Senin, 10 Februari 2014
Penjaga Rumah
Baru kali ini saya melihat orang mengenakan kain putih di sekuruh tubuhnya, dengan sengaja pula, yang terlihat hanya muka dan sedikit ujung jari. Lalu menghadap matahari terbenam. Dan saya tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Majikan saya bernama Aris. Mungkin orang tadi teman majikan saya. tidak mungkin kalau kekasihnya. Sebab saya tahu, majikan saya sudah punya kekasih. Ia sering menceritakan hal itu kepada saya. bahkan kekasihnya juga sering menjadi objek lukisan yang dipasang di dekat pintu tempat saya selalu tidur di sana.
Tetapi akhir-akhir ini saya tidak melihat majikan saya membawa kekasihnya yang jelita itu ke mari. Memang saya tahu, majikan saya kini lebih sibuk dari sebelumnya. Pagi-pagi bangun membersihkan galeri, lalu mandi, setelah itu pergi entah ke mana. Yang saya lihat, ia menenteng tas samping dan setumpuk buku sambil mengecup saya.
“Google, baik-baik di rumah, ya.”
Kalau bisa saya balas ucapannya pasti saya sudah berteriak dengan lantang.
“Tentu, aku baik-baik di rumah. Tetapi aku merindukanmu! Tetapi aku merindukanmu!”
Ah. Ia keburu pergi. Suara langkahnya keras. Membuat mata saya berkaca-kaca. Ia meninggalkan saya tanpa memberitahu mau ke mana.
Perempuan itu sudah datang. Tepat saat majikan saya sampai di ambang pintu yang menghubungkan rumah dengan galeri. Mereka hanya bertegur sapa biasa. Ala kadarnya. Tersenyum. Tertawa. Tidak ada cium pipi seperti ketika bertemu dengan kekasihnya. Lalu majikan saya sudah tak nampak di pintu.
Perempuan itu melangkah ringan. Suara sepetu sandalnya terdengar renyah di galeri yang hanya berisi lukisan bisu dan kursi yang tergeletak sendirian di pojok kanan bagian depan ruangan. Ia meletakkan tas bahunya di situ. Lalu duduk. Ketika duduk kakinya biasa saja. Tidak menyilang seperti ketika kekasih majikan saya duduk di sana.
Ah, mungkin cara duduk tak begitu penting. Sejak melihatnya beberapa hari yang lalu, saya terpesona dengan kain yang menutupi seluruh kepalanya (kecuali wajah seperti ketika menutup seluruh tubuhnya dengan kain putih). Memang agak aneh. Apa ia tidak punya rambut? Atau malu rambutnya kelihatan? Tidak mau jika rambutnya disentuh orang seperti ketika majikan saya menyentuh dan mencium rambut kekasihnya? Ah, saya tidak tahu. Sejak lahir saya belum pernah melihat yang seperti itu.
Sesungguhnya saya ingin mendekati perempuan itu. Ingin berkenalan. Ingin mencium kulit kaki, tangan atau pipinya. Tetapi sayang, semua ia tutup dengan baju. Semacam kain yang tidak berbelah (yang kemudian saya tahu, itu adalah rok). Tentu bukan hanya itu. Saya kan diikat, jadi tidak mungkin saya menghampirinya.
Sesungguhnya bukan masalah yang besar ketika saya tidak bisa kemana-mana. Toh, kalau seseorang mau mendekat saja, terpecah sudah kan masalah? Perempuan itu sering menatap ragu. Ragu pada saya. Entah takut atau ada hal lain yang membuatnya berjalan menghindar setiap kali melewati saya. Awalnya saya pikir karena kami belum kenal. Tetapi, memangnya perlu berapa lama untuk saling mengenal? Saya merasa sedih.
Perempuan itu sepertinya memang tidak ingin mengenal saya lebih jauh. Kini telah dua bulan ia di sini. Dan tak sekalipun menyentuh atau membelai saya.
**
“Google, jangan nakal. Duduk di situ. Oke? Ayo, jangan nakal!”
Hari ini majikan saya tidak pergi. Sejak pagi saya lihat ia hanya mondar mandir sambil sesekali memegang pensil dan menggoreskannya di sketbook yang tidak pernah beranjak dari meja makan, yang juga digunakan sebagai meja santai. Di teras belakang rumah. Seperti riutinitasnya yang dulu. Tetapi wajahnya lebih kusut. Saya takut kalau ia tidak menyayangi saya lagi.
Pukul 8.00 perempuan dengan penutup kepala itu datang. Ada dua perasaan ketika ia muncul di depan pintu. Pertama, saya senang karena galeri tidak penuh debu lagi. Ah, lagi-lagi saya membandingkan dengan kekasih majikan saya yang sudah lama tak nampak itu. Ia tak pernah meembersihkan ruangan. Apalagi membereskannya. Berbeda dengan perempuan ini. Jangankan debu, lalat yang mau lewat saja sungkan. Sebab udaranya kental segar pembersih ruangan. Kedua, perasaan yang membuat hati saya perih. Hati saya bisa perih? Tentu. Perempuan itu belum juga sekalipun menyentuh saya. Jangan-jangan ia akan merebut majikan saya seperti ia merebutnya dari kekasih majikan saya? Sayang sekali mereka tidak tahu kalau saya bisa menangis.
“Google, kamu ada apa? Apanya yang sakit?”
Saya sengaja mengerang terus. Tentu supaya mendapat perhatian. Saya lihat wajah perempuan itu pucat. Menatap saya. tetapi masih belum berani menyentuh saya. Tangis saya meledak.
“Ambilkan obat.” Pinta majikan saya pada perempuan itu.
“Iya, mas.”
‘Air”
“Iya.”
Perempuan itu nampak sekali kebingungan. Berulangkali saya lihat ia menengok kanan-kiri tanpa sebab. Peluhnya membasahi dahi, hidung dan dagunya yang lancip. Untuk kesekian kali saya tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Setelah beberapa menit akhirnya saya tenang. Tepatnya berhenti akting seperti tadi. Ah, apa yang saya lakukan? Apa yang majikan saya lakukan? Apa yang perempuan itu lakukan? Masing-masing kami diam.
Perempuan itu memulai lagi percakapan.
”Google sering sakit begitu, ya?” Ia menanyakan saya.
”Tidak. Baru sekali.”
”Atau memang sedang sakit?”
”Mungkin. Tapi suhu badannya stabil.”
Perempuan itu beranjak. Ia membereskan tempat air yang tadi dibawanya. Saya tidak melihat kekhawatiran di mata ataupun wajahnya. Apakah baginya saya begitu tidak penting? Kami kembali pada pekerjaan masing-masing.
**
Hari berikutnya, pukul 7.30 saya sudah terjaga dan menanti kehadiran perempuan itu. Tetapi sampai pukul sembilan, wajahnya yang ringan dan menyenangkan belum juga muncul di ambang pintu, melainkan kekasih majikan saya yang jelita. Saya diam. Kekasih majikan saya mencium saya. Mengelus kulit saya. Saya merindukannya. Tetapi sedikit. Selebihnya biasa saja. Entah. Rasanya seperti biskuit yang bantat. Kemana perempuan itu?
Majikan saya sedang melukis. Lalu saya kembali menyaksikan pertemuan sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Seperti biasa. Mereka saling mencium pipi kanan dan kiri. Ditambah lagi pelukan beberapa detik sebagai pelampiasan kerinduan. Sepertinya begitu.
”Model rambutmu baru?” Tanya majikan saya sambil membelai rambut kekasihnya yang sebahu dan lurus berkilau-kilau. saya kembali teringat pada perempuan itu.
Sehari penuh saya menunggunya. Dan ia tidak datang. Hari berikutnya saya menunggunya lagi. Ia tidak datang lagi. Dan seterusnya sampai saya tahu bahwa perempuan itu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Rupanya perempuan itu di sini bekerja. Saya tahu itupun dari percakapan antara majikan saya dan kekasihnya.
”Jadi dia tidak betah?”
”Iya.”
”Kenapa?”
”Entah.”
Kemudian mereka berdua membereskan meja makan yang sering digunakn majikan saya untuk melukis. Di sana saya melihat kain putih yang dulu pernah dipakai perempuan itu. Kekasih majikan saya mengambilnya.
”Ini mukenanya.”
”Mungkin dia takut pada Google. Tepatnya takut menyentuh Google.”
”Kenapa?”
Majikan saya mengangkat bahu.
Setelah itu saya jadi tahu, kepergiannya adalah karena saya entah apa alasannya. Yang saya tahu, hati saya masih sakit. Apakah saya berlumur kotoran sehingga perempuan itu tak mau menyentuh saya?
Semarang, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagus, jadi itu alasannya., :)
BalasHapushehe, cuma fiksi, Tommas :D
BalasHapus