Dulu, kita senang sekali
melihat pelangi. Kau bilang warna-warna pelangi lebih indah dari apapun. Dan
kau bilang, jika kelak mati, kau ingin pelangi yang mengantarmu pergi. Aku
selalu marah jika kau mengatakan itu.
“Kenapa marah?”
“Aku benci kematian.”
“Tidak boleh. Sama saja kau
benci Tuhan.”
“Lalu?”
“Kau tak tanya padaku kenapa
jika kelak aku mati aku ingin pelangi yang mengantarku pergi?”
“Kenapa?”
“Aku tak ingin melihat orang
lain sedih karena kepergianku.”
“Bagaimana bisa?”
“Sebab pelangi bisa membuat
bahagia. Jadi orang akan melupakan kesedihanya jika melihat pelangi di atas
sana.”
“Ah, masak?”
“Buktinya kita.”
Kau memang sangat mengagumi
pelangi melebihi aku atau siapapun. Aku teringat percakapan itu ketika kita
masih sama-sama berusia 11 tahun. Dan kita selalu sama-sama menanti pelangi di
ujung kampung saat hujan mulai reda. Meskipun kadang kita kecewa, pelangi tak
selau muncul pada saat itu. Dan aku lupa entah berapa lama aku tak lagi melihat
pelangi bersamamu.
Sekarang, sore ini, ketika
usiaku sudah 20 tahun. Hampir 2 tahun aku merantau ke kota untuk menuntut ilmu.
Akupun tak tahu lagi bagaimana kabarmu.
Kau tahu apa yang kulakukan
kali ini? Aku sedang duduk di balkon kos lantai dua yang menghadap ke timur.
Gerimis turun pelan-pelan hampir sehalus debu. Langit berwarna putih susu. Aku
sedang menanti pelangi. Ya. Pelangi yang dulu selalu kita nanti. Dan kau tahu
apa yang kulihat? Mungkin ini keajaiban. Tak lama, pelangi dengan warna-warna
penuh membusur dari ujung utara hingga selatan, di langit timur. Aku melihat
pelangi itu ! ya. Aku melihat pelangi
itu , Gustama! Aku ingin memperlihatkannya padamu! Pelangi itu membawa
bidadari-bidadari yang siap menghiburmu!
Airmataku meleleh. Percuma.
Kau tak mungkin mendengarku. Jangan bersedih, Gustama. Bukankah kau sendiri
yang mengatakannya padaku? Jika melihat pelangi, orang akan bisa melupakan
kesedihannya, bukan? Tidak. Tidak begitu bagiku kali ini. Aku justru bertambah
sedih karena melihat pelangi itu. Gustama, begitupulakah denganmu? Tadi pagi
seseorang membawa kabar padaku tentangmu. Menengoklah ke timur sejenak, setelah
itu usaplah airmatamu. Kau akan melihat pelangi di langit timur itu. Mengantar jenazah Ayahmu.
Semarang, 23 April 2009 17:41
; catatan kecil untuk gustama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar