Senin, 10 Februari 2014

Persoalan Kecil


 “Lagi apa, Non?”
“Mig33.”
Ah. Itu lagi. Satu kali duapuluh empat jam, setidaknya ia telah menghabiskan lebih dari duabelas jam di hadapan handphone sembari tersenyum seorang diri. Tak peuli apakah di luar kamarnya hujan turun, kawannya mencari kawan untuk makan, atau bahkan kebanjiran sepanjang musim. Yang mereka perhatikan hanya nama-nama asing yang tak mereka kenal akan tetapi begitu akrab dengan dunia khayal.
Mungkin aku berlebihan mengatakan demikan. Tetapi begitulah, percakapan dengan kawanku itu bisa dihitung dengan jari. Kalau tidak menayakan antrean mandi, mungkin ia akan terus berada di kamar dan membangun dunia yang bahkan entah di mana tempatnya. Dunia yang hanya dimiliki oleh orang berhandphone bagus. Setidaknya begitu pendapatku yang mempunyai handphone hanya bisa digunkan untuk SMS dan telepon.
“Sudah mandi?”
“Sebentar lagi.”
“Sudah urutanmu.”
“Oh. Hmm, kamu dulu.”
Dengan senang hati. Maka aku selalu mencari kesempatan ini untuk terlebih dahulu menggunakan kamar mandi yang memang hanya ada satu di tempat kosku. Bagaimana lagi. Kos murah begini, tak mungkin meminta tempat yang lebih layak lagi. Harganya lima puluh persen lebih murah dari tempat lain.
“Berapa?”
“Seratus ribu.”
“Serius?”
Aku tak pernah bercanda perihal keuangan. Itu artinya aku sangat serius. Ini berkaitan dengan suplay uang bulanan dari bapakku, yang mengharapkan aku segera lulus dan pulang ke rumah supaya tak setiap bulan memberi makan orang China pemilik kosku ini. Memang, aku sudah semester delapan. Tinggal selangkah, dapat sudah ijazah Strata Satu dengan gelar Sarjana Pendidikan. Tapi, kapan?
“Sudah, Nur. Silakan mandi.”
“Adalagi yang mau mandi gak?”
“Giliranmu.”
“Hmm, nanti ah.”
Lalu seseorang menyerobot di lorong tempat kamar kami berhadap-hadapan.
“Nurma tak perlu mandi. Mungkin mig33nya sudah menyediakan fasilitas kamarmandi.” Candanya kemudian setelah mengisyaratkan pada Nurma untuk memakai kamar mandinya terlebih dahulu.
“Katanya kamu mau ke kampus, Nur?”
“Iya, sebentar, lagi asyik.”
“Ah, asyikmu tak mungkin hanya sebentar.”
Aku berlalu menuju kamar dan mengganti pakaian bersiap ke kampus unutk mengurusi segala tentang skripsi. Sungguh, aku bosan hidup di kota panas ini. Semua serba mahal. Setidaknya duapuluh ribu sehari amblas hanya untuk makan. Belum keperluan lain seperti sabun serta bedak dan kawan-kawannya. Maka tak heran kalau aku ingin segera lulus dan kembali pada desaku yang tak pelit itu. Kota kecil di barat kota ini.
Berkas-berkas skripsi yang siap kutunjukkan kepada dosen sudah kutata rapi dan berada di genggaman dalam tempat buku besar. Tertanam harapan yang tak kecil pula di benda yang kupikir nantinya hanya akan berfungsi menjadi buntalan gorengan jika ternyata di oret-oret dan perlu diperbaiki lagi. Ah, jaman sekarang. Bimbingan kok masih manual. Bukankah kencan saja sudah begitu canggih? Tinggal chat “Hai” dan mengalirlah opium dari huruf-hurufnya.
“Nur, aku duluan.”
“Tidak sarapan?”
“Nanti saja.”
Kulayangkan senyum simpul pada Nurma yang berada di sebelah kamarku sembari menggenggam handphone dan berada di dunia entah di mana. Ah, lama sekali aku mengenalnya. Dan, memang seperti itu dia. Mungkin baginya, kehidupan adalah yang ada di awang-awang sana. Di atas langit. Sehingga orang-orang sekitarnya tak mampu melihat ada apa saja di atas sana, ada siapa saja, seperti apa. Sebab seluruhnya tertutup awan tebal.
Di sepanjang jalan dari kos menuju kampus, kusaksikan beberapa mahasiswa berada di teras sempit yang berdesakan dengan jalan, ada yang menghirup minuman hangat bersama kawan perempuan satu kos, ada pula yang sudah bertengger di sepeda motor bersama kekasihnya. Semuanya menggenggam handphone dan bercakap dengan lawan bicara sembari menduakan mata pada layar berkelip itu.
Baru pukul tujuh tigapuluh. Tetapi rasanya siang sekali. Dan pada saat seperti ini biasanya kulihat bapak-bapak yang jongkok sembari menghisap rokok di tepian gang yang berukuran tak lebih satu meter. Membuat pejalan gadis sepertiku merasa enggan. Sebab mereka pasti akan menelanjangi setiap langkah kaki kami. Hingga bayangan kami hilang di belokan. Ah, pemandangan yang tak pernah kurindukan.
Hingga sampai di kawasan kampus, sepertinya tak kutemui seorang pun yang tak menenteng handphone di tangannya. Entah itu murahan atau tidak. Agaknya handphone telah berubah fungsi. Dari alat komunikasi hingga menjadi kawan setia yang tak protes kecuali jika batrei habis atau makanan habis alias perlu suplay pulsa untuk membuatnya lebih bermakna.
“Nunggu Pak Ridho?”
“Iya. Kamu?”
Di depan ruang ber AC bertuliskan Kajur ini aku duduk pada bangku yang sudah ramai meski waktu belum juga menunjukkan pukul delapan. Mereka adalah mahasiswa yang haus akan tanda tangan dosen, dan bukan ilmunya. Setidaknya begitu pendapatku, sebab bibir mereka sendiri yang membeberkannya. “Yang penting ACC, tanda tangan!”.
Ah, apa guna tanda tangan kalau isi otak sama saja? Untuk beberapa waktu begini biasanya aku menjadi hakim yang merasa sok suci, lebih baik dari segala-gala yang mereka lakukan. Tetapi lihatlah. Tetap saja aku mengikuti antrean sepanjang antrean sembaku di kampungku ketika minyak murah telah datang
“Urutan berapa?” Tanya kawanku.
“Duapuluh. Kamu?”
Sebenarnya tidak ada yang menarik bagiku untuk mengetahui urutan berapa dia dan penelitian apa yang digunakan untuk skripsinya. Melainkan handphone touchscreen yang bagian punggungnya menujukkan gambar apel berkilat dengan daun sehelai. Rupanya mereka telah begitu canggih dan tak lagi buduk. Diam-diam aku mengintai gerak jarinya menyentuh layar sembari membolak-balik handphone dan melihat akunt facebook di dalamnya. Betapa mengagumkan otak manusia yang diberikan Tuhan kepada kita.
“Menurutmu hari ini Pak Ridho datang tidak?” tanyanya padaku yang sedang memikirkan benda apalagi yang kelak mungkin ada di tangan manuisia.
“Hmm, tidak tahu. Mungkin robot pemalsu tandatangan.” Jawabku sekaligus membayangkannya dengan lucu. Siapa tahu saja benar. Sehingga kami tak perlu berjubal seperti ini untuk menanti mereka yang kedatangannya tak bisa ditentukan dengan waktu. Hanya kemungkinan. Dan kami telah menjadi pindang dalam kukusan ketika mereka muncul dan masuk ruangan dengan tenang.
“Kalau robot pijat saja bagaimana?” sambungnya.
“Itu sudah ada.”
“Tapi kan kita belum punya.”
“Barangkali robot pemijat yang tak terlihat. Bagaimana?”
Ah, ngelantur. Ketika kami tersadar, telah kami temukan beberapa orang berkerumun di depan pintu kaca tebal itu. Dengan berkas di tangan serta wajah lembab penuh keringat. Ternyata orang yang kami nanti sudah datang. Pak Ridho. Beliau melebihi malaikat pada saat seperti ini. Skripsi. Ah, syarat kelulusan kami.
Saat seperti ini biasanya aku tak berminat ikut berjubal, meski juga penasaran apa yang akan terjadi. Sebab, terkadang beliau tidak begitu saja menerima mahasiswa yang hadir, sebab terlampau banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka kami menurut dengan wajah muram.
Maka di hari-hari berikutnya, kami menunggu lagi persis seperti hari sebelumnya. Dengan kecemasan yang mendalam. Dan saat seperti itu, rasanya hanya aku yang tenang dengan buku, membacanya hingga tenggelam.
“Menyedihkan kalau buku sudah dilupakan. Bukan begitu, Rin?” tanyaku pada Airin yang sedari tadi bersamaku.
“Eh, iya, apa?”
“Hmm, buku.”
“Oh, iya, ada apa?”
“Sudah terlupakan.”
“He, lucu.”
“Apanya?”
“Ini.”
“Kau tidak mendengarkanku?”
Ia masih menatap monitor yang jungkir balik itu. Sepertinya ia memang tak lagi sadar bahwa di sampingnya ada aku.
“Dengarkan, dengarkan!”
Seseorang muncul dari ruang bersih yang membuat kami berharap bisa masuk tanpa antri begini panjang.
“Pak Ridho, tidak menerima bimbingan, katanya datanglah minggu depan. Beliau akan beberapa hari melakukan penelitian!”
“Masak??”
Sesudahnya kami bubar jalan seperti ayam yang baru mengahbiskan pakan.

***

“Begitu, Mbak.”
“Sudah biasa. Jangan ceritakan kepada ibu.”
“Kenapa?”
“Kamu kira ibu tidak memikirkan yang kau alami? Jangan buat ia tambah gelisah atas cerita-ceritamu.”
“Kenyataannya memang demikian.”
“Maka dari itu.”
Aku dan Mbak Rida mengupas singkong dengan teliti. Ini pekerjaaanku di rumah. Membantu ibu mengolah umbian ini menjadi keripik yang lezat. Sesudah itu dijual di pasaran dengan harga lima ratus rupiah per bungkus. Dan mereka dapat menikmati snack murah meriah tanpa pengawet. Meski tak jarang, keripik kami kalah dengan makanan dengan kemasan serba bagus itu. Makanan yang justru tak sedikit membubuhkan pengawet. Mungkin.
“Kira-kira kapan kamu lulus, Nok?” Tanya ibu sembari menggoreng keripik di wajan besar bertengger pada pawon bata dengan api menjilat-jilat dan menyala.
“Sebentar lagi, Bu.”
“Bulan lalu juga bilang sebentar lagi.”
Mulutku terkunci dan pura-pura sibuk dengan kulit singkong yang liat.
“Kawanmu yang mau ke sini itu, lulus kapan?”
“Sama.”
Aku jadi ingat bahwa kepulangaku kali ini adalah karena Nurma yang ingin mampir. Katanya ia akan berjalan-jalan di Nglimut bersama kawan-kawan mignya.
“Kawan-kawan apa?”
Tanya ibu mengulangi.
“Mig.”
“Apa itu?”
“Semacam akun di dunia maya. Mereka bisa saling mengenal lewat chatting.”
“Dunia maya? Ngeri sekali kedengarannya.”
Aku dan Mbak Ridha berpandangan.
“Ada yang salah Mbak dengan ucapanku?”
“Tidak.”
Kami masih berkutat dengan singkong. Ibu belum puas pada jawabanku mengenai mig33 dan dunia maya. Bagaimana aku menjelaskannya?


Semarang, 8 Agustus 2011 11.22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar