Sabtu, 26 Juli 2014

Pelangi Di Langit Timur


Dulu, kita senang sekali melihat pelangi. Kau bilang warna-warna pelangi lebih indah dari apapun. Dan kau bilang, jika kelak mati, kau ingin pelangi yang mengantarmu pergi. Aku selalu marah jika kau mengatakan itu.
“Kenapa marah?”
“Aku benci kematian.”
“Tidak boleh. Sama saja kau benci Tuhan.”
“Lalu?”                             
“Kau tak tanya padaku kenapa jika kelak aku mati aku ingin pelangi yang mengantarku pergi?”
“Kenapa?”                 
“Aku tak ingin melihat orang lain sedih karena kepergianku.”
“Bagaimana bisa?”
“Sebab pelangi bisa membuat bahagia. Jadi orang akan melupakan kesedihanya jika melihat pelangi di atas sana.”
“Ah, masak?”
“Buktinya kita.”
Kau memang sangat mengagumi pelangi melebihi aku atau siapapun. Aku teringat percakapan itu ketika kita masih sama-sama berusia 11 tahun. Dan kita selalu sama-sama menanti pelangi di ujung kampung saat hujan mulai reda. Meskipun kadang kita kecewa, pelangi tak selau muncul pada saat itu. Dan aku lupa entah berapa lama aku tak lagi melihat pelangi bersamamu.
Sekarang, sore ini, ketika usiaku sudah 20 tahun. Hampir 2 tahun aku merantau ke kota untuk menuntut ilmu. Akupun tak tahu lagi bagaimana kabarmu.
Kau tahu apa yang kulakukan kali ini? Aku sedang duduk di balkon kos lantai dua yang menghadap ke timur. Gerimis turun pelan-pelan hampir sehalus debu. Langit berwarna putih susu. Aku sedang menanti pelangi. Ya. Pelangi yang dulu selalu kita nanti. Dan kau tahu apa yang kulihat? Mungkin ini keajaiban. Tak lama, pelangi dengan warna-warna penuh membusur dari ujung utara hingga selatan, di langit timur. Aku melihat pelangi itu     ! ya. Aku melihat pelangi itu , Gustama! Aku ingin memperlihatkannya padamu! Pelangi itu membawa bidadari-bidadari yang siap menghiburmu!
Airmataku meleleh. Percuma. Kau tak mungkin mendengarku. Jangan bersedih, Gustama. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku? Jika melihat pelangi, orang akan bisa melupakan kesedihannya, bukan? Tidak. Tidak begitu bagiku kali ini. Aku justru bertambah sedih karena melihat pelangi itu. Gustama, begitupulakah denganmu? Tadi pagi seseorang membawa kabar padaku tentangmu. Menengoklah ke timur sejenak, setelah itu usaplah airmatamu. Kau akan melihat pelangi di langit timur itu. Mengantar jenazah Ayahmu.

Semarang, 23 April 2009 17:41
; catatan kecil untuk gustama




Tidak ada komentar:

Posting Komentar