Sabtu, 26 Juli 2014

Dari Sebuah Foto


“Mau oleh-oleh apa?”
“Kaki. Foto kaki.”
Aku mengantarnya ke stasiun. Ia hendak melakukan perjalanan ke Mojokerto. Kemudian ke Jakarta, dilanjutkan ke Banten, ke Jogja, baru kembali ke Semarang. Dan aku akan menunggunya hingga pulang kurang lebih selama tiga minggu. Ini perjalanannya yang, entah ke berapa. Ia sering sekali bepergian. Katanya, dengan banyak melihat ia akan banyak belajar, dengan begitu, ia akan banyak menghasilkan. Ya. Sepulang dari perjalanan, biasanya ia akan membawa foto banyak sekali, yang jika momen tepat dan memungkinkan, dia akan mengadakan pameran setelahnya.
Ah, sok tahu sekali aku tentang dia. Toh, aku baru mengenalnya kemarin sore. Anggap saja begitu.
“Kamu sedih?”
“Kenapa?”
“Aku pergi.”
“Tidak.”
Lelaki di depanku tersenyum. Ia sedang memancingku untuk menjadi cengeng. Dan tak akan berhasil.
“Aku sudah biasa dengan kesedihan.” Kataku.
Tetapi dia tidak mendengar. Dia sudah berada di pintu kereta. Matanya tenang menoleh kepadaku. Beberapa saat kemudian kereta bergerak. Dan aku tahu, aku akan sendirian lagi. (Bukankah selama ini juga begitu?)

*
“Apa yang membedakan kamera lubang jarum dengan kamera biasa?”
“Kamera digital maksudnya?”
“Ya.”
“Jelas beda. Perhatikan.”
Dia mendekatkan sebuah kamera dengan warna hitam kusam, kemudian entah melakukan apa sampai terdengar bunyi cklik. Dia bilang begitulah cara kerja kamera jarum. Kamera lubang jarum masih menggunakan film roll sebagai memori, jadi hasilnya tak bisa lagsung dilihat seperti halnya kamera digital. Aku melongo saja. Ia sedang sangat gembira memamerkan oleh-olehnya itu.
“Apalagi?”
“Tentu saja ini.”
Dia dengan sigap membuka tas ransel hitamnya. Diambilnya sebuah kamera dari tas kecil, dikeluarkannya sebuah kamera DSLR yang biasa ia tenteng ke mana-mana.
“Foto kaki?” Tanyaku.
“Tentu saja.” Jawabnya.
Ia dengan gembira mennjukkan gambar-gambar yang ia ambil selama perjalanan. Gambar pantai kuta, kereta mini di mojokerto, orang-orang badui di Banten (foto ini ia ambil dengan mencuri-curi, karena di Badui dalam, tak seorang pun boleh mengambil foto), jalan Braga, dan beberapa gambar yang membuatku tersenyum dan terkesiap. Gambar kaki.
“Kok seperti ini?” Tanyaku, cukup kaget dengan sejumlah gambar kaki yang ia bawa.
“Memangnya kenapa?”
“Mestinya kaki kanan dengan kaki kiri, kaki kiri dengan kaki kanan. Tidak begini. Tidak cocok. Lagipula kaki siapa saja ini.” Gerutuku.
Ia memperlihatkan padaku gambar-gambar kaki, entah kaki siapa saja, aku melihat kakinya di sana, tetapi kaki yang ia potret banyak sekali. Dan kesemuanya itu tidak beres (meski secara fotografi, menurutku lumayan). Masak kaki kanan ia potret bersebelahan dengan kaki kanan juga dalam posisi yang sama, kaki kiri dengan kaki kiri juga dengan posisi yang sama, dan seterusnya seperti itu. Heran, tak biasanya ia mengambil gambar ngaco begini.
“Tidak sesuai pesanan.” Bisikku.
“Tidak semua yang sama mesti bagus, kan?” Balasnya.
Aku melihat matanya sebentar. Takjub dengan jawabannya. Ada yang ngilu menjalar perlahan di otot-ototku, sampai ke dadaku. Napasku mendadak berat. Aku hanya tersenyum kecut. Kecut seperti rasa ludahku yang sulit sekali aku telan.
“Tapi boleh juga lah.” Ucapku, lebih untuk menenangkan diri sendiri. Ia diam saja. Barangkali kesulitan akan melanjutkan kalimatnya dengan bagaimana.
“Bagaimana kalau ini dengan ini?” Tiba-tiba saja ia menarik kaki kiriku dan mendekatkan pada kaki kanannya. Ia sambar kamera dari tanganku, kemudian memotret dua kaki telanjang yang menurutku samasekali tidak cocok itu.
“Samasekali tidak artistik.” Kataku.
“Tetapi lengkap.” Katanya.
Ia duduk di samping kananku, diam cukup lama, nampak sedang memperhatikan foto-foto di kameranya, tetapi aku tahu ia sedang melamun. Ah, barangkali tidak melamun. Ia asedang mencari padanan kata yang tepat supaya aku sepakat padanya bahwa yang berbeda mestinya tak perlu jadi masalah. Ya. Ia tak akan berhasil membujukku dengan cara apapun.

*

Lampu-lampu kecil di halaman itu terlihat seperti kunang-kunang. Menyelusup di ranting-ranting markisa yang menjalar tenang menutupi sebagian dinding. Galeri itu, nampak ramai malam itu.
“Selamat datang.” Ucap seseorang di dekat pintu masuk. Ia mempersilakan aku menulis nama serta alamat. Aku menulis sebentar. Mataku menjelajah sebelum kakiku bernjak ke mana-mana. Ruangan yang luas. Bingkai-bingkai yang mengagumkan.
“Hei.” Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Aku tidak kaget. Aku tahu itu kamu.”
“Tidak menarik ih. Pura-pura kaget dong.”
“Haha, lagi males pura-pura.”
Lelaki itu mengajakku masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan cahaya putih. Diajaknya aku melihat beberapa gambar yang tak asing, yang pernah kulihat, namun dalam tampilan visual yang jelas lebih bagus.
“Gambar kaki kemarin. Untuk Vega. Vega?” Tanyaku, setelah memperhatikan serta membaca sebuah tulisan kecil di sisi sebeah kiri foto itu.
“Ya. Itu untuk Vega. Temanku yang sanggup menikah meski beda agama.”
“Oh.” Jawabku.
“Mereka berbeda tapi bisa tuh berjalan bersama.” Katanya, cenderung cuek menurutku.
“Oh.” Jawabku lagi.
Tiba-tiba ia tertawa sembari menoleh ke arahku. Tangan kanannya mengacak-acak rambutku yang tersisir rapi.
“Tidak punya jawaban selain Oh?” Tanyanya, sebelum ia menggumam entah apa. “Kamu percaya ini, kan?” Tangannya menujuk pada gambar kaki yang tadi menjadi perhatianku.
“Kenapa?”
“Menurutmu, apa yang tidak mungkin?”
“Banyak.”

*

Pertemuanku dengan Ganang di pameran tunggalnya malam itu kuanggap sebagai pertemuan kami yang terakhir. Sekalipun barangkali nanti kami akan bertemu lagi. Tetapi tak akan ada yang terjadi sama dua kali.
Aku tahu bahwa Ganang sering memberikan padaku gambar aneh-aneh, sepatu kanan berjajar dengan sepatu kanan, kaki kanan berjajar dengan kaki kanan. Malah ia pernah memberikan padaku gambar dua anak laki-laki dan perempuan sedang mandi di sebuah sungai di Banten sambil telanjang, air kali serta tubuh anak-anak itu cokelat.
“Apa yang kamu pikirkan tentang mereka?” Tanyanya.
“Tidak ada.”
“Bohong.”
“Aku senang saja melihat mereka.”
“Kenapa?”
“Bebas.”
“Berarti itu yang kamu pikirkan. Kebebasan.”
Ia selalu memancing perasaanku dengan gambar-gambarnya itu. Meski kata-katanya kadang tak sistemais, sulit dimengerti. Yang apabila aku protes, ia kan menjawab dengan enteng, “Itu sebabnya Tuhan menakdirkanku dan kameraku bertemu.” Alibi. Begitu jawabku selalu, sambil tertawa. Ia memang gemar membawa kamera, dan dengan itu bahasanya yang bukan kata sering mengalir tak terduga.
“Kamu ingin seperti mereka?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Menurtumu kenapa aku harus seperti mereka?”
Anak-anak itu, yang sedang mandi di kali di foto itu, memang terlihat bebas dan bahagia. Apakah sudah pasti bahagia? Belum tentu. Apakah aku sudah pasti tidak ingin seperti mereka? Belum tentu juga. Ganang tak pernah protes setiap kali pertanyaannya tak pernah kujawab dengan semestinya. Ia Cuma menghela napas sambil menggumam bahwa mestinya memang ia tak menanyakan apa-apa.
“Nanti tulisan Untuk Vega ini akan kuganti.”
“Ganti apa?”
“Untuk Vea. Kamu.”
Mataku mendelik. Ia tak peduli dengan air mukaku yang sudah merah hitam tak karuan. Orang-orang yang sedang melihat foto-foto itu beberapa kali menyapanya. Aku diam saja di sampingnya sambil memperhatikan foto-foto lain. Dunia seperti dalam sebuah imajinasi. Aku tak bisa mendengar serta tak bisa dengan jelas melihat. Barangkali aku perlu minum vitamin.
“Buat apa?” Tanyaku.
“Supaya... menurutmu supaya apa? Menurutmu kenapa vega dan pacarnya akhirnya bisa bersama tanpa mengbah apapun di salah satu mereka? Menurutmu, kenapa orang lain tak bisa sama dengan mereka?”
Aku paham dengan apa yang ia ucapkan, meski berbelit-belit. Aku menghirup udara dalam-dalam ketika itu, ingin menahan udara itu terus di dalam perutku, ingin meledakkannya.
Begitulah, Ganang pandai sekali membuat aku melambung dengan cara-caranya yang tidak sistematis, yang kadang tidak bisa ditangkap maksudnya dan cenderung tidak luwes, yang kadang membuatku berpikir apakah musti menyerah dengan kondisi dan lain-lain. Ibarat balon, ia itu peniupnya. Sedangkan aku, balon yang tak menyadari bahwa cuaca sedang sangat panas. Maka terbanglag aku. Maka pecahlah aku. Terpelanting berserak di langit nan biru.

*

“Mau oleh-oleh apa?” Tanyaku pada diriku sendiri.
“Tidak perlu oleh-oleh apapun.” Jawabku, pada diri sendiri pula.
Aku duduk di sebuah bangku tunggu, berdesak dengan orang-orang yang tak ku kenal. Kereta di depanku bergerak pelan ke arah timur. Tak lama kemudian kereta itu bergerak semakin cepat. Aku melihat orang-orang di jendela sedang melamun, aku melihat orang-orang di dalam kereta telah pergi, aku melihat orang-orang di dalam kereta melambaikan tangan. Aku turut serta melambaikan tangan. Kereta bergerak cepat. Cepat sekali. Aku masih melambaikan tangan sampai kereta itu menghilang. Melambaikan tangan entah untuk apa, atau siapa.

Boja, 2011




Tidak ada komentar:

Posting Komentar