Senin, 10 Februari 2014
Hari ini Hujan Turun....
Sayang, hari ini hujan turun. Titik-titik air mengenai kulitku dengan kasar. Masih terbayang olehku wajah murid-muridku yang nakal, juga kebocahan. Celoteh lugu mereka membawaku pada banyak ingatan masa kecil ketika hujan turun. Juga pertemuanku denganmu.
Tetapi kali ini aku tidak menikmati semua itu. Sebab angin semakin kencang. Air berjatuhan begitu banyaknya. Aku berlindung di atap seng sebuah rumah di ujung gang. Diantara orang-orang yang juga berlindung dari hujan.
Sementara udara terasa begitu dingin, arloji di tangan kiriku terus berdenyut, seolah mengingatkan bahwa aku memang harus segera pulang dan banyak istirahat. Terlebih cuaca sedang tidak bersahabat. Maka aku harus berhati-hati dan sebaik mungkin menjaga kondisi tubuh. Lagipula sejak beberapa hari yang lalu kepalaku terasa lebih berat, tubuhku sering menggigil tanpa sebab. Mungkin aku telah kalah dengan cuaca. Atau hal lain? Aku tak tahu.
Baru kali ini aku tidak sabar berada di bawah hujan. Terperangkap. Seperti kepiting yang terselip di antara batu-batu. Nafas pun berubah menjadi kecemasan luar biasa. Memang. Sebab di alam bawah sadarku, tampak kau sedang bermain riang dengan murid-muridku, di gang sempit itu, di antara aliran air berwarna kecoklatan, di antara hujan yang sibuk memanah apa dan siapa saja di bawahnya.
Seperti biasa, dalam kondisi apapun, kau pandai membuat airmataku berlinangan. Mulanya hanya rembes pelan-pelan di pangkal bulu mata, kelamaan seperti hujan, yang membentuk parit dan mengalir ke laut. Sedang di antara tawa renyah bocah-bocah itu kau nampak amat lugu. Terus bermain. Entah kejar-kejaran, entah dorong-dorongan, atau saling menjatuhkan. Kakiku ingin melangkah sendiri ke arahmu. Jika memang kulakukan tentu aku akan basah kuyup dan semua orang akan beranggapan bahwa aku bukan lagi guru yang normal.
Seseorang di sampingku mengingatkan akan itu. Awas mbak, jangan maju-maju, nanti basah... Aku tahu kalau maju pasti basah, tidak perlu diingatkan. Aku memandang tidak suka pada seseorang di sampingku itu. Aku jadi sentimen. Ah, benar juga, di antara rimbun hujan di depanku itu memang tidak ada siapa-siapa. Tidak ada murid-muridku. Tidak juga kau.
Tugas-tugas dari sekolah tiba-tiba memenuhi tempurung kepalaku. Itu artinya aku memang harus segera pulang. Tetapi bagaimana lagi? Masih hujan. Atau kalau aku nekat, yang paling mengerikan adalah berkas tugas yang aku bawa ini akan menjadi bubur kertas. Dan aku akan batal mendapat pujian dari kepala sekolah bahwa guru muda ini memang dapat dipercaya dalam menyelesaikan tugas-tugas dengan tangkas. Hmm, mungkin aku harus meminta bantuanmu untuk menjemputku dan membawakan payung? Dadaku berdesir.
Kalau saja aku pandai bercakap dengan hujan, akan kutanyakan padanya mengenai banyak hal tentangmu. Tentang kesukaanmu dan ketidaksukaanmu. Meski hal tersebut tak dapat kulakukan, aku pandai membaca apa saja tentangmu.
Buku, film, cokelat, berkhayal, begadang, kopi hitam, online dini hari, musik, puisi, cerita imajinasi, hujan, dan... perempuan. Itu kesukaanmu, kan? Jangan katakan aku tidak tahu. Tepatnya kau harus percaya bahwa aku (mungkin) memang tahu. Begitulah. Selalu mungkin. Selalu mungkin. Dan sudah itu kau akan membuatku menangis sepanjang hari. Sepanjang hari.
Seseorang menyenggolku. Dan aku yang sedang melamun menjatuhkan bendel kertas dalam genggaman tanpa plastik pembungkus. Hujan begitu deras. Berkas itu tidak mungkin lagi kuambil. Sebab telah menjadi bubur dan mengalir bersama air kecoklatan.
........................
Pukul 4 sore. Sayang, kau belum juga datang menjemputku. Padahal aku berharap sekali kau datang tanpa kuminta. Tanpa aku pura-pura mengatakan bahwa aku tidak bisa pulang karena hujan. Tanpa aku pura-pura mengatakan bahwa aku butuh teman. Sayang, mungkinkah kau akan datang?
Terpaksa. Aku berjalan begitu saja. Rok sepan selutut dan kemejaku basah. Orang yang tadi menyenggolku merasa bersalah dan mengejarku. Aku melangkah semakin cepat dan pura-pura tak mendengar panggilannya. Dia menarik tangan kananku. Kau pernah melakukan hal serupa padaku, kan? Di toko buku itu...
Beberapa detik aku dan orang itu saling pandang. Pandangan sengit dari arah mataku dan pandangan mengiba dari mata orang itu. Maka tanpa disadari aku telah menilai keadaan fisiknya. Tidak terlalu tinggi, rambut ikal, sedikit berjambang dan mata besar seperti bola rugbi. Sayang, itukah kau? Tidak. Ya, Tuhan. Aku terlalu lama memandangnya.
”Maaf, saya tidak ada urusan dengan anda.”
”Tapi saya punya urusan dengan anda.”
“Jangan karena telah menjatuhkan buku saya maka anda merasa berhak mengganggu saya.”
“Saya tidak mengganggu anda.”
“Tapi saya merasa terganggu.”
Sudah sejak beberapa detik lalu tangannya yang memegang tanganku, kutepiskan. Dia kaget. Tetapi kalau tidak demikian, apakah akan kubiarkan jari jemarinya terus membuat kulitku merinding? Bagaimana tidak. Yang kubayangkan adalah kau. Orang itu sungguh mirip kau.
Lalu aku menjauh. Membiarkan lelaki itu merasa tidak senang dengan perlakuanku. Ia diam ditempatnya. Rupanya kami telah menjadi pusat perhatian banyak orang.
”Suit..suit..”
”Seperti film India.”
”Pasti habis ini nyanyi.”
”Ayo dikejar dong....”
Aku terus berjalan tanpa menoleh. Tentunya dengan hati yang sungguh tak karuan.
Hujan membiarkanku meneteskan airmata tanpa diketahui orang lain. Cengeng sekali, buat apa menangis? Usia 30 tahun tak pantas menangis di jalanan. Seperti anak kecil yang kehilangan permen. Ah. Pakaian yang kukenakan serasa berubah menjadi baju masa kecil yang biasa kugunakan ketika hujan-hujanan. Tiba-tiba menjelma baju perang loreng-loreng, yang kupakai dulu ketika mengikuti karnaval pertama. Berubah menjadi seragam SMP, SMA, dan bergantian dengan apa yang kukenakan sekarang. Dan yang terakhir, baju pengantin kebaya renda putih, seolah menjadi gaun terindah yang menempel di tubuhku dan mendapat pujian dari banyak orang.
”Satria, pengantinmu sungguh cantik.”
”Pengantinmu sangat anggun.”
”Beruntung sekali kau mendapatkannya.”
Dan lain-lain.
Ah, aku teringat saat kita menikah. Pagi-pagi setelah beberapa hari pingitan aku merasa sangat deg-degan. Padahal malamnya sudah bertemu denganmu dalam acara serah-serahan dan kau menginap dirumahku tetapi kita tak bercakap apapun. Tentu saja, kita sama-sama bingung harus mengucapkan apa. Speechless. Terlebih pandangan orang-orang menggoda kita.
Setelahnya, kau dan aku menjadi seperti raja dan ratu atau apasangan dewa-dewi di atas pelaminan. Set panggung yang sederhana. Hanya dengan beberapa bunga krisan putih kesukaanku. Sederhana. Tapi kita bahagia. Anut runtut tansah reruntungan... *
Hari-hari setelah itupun kita lewati dengan menyenangkan. Kita tinggal di sebuah kontrakan yang jauh dari rumah orangtua kita masing-masing. Tempat yang dekat dengan tempatku mengajar menjadi guru honorer Sekolah Dasar dan tidak jauh dari tempatmu mencari penghasilan, menjadi wartawan di sebuah surat kabar.
Terkadang gaji kita hanya pas untuk membayar listrik dan makan. Aku memasak sendiri dengan lauk sungguh ala kadarnya. Kadang keasinan, kadang terlalu manis, dan terkadang nasi keras kurang matang. Tetapi kita tetap bahagia.
Sebenarnya sampai sekarangpun demikian. Kau tak pernah bermasalah mengenai makanan atau hal lainnya yang berada di dalam rumah. Kita masih sering bersih-bersih bersama, menyapu lantai, mencuci, membetulkan atap yang bocor. Tetapi kita tidak bercakap-cakap seperti dulu. Pekerjaan di luar rumah membuat kita seperti orang asing. Aku bertemu banyak orang, kaupun begitu.
Bukankah kita masing-masing seharusnya saling percaya dan menjaga? Begitulah. Banyak hal yang tidak kita mengerti.
Pasalnya, suatu hari kau mengatakan padaku akan sangat sering bepergian keluar kota. Banyak berita yang harus diburu. Hingga aku sering sendirian di kontrakan. Sementara saat pulang kau tak lagi menyenangkan. Adakah kau bertemu dengan seseorang yang tak kutahu? Awalnya aku biasa saja. Tetapi ketika itu sudah memasuki hitungan tahun, haruskah aku sebagai istri akan diam saja? Tepat sekali. Aku hanya diam. Seperti ketika dulu bertemu.
Aku bukan orang yang terkenal sepertimu. Hanya kadang-kadang saja mengikuti acara diluar kampus. Entah itu diskusi atau sekedar nonton pertunjukkan. Selebihnya aku tidak melakukan apa-apa. Tidak bergabung dalam komunitas ataupun menulis di surat kabar. Seperti yang kau lakukan. Maka tak heran ketika bertemu kukatakan bahwa aku seperti pernah mendengar namamu dan ketika ingat dimana, rasa percaya diriku surut seperti selokan di musim kemarau. Kau sedikit bicara, aku lebih sedikit lagi. Selebihnya kita diam. Mendengarkan suara detak jantung masing-masing.
Tanpa disadari, rupanya kakiku sudah berada di depan pintu kontrakan. Hari sudah sore dan tidak ada yang menyalakan lampu. Teras terasa sangat sunyi. Bangku-bangku yang berada disitu basah. Tanaman yang dulu sering kita rawat kini hampir mati. Dan aku teringat lagi akan lembar-lembar yang tadi jatuh serta terbawa arus hujan. Bagaimana besok aku harus mempertanggungjawabkan tugasku? Kakiku semakin berat meski hanya menyangga tubuh sendiri.
Kuputar kunci pelan-pelan. Tanganku seperti tak punya tenaga. Setelahnya suara keretak pintu membuat sunyi semakin menyayat. Kubiarkan basah bajuku mengotori ubin bunga-bunga. Aku malas berjalan seperti maling.
Maka kubiarkan hujan di bajuku membanjiri ruang tamu. Aku ingin marah, sebab, kau yang kuharapkan berada di rumah ternyata malah tak ada. Meski sesungguhnya sudah kuketahui sebelumnya. Ah, hujan selalu membuatku seperti orang gila.
Aku rebah begitu saja di sofa. Memandang langit-langit yang bocor dan belum dibetulkan. Airnya jatuh ke mataku hingga membuatnya merah. Saat seperti ini biasanya kau meneteskan obat mata. Setelahnya menenangkanku pelan-pelan. Sayang, di manakah kau sekarang?
Hari semakin malam. Lampu kubiarkan tak menyala. Petir di luar menyambar-nyambar, di tembok terlihat bermacam bayangan. Aku tak takut. Sebab ada yang lebih menakutkan. Perceraian kita tinggal esok. Tinggal hitungan jam.
Sambirejo, 22 April 2011
07.30
* Anyam-anyaman oleh Sujiwo Tedjo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar