak kapan ada beberapa orang membuka pintu dan mengusik kesendiriannya lagi. Ia tak mampu menoleh. Matanya masih kaku, rantai besi seperti mengikatnya supaya tak dapat bergerak.
Perempuan yang menangis dan setengah menjerit itu tiba-tiba menghambur kepada tubuh Sena, sampai ia hampir terjatuh jika saja beberapa orang yang menyertai perempuan itu tidak menopangnya.
“Hati-hati, kalau salah satu terluka kan kasihan.” Ucap seseorang, yang kini kedua tangannya mendekap Sena, cengkeraman eratnya membuat kulit Sena perih.
Sena melihat jendela ditutup. Ia tak sempat mengucapkan apa-apa pada daun-daun kersen, pada dahan-dahannya. Pada buah-buahnya yang masak. Ia tak sempat menyampaiakan keinginannya.

***

“Sudah.” Ucap seseorang.
Sena duduk di tepian ranjang sambil masih merasakan perih dan pegal di pergelangan tangan kirinya. Ia melihat beberapa orang yang tadi menyerang kini berangsur pergi. Tinggal ia dan kamar serba putih yang saling diam.
Sena merasakan kunang-kunang penuh di kepalanya. Menyerap energi yang beberapa menit lalu masih bisa membuatnya bergerak sesuka hati, berlari, berjalan, melakukan apapun. Namun tak semua orang menghendaki ia melakukan apapun. Maka saat ini ia duduk di ruang itu, dengan sisa-sisa ingatan yang pelan-pelan membuat matanya mulai terbuka dan menemukan titik pandang.
Jendela dengan jeruji penjara itu senantiasa terbuka, memberikan kesempatan kepadanya untuk menghirup udara segar. Sebab pintu tak mungkin terlepas dari cengkeraman kunci. Ia tahu bahwa ia sedang diamankan. Namun ia tak mau memahami mengapa ia harus diamankan.
Semua orang tahu bahwa dirinya bukan pembunuh, bukan pencuri, bukan perusak. Tetapi semua orang memandangnya dengan tatapan yang menakutkan. Sebagian karena iba, sebagian, karena jijik, sebagian lagi menyalahkan entah dengan alasan apa. Ia cuma tahu bahwa ia sering disergap sebagaimana seorang buronan.
Ia sedang berada di tepian pekuburan ketika tiba-tiba seseorang melihatnya dan terkejut sehingga berteriak agak kencang sembari menyebut namanya. Beberapa orang yang kebetulan mendengar, mengalihkan sebentar kesedihan mereka untuk menoleh kepadanya. Lantas beberapa orang yang sedang dirundung duka itu mendekatinya, mencekal tangannya, menariknya untuk tak mendekat ke tengah tanah pekuburuan yang di sana nampak lubang dalam berbentuk panjang di mana di dalamnya seseorang yang ia cintai hendak menghuni.
“Dia ingin bertemu denganku, tolong, jangan sentuh ia dengan tanah sedikitpun, ia hendak mengatakan sesuatu kepadaku!”
Teriakan-teriakan Sena membuat orang-orang yang mencengkeram tangannya, semakin kuat menariknya menjauhi tempat itu. Mereka semakin berjuang keras mejauhkan Sena dari kesedihan yang sedang masyuk di tempat itu.
“Tolong, jangan kuburkan dia, ada yang ingin kukatakan, ada yang ingin kusampaikan. Tolong, hanya dia yang bisa menolongku!!”
Dan teriakannya benar-benar seperti gonggongan anjing, tak luput dari telinga namun pada akhirnya diabaikan.
Sena melihat orang-orang mengerumuni lubang dalam dengan bentuk memanjang. Ia tahu di dalam lubang itu seseorang sedang menunggunya. Sedang menantikannya untuk mendengarkan sesuatu yang akan keluar dari bibirnya. Dari kejauhan Sena hanya bisa melihat kerumunan. Hanya melihat dan mendengar tangisan. Hanya mampu menangis dan akhirnya tubuhnya benar-benar menjauh dibawa sebuah mobil entah akan ke mana. Ia tahu seseorang di dalam lubang panjang itu mendengarkan teriakannya, turut menangis sebab ia tak dapat menemuinya.
“Di makan. Jangan dibuang lagi.” Ucap seseorang.
Sena sering menganggap seseorang yang ada di sampingnya itu adalah hantu yang tiba-tiba ada tiba-tiba pergi tiba-tiba bicara tiba-tiba menghilang berhari-hari. Kini tiba-tiba ia ada di samping ranjangnya membawa penampan berisi nasi dan lauk pauk, di sebelahnya segelas penuh susu putih mengeluarkan uap panas.
Sena melirik sebentar. Ia masih tak sanggup menggerakkan jari-jarinya, menggerakkan apapun di tubuhnya. Ia melirik perempuan yang membawa penampan itu. Ia ingin menajamkan lirikan matanya, ingin mengatakan sesuatu, namun ototnya kembali lemas. Ia kembali seperti orang lumpuh, bahkan hanya untuk menggerakkan bola mata dan kelopaknya.
Setelah meletakkan penampan di meja, perempuan itu memandang Sena. Ia mengerti bahwa tangan Sena dan seluruh tubuhnya sedang tak bisa digerakkan. Lantas bagaimana ia memintanya untuk makan? Perempuan itu duduk sedikit berjarak dari Sena. Ia turut memperhatikan apa yang sedang menjadi titik pandang mata Sena. Kemudian melongok ke jendela sebentar dan berbicara.
“Kamu memperhatikan burung-burung itu ya?”
Sena berkedip. Ia tak berniat menjawab pertanyaan perempuan itu dengan apapun.
“Mestinya kamu tak perlu punya keinginan menjadi seperti burung-burung itu.” Perempuan yang sedang duduk di sampingnya seperti seorang remaja yang sedang menghibur temannya. Ringan. Tanpa beban.
Sena merasa tak senang dengan ucapan seseorang di sampingnya. Ia seperti didakwa bahwa ia tak perlu macam-macam supaya ia tak di suntik dan di suntik lagi, supaya ia tidak dirantai dan dirantai lagi, supaya ia tidak dikurung dan dikurung lagi. Tetapi, memangnya selama ini ia macam-macam bagaimana? Ia belum sempat melakukan apa-apa. semua tangan seolah berkehendak untuk mencegahnya melakukan apa yang diinginkan. Lantas bagian mana yang berbahaya dariku? Jika mulutnya bisa dibuka ia pasti sudah melemparkan kalimat itu dengan sinis ke mukanya.
“Aku juga pernah ingin jadi burung-burung.” Kata perempuan itu. “Tetapi, setelah tahu burung itu tidak punya rumah, aku jadi tak ingin seperti mereka. Memangnya terbang terus menerus di langit atau hinggap di dahan pohon tidak berbahaya.” Perempuan itu bicara dengan santai. Barangkali ia pun pandai berimajinasi seperti Sena, ia membayangkan Sena mendengarkan ucapannya dengan senang, padahal ia tahu, Sena cuma ingin mendengarkan dirinya sendiri.
“Bagaimana dengan orkes serangga di kamar ini? Kamu masih sering mendengarnya?”
Sena menarik napasnya dengan berat. Lalu menghembuskan pelan-pelan sekali seperti sedang berlatih olah vokal. Apa yang harus dijawabnya? Ia bahkan tak ingat banyak. Orkes serangga. Daun kersen. Jendela penjara. Burung-burung kecil. Para perawat. Sebanyak apa dalam sehari ia dapat mengingat itu semua? Namun orkes serangga tiba-tiba membuat dadanya nyeri.
Ia sering begitu saja mengingat orkes serangga setiap kali merasa kesepian sedang mengintai dan hendak mencekik lehernya, menyayat tubuhnya. Jika sudah begitu, ia akan segera melebarkan kelopak mata, memeperhatikan setiap sudut ruangan dengan jeli, menerka ada serangga apa di sudut sana, ada serangga apa di sudut sini, ada suara apa di sana, ada suara apa di sini... Telinganya tak jarang kecewa karena pada saat tertentu serangga-serangga yang ia harapakan dapat menyanyi untuknya justru membuat kesepiannya semakin menakutkan. Tak jarang ia tak mendengar apapun selain kecemasannya sendiri. Namun, pada saat tertentu, ia seperti berada di sebuah ruangan luas, dengan panggung megah di depannya, kelompok musik orkes sedang bersiap memainkan lagu-lagu yang disukainya. Ia melongo duduk di tepi tempat tidur. Menikmati suara-suara yang ia yakini tak sedang ia dengarkan sendiri.
“Dari mana kamu tahu soal orkes serangga?” Dalam hati ia ingin sekali menanyakan hal itu kepada perempuan yang sedang mengerak-gerakkan kakinya. Melihat-lihat ruangan itu seolah baru pertama kali mengunjungi.
“Hmm, aku ingin mendengarnya sesekali.” Ujar perempuan itu. Setelahnya ia berdiri dan mengambil piring yang tadi ia letakkan di atas meja di samping ranjang. “Jika tidak dimakan, tak ada serangga yang mau datang.” Perempuan itu menyendok nasi dan lauk kemudian mendekatkan ke bibir Sena.
Sena tak melirik. Ia masih tenggelam dalam bayangan serangga, orkes serangga, belalang, jengkerik, kupu-kupu, lebah, nyamuk, serangga-serangga yang sering ia lihat mampir di kamarnya kini sedang berebut melintas ke dalam kepalanya. Ia sedang berusaha mengingat bunyi serangga itu satu persatu. Ia sedang membayangkan bagaimana suara serangga yang ia dengar itu jika didengarkan dari dalam tanah....
Begitu cepat ingatannya melompat ke sebuah tempat di mana ia pernah diusir seperti seekor anjing yang menakutkan. Ia seperti sedang menyambung percakapan jarak jauh dengan seseorang. Ia sedang menemui seseorang.
Ia melihat seseorang sedang menunggunya di sebuah tempat. Seseorang itu tersenyum lebih manis dari yang pernah ia lihat sebelumnya (setiap kali bertemu dan setiap kali membayangkan, ia selalu mempunyai argumen seperti itu). Ia sedang berjalan mendekati seseorang yang entah kenapa tak berbicara apa-apa, namun ia begitu nyaman melihat cahaya matanya yang menyala-nyala. Bagaimana kerinduan bisa disampaikan oleh seseorang yang seluruh jiwa raganya dipenjarakan?
Ia merasakan dadanya sesak. Pasti seseorang sedang berusaha menyerap seluruh cahaya sehingga ia tak dapat melihat apa-apa. Samar-samar suara seorang perempuan menyusup ke telinganya. Seketika ia tak mampu mengingat apa-apa bahkan dirinya sendiri....

***

“Pak, tolong kunci pintunya.”
“Kenapa?”
“Pokoknya kunci pintunya.”
Beberapa orang berada di luar kamar. Mereka berduyun-duyun mengintip ke dalam kamar melalui celah kunci. Bisik-bisik suara mereka mendengung hebat di telinga Sena, nyaris membuat kepalanya meledak.
“Hush, sudah, ini bukan tontonan, sudah, ayo minggir, sudah.” Suara seorang petugas terdengar jelas. Sena masih menutup telinga, tak sanggup menampung seluruh yang menyerang telinganya.
Beberapa menit berlangsung menakutkan. Ia seperti berada di sebuah kotak yang tak ia kenal. Sebuah kotak yang menyudutkannya. Ia tak mengenali jendela, ranjang, almari, dan tulisan-tulisan kecilnya di dinding. Ia seperti baru saja menggelinding dari tempat sangat tinggi. Kepalanya pening.
Entah berapa lama ia terperangkap pada situasi menyeramkan itu. Perlahan dunia membaik. Ia melihat seekor burung kecil menengoknya di jendela. perlahan ia merasakan hatinya tenang. Tetapi, kenapa lengannya selalu terasa pegal setiap kali ia berangsur mendapatkan ketenangan?
Ia melongok ke jendela. Memperhatikan gerak burung kecil yang berpindah-pindah ringan dari satu dahan ke dahan lainnya. Hari ini tubuhnya membaik. Ia bisa menggerakkan semua organ tubuhnya. Ia bisa menyisir rambutnya. Ia bisa memandang wajahnya di cermin. Ia bisa meggerakkan kakinya. Ia bisa berjalan ke mana-mana...
Ya, berjalan ke mana-mana. Pagi tadi setelah mandi dan menyisir rambut ia membuka pintu kamar dan berjalan-jalan keluar. Ia menyapa seorang satpam yang kebetulan bertugas tak jauh dari kamarnya. Ia menganggukkan kepala. Pak satpam melakukan hal serupa. Lalu ia melangkah, ke arah yang setiap hari cuma bisa ia lihat dari dalam penjara.
Sebuah taman, tanah lapang dengan rumput hijau dan beberapa pohon kersen serta pohon ketapang tumbuh rindang di sana. Daun-daunan yang gugur. Bunga-bunga bugenvil ungu yang sedang mekar. Dan bangku-bangku panjang tabah menerima siapapun yang datang ke sana.
“Hai,” sapa seseorang, ketika ia menyandarkan tubuhnya di sebuah bangku.
Sena tersenyum. Kepalanya mengangguk. Ia memperhatikan seseorang yang menyapanya itu dengan jeli. Ia ingin menjawab sapaannya dengan ucapan serupa, namun ia cuma bisa tersenyum, dan berharap betul-betul bahwa senyumnya dapat mewakili apa yang ingin ia sampaikan.
“Selamat pagi, kamu sudah makan?”
Sena masih memandang orang itu. Tanpa berkedip. Ia memperhatikan apa yang ada di tangan seseorang yang ada disampingnya. Kotak bekal entah apa isinya.
“Jika kamu mau, aku mau membaginya denganmu.”
Seseorang di depannya itu ramah sekali. Ia mengangkat kotak bekal di pangkuannya. Matanya meyakinkan Sena bahwa ucapannya sungguh-sungguh. Bahwa Sena boleh mengambil isinya jika ia mau.
Sena mengalihkan pandangan dari orang itu ke arah sendal jepitnya. Ia mirip bocah kecil yang malu-malu berdekatan dengan seseorang yang disukainya.
“Hmm, kamu sih, selalu sembunyi di kamar. Harusnya kamu sering-sering duduk di tempat ini. Setiap hari aku datang ke sini, dan aku tak pernah lupa membawa makanan enak. Aku selalu melihatmu melalui jendela. Dari jendela itu, kamu tampak selalu sedih dan melamun.”
Sena mendengarkan cerita panjang seseorang di sampingnya. Ia seperti sangat mengenalnya. Namun ia sulit menemukan di sebelah mana dalam hidupnya ia pernah bersinggungan dengan seorang itu.
“Kamu tidak sakit kan hari ini?”
Sena masih tersenyum. Kepalanya mengangguk kecil.
“Aku benar-benar senang pagi ini bisa melihatmu di sini. Kamu sungguh tampak cerah dari sebelum-sebelumnya. Coba setiap hari begini. Pasti burung-burung kecil itu tak perlu mengintipmu melalui jendela. Pasti kelopak hitam di bawah matamu tak perlu ada.”
Sena merasa sedang berada di negeri dongeng. Di mana kupu-kupu warna-warni terbang riang ke sana kemari. Bunga-bunga tumbuh subur, ia ingin memetiknya satu-satu. Langit biru laut. Pohonan menyanyi pelan, suaranya merdu sampai di telinganya. Semua hal, semua hal seperti lukisan yang sangat indah.
“Kamu tahu kenapa aku selalu datang ke sini?”
Sena sedang melayang di keindahan yang tak ia bayangkan dapat ditemuinya pagi ini, di tempat yang selama ini tak luput dari pandangannya meski dari kejauhan. Matahari terang sekali, sampai ia merasa seseorang di sampingnya bisa menyerap semua cahaya yang silau dari timur itu. Ia menyipitkan mata.
“Hei, tahu tidak kenapa aku selalu datang ke sini?”
Seseorang di sampingnya itu pelan-pelan tampak memudar. Semuanya terlihat sangat terang. Nyaris seperti cahaya. Nyaris seluruhnya putih.
“Aku tak pernah melupakan janji yang pernah kuucapkan kepadamu.”
Suara itu entah datang dari mana, entah seseorang di sampingnya, atau seseorang di tempat yang jauh. Suara itu menggema. Nyaris tak bisa ia tangkap dengan kedua telinganya.
“Kamu ingat tidak, suatu hari aku pernah bertanya kepadamu, apa yang paling kamu sukai dari tubuhku, matamu, katamu. Lalu aku bertanya, kenapa? Matamu lebih terang dari matahari, katamu. Lalu aku bertanya lagi, kalau aku mati, bagaimana dong? Kamu menjawab dengan girang dan penuh keyakinan, akan kucongkel matamu dan kusimpan di almariku. Lantas kamu mencium kedua mataku, dan tertawa terbahak-bahak.... ”
Tak lama kemudian, Sena merasakan pandangannya perlahan normal. Ia melihat seseorang di depannya. Masih menatapnya dengan cara yang sama. Di pangkuannya sebuah kotak masih digenggam dengan cara yang sama. Di sudut kotak itu ia melihat warna merah merembes, sedikit demi sedikit, kemudian merah itu basah di tangan seseorang itu, lalu warna merah itu terus merembes, terus mengalir, tenggorokan Sena berat, ia melihat sepasang mata memandangnya, ia melihat sepasang mata memandangnya iba dari dalam kotak itu....
Tak berapa lama terdengar jeritan dari arah taman. Pak Satpam yang sedang mengantuk sebab berjaga semalaman sontak terbangun dan mencari sumber suara. Beberapa perawat yang sedang melintas di koridor bergegas menuju suara itu. Mereka semua melihat seorang lelaki muda sedang dengan kasar mengobrak-abrik kotak makanan dan bangku sembari memukulkannya keras kepada seseorang di sampingnya.
“Tolong, tolong saya....!”
Pak Satpam dan beberapa perawat mencengkeram kedua lengan Sena. Menarik tubuhnya. Membawanya ke kamar. Menyuntikkan obat penenang. Membiarkannya sendirian di dalam kamar.

***

“Mau ke sana lagi?”
“Ya.”
“Bahkan ia tidak mengingatmu.”

...........
Ia tahu. Ia cuma mengulang-ulang hari yang sama.


 Boja, 22 Maret 2014 00.07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar