Senin, 06 Januari 2014

Kembang Api itu, Merayakan Kepergianku, Bukan?


Kembang api itu, merayakan kepergianku, bukan?

Tanyamu kepadaku ketika suara terompet melengking bersamaan dan kembang api warna-warni pecah di langit malam. Saat itu orang-orang berlarian keluar rumah hendak menyaksikan kota yang sedang berada dalam puncak keriuhan.

Aku dan kamu duduk di sebuat atap gedung dengan tinggi entah berama meter atau bahkan kilometer. Tak ada yang melihat kita tetapi kita dapat menyaksikan mereka semua bersorak sorai dalam ukuran kecil nyaris seperti semut. Kegembiraan mereka penuh di mata kita. Dan kesedihanmu berbanding terbalik dari semua yang kita terima.

Sebenarnya bukan lantaran kepergianmu mereka gembira, melainkan karena hal lain.

Ucapku menghiburmu. Matamu kelereng gelap yang diliputi mendung. Haruskah Desember identik dengan musim hujan?

Dan hal lain itu harus selalu melibatkanku.

Jawabmu, nyaris tak terdengar oleh telingaku. Sebab suara-suara di sekitar kita itu berdesak mencari tempat di dalam kepala kita.

Siapa yang membagi jadwal sebenarnya. Menyebalkan.

Keluhmu. Seolah menyalahkan siapa yang memulai penamaan-penamaan hingga kau berada pada urutan paling belakang. Tentu saja ini bukan lantaran alfabet, atau barangkali tanpa pertimbangan apa-apa. Dan takdirmu memang harus begitu.

Pada saat bersamaan, detak jantung kita terasa lebih cepat dari detik yang sedang berjalan dimanapun. Aku gemetar menyaksikan mata nanarmu, bibirmu yang pucat, dan tubuhmu yang seolah sangat menggigil sebab kepergian tinggal sejengkal.

Nanti, kalau aku pergi, kamu akan merindukanku? Tanyamu.

Tentu saja. Jawabku. Sebagaimana kepergian-kepergian yang lain.

Tidak semua kepergian pasti menghasilkan rindu. Jawabmu.

Tetapi aku yakin siapapun akan kehilangan jika kau tak datang di tahun depan, atau tahun kapanpun.

Dan itu tak mungkin. Hahaha....

Tawamu pecah. Seolah menertawakan kepedihan. Seolah menertawakan ketidakberdayaan. Waktu tak mungkin diperlambat apalagi dihentikan. Kulit yang membungkus jiwamu semakin pucat di antara dunia yang kian gemerlap. Kembang api mengalahkan warna-warna lain di sekitarnya. Tetapi tidak dengan kesedihan.

Jan, sampai kapan kamu akan menghiburku? Tanyamu.

Sampai kapan pun aku mampu. Jawabku.

Dan kita sama-sama tahu, kapan pun yang aku maksud hanya bisa dihitung dengan detik. Pertemuan kita ibarat cakrawala yang tak mampu mencegah apapun untuk berlalu, secepat kedipan. Dan Cuma perpisahan kita yang dirayakan orang-orang. Bukankah mestinya kita bangga? Barangkali kamu akan tersenyum sinis, barangkali aku saja yang bangga, kau tidak. Setelah ini kau akan memepersiapkan diri pada kedatangan yang lain, kedatangan yang akan disambut kepergiannya. Seperti setiap tahun yang pernah terjadi. Seperti saat ini.

Jan, alangkah beruntungnya kamu, ya. Katamu.

Aku melihat matamu sekilas. Apa yang dimaksud beruntung? Benar bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.

Orang-orang menyambutku dengan sangat meriah seolah tak akan ada hari lain. Mereka rela berdesakan di lapangan becek, rela macet di jalanan berjam-jam, pergi keluar kota, konvoi sepeda motor, dan banyak hal lain hanya untuk perayaan tahun baru. Sedikit berlebihan menurutku. Namun setelah beberapa detik euforia itu, perlahan mereka menyadari betapa sayang sekali Januari telah datang lagi.  Banyak hal belum mereka selesaikan pada tahun sebelumnya. Usia mereka semakin renta, dan banyak hal. Banyak orang punya banyak alasan utnuk tidak bersyurkur. Alangkah bodohnya mereka.

Kamu tersenyum. Barangkali kamu bisa membaca isi kepalaku, ya? Kepedihan yang sama membuat kita tak perlu berkata banyak untuk saling mengerti. Barangkali begitu.

Tidak ada yang lebih beruntung ataupun yang kurang.... jawabku.

Kali ini tubuh gigil kita diterpa angin dengan aroma laut yang telah hilang. Nyaris seperti mesiu dan asap yang mudah membuat tersedak serta mata merah. Namun kita tak mungkin sembunyi kemanapun. Kita tak akan bisa sembunyi di mana pun.

Berapa lama lagi? Tanyamu.

Aku tak mampu menjawab. Tubuhmu semakin samar dari pandangan. Rambut hitam yang dikibar-kibarkan angin sejak tadi semakin tak nampak. Tubuh siapa kini yang gemetar tak bisa kubedakan.

Sst, orang-orang sudah mulai menghitung.... Bisikmu.

Angka-angka timbul tenggelam di kepala kita. Bising kembang api dan sorak sorai melintas berganti-ganti. Lantas tak ada yang bisa mencegah apa yang mesti pergi. Kita telah kehilangan lagi....





Boja, Jan 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar