Senin, 10 Februari 2014
Penjaga Rumah
Baru kali ini saya melihat orang mengenakan kain putih di sekuruh tubuhnya, dengan sengaja pula, yang terlihat hanya muka dan sedikit ujung jari. Lalu menghadap matahari terbenam. Dan saya tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Majikan saya bernama Aris. Mungkin orang tadi teman majikan saya. tidak mungkin kalau kekasihnya. Sebab saya tahu, majikan saya sudah punya kekasih. Ia sering menceritakan hal itu kepada saya. bahkan kekasihnya juga sering menjadi objek lukisan yang dipasang di dekat pintu tempat saya selalu tidur di sana.
Tetapi akhir-akhir ini saya tidak melihat majikan saya membawa kekasihnya yang jelita itu ke mari. Memang saya tahu, majikan saya kini lebih sibuk dari sebelumnya. Pagi-pagi bangun membersihkan galeri, lalu mandi, setelah itu pergi entah ke mana. Yang saya lihat, ia menenteng tas samping dan setumpuk buku sambil mengecup saya.
“Google, baik-baik di rumah, ya.”
Kalau bisa saya balas ucapannya pasti saya sudah berteriak dengan lantang.
“Tentu, aku baik-baik di rumah. Tetapi aku merindukanmu! Tetapi aku merindukanmu!”
Ah. Ia keburu pergi. Suara langkahnya keras. Membuat mata saya berkaca-kaca. Ia meninggalkan saya tanpa memberitahu mau ke mana.
Perempuan itu sudah datang. Tepat saat majikan saya sampai di ambang pintu yang menghubungkan rumah dengan galeri. Mereka hanya bertegur sapa biasa. Ala kadarnya. Tersenyum. Tertawa. Tidak ada cium pipi seperti ketika bertemu dengan kekasihnya. Lalu majikan saya sudah tak nampak di pintu.
Perempuan itu melangkah ringan. Suara sepetu sandalnya terdengar renyah di galeri yang hanya berisi lukisan bisu dan kursi yang tergeletak sendirian di pojok kanan bagian depan ruangan. Ia meletakkan tas bahunya di situ. Lalu duduk. Ketika duduk kakinya biasa saja. Tidak menyilang seperti ketika kekasih majikan saya duduk di sana.
Ah, mungkin cara duduk tak begitu penting. Sejak melihatnya beberapa hari yang lalu, saya terpesona dengan kain yang menutupi seluruh kepalanya (kecuali wajah seperti ketika menutup seluruh tubuhnya dengan kain putih). Memang agak aneh. Apa ia tidak punya rambut? Atau malu rambutnya kelihatan? Tidak mau jika rambutnya disentuh orang seperti ketika majikan saya menyentuh dan mencium rambut kekasihnya? Ah, saya tidak tahu. Sejak lahir saya belum pernah melihat yang seperti itu.
Sesungguhnya saya ingin mendekati perempuan itu. Ingin berkenalan. Ingin mencium kulit kaki, tangan atau pipinya. Tetapi sayang, semua ia tutup dengan baju. Semacam kain yang tidak berbelah (yang kemudian saya tahu, itu adalah rok). Tentu bukan hanya itu. Saya kan diikat, jadi tidak mungkin saya menghampirinya.
Sesungguhnya bukan masalah yang besar ketika saya tidak bisa kemana-mana. Toh, kalau seseorang mau mendekat saja, terpecah sudah kan masalah? Perempuan itu sering menatap ragu. Ragu pada saya. Entah takut atau ada hal lain yang membuatnya berjalan menghindar setiap kali melewati saya. Awalnya saya pikir karena kami belum kenal. Tetapi, memangnya perlu berapa lama untuk saling mengenal? Saya merasa sedih.
Perempuan itu sepertinya memang tidak ingin mengenal saya lebih jauh. Kini telah dua bulan ia di sini. Dan tak sekalipun menyentuh atau membelai saya.
**
“Google, jangan nakal. Duduk di situ. Oke? Ayo, jangan nakal!”
Hari ini majikan saya tidak pergi. Sejak pagi saya lihat ia hanya mondar mandir sambil sesekali memegang pensil dan menggoreskannya di sketbook yang tidak pernah beranjak dari meja makan, yang juga digunakan sebagai meja santai. Di teras belakang rumah. Seperti riutinitasnya yang dulu. Tetapi wajahnya lebih kusut. Saya takut kalau ia tidak menyayangi saya lagi.
Pukul 8.00 perempuan dengan penutup kepala itu datang. Ada dua perasaan ketika ia muncul di depan pintu. Pertama, saya senang karena galeri tidak penuh debu lagi. Ah, lagi-lagi saya membandingkan dengan kekasih majikan saya yang sudah lama tak nampak itu. Ia tak pernah meembersihkan ruangan. Apalagi membereskannya. Berbeda dengan perempuan ini. Jangankan debu, lalat yang mau lewat saja sungkan. Sebab udaranya kental segar pembersih ruangan. Kedua, perasaan yang membuat hati saya perih. Hati saya bisa perih? Tentu. Perempuan itu belum juga sekalipun menyentuh saya. Jangan-jangan ia akan merebut majikan saya seperti ia merebutnya dari kekasih majikan saya? Sayang sekali mereka tidak tahu kalau saya bisa menangis.
“Google, kamu ada apa? Apanya yang sakit?”
Saya sengaja mengerang terus. Tentu supaya mendapat perhatian. Saya lihat wajah perempuan itu pucat. Menatap saya. tetapi masih belum berani menyentuh saya. Tangis saya meledak.
“Ambilkan obat.” Pinta majikan saya pada perempuan itu.
“Iya, mas.”
‘Air”
“Iya.”
Perempuan itu nampak sekali kebingungan. Berulangkali saya lihat ia menengok kanan-kiri tanpa sebab. Peluhnya membasahi dahi, hidung dan dagunya yang lancip. Untuk kesekian kali saya tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Setelah beberapa menit akhirnya saya tenang. Tepatnya berhenti akting seperti tadi. Ah, apa yang saya lakukan? Apa yang majikan saya lakukan? Apa yang perempuan itu lakukan? Masing-masing kami diam.
Perempuan itu memulai lagi percakapan.
”Google sering sakit begitu, ya?” Ia menanyakan saya.
”Tidak. Baru sekali.”
”Atau memang sedang sakit?”
”Mungkin. Tapi suhu badannya stabil.”
Perempuan itu beranjak. Ia membereskan tempat air yang tadi dibawanya. Saya tidak melihat kekhawatiran di mata ataupun wajahnya. Apakah baginya saya begitu tidak penting? Kami kembali pada pekerjaan masing-masing.
**
Hari berikutnya, pukul 7.30 saya sudah terjaga dan menanti kehadiran perempuan itu. Tetapi sampai pukul sembilan, wajahnya yang ringan dan menyenangkan belum juga muncul di ambang pintu, melainkan kekasih majikan saya yang jelita. Saya diam. Kekasih majikan saya mencium saya. Mengelus kulit saya. Saya merindukannya. Tetapi sedikit. Selebihnya biasa saja. Entah. Rasanya seperti biskuit yang bantat. Kemana perempuan itu?
Majikan saya sedang melukis. Lalu saya kembali menyaksikan pertemuan sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Seperti biasa. Mereka saling mencium pipi kanan dan kiri. Ditambah lagi pelukan beberapa detik sebagai pelampiasan kerinduan. Sepertinya begitu.
”Model rambutmu baru?” Tanya majikan saya sambil membelai rambut kekasihnya yang sebahu dan lurus berkilau-kilau. saya kembali teringat pada perempuan itu.
Sehari penuh saya menunggunya. Dan ia tidak datang. Hari berikutnya saya menunggunya lagi. Ia tidak datang lagi. Dan seterusnya sampai saya tahu bahwa perempuan itu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Rupanya perempuan itu di sini bekerja. Saya tahu itupun dari percakapan antara majikan saya dan kekasihnya.
”Jadi dia tidak betah?”
”Iya.”
”Kenapa?”
”Entah.”
Kemudian mereka berdua membereskan meja makan yang sering digunakn majikan saya untuk melukis. Di sana saya melihat kain putih yang dulu pernah dipakai perempuan itu. Kekasih majikan saya mengambilnya.
”Ini mukenanya.”
”Mungkin dia takut pada Google. Tepatnya takut menyentuh Google.”
”Kenapa?”
Majikan saya mengangkat bahu.
Setelah itu saya jadi tahu, kepergiannya adalah karena saya entah apa alasannya. Yang saya tahu, hati saya masih sakit. Apakah saya berlumur kotoran sehingga perempuan itu tak mau menyentuh saya?
Semarang, 2010
Hari ini Hujan Turun....
Sayang, hari ini hujan turun. Titik-titik air mengenai kulitku dengan kasar. Masih terbayang olehku wajah murid-muridku yang nakal, juga kebocahan. Celoteh lugu mereka membawaku pada banyak ingatan masa kecil ketika hujan turun. Juga pertemuanku denganmu.
Tetapi kali ini aku tidak menikmati semua itu. Sebab angin semakin kencang. Air berjatuhan begitu banyaknya. Aku berlindung di atap seng sebuah rumah di ujung gang. Diantara orang-orang yang juga berlindung dari hujan.
Sementara udara terasa begitu dingin, arloji di tangan kiriku terus berdenyut, seolah mengingatkan bahwa aku memang harus segera pulang dan banyak istirahat. Terlebih cuaca sedang tidak bersahabat. Maka aku harus berhati-hati dan sebaik mungkin menjaga kondisi tubuh. Lagipula sejak beberapa hari yang lalu kepalaku terasa lebih berat, tubuhku sering menggigil tanpa sebab. Mungkin aku telah kalah dengan cuaca. Atau hal lain? Aku tak tahu.
Baru kali ini aku tidak sabar berada di bawah hujan. Terperangkap. Seperti kepiting yang terselip di antara batu-batu. Nafas pun berubah menjadi kecemasan luar biasa. Memang. Sebab di alam bawah sadarku, tampak kau sedang bermain riang dengan murid-muridku, di gang sempit itu, di antara aliran air berwarna kecoklatan, di antara hujan yang sibuk memanah apa dan siapa saja di bawahnya.
Seperti biasa, dalam kondisi apapun, kau pandai membuat airmataku berlinangan. Mulanya hanya rembes pelan-pelan di pangkal bulu mata, kelamaan seperti hujan, yang membentuk parit dan mengalir ke laut. Sedang di antara tawa renyah bocah-bocah itu kau nampak amat lugu. Terus bermain. Entah kejar-kejaran, entah dorong-dorongan, atau saling menjatuhkan. Kakiku ingin melangkah sendiri ke arahmu. Jika memang kulakukan tentu aku akan basah kuyup dan semua orang akan beranggapan bahwa aku bukan lagi guru yang normal.
Seseorang di sampingku mengingatkan akan itu. Awas mbak, jangan maju-maju, nanti basah... Aku tahu kalau maju pasti basah, tidak perlu diingatkan. Aku memandang tidak suka pada seseorang di sampingku itu. Aku jadi sentimen. Ah, benar juga, di antara rimbun hujan di depanku itu memang tidak ada siapa-siapa. Tidak ada murid-muridku. Tidak juga kau.
Tugas-tugas dari sekolah tiba-tiba memenuhi tempurung kepalaku. Itu artinya aku memang harus segera pulang. Tetapi bagaimana lagi? Masih hujan. Atau kalau aku nekat, yang paling mengerikan adalah berkas tugas yang aku bawa ini akan menjadi bubur kertas. Dan aku akan batal mendapat pujian dari kepala sekolah bahwa guru muda ini memang dapat dipercaya dalam menyelesaikan tugas-tugas dengan tangkas. Hmm, mungkin aku harus meminta bantuanmu untuk menjemputku dan membawakan payung? Dadaku berdesir.
Kalau saja aku pandai bercakap dengan hujan, akan kutanyakan padanya mengenai banyak hal tentangmu. Tentang kesukaanmu dan ketidaksukaanmu. Meski hal tersebut tak dapat kulakukan, aku pandai membaca apa saja tentangmu.
Buku, film, cokelat, berkhayal, begadang, kopi hitam, online dini hari, musik, puisi, cerita imajinasi, hujan, dan... perempuan. Itu kesukaanmu, kan? Jangan katakan aku tidak tahu. Tepatnya kau harus percaya bahwa aku (mungkin) memang tahu. Begitulah. Selalu mungkin. Selalu mungkin. Dan sudah itu kau akan membuatku menangis sepanjang hari. Sepanjang hari.
Seseorang menyenggolku. Dan aku yang sedang melamun menjatuhkan bendel kertas dalam genggaman tanpa plastik pembungkus. Hujan begitu deras. Berkas itu tidak mungkin lagi kuambil. Sebab telah menjadi bubur dan mengalir bersama air kecoklatan.
........................
Pukul 4 sore. Sayang, kau belum juga datang menjemputku. Padahal aku berharap sekali kau datang tanpa kuminta. Tanpa aku pura-pura mengatakan bahwa aku tidak bisa pulang karena hujan. Tanpa aku pura-pura mengatakan bahwa aku butuh teman. Sayang, mungkinkah kau akan datang?
Terpaksa. Aku berjalan begitu saja. Rok sepan selutut dan kemejaku basah. Orang yang tadi menyenggolku merasa bersalah dan mengejarku. Aku melangkah semakin cepat dan pura-pura tak mendengar panggilannya. Dia menarik tangan kananku. Kau pernah melakukan hal serupa padaku, kan? Di toko buku itu...
Beberapa detik aku dan orang itu saling pandang. Pandangan sengit dari arah mataku dan pandangan mengiba dari mata orang itu. Maka tanpa disadari aku telah menilai keadaan fisiknya. Tidak terlalu tinggi, rambut ikal, sedikit berjambang dan mata besar seperti bola rugbi. Sayang, itukah kau? Tidak. Ya, Tuhan. Aku terlalu lama memandangnya.
”Maaf, saya tidak ada urusan dengan anda.”
”Tapi saya punya urusan dengan anda.”
“Jangan karena telah menjatuhkan buku saya maka anda merasa berhak mengganggu saya.”
“Saya tidak mengganggu anda.”
“Tapi saya merasa terganggu.”
Sudah sejak beberapa detik lalu tangannya yang memegang tanganku, kutepiskan. Dia kaget. Tetapi kalau tidak demikian, apakah akan kubiarkan jari jemarinya terus membuat kulitku merinding? Bagaimana tidak. Yang kubayangkan adalah kau. Orang itu sungguh mirip kau.
Lalu aku menjauh. Membiarkan lelaki itu merasa tidak senang dengan perlakuanku. Ia diam ditempatnya. Rupanya kami telah menjadi pusat perhatian banyak orang.
”Suit..suit..”
”Seperti film India.”
”Pasti habis ini nyanyi.”
”Ayo dikejar dong....”
Aku terus berjalan tanpa menoleh. Tentunya dengan hati yang sungguh tak karuan.
Hujan membiarkanku meneteskan airmata tanpa diketahui orang lain. Cengeng sekali, buat apa menangis? Usia 30 tahun tak pantas menangis di jalanan. Seperti anak kecil yang kehilangan permen. Ah. Pakaian yang kukenakan serasa berubah menjadi baju masa kecil yang biasa kugunakan ketika hujan-hujanan. Tiba-tiba menjelma baju perang loreng-loreng, yang kupakai dulu ketika mengikuti karnaval pertama. Berubah menjadi seragam SMP, SMA, dan bergantian dengan apa yang kukenakan sekarang. Dan yang terakhir, baju pengantin kebaya renda putih, seolah menjadi gaun terindah yang menempel di tubuhku dan mendapat pujian dari banyak orang.
”Satria, pengantinmu sungguh cantik.”
”Pengantinmu sangat anggun.”
”Beruntung sekali kau mendapatkannya.”
Dan lain-lain.
Ah, aku teringat saat kita menikah. Pagi-pagi setelah beberapa hari pingitan aku merasa sangat deg-degan. Padahal malamnya sudah bertemu denganmu dalam acara serah-serahan dan kau menginap dirumahku tetapi kita tak bercakap apapun. Tentu saja, kita sama-sama bingung harus mengucapkan apa. Speechless. Terlebih pandangan orang-orang menggoda kita.
Setelahnya, kau dan aku menjadi seperti raja dan ratu atau apasangan dewa-dewi di atas pelaminan. Set panggung yang sederhana. Hanya dengan beberapa bunga krisan putih kesukaanku. Sederhana. Tapi kita bahagia. Anut runtut tansah reruntungan... *
Hari-hari setelah itupun kita lewati dengan menyenangkan. Kita tinggal di sebuah kontrakan yang jauh dari rumah orangtua kita masing-masing. Tempat yang dekat dengan tempatku mengajar menjadi guru honorer Sekolah Dasar dan tidak jauh dari tempatmu mencari penghasilan, menjadi wartawan di sebuah surat kabar.
Terkadang gaji kita hanya pas untuk membayar listrik dan makan. Aku memasak sendiri dengan lauk sungguh ala kadarnya. Kadang keasinan, kadang terlalu manis, dan terkadang nasi keras kurang matang. Tetapi kita tetap bahagia.
Sebenarnya sampai sekarangpun demikian. Kau tak pernah bermasalah mengenai makanan atau hal lainnya yang berada di dalam rumah. Kita masih sering bersih-bersih bersama, menyapu lantai, mencuci, membetulkan atap yang bocor. Tetapi kita tidak bercakap-cakap seperti dulu. Pekerjaan di luar rumah membuat kita seperti orang asing. Aku bertemu banyak orang, kaupun begitu.
Bukankah kita masing-masing seharusnya saling percaya dan menjaga? Begitulah. Banyak hal yang tidak kita mengerti.
Pasalnya, suatu hari kau mengatakan padaku akan sangat sering bepergian keluar kota. Banyak berita yang harus diburu. Hingga aku sering sendirian di kontrakan. Sementara saat pulang kau tak lagi menyenangkan. Adakah kau bertemu dengan seseorang yang tak kutahu? Awalnya aku biasa saja. Tetapi ketika itu sudah memasuki hitungan tahun, haruskah aku sebagai istri akan diam saja? Tepat sekali. Aku hanya diam. Seperti ketika dulu bertemu.
Aku bukan orang yang terkenal sepertimu. Hanya kadang-kadang saja mengikuti acara diluar kampus. Entah itu diskusi atau sekedar nonton pertunjukkan. Selebihnya aku tidak melakukan apa-apa. Tidak bergabung dalam komunitas ataupun menulis di surat kabar. Seperti yang kau lakukan. Maka tak heran ketika bertemu kukatakan bahwa aku seperti pernah mendengar namamu dan ketika ingat dimana, rasa percaya diriku surut seperti selokan di musim kemarau. Kau sedikit bicara, aku lebih sedikit lagi. Selebihnya kita diam. Mendengarkan suara detak jantung masing-masing.
Tanpa disadari, rupanya kakiku sudah berada di depan pintu kontrakan. Hari sudah sore dan tidak ada yang menyalakan lampu. Teras terasa sangat sunyi. Bangku-bangku yang berada disitu basah. Tanaman yang dulu sering kita rawat kini hampir mati. Dan aku teringat lagi akan lembar-lembar yang tadi jatuh serta terbawa arus hujan. Bagaimana besok aku harus mempertanggungjawabkan tugasku? Kakiku semakin berat meski hanya menyangga tubuh sendiri.
Kuputar kunci pelan-pelan. Tanganku seperti tak punya tenaga. Setelahnya suara keretak pintu membuat sunyi semakin menyayat. Kubiarkan basah bajuku mengotori ubin bunga-bunga. Aku malas berjalan seperti maling.
Maka kubiarkan hujan di bajuku membanjiri ruang tamu. Aku ingin marah, sebab, kau yang kuharapkan berada di rumah ternyata malah tak ada. Meski sesungguhnya sudah kuketahui sebelumnya. Ah, hujan selalu membuatku seperti orang gila.
Aku rebah begitu saja di sofa. Memandang langit-langit yang bocor dan belum dibetulkan. Airnya jatuh ke mataku hingga membuatnya merah. Saat seperti ini biasanya kau meneteskan obat mata. Setelahnya menenangkanku pelan-pelan. Sayang, di manakah kau sekarang?
Hari semakin malam. Lampu kubiarkan tak menyala. Petir di luar menyambar-nyambar, di tembok terlihat bermacam bayangan. Aku tak takut. Sebab ada yang lebih menakutkan. Perceraian kita tinggal esok. Tinggal hitungan jam.
Sambirejo, 22 April 2011
07.30
* Anyam-anyaman oleh Sujiwo Tedjo
Persoalan Kecil
“Lagi apa, Non?”
“Mig33.”
Ah. Itu lagi. Satu kali duapuluh empat jam, setidaknya ia telah
menghabiskan lebih dari duabelas jam di
hadapan handphone sembari tersenyum seorang diri. Tak peuli apakah di
luar kamarnya hujan turun, kawannya mencari kawan untuk makan, atau
bahkan kebanjiran sepanjang musim. Yang mereka perhatikan hanya
nama-nama asing yang tak mereka kenal akan tetapi begitu akrab dengan
dunia khayal.
Mungkin aku berlebihan mengatakan demikan. Tetapi begitulah,
percakapan dengan kawanku itu bisa dihitung
dengan jari. Kalau tidak menayakan antrean mandi, mungkin ia akan
terus berada di kamar dan membangun dunia yang bahkan entah di mana
tempatnya. Dunia yang hanya dimiliki oleh orang berhandphone bagus.
Setidaknya begitu pendapatku yang mempunyai handphone hanya bisa
digunkan untuk SMS dan telepon.
“Sudah mandi?”
“Sebentar lagi.”
“Sudah urutanmu.”
“Oh. Hmm, kamu dulu.”
Dengan senang hati. Maka aku selalu mencari kesempatan ini untuk
terlebih dahulu menggunakan kamar mandi yang memang hanya ada satu di
tempat kosku. Bagaimana lagi. Kos murah begini, tak mungkin meminta
tempat yang lebih layak lagi. Harganya lima puluh persen lebih murah
dari tempat lain.
“Berapa?”
“Seratus ribu.”
“Serius?”
Aku tak pernah bercanda perihal keuangan. Itu artinya aku sangat
serius. Ini berkaitan dengan suplay uang bulanan dari bapakku, yang
mengharapkan aku segera lulus dan pulang ke rumah supaya tak setiap
bulan memberi makan orang China pemilik kosku ini. Memang, aku sudah
semester delapan. Tinggal selangkah, dapat sudah ijazah Strata Satu
dengan gelar Sarjana Pendidikan. Tapi, kapan?
“Sudah, Nur. Silakan mandi.”
“Adalagi yang mau mandi gak?”
“Giliranmu.”
“Hmm, nanti ah.”
Lalu seseorang menyerobot di lorong tempat kamar kami
berhadap-hadapan.
“Nurma tak perlu mandi. Mungkin mig33nya sudah menyediakan
fasilitas kamarmandi.” Candanya kemudian setelah mengisyaratkan
pada Nurma untuk memakai kamar mandinya terlebih dahulu.
“Katanya kamu mau ke kampus, Nur?”
“Iya, sebentar, lagi asyik.”
“Ah, asyikmu tak mungkin hanya sebentar.”
Aku berlalu menuju kamar dan mengganti pakaian bersiap ke kampus
unutk mengurusi segala tentang skripsi. Sungguh, aku bosan hidup di
kota panas ini. Semua serba mahal. Setidaknya duapuluh ribu sehari
amblas hanya untuk makan. Belum keperluan lain seperti sabun serta
bedak dan kawan-kawannya. Maka tak heran kalau aku ingin segera lulus
dan kembali pada desaku yang tak pelit itu. Kota kecil di barat kota
ini.
Berkas-berkas skripsi yang siap kutunjukkan kepada dosen sudah kutata
rapi dan berada di genggaman dalam tempat
buku besar. Tertanam harapan yang tak kecil pula di benda yang
kupikir nantinya hanya akan berfungsi menjadi buntalan gorengan jika
ternyata di oret-oret dan perlu diperbaiki
lagi. Ah, jaman sekarang. Bimbingan kok masih manual. Bukankah kencan
saja sudah begitu canggih? Tinggal chat “Hai” dan mengalirlah
opium dari huruf-hurufnya.
“Nur, aku duluan.”
“Tidak sarapan?”
“Nanti saja.”
Kulayangkan senyum simpul pada Nurma yang berada di sebelah kamarku
sembari menggenggam handphone dan berada di dunia entah di mana. Ah,
lama sekali aku mengenalnya. Dan, memang seperti itu dia. Mungkin
baginya, kehidupan adalah yang ada di awang-awang
sana. Di atas langit. Sehingga orang-orang
sekitarnya tak mampu melihat ada apa saja di atas sana, ada siapa
saja, seperti apa. Sebab seluruhnya tertutup awan tebal.
Di sepanjang jalan dari kos menuju kampus, kusaksikan beberapa
mahasiswa berada di teras sempit yang berdesakan dengan
jalan, ada yang menghirup minuman hangat bersama kawan perempuan satu
kos, ada pula yang sudah bertengger di sepeda motor bersama
kekasihnya. Semuanya menggenggam handphone dan bercakap dengan lawan
bicara sembari menduakan mata pada layar
berkelip itu.
Baru pukul tujuh tigapuluh. Tetapi rasanya siang sekali. Dan pada
saat seperti ini biasanya kulihat bapak-bapak yang jongkok sembari
menghisap rokok di tepian gang yang berukuran tak lebih satu meter.
Membuat pejalan gadis sepertiku merasa
enggan. Sebab mereka pasti akan menelanjangi setiap langkah kaki
kami. Hingga bayangan kami hilang di
belokan. Ah, pemandangan yang tak pernah kurindukan.
Hingga sampai di kawasan kampus, sepertinya tak kutemui seorang pun
yang tak menenteng handphone di tangannya. Entah itu murahan atau
tidak. Agaknya handphone telah berubah fungsi. Dari alat komunikasi
hingga menjadi kawan setia yang tak protes kecuali jika batrei habis
atau makanan habis alias perlu suplay pulsa untuk membuatnya lebih
bermakna.
“Nunggu Pak Ridho?”
“Iya. Kamu?”
Di depan ruang ber AC bertuliskan Kajur ini aku duduk pada bangku
yang sudah ramai meski waktu belum juga menunjukkan
pukul delapan. Mereka adalah mahasiswa yang haus akan tanda tangan
dosen, dan bukan ilmunya. Setidaknya begitu pendapatku, sebab bibir
mereka sendiri yang membeberkannya. “Yang
penting ACC, tanda tangan!”.
Ah, apa guna tanda tangan kalau isi otak sama saja? Untuk beberapa
waktu begini biasanya aku menjadi hakim yang merasa sok suci, lebih
baik dari segala-gala yang mereka lakukan. Tetapi lihatlah. Tetap
saja aku mengikuti antrean sepanjang antrean sembaku di kampungku
ketika minyak murah telah datang
“Urutan berapa?” Tanya kawanku.
“Duapuluh. Kamu?”
Sebenarnya tidak ada yang menarik bagiku untuk mengetahui urutan
berapa dia dan penelitian apa yang digunakan untuk skripsinya.
Melainkan handphone touchscreen yang bagian punggungnya menujukkan
gambar apel berkilat dengan daun sehelai. Rupanya mereka telah begitu
canggih dan tak lagi buduk. Diam-diam aku
mengintai gerak jarinya menyentuh layar
sembari membolak-balik handphone dan melihat akunt facebook di
dalamnya. Betapa mengagumkan otak manusia yang diberikan Tuhan kepada
kita.
“Menurutmu hari ini Pak Ridho datang tidak?” tanyanya padaku yang
sedang memikirkan benda apalagi yang kelak mungkin ada di tangan
manuisia.
“Hmm, tidak tahu. Mungkin robot pemalsu tandatangan.” Jawabku
sekaligus membayangkannya dengan lucu. Siapa tahu saja benar.
Sehingga kami tak perlu berjubal seperti ini
untuk menanti mereka yang kedatangannya tak
bisa ditentukan dengan waktu. Hanya
kemungkinan. Dan kami telah menjadi pindang dalam kukusan ketika
mereka muncul dan masuk ruangan dengan tenang.
“Kalau robot pijat saja bagaimana?” sambungnya.
“Itu sudah ada.”
“Tapi kan kita belum punya.”
“Barangkali robot pemijat yang tak terlihat. Bagaimana?”
Ah, ngelantur. Ketika kami tersadar, telah kami temukan beberapa
orang berkerumun di depan pintu kaca tebal itu. Dengan berkas di
tangan serta wajah lembab penuh keringat. Ternyata orang yang kami
nanti sudah datang. Pak Ridho. Beliau melebihi malaikat pada saat
seperti ini. Skripsi. Ah, syarat kelulusan
kami.
Saat seperti ini biasanya aku tak berminat
ikut berjubal, meski juga penasaran apa yang akan terjadi. Sebab,
terkadang beliau tidak begitu saja menerima mahasiswa yang hadir,
sebab terlampau banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan. Maka kami menurut dengan wajah muram.
Maka di hari-hari berikutnya, kami menunggu lagi persis seperti hari
sebelumnya. Dengan kecemasan yang mendalam. Dan saat seperti itu,
rasanya hanya aku yang tenang dengan buku, membacanya hingga
tenggelam.
“Menyedihkan kalau buku sudah dilupakan.
Bukan begitu, Rin?” tanyaku pada Airin
yang sedari tadi bersamaku.
“Eh, iya, apa?”
“Hmm, buku.”
“Oh, iya, ada apa?”
“Sudah terlupakan.”
“He, lucu.”
“Apanya?”
“Ini.”
“Kau tidak mendengarkanku?”
Ia masih menatap monitor yang jungkir balik itu. Sepertinya
ia memang tak lagi sadar bahwa di sampingnya ada aku.
“Dengarkan, dengarkan!”
Seseorang muncul dari ruang bersih yang membuat kami berharap bisa
masuk tanpa antri begini panjang.
“Pak Ridho, tidak menerima bimbingan, katanya datanglah minggu
depan. Beliau akan beberapa hari melakukan penelitian!”
“Masak??”
Sesudahnya kami bubar jalan seperti ayam yang baru mengahbiskan
pakan.
***
“Begitu, Mbak.”
“Sudah biasa. Jangan ceritakan kepada ibu.”
“Kenapa?”
“Kamu kira ibu tidak memikirkan yang kau alami? Jangan buat ia
tambah gelisah atas cerita-ceritamu.”
“Kenyataannya memang demikian.”
“Maka dari itu.”
Aku dan Mbak Rida mengupas singkong dengan teliti. Ini pekerjaaanku
di rumah. Membantu ibu mengolah umbian ini menjadi keripik
yang lezat. Sesudah itu dijual di pasaran dengan harga lima ratus
rupiah per bungkus. Dan mereka dapat menikmati snack
murah meriah tanpa pengawet. Meski tak jarang, keripik
kami kalah dengan makanan dengan kemasan serba bagus itu. Makanan
yang justru tak sedikit membubuhkan pengawet. Mungkin.
“Kira-kira kapan kamu lulus, Nok?” Tanya ibu sembari menggoreng
keripik di wajan besar bertengger pada
pawon bata dengan api menjilat-jilat dan menyala.
“Sebentar lagi, Bu.”
“Bulan lalu juga bilang sebentar lagi.”
Mulutku terkunci dan pura-pura sibuk dengan kulit singkong yang liat.
“Kawanmu yang mau ke sini itu, lulus kapan?”
“Sama.”
Aku jadi ingat bahwa kepulangaku kali ini adalah karena Nurma yang
ingin mampir. Katanya ia akan berjalan-jalan di Nglimut
bersama kawan-kawan mignya.
“Kawan-kawan apa?”
Tanya ibu mengulangi.
“Mig.”
“Apa itu?”
“Semacam akun di dunia maya. Mereka bisa
saling mengenal lewat chatting.”
“Dunia maya? Ngeri sekali kedengarannya.”
Aku dan Mbak Ridha berpandangan.
“Ada yang salah Mbak dengan ucapanku?”
“Tidak.”
Kami masih berkutat dengan singkong. Ibu belum puas pada jawabanku
mengenai mig33 dan dunia maya. Bagaimana aku menjelaskannya?
Semarang, 8 Agustus 2011 11.22
GEMA
“Aku tidak setuju kalau ibu jualan!”
“Lho, kenapa?”
Aku membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Mungkin di luar, ibu kaget sembari mengelus dada melihat perilaku putrinya yang kasar. Sudah itu aku menangis sesenggukan di dalam kamar.
Sesungguhnya aku tak ingin dan tak suka melakukan perbuatan demikian manja. Semua keinginan harus dirturuti. Kalau tidak, akan ngambek atau menangis sepanjang hari. Apa pantas gadis enam belas tahun berperilaku demikian?
Ibu dan bapakku bukan pegawai atau pekerja kantor swasta seperti orangtua kawanku kebanyakan. Mereka buruh biasa. Bapak menjadi sopir pick-up dengan menggunakan mobil orang. Dan ibu biasanya membantu menggarap sawah tetangga. Sekali waktu, beliau juga berjualan makanan kecil seperti es dan gorengan. Saat Ramadhan inilah beliau melakukannya. Dan untuk itu, aku tak pernah menghendakinya.
“Kenapa, Lin?”
“Aku malu, Bu.” Jawabku sambil menunduk.
“Malu kenapa?”
“Malu karena ibu berjualan.”
“Memang ada apa, Lin? Makanan yang ibu jual halal.”
Bukan masalah halal atau tidak tentu. Kupikir ibu juga tahu. Diam-diam beliau pandai membaca pikiranku.
“Malu kalau dilihat teman-temanmu?”
Tanya ibu kemudian. Aku hanya diam. Pura-pura membersihkan kuku di sela jari.
“Ada apa sih, Lin? Kenapa harus malu? Biarkan teman-temanmu tahu keadaan keluarg kita. Kamu tahu? kamu menyakiti ibu.”
Setelah berkata demikian, biasanya ibu beranjak ke dapur melakukan sesuatu. Beliau tak banyak bicara. Tidak sepertiku yang suka ngomel berdasarkan nafsu. Entah menurun dari siapa tabiat burukku ini.
Bapakku bagaimana? Beliau tak berkomentar. Hanya sesekali menasehati.
“Bantu ibumu berjualan.”
***
Kini tanggal 29 Ruwah. Artinya Ramadhan sehari lagi. Besok pagi ketika membuka mata, matahari akan terbit dengan aroma baru, diiringi lantunan Al-Qur’an dari pengeras suara di setiap sudut desa. Pagi-pagi pukul tiga, orang-orang akan bangun dan sahur bersama keluarga. Betapa menyenangkan. Tetapi mengapa semua itu kami mulai dengan pertengkaran?
“Lin, sudah maghrib, jangan mengurung diri terus.” Panggil bapak di luar kamar dengan suara berat dan wibawa.
Benar. Adzan maghrib terdengar begitu merdu melewati celah jendela kamarku yang bergorden motif bunga-bunga pudar. Aku yang masih menutup muka dengan bantal, mau tak mau bangun juga. Meski dengan berat, kuangkat juga tubuhku, kulangkahkan kaki mendekati pintu, memutar kuncinya, mengambil air wudlu dan beranjak ke mushola.
Saat meninggalkan rumah menuju mushola yang hanya berjarak seratus meter itu, kulihat anak-anak sepuluh tahunan berlari ke sana kemari sembari sesekali menyalakan mercon. Dor dor dor!!!
Munculah Pak Mahmud dan memarahi. Setelahnya beliau masuk masjid. Menjadi imam bagi jamaah yang menunggu. Betapa kalimat Al-Qur’an yang dilantunkan Pak Mahmud sangat menenteramkan hati.
Usai solat dan berdoa, kami bersalam-salaman. Aku masih duduk. Belum beranjak seperti jamaah lain. Dan dari sini, nampak ibu melangkah dari shaf paling depan. Beliau bersalam-salaman dengan mukena diangkat menggunakan tangan kiri hingga lutut.
Aku teringat lagi ucapan guru agamaku ketika SD.
“Salah satu fungsi solat jamaah adalah untuk merekatkan silaturahmi.”
Maka aku berdiri dan menghampiri ibu. Beliau kaget. Kucium tangannya dengan lembut. Aku baru menyadari bahwa wajah ibu sangat terang.
***
“Jadi jualan?”
Tanyaku siang itu ketika melihat ibu tak melakukan apa-apa di dapur. Biasanya kalau jualan, pukul satu siang beliau sudah racik-racik di dapur. Mengiris kol, wortel, tahu, dan lainnya. Aku sedikit lega karena siang ini ibu tidak melakukannya. Apakah beliau memenuhi permintaanku?
Ibu tidak berkata-kata. Kemudian beliau ke luar rumah. Ketika kembali, tahulah aku bahwa tadi beliau pergi ke warung, membeli kol, wortel, tahu, tempe, cendol, blewah, dan lainnya. Ibu akan berjualan sore ini.
Kalau sudah demikian, aku tak dapat berbuat apapun. Supaya tidak menjadi anak durhaka, aku membantu ibu semampuku; mengiris kol, wortel, tempe, menggoreng, serta berusaha sebaik mungkin menjadi asisten yang baik. Awalnya ibu memasang muka masam. Mungkin di dalam hati, beliau masih sakit hati lantaran ucapan dan perbuatanku yang kasar. Meski selama ini, sejauh yang aku tahu, ibu tak pernah melakukannya.
“Tolong pasang mejanya.” Perintah ibu.
Aku melaksanakan dengan sigap. Kuambil meja lipat di dapur dan kupasang di teras rumah. Sedikit berat. Tetapi setidaknya, aku tak mau menjadi anak yang durhaka.
“Bawa ke luar kolaknya.”
“Iya, Bu.”
“Kalu sudah, Bantu ibu memindah gorengannya juga.”
“Baik, Bu.”
Sore ini berlangsung dengan lancar. Banyak pembeli, banyak pula yang memuji. Sebab, ibu tak pernah pelit dalam berjualan. Enak pula masakannya.
***
“Kenapa wajahmu murung?”
“Tidak apa-apa.”
Pada pertengahan bulan Ramadhan, biasanya orang-orang memanfaatkan untuk berkumpul dengan kawan atau saudara mereka. Maka buka bersama seperti sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang. Begitu pula dengan remaja seumuranku. Meski hanya makan minum bersama, rasanya kurang afdhol jika melewatkannya.
“Ada yang terjadi, Lin?”
“Tidak.”
Rupanya ibu memang membaca kemurungan di wajahku yang bulat. Proporsional dengan tubuhku yang tidak tinggi.
Aku terus memasukkan adonan tahu isi ke dalam minyak panas. Sedangkan ibu memeras santan dengan sepasang mata tak percaya pada ucapanku.
Pukul tiga. Masih juga wajahku murung seperti sebelumnya, atau malah lebih buruk. Sebab, rasanya bibir ini tak bisa digerakkan. Otot begitu kaku. Mungkin jika orang lain yang melihat akan segera mendekatiku dan berkata; sini, kukucir saja bibirmu. Bibir kok seperti bebek. Ngambek ya ngambek saja. Tak perlu manyun semacam itu. Bosan orang lain melihatnya. Mungkin itu juga yang ada di pikiran ibu saat ini.
Aku tetap murung. Kubiarkan sore berlalu dengan berat hati.
“Ada apa sebenarnya? Kalau tidak suka ya tidak usah membantu ibu. Malu dilihat orang-orang kalau rona wajahmu buruk seperti itu.”
Aku menunduk dan menahan airmata di tenggorokan, sebab aku takut kolak di depanku akan lain rasanya kalau bercampur air mata.
“Lin.”
“Cukup, Bu. Gara-gara ibu aku tidak bisa ikut teman-teman buka bersama. Gara-gara ibu aku tak pernah bisa kumpul-kumpul dengan mereka. Ini semua gara-gara ibu.”
Aku meletakkan irus kolak di panci dengan cukup kasar. Lalu berlari menuju kamar dan menangis.
Ya Allah, bukankah salah satu ujian orang puasa adalah menahan hawa nafsu? Aku gagal melakukannya hari ini.
“Ibu tidak memaksamu membantu ibu berjualan. Tidak harus.”
Meski demikian, tidak mungkin aku meninggalkan begitu saja. Sedangkan di luar sana hanya akan bersenang-senang. Makan enak dan menghamburkan uang.
Aku kembali tersedu semmbari menutup muka dengan bantal. Pasti di luar, air di mata ibu juga berlinangan.
***
“Sepuluh hari lagi lebaran.”
“Iya.”
“Mau menemaniku beli baju?”
“Kapan?”
“Besok. Pulang sekolah.”
“Hmm, lihat besok saja ya.”
Aku dan Dinda, teman sekelasku, berpisah di gerbang sekolah. Ia melompat ke dalam bus dan aku berjalan kaki ke arah yang berbeda.
Dinda memang selalu demikian. Memintaku menemaninya membeli baju untuk lebaran. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami akan berdesakan di pasar tradisional atau toko-toko pakaian di tepian jalan. Teringat lagi wajah bapak. Juga mata ibu yang tak jarang kubuat cemas.
Tradisi membeli pakaian ketika lebraan, tidak berlaku bagi mereka. Ibu biasanya mengenakan busana panjang yang bersih, bapak dengan baju koko dan sarung yang masih layak, tidak harus baru. Tetapi tidak denganku. Mereka selalu menyediakan uang untukku. Tetapi tahun ini, entah kenapa, aku tak menginginkannya. Memberatkan ibu bapak untuk sehelai baju berbau cina. Begitu kata orang-orang kampungku menyebut baju baru.
Kulalui jalan dengan aspal gradakan dari sekolah menuju rumahku. di setiap kerikil yang mencuat, seolah kulihat mata air. Padahal hari begini panas, apalagi pukul duabelas siang. Lalu kulihat lubang lain. Sama. Seolah kulihat mata air mancur di mana-mana.
Langit pun begitu biru. Awan-awan tipis serupa gumpalan buah kapuk yang beterbangan. Tubuhku juga rasanya amat ringan. Kakiku melangkah amat riang. Mataku berbinar. Seolah ingin segera menemui ibu yang mungkin sedang sibuk di dapur.
Maka sampai di rumah, tempat tujuan pertamaku adalah dapur. Aku berlari kecil dan membuka pintu. Rasanya ingin segera memeluk ibu serta meminta maaf atas kesalahanku. Mungkin tadi di jalan, ada malaikat yang tanpa kutahu merobohkan dinding-dindong hatiku yang beku.
“Assalamu’alaikum…”
Tak ada jawaban. Kuulangi lagi.
“Assalamu’alaikaum…”
Ibu juga tak ada di dapur. Hanya angin bersiul pelan lalu hilang.
Aku ganti baju dan menanti dengan cemas. Kemana ibu?
Pukul tiga sore. Aku masih duduk murung di dapur. Ibu belum juga pulang. Mungkin aku akan mencari ke luar kalau saja tak ada suara yang mengagetkan tiba-tiba. Seperti ada yang memompa air mataku. Tetapi kutahan di tenggorokan. Kemudian menghela napas sangat lega.
“Ibu dari mana?”
“Coba tebak.” Jawab ibu sembari tersenyum. seolah tak pernah terjadi apapun di antara kami.
“Dari mana?”
“Tebak dulu.”
Dari barang-barang yang di bawa, kemudian aku tahu bahwa ibu dari rumah Mbak Minah di sebelah desa, mengambil paketan untuk lebaran. Berupa sebungkus kacang kupas, sedikit beras, satu kilo gula pasir, satu botol sirup, dan beberapa macam jajanan yang nampak harganya tak mahal.
Seperti yang kuterka pula. Selanjutnya ibu mengeluarkan amplop putih besar dari saku bajunya.
“Ibu ikut paketan uang juga, ya?”
“Iya.”
“Dapat berapa, Bu?”
“Empat ratus ribu.”
“Alhamdulillah. Lumayan buat…”
Sesungguhnya aku ingin melanjutkan dengan menyebutkan beberapa perkakas di dapur kami yang memang sudah tak bisa di pakai atau belum ada. Tetapi teringat olehku kejadian satu tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya ketika ibu menyerahkan uang serupa untuk membeli baju lebaranku.
“Tidak usah, Bu. Untuk membeli keperluan lain saja. Aku tak ingin baju baru.” Sergahku segera ketika ibu menanti lanjutan kalimatku dan akan mengatakan sesuatu.
Ibu tersenyum serta terkejut mendengar ucapanku.
“Siapa bilang ibu akan memberikannya padamu? Uang ini untuk membelikan baju koko bapakmu dan, yah, mungkin selembar kerudung untuk ibu.”
Berhembus sedikit angin kelegaan dalam dadaku. Meski sedikit aneh, akhirnya aku tersenyum juga.
“Nah, harus begitu.” Kataku selanjutnya.
Sesudah itu ibu mengeluarkan lembaran uang dari saku yang lain dan meletakkan di tanganku.
“Untukmu. Buat beli baju muslim ya. Supaya terlihat cantik lebaran nanti.”
Entah siapa yang membekukan bibirku. Liurku mendadak pahit serta nafasku terrtahan.
“Bu, untukku?”
“Iya.”
“Untuk beli baju?”
“Iya.”
“Ibu dapat tambahan? Dari mana?”
Aku tak sadar mengucapkan itu. Ibu membereskan barang-barang yang tadi dibawa dan membiarkanku mematung di tepi amben. Tersapu angin. Sangat kaku.
“Ibu tidak jualan?”
Teringat juga tujuanku dari tadi menanti ibu. Syukurlah kalimat bisa meluncur dari bibirku dengan lancar.
“Tidak.”
“Kenapa?”
Sekali lagi tak ada jawaban. Beliau mendekat dan bersbisik di telingaku.
“Buat apa. Ibu berjualan hanya untuk membelikan baju lebaran buatmu. Dan kini uangnya sudah ada di genggamanmu.”
Suara ibu menggema dengan tenang. Seperti takbir yang mengalun dari jauh. Terlampau jauh hingga nyaris tak terdengar.
Boja, 14 Agustus 2011
13.44
Langganan:
Postingan (Atom)