“Mau
oleh-oleh apa?”
“Kaki.
Foto kaki.”
Aku
mengantarnya ke stasiun. Ia hendak melakukan perjalanan ke Mojokerto. Kemudian
ke Jakarta, dilanjutkan ke Banten, ke Jogja, baru kembali ke Semarang. Dan aku
akan menunggunya hingga pulang kurang lebih selama tiga minggu. Ini
perjalanannya yang, entah ke berapa. Ia sering sekali bepergian. Katanya,
dengan banyak melihat ia akan banyak belajar, dengan begitu, ia akan banyak
menghasilkan. Ya. Sepulang dari perjalanan, biasanya ia akan membawa foto
banyak sekali, yang jika momen tepat dan memungkinkan, dia akan mengadakan
pameran setelahnya.
Ah,
sok tahu sekali aku tentang dia. Toh, aku baru mengenalnya kemarin sore. Anggap
saja begitu.
“Kamu
sedih?”
“Kenapa?”
“Aku
pergi.”
“Tidak.”
Lelaki
di depanku tersenyum. Ia sedang memancingku untuk menjadi cengeng. Dan tak akan
berhasil.
“Aku
sudah biasa dengan kesedihan.” Kataku.
Tetapi
dia tidak mendengar. Dia sudah berada di pintu kereta. Matanya tenang menoleh
kepadaku. Beberapa saat kemudian kereta bergerak. Dan aku tahu, aku akan
sendirian lagi. (Bukankah selama ini juga begitu?)
*
“Apa
yang membedakan kamera lubang jarum dengan kamera biasa?”
“Kamera
digital maksudnya?”
“Ya.”
“Jelas
beda. Perhatikan.”
Dia
mendekatkan sebuah kamera dengan warna hitam kusam, kemudian entah melakukan
apa sampai terdengar bunyi cklik. Dia bilang begitulah cara kerja kamera jarum.
Kamera lubang jarum masih menggunakan film roll sebagai memori, jadi hasilnya
tak bisa lagsung dilihat seperti halnya kamera digital. Aku melongo saja. Ia
sedang sangat gembira memamerkan oleh-olehnya itu.
“Apalagi?”
“Tentu
saja ini.”
Dia
dengan sigap membuka tas ransel hitamnya. Diambilnya sebuah kamera dari tas
kecil, dikeluarkannya sebuah kamera DSLR yang biasa ia tenteng ke mana-mana.
“Foto
kaki?” Tanyaku.
“Tentu
saja.” Jawabnya.
Ia
dengan gembira mennjukkan gambar-gambar yang ia ambil selama perjalanan. Gambar
pantai kuta, kereta mini di mojokerto, orang-orang badui di Banten (foto ini ia
ambil dengan mencuri-curi, karena di Badui dalam, tak seorang pun boleh
mengambil foto), jalan Braga, dan beberapa gambar yang membuatku tersenyum dan
terkesiap. Gambar kaki.
“Kok
seperti ini?” Tanyaku, cukup kaget dengan sejumlah gambar kaki yang ia bawa.
“Memangnya
kenapa?”
“Mestinya
kaki kanan dengan kaki kiri, kaki kiri dengan kaki kanan. Tidak begini. Tidak
cocok. Lagipula kaki siapa saja ini.” Gerutuku.
Ia
memperlihatkan padaku gambar-gambar kaki, entah kaki siapa saja, aku melihat
kakinya di sana, tetapi kaki yang ia potret banyak sekali. Dan kesemuanya itu
tidak beres (meski secara fotografi, menurutku lumayan). Masak kaki kanan ia
potret bersebelahan dengan kaki kanan juga dalam posisi yang sama, kaki kiri
dengan kaki kiri juga dengan posisi yang sama, dan seterusnya seperti itu.
Heran, tak biasanya ia mengambil gambar ngaco begini.
“Tidak
sesuai pesanan.” Bisikku.
“Tidak
semua yang sama mesti bagus, kan?” Balasnya.
Aku
melihat matanya sebentar. Takjub dengan jawabannya. Ada yang ngilu menjalar
perlahan di otot-ototku, sampai ke dadaku. Napasku mendadak berat. Aku hanya
tersenyum kecut. Kecut seperti rasa ludahku yang sulit sekali aku telan.
“Tapi
boleh juga lah.” Ucapku, lebih untuk menenangkan diri sendiri. Ia diam saja.
Barangkali kesulitan akan melanjutkan kalimatnya dengan bagaimana.
“Bagaimana
kalau ini dengan ini?” Tiba-tiba saja ia menarik kaki kiriku dan mendekatkan
pada kaki kanannya. Ia sambar kamera dari tanganku, kemudian memotret dua kaki
telanjang yang menurutku samasekali tidak cocok itu.
“Samasekali
tidak artistik.” Kataku.
“Tetapi
lengkap.” Katanya.
Ia
duduk di samping kananku, diam cukup lama, nampak sedang memperhatikan
foto-foto di kameranya, tetapi aku tahu ia sedang melamun. Ah, barangkali tidak
melamun. Ia asedang mencari padanan kata yang tepat supaya aku sepakat padanya
bahwa yang berbeda mestinya tak perlu jadi masalah. Ya. Ia tak akan berhasil
membujukku dengan cara apapun.
*
Lampu-lampu
kecil di halaman itu terlihat seperti kunang-kunang. Menyelusup di
ranting-ranting markisa yang menjalar tenang menutupi sebagian dinding. Galeri
itu, nampak ramai malam itu.
“Selamat
datang.” Ucap seseorang di dekat pintu masuk. Ia mempersilakan aku menulis nama
serta alamat. Aku menulis sebentar. Mataku menjelajah sebelum kakiku bernjak ke
mana-mana. Ruangan yang luas. Bingkai-bingkai yang mengagumkan.
“Hei.”
Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Aku
tidak kaget. Aku tahu itu kamu.”
“Tidak
menarik ih. Pura-pura kaget dong.”
“Haha,
lagi males pura-pura.”
Lelaki
itu mengajakku masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan cahaya putih. Diajaknya
aku melihat beberapa gambar yang tak asing, yang pernah kulihat, namun dalam
tampilan visual yang jelas lebih bagus.
“Gambar
kaki kemarin. Untuk Vega. Vega?” Tanyaku, setelah memperhatikan serta membaca
sebuah tulisan kecil di sisi sebeah kiri foto itu.
“Ya.
Itu untuk Vega. Temanku yang sanggup menikah meski beda agama.”
“Oh.”
Jawabku.
“Mereka
berbeda tapi bisa tuh berjalan bersama.” Katanya, cenderung cuek menurutku.
“Oh.”
Jawabku lagi.
Tiba-tiba
ia tertawa sembari menoleh ke arahku. Tangan kanannya mengacak-acak rambutku
yang tersisir rapi.
“Tidak
punya jawaban selain Oh?” Tanyanya, sebelum ia menggumam entah apa. “Kamu
percaya ini, kan?” Tangannya menujuk pada gambar kaki yang tadi menjadi
perhatianku.
“Kenapa?”
“Menurutmu,
apa yang tidak mungkin?”
“Banyak.”
*
Pertemuanku
dengan Ganang di pameran tunggalnya malam itu kuanggap sebagai pertemuan kami
yang terakhir. Sekalipun barangkali nanti kami akan bertemu lagi. Tetapi tak
akan ada yang terjadi sama dua kali.
Aku
tahu bahwa Ganang sering memberikan padaku gambar aneh-aneh, sepatu kanan
berjajar dengan sepatu kanan, kaki kanan berjajar dengan kaki kanan. Malah ia
pernah memberikan padaku gambar dua anak laki-laki dan perempuan sedang mandi
di sebuah sungai di Banten sambil telanjang, air kali serta tubuh anak-anak itu
cokelat.
“Apa
yang kamu pikirkan tentang mereka?” Tanyanya.
“Tidak
ada.”
“Bohong.”
“Aku
senang saja melihat mereka.”
“Kenapa?”
“Bebas.”
“Berarti
itu yang kamu pikirkan. Kebebasan.”
Ia
selalu memancing perasaanku dengan gambar-gambarnya itu. Meski kata-katanya kadang
tak sistemais, sulit dimengerti. Yang apabila aku protes, ia kan menjawab
dengan enteng, “Itu sebabnya Tuhan menakdirkanku dan kameraku bertemu.” Alibi.
Begitu jawabku selalu, sambil tertawa. Ia memang gemar membawa kamera, dan
dengan itu bahasanya yang bukan kata sering mengalir tak terduga.
“Kamu
ingin seperti mereka?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Menurtumu
kenapa aku harus seperti mereka?”
Anak-anak
itu, yang sedang mandi di kali di foto itu, memang terlihat bebas dan bahagia.
Apakah sudah pasti bahagia? Belum tentu. Apakah aku sudah pasti tidak ingin
seperti mereka? Belum tentu juga. Ganang tak pernah protes setiap kali
pertanyaannya tak pernah kujawab dengan semestinya. Ia Cuma menghela napas
sambil menggumam bahwa mestinya memang ia tak menanyakan apa-apa.
“Nanti
tulisan Untuk Vega ini akan kuganti.”
“Ganti
apa?”
“Untuk
Vea. Kamu.”
Mataku
mendelik. Ia tak peduli dengan air mukaku yang sudah merah hitam tak karuan.
Orang-orang yang sedang melihat foto-foto itu beberapa kali menyapanya. Aku
diam saja di sampingnya sambil memperhatikan foto-foto lain. Dunia seperti dalam
sebuah imajinasi. Aku tak bisa mendengar serta tak bisa dengan jelas melihat.
Barangkali aku perlu minum vitamin.
“Buat
apa?” Tanyaku.
“Supaya...
menurutmu supaya apa? Menurutmu kenapa vega dan pacarnya akhirnya bisa bersama
tanpa mengbah apapun di salah satu mereka? Menurutmu, kenapa orang lain tak
bisa sama dengan mereka?”
Aku
paham dengan apa yang ia ucapkan, meski berbelit-belit. Aku menghirup udara
dalam-dalam ketika itu, ingin menahan udara itu terus di dalam perutku, ingin
meledakkannya.
Begitulah,
Ganang pandai sekali membuat aku melambung dengan cara-caranya yang tidak
sistematis, yang kadang tidak bisa ditangkap maksudnya dan cenderung tidak
luwes, yang kadang membuatku berpikir apakah musti menyerah dengan kondisi dan
lain-lain. Ibarat balon, ia itu peniupnya. Sedangkan aku, balon yang tak
menyadari bahwa cuaca sedang sangat panas. Maka terbanglag aku. Maka pecahlah
aku. Terpelanting berserak di langit nan biru.
*
“Mau
oleh-oleh apa?” Tanyaku pada diriku sendiri.
“Tidak
perlu oleh-oleh apapun.” Jawabku, pada diri sendiri pula.
Aku
duduk di sebuah bangku tunggu, berdesak dengan orang-orang yang tak ku kenal.
Kereta di depanku bergerak pelan ke arah timur. Tak lama kemudian kereta itu
bergerak semakin cepat. Aku melihat orang-orang di jendela sedang melamun, aku
melihat orang-orang di dalam kereta telah pergi, aku melihat orang-orang di
dalam kereta melambaikan tangan. Aku turut serta melambaikan tangan. Kereta
bergerak cepat. Cepat sekali. Aku masih melambaikan tangan sampai kereta itu
menghilang. Melambaikan tangan entah untuk apa, atau siapa.
Boja, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar