Sabtu, 26 Juli 2014

Pelangi Di Langit Timur


Dulu, kita senang sekali melihat pelangi. Kau bilang warna-warna pelangi lebih indah dari apapun. Dan kau bilang, jika kelak mati, kau ingin pelangi yang mengantarmu pergi. Aku selalu marah jika kau mengatakan itu.
“Kenapa marah?”
“Aku benci kematian.”
“Tidak boleh. Sama saja kau benci Tuhan.”
“Lalu?”                             
“Kau tak tanya padaku kenapa jika kelak aku mati aku ingin pelangi yang mengantarku pergi?”
“Kenapa?”                 
“Aku tak ingin melihat orang lain sedih karena kepergianku.”
“Bagaimana bisa?”
“Sebab pelangi bisa membuat bahagia. Jadi orang akan melupakan kesedihanya jika melihat pelangi di atas sana.”
“Ah, masak?”
“Buktinya kita.”
Kau memang sangat mengagumi pelangi melebihi aku atau siapapun. Aku teringat percakapan itu ketika kita masih sama-sama berusia 11 tahun. Dan kita selalu sama-sama menanti pelangi di ujung kampung saat hujan mulai reda. Meskipun kadang kita kecewa, pelangi tak selau muncul pada saat itu. Dan aku lupa entah berapa lama aku tak lagi melihat pelangi bersamamu.
Sekarang, sore ini, ketika usiaku sudah 20 tahun. Hampir 2 tahun aku merantau ke kota untuk menuntut ilmu. Akupun tak tahu lagi bagaimana kabarmu.
Kau tahu apa yang kulakukan kali ini? Aku sedang duduk di balkon kos lantai dua yang menghadap ke timur. Gerimis turun pelan-pelan hampir sehalus debu. Langit berwarna putih susu. Aku sedang menanti pelangi. Ya. Pelangi yang dulu selalu kita nanti. Dan kau tahu apa yang kulihat? Mungkin ini keajaiban. Tak lama, pelangi dengan warna-warna penuh membusur dari ujung utara hingga selatan, di langit timur. Aku melihat pelangi itu     ! ya. Aku melihat pelangi itu , Gustama! Aku ingin memperlihatkannya padamu! Pelangi itu membawa bidadari-bidadari yang siap menghiburmu!
Airmataku meleleh. Percuma. Kau tak mungkin mendengarku. Jangan bersedih, Gustama. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku? Jika melihat pelangi, orang akan bisa melupakan kesedihannya, bukan? Tidak. Tidak begitu bagiku kali ini. Aku justru bertambah sedih karena melihat pelangi itu. Gustama, begitupulakah denganmu? Tadi pagi seseorang membawa kabar padaku tentangmu. Menengoklah ke timur sejenak, setelah itu usaplah airmatamu. Kau akan melihat pelangi di langit timur itu. Mengantar jenazah Ayahmu.

Semarang, 23 April 2009 17:41
; catatan kecil untuk gustama




Hujan Pertama


Setiap kali hujan turun, perempuan itu tak pernah beranjak dari pelataran. Kedua tangannya menengadah ke langit. Matanya terpejam. Dan bajunya yang basah kuyup tak lagi dipedulikan. Ia akan masuk rumah ketika air telah habis menetes dari langit. Sungguh. Sepertinya ia ingin bersatu dengan hujan.
Namanya Daniela. Duapuluh lima tahun lalu ia dilahirkan ibunya ketika musim kemarau menjajah bumi. Tidak ada setetespun air turun dari langit. Dimana-mana kekeringan. Tumbuhan, binatang, banyak yang mati kerana dehidrasi. Untung manusia masih bertahan. Bahkan ada yang melahirkan.
Maka tangisan Daniela pada musim kesakitan itu megundang perhatian banyak orang. Jerit tangisan melihat bumi yang demikian panasnya. Bahkan gerak-gerik bayi itu seperti ingin masuk lagi ke perut ibu yang penuh kedamaian dan sangat sejuk, tak perlu payung pun sudah dapat tidur dengan tenang. Tetapi itu tidak mungkin ia lakukan. Bayi itupun tumbuh menjadi gadis remaja. Dan hingga sebesar itu, ia hanya bercita-cita ingin melihat sesuatu yang belum perah dilihatnya. Yang kata orang, lebih sejuk dari beberbaring di dalam perut ibu. Hujan. Ya. Melihat hujan. Tak perlu menjadi sarjana. Katanya.
Sedih sekali sang ibu mendengar ucapan itu. bagaimana ia memenuhi keinginan putri semata wayangnya? Jangankan hujan, mendung saja enggan lewat beberapa tahun terakhir ini. Angin meniup begitu kering dan amat kasar dikulit. Bibir pecah-pecah. Mata merah. Ah. Ini malah bercita-cita melihat hujan. Kalau bercita-cita menjadi sarjana, ibu bisa mencarikan hutangan. Tetapi ini? Mustahil.
”Ibu tidak percaya doa, ya?” tanya Daniela kepada ibu waktu itu.
”Tentu ibu percaya, anakku.”
”Lalu kenapa ibu mengatakan mustahil pada keinginan yang datangnya hanya dari Tuhan? Daniela yakin pasti Tuhan mendengarkan.”
”Iya, anakku. Tetapi kita juga harus rasional...”
”Rasional, kan, hanya untuk ilmu eksak, ibu...”
Ketika itu Daniela berusia 15 tahun. Di sekolah, Bu Guru sering menjelaskan mengenai ilmu pasti, ilmu yang tidak bisa direkayasa, dan Daniela yang otaknya begitu encer, tak mungkin tidak memikirkan setelah pelajaran usai. Nyatanya mujarab untuk membuat ibu gelagapan dengan perkataannya. Anak semuda itu...
”Baiklah, berdoalah sepanjang waktu. Ibu tak akan melarangmu memimpikan apapun di dunia ini. Maaf, ibu lupa, kita memang perlu bermimpi supaya kita terus punya keinginan.”
Ibu tersenyum dan memeluk Daniela. Matanya berkaca-kaca. Saat seperti ini pasti ibu mengingat masa lalunya. Masa ketika ayah Daniela menjanjikan berjuta mimpi padanya. Mimpi yang akhirnya ia perjuangkan seorang diri. Sementara ayah Daniela hilang entah ke mana.
Setelah Daniela terlelap dalam pangkuannya, sang ibu menapat ke langit. Diam-diam bibirnya mengucapkan sesuatu. Ia memohon kepada Tuhan agar mengabulkan doa anaknya.

***

”Ibu, Tuhan belum mengabulkan doaku.”
”Sabar.”
Ibu menjawab sembari tersenyum. Tangannya masih sibuk menyerut es dan mengolahnya menjadi es buah yang segar. Ya. Sejak melahirkan Daniela ia telah menekuni pekerjaan itu. lumayan, meski hasilnya tidak banyak, tetapi cukup banyak yang bertandang. Terlebih musim memang sangat menjamin dagangannya tak akan pernah sisa.
Daniela selalu membantu ibu. Setelah pulang sekolah hingga malam hari. Bahkan ketika kedai telah tutup dan ada orang yang bersikeras ingin minum, Daniela tetap setia menemani ibu. Ia amat rajin. Maka tak jarang pengunjung kagum pada tangan mungilnya yang sepertinya tak pernah capek. Tentu juga karena wajahnya yang begitu ayu. Mana ada gadis dikampungnya yang ayunya sealami itu. Lembut. Anggun. Mungkin dewi kecantikan telah menetap di dalam tubuhnya.
”Bu, laki-laki itu menggodaku.”
Katanya pada ibu suatu hari.
”Yang mana?”
”Yang berbaju biru. Lihat, Bu, matanya seperti laut.”
”Hush, apa-apaan kamu. Mana ada seseorang bermata laut. Laut kan dalam. Penuh air. Nanti bisa-bisa kita tenggelam. Tempat ini jadi banjir, dan halaman akan dipeuhi ikan berloncatan.”
”Iya, Bu, memang seperti itu.”
”Hush. Apa-apaan kamu?”
”Memang seperti itu. Di sini akan terjadi banjir.”
Ibu tidak lagi menggubris ucapan Daniela yang nyeleneh itu. Ia kemudian ke dapur dan mengamati, adakah yang terjadi pada putrinya? Jangan-jangan ia jatuh cinta? Hujan dan laut. Selisihnya sedikit. Sama-sama air. Jangan-jangan ia memang sedang jatuh cinta.
Maka setelah hari itu, ibu melarang Daniela ikut ke warung. Ia tak mau kehilangan Daniela. Berlebihan, bukan? Ia teringat lagi akan ayah putrinya. Cinta, anakku, hanya akan membuatmu terluka. Bisiknya setiap kali pulang ke rumah dan Daniela sudah tenang dengan lelapnya.

***
            ”Jaga rumah baik-baik.”
            Daniela mengangguk sambil tersenyum.
”Ibu pulang jam berapa?”
”Mungkin jam sepuluh malam. Kenapa?”
”Tidak apa-apa. Hati-hati.”
”Kamu juga hati-hati. Banyak perampok mengincar rumah yang berpenghuni cantik.” Lalu ibu beranjak, meninggalkan Daniela yang memandangnya di depan pintu.
Genap dua minggu Daniela tidak diperbolehkan ikut berjualan. Ia menjaga rumah. Ia tahu alasan ibu tak mengijinkan ia ikut serta. Lelaki bermata laut itu. Ah. Ibu takut kehilanganku karena lelaki laut itu.
Duapuluh menit setelah ibu Daniela pergi, gadis itu keluar rumah dan mengunci pintu. Wajahnya memang sangat ayu. Tentu bukan karena bunga-bunga yang menempel di rok selutunya, melainkan matanya yang sangat berbinar karena hendak menemui lelaki itu. lelaki yang menyimpan laut di matanya.
”Mas.”
”Hei. Kupikir kamu tidak datang.”
”Menunggu ibu berangkat ke kedai.”
”Kamu nakal, ya.”
”Itu karena aku ingin menemuimu.”
Daniela tertegun. Sungguh. Ia bisa merasakan bahwa mata lelaki itu menyimpan berliter air dan kedalamannya. Seperti hujan yang ia bayangkan turun sepanjang tahun. Hingga menjadi danau dan akhirnya menjelma laut maha luas. Laut yang bisa menenggelamkan dirinya serta kehidupannya.
”Kamu sudah pertimbangkan permintaanku waktu itu?”
”Membawaku pergi dan akan kau nikahi?”
”Tentu.”
”Aku datang untuk itu.”
”Tetapi ibumu tidak mengetahui.”
”Kalau ibu mengetahui, aku tidak akan ada di sini.”
”Aku janji. Akan memberi hujan seperti yang kau mau.”
Merekapun bergandengan tangan. Menuju jalan yang tak pernah dilalui. Jalan dengan aspal yang sangat halus. Bahkan Daniela tidak tahu jalan mana itu. Seumur hidup baru sekali ini dilihatnya. Terlebih di samping kanan-kiri jalan tersebut, pohonan tumbuh gemuk dengan daunnya berguguran seperti hujan yang ia bayangkan. Burung-burung berkicau bersahutan. Angin mengiring mereka dengan lembut. Dan tiba di sebuah rumah, Daniela tahu, di sana hujan turun berhamburan.

***

Tetesan air mengetuk atap rumah dengan tajam. Menancap di gendang telinga dan bola mata. Menggerus ulu hati. Menghadirkan keringat dingin yang membuat seorang perempuan tak penah membuka mulut hanya untuk melepas hawa dingin. Ia senantiasa mendekap selimut dan menatap jendela yang dibiarkan terbuka.
Kini bumi telah kembali normal. Musim muncul pada waktu yang telah dijadwalkan. Dan sejak beberapa minggu yang lalu hujan sangat rutin membasahi pekarangan. Membuat bunga serta pohonan kembali segar, menghiasi pemilik rumah yang masih murung sepanjang hari.
Daniela masih setia dengan hujannya. Kali ini tidak lagi ia memimpikan hujan seperti dulu. Katanya ia telah bertemu dengan hujan yang diimpikan beberapa tahun lalu. Tetapi hujan itu benar-benar menjelma laut. Ia tenggelam sedalam-dalamnya. Dan ketika bangun. Ia hanya tahu, air telah turun dari langit. Lelaki itu menurunkan hujan untuknya. Sementara sang ibu, tetap setia menantinya bermandi hujan sepanjang tahun. Hanya supaya si anak dapat bertemu dengan kekasihnya. Bulir hujan yang turun menyiksa itu.

Boja, 16 Juli 2011 21.43

 


Dari Sebuah Foto


“Mau oleh-oleh apa?”
“Kaki. Foto kaki.”
Aku mengantarnya ke stasiun. Ia hendak melakukan perjalanan ke Mojokerto. Kemudian ke Jakarta, dilanjutkan ke Banten, ke Jogja, baru kembali ke Semarang. Dan aku akan menunggunya hingga pulang kurang lebih selama tiga minggu. Ini perjalanannya yang, entah ke berapa. Ia sering sekali bepergian. Katanya, dengan banyak melihat ia akan banyak belajar, dengan begitu, ia akan banyak menghasilkan. Ya. Sepulang dari perjalanan, biasanya ia akan membawa foto banyak sekali, yang jika momen tepat dan memungkinkan, dia akan mengadakan pameran setelahnya.
Ah, sok tahu sekali aku tentang dia. Toh, aku baru mengenalnya kemarin sore. Anggap saja begitu.
“Kamu sedih?”
“Kenapa?”
“Aku pergi.”
“Tidak.”
Lelaki di depanku tersenyum. Ia sedang memancingku untuk menjadi cengeng. Dan tak akan berhasil.
“Aku sudah biasa dengan kesedihan.” Kataku.
Tetapi dia tidak mendengar. Dia sudah berada di pintu kereta. Matanya tenang menoleh kepadaku. Beberapa saat kemudian kereta bergerak. Dan aku tahu, aku akan sendirian lagi. (Bukankah selama ini juga begitu?)

*
“Apa yang membedakan kamera lubang jarum dengan kamera biasa?”
“Kamera digital maksudnya?”
“Ya.”
“Jelas beda. Perhatikan.”
Dia mendekatkan sebuah kamera dengan warna hitam kusam, kemudian entah melakukan apa sampai terdengar bunyi cklik. Dia bilang begitulah cara kerja kamera jarum. Kamera lubang jarum masih menggunakan film roll sebagai memori, jadi hasilnya tak bisa lagsung dilihat seperti halnya kamera digital. Aku melongo saja. Ia sedang sangat gembira memamerkan oleh-olehnya itu.
“Apalagi?”
“Tentu saja ini.”
Dia dengan sigap membuka tas ransel hitamnya. Diambilnya sebuah kamera dari tas kecil, dikeluarkannya sebuah kamera DSLR yang biasa ia tenteng ke mana-mana.
“Foto kaki?” Tanyaku.
“Tentu saja.” Jawabnya.
Ia dengan gembira mennjukkan gambar-gambar yang ia ambil selama perjalanan. Gambar pantai kuta, kereta mini di mojokerto, orang-orang badui di Banten (foto ini ia ambil dengan mencuri-curi, karena di Badui dalam, tak seorang pun boleh mengambil foto), jalan Braga, dan beberapa gambar yang membuatku tersenyum dan terkesiap. Gambar kaki.
“Kok seperti ini?” Tanyaku, cukup kaget dengan sejumlah gambar kaki yang ia bawa.
“Memangnya kenapa?”
“Mestinya kaki kanan dengan kaki kiri, kaki kiri dengan kaki kanan. Tidak begini. Tidak cocok. Lagipula kaki siapa saja ini.” Gerutuku.
Ia memperlihatkan padaku gambar-gambar kaki, entah kaki siapa saja, aku melihat kakinya di sana, tetapi kaki yang ia potret banyak sekali. Dan kesemuanya itu tidak beres (meski secara fotografi, menurutku lumayan). Masak kaki kanan ia potret bersebelahan dengan kaki kanan juga dalam posisi yang sama, kaki kiri dengan kaki kiri juga dengan posisi yang sama, dan seterusnya seperti itu. Heran, tak biasanya ia mengambil gambar ngaco begini.
“Tidak sesuai pesanan.” Bisikku.
“Tidak semua yang sama mesti bagus, kan?” Balasnya.
Aku melihat matanya sebentar. Takjub dengan jawabannya. Ada yang ngilu menjalar perlahan di otot-ototku, sampai ke dadaku. Napasku mendadak berat. Aku hanya tersenyum kecut. Kecut seperti rasa ludahku yang sulit sekali aku telan.
“Tapi boleh juga lah.” Ucapku, lebih untuk menenangkan diri sendiri. Ia diam saja. Barangkali kesulitan akan melanjutkan kalimatnya dengan bagaimana.
“Bagaimana kalau ini dengan ini?” Tiba-tiba saja ia menarik kaki kiriku dan mendekatkan pada kaki kanannya. Ia sambar kamera dari tanganku, kemudian memotret dua kaki telanjang yang menurutku samasekali tidak cocok itu.
“Samasekali tidak artistik.” Kataku.
“Tetapi lengkap.” Katanya.
Ia duduk di samping kananku, diam cukup lama, nampak sedang memperhatikan foto-foto di kameranya, tetapi aku tahu ia sedang melamun. Ah, barangkali tidak melamun. Ia asedang mencari padanan kata yang tepat supaya aku sepakat padanya bahwa yang berbeda mestinya tak perlu jadi masalah. Ya. Ia tak akan berhasil membujukku dengan cara apapun.

*

Lampu-lampu kecil di halaman itu terlihat seperti kunang-kunang. Menyelusup di ranting-ranting markisa yang menjalar tenang menutupi sebagian dinding. Galeri itu, nampak ramai malam itu.
“Selamat datang.” Ucap seseorang di dekat pintu masuk. Ia mempersilakan aku menulis nama serta alamat. Aku menulis sebentar. Mataku menjelajah sebelum kakiku bernjak ke mana-mana. Ruangan yang luas. Bingkai-bingkai yang mengagumkan.
“Hei.” Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Aku tidak kaget. Aku tahu itu kamu.”
“Tidak menarik ih. Pura-pura kaget dong.”
“Haha, lagi males pura-pura.”
Lelaki itu mengajakku masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan cahaya putih. Diajaknya aku melihat beberapa gambar yang tak asing, yang pernah kulihat, namun dalam tampilan visual yang jelas lebih bagus.
“Gambar kaki kemarin. Untuk Vega. Vega?” Tanyaku, setelah memperhatikan serta membaca sebuah tulisan kecil di sisi sebeah kiri foto itu.
“Ya. Itu untuk Vega. Temanku yang sanggup menikah meski beda agama.”
“Oh.” Jawabku.
“Mereka berbeda tapi bisa tuh berjalan bersama.” Katanya, cenderung cuek menurutku.
“Oh.” Jawabku lagi.
Tiba-tiba ia tertawa sembari menoleh ke arahku. Tangan kanannya mengacak-acak rambutku yang tersisir rapi.
“Tidak punya jawaban selain Oh?” Tanyanya, sebelum ia menggumam entah apa. “Kamu percaya ini, kan?” Tangannya menujuk pada gambar kaki yang tadi menjadi perhatianku.
“Kenapa?”
“Menurutmu, apa yang tidak mungkin?”
“Banyak.”

*

Pertemuanku dengan Ganang di pameran tunggalnya malam itu kuanggap sebagai pertemuan kami yang terakhir. Sekalipun barangkali nanti kami akan bertemu lagi. Tetapi tak akan ada yang terjadi sama dua kali.
Aku tahu bahwa Ganang sering memberikan padaku gambar aneh-aneh, sepatu kanan berjajar dengan sepatu kanan, kaki kanan berjajar dengan kaki kanan. Malah ia pernah memberikan padaku gambar dua anak laki-laki dan perempuan sedang mandi di sebuah sungai di Banten sambil telanjang, air kali serta tubuh anak-anak itu cokelat.
“Apa yang kamu pikirkan tentang mereka?” Tanyanya.
“Tidak ada.”
“Bohong.”
“Aku senang saja melihat mereka.”
“Kenapa?”
“Bebas.”
“Berarti itu yang kamu pikirkan. Kebebasan.”
Ia selalu memancing perasaanku dengan gambar-gambarnya itu. Meski kata-katanya kadang tak sistemais, sulit dimengerti. Yang apabila aku protes, ia kan menjawab dengan enteng, “Itu sebabnya Tuhan menakdirkanku dan kameraku bertemu.” Alibi. Begitu jawabku selalu, sambil tertawa. Ia memang gemar membawa kamera, dan dengan itu bahasanya yang bukan kata sering mengalir tak terduga.
“Kamu ingin seperti mereka?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Menurtumu kenapa aku harus seperti mereka?”
Anak-anak itu, yang sedang mandi di kali di foto itu, memang terlihat bebas dan bahagia. Apakah sudah pasti bahagia? Belum tentu. Apakah aku sudah pasti tidak ingin seperti mereka? Belum tentu juga. Ganang tak pernah protes setiap kali pertanyaannya tak pernah kujawab dengan semestinya. Ia Cuma menghela napas sambil menggumam bahwa mestinya memang ia tak menanyakan apa-apa.
“Nanti tulisan Untuk Vega ini akan kuganti.”
“Ganti apa?”
“Untuk Vea. Kamu.”
Mataku mendelik. Ia tak peduli dengan air mukaku yang sudah merah hitam tak karuan. Orang-orang yang sedang melihat foto-foto itu beberapa kali menyapanya. Aku diam saja di sampingnya sambil memperhatikan foto-foto lain. Dunia seperti dalam sebuah imajinasi. Aku tak bisa mendengar serta tak bisa dengan jelas melihat. Barangkali aku perlu minum vitamin.
“Buat apa?” Tanyaku.
“Supaya... menurutmu supaya apa? Menurutmu kenapa vega dan pacarnya akhirnya bisa bersama tanpa mengbah apapun di salah satu mereka? Menurutmu, kenapa orang lain tak bisa sama dengan mereka?”
Aku paham dengan apa yang ia ucapkan, meski berbelit-belit. Aku menghirup udara dalam-dalam ketika itu, ingin menahan udara itu terus di dalam perutku, ingin meledakkannya.
Begitulah, Ganang pandai sekali membuat aku melambung dengan cara-caranya yang tidak sistematis, yang kadang tidak bisa ditangkap maksudnya dan cenderung tidak luwes, yang kadang membuatku berpikir apakah musti menyerah dengan kondisi dan lain-lain. Ibarat balon, ia itu peniupnya. Sedangkan aku, balon yang tak menyadari bahwa cuaca sedang sangat panas. Maka terbanglag aku. Maka pecahlah aku. Terpelanting berserak di langit nan biru.

*

“Mau oleh-oleh apa?” Tanyaku pada diriku sendiri.
“Tidak perlu oleh-oleh apapun.” Jawabku, pada diri sendiri pula.
Aku duduk di sebuah bangku tunggu, berdesak dengan orang-orang yang tak ku kenal. Kereta di depanku bergerak pelan ke arah timur. Tak lama kemudian kereta itu bergerak semakin cepat. Aku melihat orang-orang di jendela sedang melamun, aku melihat orang-orang di dalam kereta telah pergi, aku melihat orang-orang di dalam kereta melambaikan tangan. Aku turut serta melambaikan tangan. Kereta bergerak cepat. Cepat sekali. Aku masih melambaikan tangan sampai kereta itu menghilang. Melambaikan tangan entah untuk apa, atau siapa.

Boja, 2011





tentang kesakitan, hanya dapat kamu harapkan satu hal: bahwa ia berhenti

(George Orwell, 1984)

Senin, 07 Juli 2014

Taman Rahasia


Diandra melepas alas kaki kemudian membiarkan beban tubuhnya berada di atas jungkat-jungkit. Bunyi keresak daun kering terdengar ketika salah satu ujung jungkat-jungkit mengenai tanah. Ia terus menggerakkan mainan yang cat dan kayunya sudah lapuk, seolah sedang bermain-main dengan bayangannya sendiri.
Di taman itu cuma ada ia seorang. Diantara pohon pinus yang berjajar, dan pohon ketapang yang daun-daun kuningnya rontok menutupi rumputan yang tumbuh liar di sana. Ada beberapa mainan yang membuat Diandra ingin terus datang dan menyentuh mainan-mainan itu, jungkat-jungkit yang sudah tak bisa lagi memberi jarak dengan kakinya, perosotan yang terasa sangat kecil, dan ayunan yang besi pegangannya sudah berkarat serta menimbulkan bunyi derit yang sedih.
Sudah berapa lama taman ini tak disentuh tangan orang? Batinnya. Ia seperti sedang mengunjungi halaman rumah yang sudah ratusan tahun ditinggal penghuninya. Padahal taman itu terletak di tengah kota.
“Jangan-jangan taman ini tak bisa dilihat siapapun, cuma kita.” Candamu ketika suatu hari pernah mengajak Diandra ke sana dan duduk di tempat yang sama dimana perempuan berusia dua puluhan itu kini sedang berada.
“Jangan-jangan iya?” Diandra menyahut.
Kalian mirip sepasang kelinci yang pandai sekali membayangkan akan ada peri yang mengajak kalian terbang ke bulan. Lalu kalian membangun dunia yang penuh wortel di sana. Atau peristiwa ajaib lain.
Di sisi taman itu tampak sebuah rumah besar mirip istana. Dindingnya dibangun dari batu bata merah yang tersusun rapi. Atapnya rata tanpa genting seperti bangunan jaman kolonial.
“Menurutmu, siapa kira-kira penghuninya?” Tanyamu, setelah beberapa saat berdecak mengagumi bangunan dengan corak asing yang tumbuh di tengah kota besar yang di sekitarnya rumah-rumah sudah mirip masyarakat urban.
“Mungkin, keluarga dari negeri Jerman.”
“Masak? Kita bisa tanya-tanya soal Goethe dong?”
Kalian girang membicarakan rumah yang pintunya senantiasa tertutup itu. Halaman rumah dan jalanan dibatasi oleh gerbang besi yang tingginya hampir sama dengan lampu taman usang yang tak menyala di atas kalian. Di kepalamu puisi Goethe begitu saja melintas kemudian membuatmu menggumam pelan.

Tiada makhluk runtuh jadi tiada
Sang Abadi tak henti berkarya dalam segala,
Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia*

“Menurutmu apa benar rumah itu milik orang Jerman?”
“Mungkin saja, mana ada rumah orang Indonesia berbentuk seperti itu.”
“Pasti ada, orang kita kan mudah meniru.”
“Ssst, kalau ucapanmu didengar orang lain bisa bahaya.”
Lalu kalian melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian tertawa. Seolah ada yang begitu lucu yang pantas ditertawakan. Sebagaimana sajak Goethe, dengan segala harapannya yang terang.
“Tak akan berbahaya, taman ini cuma kita yang tahu." Ucapmu setengah berbisik. Lalu Diandra memintamu membacakan beberapa bait puisi lagi. Kamu kali ini mengambil buku dan membacakan beberapa baris puisi sembari duduk di atas jungkat-jungkit dan mempermainkan mainan itu. Diandra di jungkat-jungkit di sisi seberang mendengarkanmu dengan khidmad. Aih, macam murid yang patuh pada guru saja ia. Sesekali ia melamun, sesekali ia tersenyum-senyum, sesekali ia memandang matamu tanpa berkedip. Menurutmu, bagaimana cara mengembalikan mata Diandra supaya bercahaya seperti itu lagi?
Diandra kini sedang melakukan hal yang sama. Jungkat-jungkit itu menahan beban tubuhnya ke atas dan ke bawah. Namun tak ada seorang pun di sana. Apa kalian tak pernah janjian untuk bertemu di taman itu lagi? Aku tak pernah berani menanyakan itu kepada Diandra, matanya selalu memeperlihatkan permusuhan kepada siapapun. Termasuk kepadaku.
Suatu hari aku pernah menemukannya sedang berada di sebuah kamar. Di hadapannya sebuah potret tergeletak. Ia memandangnya seolah ada lubang sangat dalam yang ingin ia masuki. Potret itu berwarna hijau agak kekuningan. Ada gambar lampu taman tua dengan lanskap daun-daun ketapang yang rindang. Apakah itu lampu taman yang sering ia bicarakan?
Diandra pernah bertanya padaku apakah aku suka jalanan dengan cahaya terang atau redup. Aku menjawab lebih senang warna terang, sebab, dengan warna terang kesedihan dan kegembiraan tak perlu disembunyikan. Diandra tertawa kecil, jarang sekali aku melihatnya bisa tertawa tulus seperti itu. Sudah itu ia bilang ia tak suka warna terang, sebab terlalu mudah menebak suasana hati orang katanya kurang menyenangkan. Lalu ia memintaku untuk memasang lampu di halaman rumah dengan warna tak terang. Dengan bentuk sama persis dengan lampu yang ada di potret yang sering membuatku merasa sangat kehilangan dirinya.
Beberapa kali aku berusaha menyentuh potret itu dan meletakkannya di sebuah bingkai kemudian memasangnya di dinding. Tentu dengan harapan supaya ia tak perlu lagi memandangi potret itu seolah dunia cuma ada di sana. Tetapi Diandra menolak dan mendekap potret itu seolah aku adalah penjahat yang akan merampas kebahagiaannya. Ketika kuhibur dia dengan mengatakan tamanmu tak akan ke mana-mana, tamanmu akan terlihat lebih indah di dalam bingkai itu. Ia menggeleng dan mengusirku.
Dia sering sekali tidak menyahut ketika kuajak berbicara. Namun, ia sering berbicara bahkan ketika tak seorang pun mengajaknya berbicara. Apakah saat itu kamu datang tanpa sepengetahuan siapapun? Aku tidak tahu. Tetapi aku selalu berusaha mendengarkan dan mencatat ucapan-ucapan lirih yang keluar dari bibir pucatnya.

Beribu-ribu pikiran naik-turun senantiasa di dalam diri;
 jiwaku tak pernah istirah, bagai pesta kembang api nan abadi.

Bukankah itu salah satu sajak Goethe yang pernah kamu hadiahkan kepada telinganya? Dia menghafalnya bahkan ketika ia sudah melupakan segalanya. Aku tak pernah menanyakan apakah ia melupakanmu atau tidak. Mungkin sebagaimana larik itu, kau memang tak akan pernah istirah, sedangkan Diandra ingin pulang dan merasakan kehidupan yang tenang, nyaman. Ya, aku berusaha memberikannya. Namun barangkali rumah yang diinginkan cuma kamu, seorang saja.
Aku pernah mengajak Diandra tinggal di sebuah tempat yang mungkin bisa membuatnya lebih tenang. Tempat dengan halaman lapang dengan kursi-kursi panjang bertebaran, serta pohon-pohon rindang membuat tempat lapang itu teduh. Aku tahu tak ada tempat yang bisa diciptakan sama persis, apalagi sebuah peristiwa. Maka aku cuma seperti sedang memasang sebuah boneka pada lanskap yang tak tepat sehingga boneka itu tampak tak bernyawa.
Diandra terlihat lebih segar ketika seseorang membawanya kembali ke tempat tinggalnya semula dengan beberapa hal dari taman yang sempat ia bawa; potret itu, dan kenangan-kenangannya. Bagaimana bisa seseorang masuk ke dalam sebuah potret dan hidup di sana?
Kutanyakan hal itu kepada siapapun. Aku betul-betul berusaha mencari tahu bagaimana cara mengeluarkan seseorang dari sana, atau ikut masuk ke sana dan menemaninya tinggal supaya tak sendirian. Namun, ketika, entah melalui mimpi atau apa, kakiku bisa menapak tanah yang juga ia pijak, taman yang juga ia kunjungi, lampu taman yang juga menerangi tubuhnya, aku cuma sebuah suara tanpa wujud yang tak akan didengarkan oleh telinga manapun, juga telinga Diandra.
Sudah itu aku berjanji kepadanya juga diriku sendiri, aku pasti akan menemukanmu dan membuat mata Diandra serta jiwanya hidup lagi. Tetapi mungkin kamu cuma masa lalu yang menjelma masa depan, yang tak bisa digenggam siapapun sebelum waktunya benar-benar tiba, atau sama sekali tak akan tiba.
Kini, setiap hari aku memandangi potret itu sendirian. Tidak kalah gelisah dengan seseorang yang bermain jungkat-jungkit di sana. Diandra, kapan kehidupan bisa menemuimu lagi dan sebaliknya?


Boja, Juli 2014
*sajak Johann Wolfgang von Goethe