Sabtu, 07 Desember 2013

Nina Ingin ketemu Hujan!


Nina sedang menulis surat kepada hujan. Dalam suratnya itu ia meminta supaya hujan datang besok lusa tepat jam enam pagi. Permintaannya itu sedikit memaksa dan manja. Ia bilang bahwa ia akan ngambek seumur hidup kalau hujan tak mau datang. Ia melipat surat itu dengan gembira. Lalu meletakkannya di luar jendela. Tempat yang ia yakini sebagai kotak surat, di mana hujan akan mengambil kirimannya.
Jan, lusa ulang tahunku, bisiknya, awas kalau kamu tidak datang. Lalu mata Nina terlelap.

**

Pagi hari matahari menyembul girang dari luar jendela. Nina membuka korden warna pink dan mengecek surat yang semalam diletakkan di luar jendela, sudah tak ada. Berarti semalam tangan gaib hujan sudah mengambilnya. Wajahnya terlihat sangat terang. Hari ini ia sangat gembira.
Setelah mandi dan bersiap dengan seragam putih merahnya, ia berlari ke ruang makan. Ibu dan ayahnya sudah menunggu. Sepiring nasi goreng dan telur mata sapi sudah terhidang untuknya. Ia makan dengan lahap, setelah itu menenggak habis susu putihnya. Ibu dan ayah memandangi Nina dengan tenang.
“Ibu. Besok pagi siapkan nasi goreng satu lagi, ya.”
“Kamu mau makan dua piring?”
“Tidak, temanku mau datang.”
Sebelum ibu sempat bertanya siapa yang akan datang, Nina begitu saja melesat berangkat sekolah setelah mencium tangan ibu dan ayah. Ibu dan ayah tentu saja bingung. Nina memang sering bersikap yang aneh-aneh. Tetapi mereka berdua sangat menyayangi Nina.
Sampai di sekolah Nina buru-buru masuk kelas dan mencari seorang temannya.
“Rosi!”
“Hai.” Sapa Rosi kepada Nina.
“Aku sudah nulis surat.” Bisik Nina di telinga Rosi.
“O ya?” Mata Rosi berbinar. Berharap Nina bercerita lebih panjang.
“Iya. Hujan mengambil suratku yang kutulis tadi malam.”
“Hmm.” Rosi mendeham seolah mengerti betul apa yang dilakukan temannya itu.
“Menurutmu, apa hujan benar akan datang?”
“Ya.”
“Benar?”
“He’em.”
Nina melonjak-lonjak di dalam kelas. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi, maka semua duduk tenang di bangku mereka. Menanti Bu Guru tercinta masuk kelas.
Nina duduk di barisan nomor tiga dari depan, barisan paling kanan berlawanan arah dengan Bu Guru yang tempat duduknya di depan sebelah kiri. Rosi duduk di belakang Nina. Ia menyiapkan buku seperti teman-teman lain, tetapi tidak dengan Nina. Ia melipat tangan kiri, menyangga dagu dengan tangan kanan, matanya menerawang, jauh. Ia sedang membayangkan sebuah pagi yang menyenangkan.
Beberapa minggu yang lalu, Rosi, temannya itu tidak masuk sekolah. Ketika Nina bertanya melalui telepon setelah pulang sekolah mengapa ia tidak berangkat, Rosi menjawab bahwa ia terperangkap hujan, hujan yang sangat lebat.
“Masak??” Nina sangat terkejut ketika itu, sebab, di sekitar rumah, sekolah, serta jalanan menju sekolah langit tampak biru dan terang benderang, tak ada setitik pun air membasahi jalanan.
“Kalau tidak percaya datang saja ke rumahku. Kamu akan melihat air hujan turun seperti bendungan jebol. Parit-parit dadakan seperti sungai kecil yang mengepung rumahku.” Jelas Rosi.
Saat itu juga Nina mengambil sepeda dan melaju kencang ke rumah Rosi. Dan benar saja, beberapa meter sebelum sampai di rumah Rosi, ia merasakan roda sepedanya melaju di jalanan yang becek dan penuh air. Jalanan basah! Ia memperhatikan pohonan yang tumbuh di sekitar rumah Rosi, pekarangan, dan beberapa rumah di dekatnya, semuanya basah! Nina tidak sabar mendengar cerita Rosi.
“Kok bisa ya, Ros?”
“Ya, aku akan memberitahukan sebuah rahasia kepadamu.”
Dengan penuh semangat, kemudian Rosi bercerita bahwa malam sebelumnya ia sangat gelisah karena pekarangannya terlihat sangat kering meski setiap pagi disiram oleh ia dan ibunya. Bunga-bunga lesu, rumputan hijau yang menutup tanah halaman nampak cokelat dan kering. Lalu tanpa berpikir panjang, Rosi menulis sebuah surat.
“Surat?”
“Iya. Surat itu kukirimkan kepada hujan.”
“Hujan?”
Rosi mengangguk mantap. Di matanya terlihat pancaran bangga, seperti hendak menyampaikan bahwa sesuatu yang mustahil telah ia lakukan.
“Masak hujan bisa membaca surat?”
“Nyatanya hujan datang tepat di waktu yang aku tuliskan dalam surat.”
Nina nampak berpikir. Alisnya mengerut. Pelan-pelan dagunya manggut-manggut.
“Kamu percaya?” Tanya Rosi kepada Nina.
“Iya.” Jawab Nina. Lantas ia memikirkan sesuatu.
Sejak kecil Nina senang sekali apabila tetes-tetes air mulai turun dari langit dan membuat halaman rumput di rumahnya basah, tumbuhan jadi tampak segar, pohonan jadi tampak gembira, katak pun turut berlompatan, seperti dirinya yang juga turut merayakan tumpahan air dari langit itu. Ibunya sering marah-marah apabila itu terjadi. Tetapi Nina tetap bermain hujan. Berlarian ke sana-kemari. Berlompatan. Bernyanyi. Seolah ingin menyampaikan pada dunia bahwa ia dan hujan, dan tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang kecil yang sedang berlompatan itu, adalah sahabat baik.
“Bagaimana kalau kamu sakit?” Tanya ibu.
“Sahabat tidak akan membuat sahabatnya sakit.” Jawab Nina.
Dan begitulah. Setiap kali musim hujan tiba, ia merasa sangat gembira, dan rela bajunya basah demi bertemu dengan sahabatnya itu. Tetapi bagaimanapun, tidak mungkin musim hujan turun sepanjang tahun. Di negeri Indonesia yang di lalui garis katulistiwa ini, hujan hanya turun kurang lebih enam bulan dalam setahun. Sisanya adalah musim kemarau. Dan saat kemarau panjang itulah, hati Nina sering merasa gundah gulana. Ia merasa kesepian dan sedih. Karena ia tak bisa bertemu sahabatnya serta tanaman di halaman rumahnya terlihat layu.
Sampai suatu hari, datanglah cerita ajaib dari Rosi itu. Pas sekali, ini musim kemarau. Batin Nina.
Suara ibu guru belum bisa memecahkan lamunan Nina, bahkan sampai pulang sekolah. Sampai ia tak memperhatikan pelajaran apa saja yang disampaikan bu guru hari itu. Ia kelewat gembira. Menunggu datangnya esok hari.
“Semoga berhasil.” Bisik Rosi di telinga Nina ketika pulang sekolah, sebelum mereka berpisah. Nina mengerdipkan mata sambil mengacungkan jempol.

**

Malam ini bintang-bintang terhampar di langit yang hitam pekat. Bulan bulat seperti mata Nina yang berbinar dan terus menerus berdoa supaya esok pagi tetes-tetes air menyambutnya ketika membuka jendela. Lalu ia akan melihat halaman rumput serta semua tumbuhan girang. Ia dengan suara riang akan menyapa hujan sahabatnya.
“Nina, Nina, bangun. Sudah jam enam. Ibu sudah menyiapkan dua piring nasi goreng. Siapa temanmu yang akan datang?”
Sayup-sayup Nina mendengar suara ibu. Dibuka matanya perlahan. Cahaya matahari masuk dari celah-celah gorden dan ventilasi. Nina memicingkan mata, berharap mendengar rintik air jatuh di halamannya. Tidak ada suara apapun selain cericit burung yang semarak.



Boja, November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar