Kembang api itu,
merayakan kepergianku, bukan?
Tanyamu
kepadaku ketika suara terompet melengking bersamaan dan kembang api warna-warni
pecah di langit malam. Saat itu orang-orang berlarian keluar rumah hendak
menyaksikan kota yang sedang berada dalam puncak keriuhan.
Aku
dan kamu duduk di sebuat atap gedung dengan tinggi entah berama meter atau
bahkan kilometer. Tak ada yang melihat kita tetapi kita dapat menyaksikan
mereka semua bersorak sorai dalam ukuran kecil nyaris seperti semut.
Kegembiraan mereka penuh di mata kita. Dan kesedihanmu berbanding terbalik dari
semua yang kita terima.
Sebenarnya bukan
lantaran kepergianmu mereka gembira, melainkan karena hal lain.
Ucapku
menghiburmu. Matamu kelereng gelap yang diliputi mendung. Haruskah Desember
identik dengan musim hujan?
Dan hal lain itu
harus selalu melibatkanku.
Jawabmu,
nyaris tak terdengar oleh telingaku. Sebab suara-suara di sekitar kita itu
berdesak mencari tempat di dalam kepala kita.
Siapa yang
membagi jadwal sebenarnya. Menyebalkan.
Keluhmu.
Seolah menyalahkan siapa yang memulai penamaan-penamaan hingga kau berada pada
urutan paling belakang. Tentu saja ini bukan lantaran alfabet, atau barangkali
tanpa pertimbangan apa-apa. Dan takdirmu memang harus begitu.
Pada
saat bersamaan, detak jantung kita terasa lebih cepat dari detik yang sedang
berjalan dimanapun. Aku gemetar menyaksikan mata nanarmu, bibirmu yang pucat,
dan tubuhmu yang seolah sangat menggigil sebab kepergian tinggal sejengkal.
Nanti, kalau aku
pergi, kamu akan merindukanku? Tanyamu.
Tentu saja. Jawabku. Sebagaimana kepergian-kepergian yang lain.
Tidak semua
kepergian pasti menghasilkan rindu. Jawabmu.
Tetapi aku yakin
siapapun akan kehilangan jika kau tak datang di tahun depan, atau tahun
kapanpun.
Dan itu tak
mungkin. Hahaha....
Tawamu
pecah. Seolah menertawakan kepedihan. Seolah menertawakan ketidakberdayaan.
Waktu tak mungkin diperlambat apalagi dihentikan. Kulit yang membungkus jiwamu
semakin pucat di antara dunia yang kian gemerlap. Kembang api mengalahkan
warna-warna lain di sekitarnya. Tetapi tidak dengan kesedihan.
Jan, sampai
kapan kamu akan menghiburku? Tanyamu.
Sampai kapan pun
aku mampu.
Jawabku.
Dan
kita sama-sama tahu, kapan pun yang aku maksud hanya bisa dihitung dengan
detik. Pertemuan kita ibarat cakrawala yang tak mampu mencegah apapun untuk
berlalu, secepat kedipan. Dan Cuma perpisahan kita yang dirayakan orang-orang.
Bukankah mestinya kita bangga? Barangkali kamu akan tersenyum sinis, barangkali
aku saja yang bangga, kau tidak. Setelah ini kau akan memepersiapkan diri pada
kedatangan yang lain, kedatangan yang akan disambut kepergiannya. Seperti
setiap tahun yang pernah terjadi. Seperti saat ini.
Jan, alangkah
beruntungnya kamu, ya.
Katamu.
Aku
melihat matamu sekilas. Apa yang dimaksud beruntung? Benar bahwa rumput
tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.
Orang-orang
menyambutku dengan sangat meriah seolah tak akan ada hari lain. Mereka rela
berdesakan di lapangan becek, rela macet di jalanan berjam-jam, pergi keluar
kota, konvoi sepeda motor, dan banyak hal lain hanya untuk perayaan tahun baru.
Sedikit berlebihan menurutku. Namun setelah beberapa detik euforia itu,
perlahan mereka menyadari betapa sayang sekali Januari telah datang lagi. Banyak hal belum mereka selesaikan pada tahun
sebelumnya. Usia mereka semakin renta, dan banyak hal. Banyak orang punya
banyak alasan utnuk tidak bersyurkur. Alangkah bodohnya mereka.
Kamu
tersenyum. Barangkali kamu bisa membaca isi kepalaku, ya? Kepedihan yang sama
membuat kita tak perlu berkata banyak untuk saling mengerti. Barangkali begitu.
Tidak ada yang
lebih beruntung ataupun yang kurang.... jawabku.
Kali
ini tubuh gigil kita diterpa angin dengan aroma laut yang telah hilang. Nyaris
seperti mesiu dan asap yang mudah membuat tersedak serta mata merah. Namun kita
tak mungkin sembunyi kemanapun. Kita tak akan bisa sembunyi di mana pun.
Berapa lama
lagi?
Tanyamu.
Aku
tak mampu menjawab. Tubuhmu semakin samar dari pandangan. Rambut hitam yang
dikibar-kibarkan angin sejak tadi semakin tak nampak. Tubuh siapa kini yang
gemetar tak bisa kubedakan.
Sst, orang-orang
sudah mulai menghitung.... Bisikmu.
Angka-angka
timbul tenggelam di kepala kita. Bising kembang api dan sorak sorai melintas
berganti-ganti. Lantas tak ada yang bisa mencegah apa yang mesti pergi. Kita telah
kehilangan lagi....
Boja, Jan 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar