“Aku tidak setuju kalau ibu jualan!”
“Lho, kenapa?”
Aku membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Mungkin di luar, ibu kaget sembari mengelus dada melihat perilaku putrinya yang kasar. Sudah itu aku menangis sesenggukan di dalam kamar.
Sesungguhnya aku tak ingin dan tak suka melakukan perbuatan demikian manja. Semua keinginan harus dirturuti. Kalau tidak, akan ngambek atau menangis sepanjang hari. Apa pantas gadis enam belas tahun berperilaku demikian?
Ibu dan bapakku bukan pegawai atau pekerja kantor swasta seperti orangtua kawanku kebanyakan. Mereka buruh biasa. Bapak menjadi sopir pick-up dengan menggunakan mobil orang. Dan ibu biasanya membantu menggarap sawah tetangga. Sekali waktu, beliau juga berjualan makanan kecil seperti es dan gorengan. Saat Ramadhan inilah beliau melakukannya. Dan untuk itu, aku tak pernah menghendakinya.
“Kenapa, Lin?”
“Aku malu, Bu.” Jawabku sambil menunduk.
“Malu kenapa?”
“Malu karena ibu berjualan.”
“Memang ada apa, Lin? Makanan yang ibu jual halal.”
Bukan masalah halal atau tidak tentu. Kupikir ibu juga tahu. Diam-diam beliau pandai membaca pikiranku.
“Malu kalau dilihat teman-temanmu?”
Tanya ibu kemudian. Aku hanya diam. Pura-pura membersihkan kuku di sela jari.
“Ada apa sih, Lin? Kenapa harus malu? Biarkan teman-temanmu tahu keadaan keluarg kita. Kamu tahu? kamu menyakiti ibu.”
Setelah berkata demikian, biasanya ibu beranjak ke dapur melakukan sesuatu. Beliau tak banyak bicara. Tidak sepertiku yang suka ngomel berdasarkan nafsu. Entah menurun dari siapa tabiat burukku ini.
Bapakku bagaimana? Beliau tak berkomentar. Hanya sesekali menasehati.
“Bantu ibumu berjualan.”
***
Kini tanggal 29 Ruwah. Artinya Ramadhan sehari lagi. Besok pagi ketika membuka mata, matahari akan terbit dengan aroma baru, diiringi lantunan Al-Qur’an dari pengeras suara di setiap sudut desa. Pagi-pagi pukul tiga, orang-orang akan bangun dan sahur bersama keluarga. Betapa menyenangkan. Tetapi mengapa semua itu kami mulai dengan pertengkaran?
“Lin, sudah maghrib, jangan mengurung diri terus.” Panggil bapak di luar kamar dengan suara berat dan wibawa.
Benar. Adzan maghrib terdengar begitu merdu melewati celah jendela kamarku yang bergorden motif bunga-bunga pudar. Aku yang masih menutup muka dengan bantal, mau tak mau bangun juga. Meski dengan berat, kuangkat juga tubuhku, kulangkahkan kaki mendekati pintu, memutar kuncinya, mengambil air wudlu dan beranjak ke mushola.
Saat meninggalkan rumah menuju mushola yang hanya berjarak seratus meter itu, kulihat anak-anak sepuluh tahunan berlari ke sana kemari sembari sesekali menyalakan mercon. Dor dor dor!!!
Munculah Pak Mahmud dan memarahi. Setelahnya beliau masuk masjid. Menjadi imam bagi jamaah yang menunggu. Betapa kalimat Al-Qur’an yang dilantunkan Pak Mahmud sangat menenteramkan hati.
Usai solat dan berdoa, kami bersalam-salaman. Aku masih duduk. Belum beranjak seperti jamaah lain. Dan dari sini, nampak ibu melangkah dari shaf paling depan. Beliau bersalam-salaman dengan mukena diangkat menggunakan tangan kiri hingga lutut.
Aku teringat lagi ucapan guru agamaku ketika SD.
“Salah satu fungsi solat jamaah adalah untuk merekatkan silaturahmi.”
Maka aku berdiri dan menghampiri ibu. Beliau kaget. Kucium tangannya dengan lembut. Aku baru menyadari bahwa wajah ibu sangat terang.
***
“Jadi jualan?”
Tanyaku siang itu ketika melihat ibu tak melakukan apa-apa di dapur. Biasanya kalau jualan, pukul satu siang beliau sudah racik-racik di dapur. Mengiris kol, wortel, tahu, dan lainnya. Aku sedikit lega karena siang ini ibu tidak melakukannya. Apakah beliau memenuhi permintaanku?
Ibu tidak berkata-kata. Kemudian beliau ke luar rumah. Ketika kembali, tahulah aku bahwa tadi beliau pergi ke warung, membeli kol, wortel, tahu, tempe, cendol, blewah, dan lainnya. Ibu akan berjualan sore ini.
Kalau sudah demikian, aku tak dapat berbuat apapun. Supaya tidak menjadi anak durhaka, aku membantu ibu semampuku; mengiris kol, wortel, tempe, menggoreng, serta berusaha sebaik mungkin menjadi asisten yang baik. Awalnya ibu memasang muka masam. Mungkin di dalam hati, beliau masih sakit hati lantaran ucapan dan perbuatanku yang kasar. Meski selama ini, sejauh yang aku tahu, ibu tak pernah melakukannya.
“Tolong pasang mejanya.” Perintah ibu.
Aku melaksanakan dengan sigap. Kuambil meja lipat di dapur dan kupasang di teras rumah. Sedikit berat. Tetapi setidaknya, aku tak mau menjadi anak yang durhaka.
“Bawa ke luar kolaknya.”
“Iya, Bu.”
“Kalu sudah, Bantu ibu memindah gorengannya juga.”
“Baik, Bu.”
Sore ini berlangsung dengan lancar. Banyak pembeli, banyak pula yang memuji. Sebab, ibu tak pernah pelit dalam berjualan. Enak pula masakannya.
***
“Kenapa wajahmu murung?”
“Tidak apa-apa.”
Pada pertengahan bulan Ramadhan, biasanya orang-orang memanfaatkan untuk berkumpul dengan kawan atau saudara mereka. Maka buka bersama seperti sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang. Begitu pula dengan remaja seumuranku. Meski hanya makan minum bersama, rasanya kurang afdhol jika melewatkannya.
“Ada yang terjadi, Lin?”
“Tidak.”
Rupanya ibu memang membaca kemurungan di wajahku yang bulat. Proporsional dengan tubuhku yang tidak tinggi.
Aku terus memasukkan adonan tahu isi ke dalam minyak panas. Sedangkan ibu memeras santan dengan sepasang mata tak percaya pada ucapanku.
Pukul tiga. Masih juga wajahku murung seperti sebelumnya, atau malah lebih buruk. Sebab, rasanya bibir ini tak bisa digerakkan. Otot begitu kaku. Mungkin jika orang lain yang melihat akan segera mendekatiku dan berkata; sini, kukucir saja bibirmu. Bibir kok seperti bebek. Ngambek ya ngambek saja. Tak perlu manyun semacam itu. Bosan orang lain melihatnya. Mungkin itu juga yang ada di pikiran ibu saat ini.
Aku tetap murung. Kubiarkan sore berlalu dengan berat hati.
“Ada apa sebenarnya? Kalau tidak suka ya tidak usah membantu ibu. Malu dilihat orang-orang kalau rona wajahmu buruk seperti itu.”
Aku menunduk dan menahan airmata di tenggorokan, sebab aku takut kolak di depanku akan lain rasanya kalau bercampur air mata.
“Lin.”
“Cukup, Bu. Gara-gara ibu aku tidak bisa ikut teman-teman buka bersama. Gara-gara ibu aku tak pernah bisa kumpul-kumpul dengan mereka. Ini semua gara-gara ibu.”
Aku meletakkan irus kolak di panci dengan cukup kasar. Lalu berlari menuju kamar dan menangis.
Ya Allah, bukankah salah satu ujian orang puasa adalah menahan hawa nafsu? Aku gagal melakukannya hari ini.
“Ibu tidak memaksamu membantu ibu berjualan. Tidak harus.”
Meski demikian, tidak mungkin aku meninggalkan begitu saja. Sedangkan di luar sana hanya akan bersenang-senang. Makan enak dan menghamburkan uang.
Aku kembali tersedu semmbari menutup muka dengan bantal. Pasti di luar, air di mata ibu juga berlinangan.
***
“Sepuluh hari lagi lebaran.”
“Iya.”
“Mau menemaniku beli baju?”
“Kapan?”
“Besok. Pulang sekolah.”
“Hmm, lihat besok saja ya.”
Aku dan Dinda, teman sekelasku, berpisah di gerbang sekolah. Ia melompat ke dalam bus dan aku berjalan kaki ke arah yang berbeda.
Dinda memang selalu demikian. Memintaku menemaninya membeli baju untuk lebaran. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami akan berdesakan di pasar tradisional atau toko-toko pakaian di tepian jalan. Teringat lagi wajah bapak. Juga mata ibu yang tak jarang kubuat cemas.
Tradisi membeli pakaian ketika lebraan, tidak berlaku bagi mereka. Ibu biasanya mengenakan busana panjang yang bersih, bapak dengan baju koko dan sarung yang masih layak, tidak harus baru. Tetapi tidak denganku. Mereka selalu menyediakan uang untukku. Tetapi tahun ini, entah kenapa, aku tak menginginkannya. Memberatkan ibu bapak untuk sehelai baju berbau cina. Begitu kata orang-orang kampungku menyebut baju baru.
Kulalui jalan dengan aspal gradakan dari sekolah menuju rumahku. di setiap kerikil yang mencuat, seolah kulihat mata air. Padahal hari begini panas, apalagi pukul duabelas siang. Lalu kulihat lubang lain. Sama. Seolah kulihat mata air mancur di mana-mana.
Langit pun begitu biru. Awan-awan tipis serupa gumpalan buah kapuk yang beterbangan. Tubuhku juga rasanya amat ringan. Kakiku melangkah amat riang. Mataku berbinar. Seolah ingin segera menemui ibu yang mungkin sedang sibuk di dapur.
Maka sampai di rumah, tempat tujuan pertamaku adalah dapur. Aku berlari kecil dan membuka pintu. Rasanya ingin segera memeluk ibu serta meminta maaf atas kesalahanku. Mungkin tadi di jalan, ada malaikat yang tanpa kutahu merobohkan dinding-dindong hatiku yang beku.
“Assalamu’alaikum…”
Tak ada jawaban. Kuulangi lagi.
“Assalamu’alaikaum…”
Ibu juga tak ada di dapur. Hanya angin bersiul pelan lalu hilang.
Aku ganti baju dan menanti dengan cemas. Kemana ibu?
Pukul tiga sore. Aku masih duduk murung di dapur. Ibu belum juga pulang. Mungkin aku akan mencari ke luar kalau saja tak ada suara yang mengagetkan tiba-tiba. Seperti ada yang memompa air mataku. Tetapi kutahan di tenggorokan. Kemudian menghela napas sangat lega.
“Ibu dari mana?”
“Coba tebak.” Jawab ibu sembari tersenyum. seolah tak pernah terjadi apapun di antara kami.
“Dari mana?”
“Tebak dulu.”
Dari barang-barang yang di bawa, kemudian aku tahu bahwa ibu dari rumah Mbak Minah di sebelah desa, mengambil paketan untuk lebaran. Berupa sebungkus kacang kupas, sedikit beras, satu kilo gula pasir, satu botol sirup, dan beberapa macam jajanan yang nampak harganya tak mahal.
Seperti yang kuterka pula. Selanjutnya ibu mengeluarkan amplop putih besar dari saku bajunya.
“Ibu ikut paketan uang juga, ya?”
“Iya.”
“Dapat berapa, Bu?”
“Empat ratus ribu.”
“Alhamdulillah. Lumayan buat…”
Sesungguhnya aku ingin melanjutkan dengan menyebutkan beberapa perkakas di dapur kami yang memang sudah tak bisa di pakai atau belum ada. Tetapi teringat olehku kejadian satu tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya ketika ibu menyerahkan uang serupa untuk membeli baju lebaranku.
“Tidak usah, Bu. Untuk membeli keperluan lain saja. Aku tak ingin baju baru.” Sergahku segera ketika ibu menanti lanjutan kalimatku dan akan mengatakan sesuatu.
Ibu tersenyum serta terkejut mendengar ucapanku.
“Siapa bilang ibu akan memberikannya padamu? Uang ini untuk membelikan baju koko bapakmu dan, yah, mungkin selembar kerudung untuk ibu.”
Berhembus sedikit angin kelegaan dalam dadaku. Meski sedikit aneh, akhirnya aku tersenyum juga.
“Nah, harus begitu.” Kataku selanjutnya.
Sesudah itu ibu mengeluarkan lembaran uang dari saku yang lain dan meletakkan di tanganku.
“Untukmu. Buat beli baju muslim ya. Supaya terlihat cantik lebaran nanti.”
Entah siapa yang membekukan bibirku. Liurku mendadak pahit serta nafasku terrtahan.
“Bu, untukku?”
“Iya.”
“Untuk beli baju?”
“Iya.”
“Ibu dapat tambahan? Dari mana?”
Aku tak sadar mengucapkan itu. Ibu membereskan barang-barang yang tadi dibawa dan membiarkanku mematung di tepi amben. Tersapu angin. Sangat kaku.
“Ibu tidak jualan?”
Teringat juga tujuanku dari tadi menanti ibu. Syukurlah kalimat bisa meluncur dari bibirku dengan lancar.
“Tidak.”
“Kenapa?”
Sekali lagi tak ada jawaban. Beliau mendekat dan bersbisik di telingaku.
“Buat apa. Ibu berjualan hanya untuk membelikan baju lebaran buatmu. Dan kini uangnya sudah ada di genggamanmu.”
Suara ibu menggema dengan tenang. Seperti takbir yang mengalun dari jauh. Terlampau jauh hingga nyaris tak terdengar.
Boja, 14 Agustus 2011
13.44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar