“Lagi apa, Non?”
“Mig33.”
Ah. Itu lagi. Satu kali duapuluh empat jam, setidaknya ia telah
menghabiskan lebih dari duabelas jam di
hadapan handphone sembari tersenyum seorang diri. Tak peuli apakah di
luar kamarnya hujan turun, kawannya mencari kawan untuk makan, atau
bahkan kebanjiran sepanjang musim. Yang mereka perhatikan hanya
nama-nama asing yang tak mereka kenal akan tetapi begitu akrab dengan
dunia khayal.
Mungkin aku berlebihan mengatakan demikan. Tetapi begitulah,
percakapan dengan kawanku itu bisa dihitung
dengan jari. Kalau tidak menayakan antrean mandi, mungkin ia akan
terus berada di kamar dan membangun dunia yang bahkan entah di mana
tempatnya. Dunia yang hanya dimiliki oleh orang berhandphone bagus.
Setidaknya begitu pendapatku yang mempunyai handphone hanya bisa
digunkan untuk SMS dan telepon.
“Sudah mandi?”
“Sebentar lagi.”
“Sudah urutanmu.”
“Oh. Hmm, kamu dulu.”
Dengan senang hati. Maka aku selalu mencari kesempatan ini untuk
terlebih dahulu menggunakan kamar mandi yang memang hanya ada satu di
tempat kosku. Bagaimana lagi. Kos murah begini, tak mungkin meminta
tempat yang lebih layak lagi. Harganya lima puluh persen lebih murah
dari tempat lain.
“Berapa?”
“Seratus ribu.”
“Serius?”
Aku tak pernah bercanda perihal keuangan. Itu artinya aku sangat
serius. Ini berkaitan dengan suplay uang bulanan dari bapakku, yang
mengharapkan aku segera lulus dan pulang ke rumah supaya tak setiap
bulan memberi makan orang China pemilik kosku ini. Memang, aku sudah
semester delapan. Tinggal selangkah, dapat sudah ijazah Strata Satu
dengan gelar Sarjana Pendidikan. Tapi, kapan?
“Sudah, Nur. Silakan mandi.”
“Adalagi yang mau mandi gak?”
“Giliranmu.”
“Hmm, nanti ah.”
Lalu seseorang menyerobot di lorong tempat kamar kami
berhadap-hadapan.
“Nurma tak perlu mandi. Mungkin mig33nya sudah menyediakan
fasilitas kamarmandi.” Candanya kemudian setelah mengisyaratkan
pada Nurma untuk memakai kamar mandinya terlebih dahulu.
“Katanya kamu mau ke kampus, Nur?”
“Iya, sebentar, lagi asyik.”
“Ah, asyikmu tak mungkin hanya sebentar.”
Aku berlalu menuju kamar dan mengganti pakaian bersiap ke kampus
unutk mengurusi segala tentang skripsi. Sungguh, aku bosan hidup di
kota panas ini. Semua serba mahal. Setidaknya duapuluh ribu sehari
amblas hanya untuk makan. Belum keperluan lain seperti sabun serta
bedak dan kawan-kawannya. Maka tak heran kalau aku ingin segera lulus
dan kembali pada desaku yang tak pelit itu. Kota kecil di barat kota
ini.
Berkas-berkas skripsi yang siap kutunjukkan kepada dosen sudah kutata
rapi dan berada di genggaman dalam tempat
buku besar. Tertanam harapan yang tak kecil pula di benda yang
kupikir nantinya hanya akan berfungsi menjadi buntalan gorengan jika
ternyata di oret-oret dan perlu diperbaiki
lagi. Ah, jaman sekarang. Bimbingan kok masih manual. Bukankah kencan
saja sudah begitu canggih? Tinggal chat “Hai” dan mengalirlah
opium dari huruf-hurufnya.
“Nur, aku duluan.”
“Tidak sarapan?”
“Nanti saja.”
Kulayangkan senyum simpul pada Nurma yang berada di sebelah kamarku
sembari menggenggam handphone dan berada di dunia entah di mana. Ah,
lama sekali aku mengenalnya. Dan, memang seperti itu dia. Mungkin
baginya, kehidupan adalah yang ada di awang-awang
sana. Di atas langit. Sehingga orang-orang
sekitarnya tak mampu melihat ada apa saja di atas sana, ada siapa
saja, seperti apa. Sebab seluruhnya tertutup awan tebal.
Di sepanjang jalan dari kos menuju kampus, kusaksikan beberapa
mahasiswa berada di teras sempit yang berdesakan dengan
jalan, ada yang menghirup minuman hangat bersama kawan perempuan satu
kos, ada pula yang sudah bertengger di sepeda motor bersama
kekasihnya. Semuanya menggenggam handphone dan bercakap dengan lawan
bicara sembari menduakan mata pada layar
berkelip itu.
Baru pukul tujuh tigapuluh. Tetapi rasanya siang sekali. Dan pada
saat seperti ini biasanya kulihat bapak-bapak yang jongkok sembari
menghisap rokok di tepian gang yang berukuran tak lebih satu meter.
Membuat pejalan gadis sepertiku merasa
enggan. Sebab mereka pasti akan menelanjangi setiap langkah kaki
kami. Hingga bayangan kami hilang di
belokan. Ah, pemandangan yang tak pernah kurindukan.
Hingga sampai di kawasan kampus, sepertinya tak kutemui seorang pun
yang tak menenteng handphone di tangannya. Entah itu murahan atau
tidak. Agaknya handphone telah berubah fungsi. Dari alat komunikasi
hingga menjadi kawan setia yang tak protes kecuali jika batrei habis
atau makanan habis alias perlu suplay pulsa untuk membuatnya lebih
bermakna.
“Nunggu Pak Ridho?”
“Iya. Kamu?”
Di depan ruang ber AC bertuliskan Kajur ini aku duduk pada bangku
yang sudah ramai meski waktu belum juga menunjukkan
pukul delapan. Mereka adalah mahasiswa yang haus akan tanda tangan
dosen, dan bukan ilmunya. Setidaknya begitu pendapatku, sebab bibir
mereka sendiri yang membeberkannya. “Yang
penting ACC, tanda tangan!”.
Ah, apa guna tanda tangan kalau isi otak sama saja? Untuk beberapa
waktu begini biasanya aku menjadi hakim yang merasa sok suci, lebih
baik dari segala-gala yang mereka lakukan. Tetapi lihatlah. Tetap
saja aku mengikuti antrean sepanjang antrean sembaku di kampungku
ketika minyak murah telah datang
“Urutan berapa?” Tanya kawanku.
“Duapuluh. Kamu?”
Sebenarnya tidak ada yang menarik bagiku untuk mengetahui urutan
berapa dia dan penelitian apa yang digunakan untuk skripsinya.
Melainkan handphone touchscreen yang bagian punggungnya menujukkan
gambar apel berkilat dengan daun sehelai. Rupanya mereka telah begitu
canggih dan tak lagi buduk. Diam-diam aku
mengintai gerak jarinya menyentuh layar
sembari membolak-balik handphone dan melihat akunt facebook di
dalamnya. Betapa mengagumkan otak manusia yang diberikan Tuhan kepada
kita.
“Menurutmu hari ini Pak Ridho datang tidak?” tanyanya padaku yang
sedang memikirkan benda apalagi yang kelak mungkin ada di tangan
manuisia.
“Hmm, tidak tahu. Mungkin robot pemalsu tandatangan.” Jawabku
sekaligus membayangkannya dengan lucu. Siapa tahu saja benar.
Sehingga kami tak perlu berjubal seperti ini
untuk menanti mereka yang kedatangannya tak
bisa ditentukan dengan waktu. Hanya
kemungkinan. Dan kami telah menjadi pindang dalam kukusan ketika
mereka muncul dan masuk ruangan dengan tenang.
“Kalau robot pijat saja bagaimana?” sambungnya.
“Itu sudah ada.”
“Tapi kan kita belum punya.”
“Barangkali robot pemijat yang tak terlihat. Bagaimana?”
Ah, ngelantur. Ketika kami tersadar, telah kami temukan beberapa
orang berkerumun di depan pintu kaca tebal itu. Dengan berkas di
tangan serta wajah lembab penuh keringat. Ternyata orang yang kami
nanti sudah datang. Pak Ridho. Beliau melebihi malaikat pada saat
seperti ini. Skripsi. Ah, syarat kelulusan
kami.
Saat seperti ini biasanya aku tak berminat
ikut berjubal, meski juga penasaran apa yang akan terjadi. Sebab,
terkadang beliau tidak begitu saja menerima mahasiswa yang hadir,
sebab terlampau banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan. Maka kami menurut dengan wajah muram.
Maka di hari-hari berikutnya, kami menunggu lagi persis seperti hari
sebelumnya. Dengan kecemasan yang mendalam. Dan saat seperti itu,
rasanya hanya aku yang tenang dengan buku, membacanya hingga
tenggelam.
“Menyedihkan kalau buku sudah dilupakan.
Bukan begitu, Rin?” tanyaku pada Airin
yang sedari tadi bersamaku.
“Eh, iya, apa?”
“Hmm, buku.”
“Oh, iya, ada apa?”
“Sudah terlupakan.”
“He, lucu.”
“Apanya?”
“Ini.”
“Kau tidak mendengarkanku?”
Ia masih menatap monitor yang jungkir balik itu. Sepertinya
ia memang tak lagi sadar bahwa di sampingnya ada aku.
“Dengarkan, dengarkan!”
Seseorang muncul dari ruang bersih yang membuat kami berharap bisa
masuk tanpa antri begini panjang.
“Pak Ridho, tidak menerima bimbingan, katanya datanglah minggu
depan. Beliau akan beberapa hari melakukan penelitian!”
“Masak??”
Sesudahnya kami bubar jalan seperti ayam yang baru mengahbiskan
pakan.
***
“Begitu, Mbak.”
“Sudah biasa. Jangan ceritakan kepada ibu.”
“Kenapa?”
“Kamu kira ibu tidak memikirkan yang kau alami? Jangan buat ia
tambah gelisah atas cerita-ceritamu.”
“Kenyataannya memang demikian.”
“Maka dari itu.”
Aku dan Mbak Rida mengupas singkong dengan teliti. Ini pekerjaaanku
di rumah. Membantu ibu mengolah umbian ini menjadi keripik
yang lezat. Sesudah itu dijual di pasaran dengan harga lima ratus
rupiah per bungkus. Dan mereka dapat menikmati snack
murah meriah tanpa pengawet. Meski tak jarang, keripik
kami kalah dengan makanan dengan kemasan serba bagus itu. Makanan
yang justru tak sedikit membubuhkan pengawet. Mungkin.
“Kira-kira kapan kamu lulus, Nok?” Tanya ibu sembari menggoreng
keripik di wajan besar bertengger pada
pawon bata dengan api menjilat-jilat dan menyala.
“Sebentar lagi, Bu.”
“Bulan lalu juga bilang sebentar lagi.”
Mulutku terkunci dan pura-pura sibuk dengan kulit singkong yang liat.
“Kawanmu yang mau ke sini itu, lulus kapan?”
“Sama.”
Aku jadi ingat bahwa kepulangaku kali ini adalah karena Nurma yang
ingin mampir. Katanya ia akan berjalan-jalan di Nglimut
bersama kawan-kawan mignya.
“Kawan-kawan apa?”
Tanya ibu mengulangi.
“Mig.”
“Apa itu?”
“Semacam akun di dunia maya. Mereka bisa
saling mengenal lewat chatting.”
“Dunia maya? Ngeri sekali kedengarannya.”
Aku dan Mbak Ridha berpandangan.
“Ada yang salah Mbak dengan ucapanku?”
“Tidak.”
Kami masih berkutat dengan singkong. Ibu belum puas pada jawabanku
mengenai mig33 dan dunia maya. Bagaimana aku menjelaskannya?
Semarang, 8 Agustus 2011 11.22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar