Nina sedang menulis
surat kepada hujan. Dalam suratnya itu ia meminta supaya hujan datang besok
lusa tepat jam enam pagi. Permintaannya itu sedikit memaksa dan manja. Ia
bilang bahwa ia akan ngambek seumur hidup kalau hujan tak mau datang. Ia
melipat surat itu dengan gembira. Lalu meletakkannya di luar jendela. Tempat yang
ia yakini sebagai kotak surat, di mana hujan akan mengambil kirimannya.
Jan,
lusa ulang tahunku, bisiknya, awas kalau kamu tidak datang. Lalu mata Nina terlelap.
**
Pagi hari matahari
menyembul girang dari luar jendela. Nina membuka korden warna pink dan mengecek
surat yang semalam diletakkan di luar jendela, sudah tak ada. Berarti semalam tangan
gaib hujan sudah mengambilnya. Wajahnya terlihat sangat terang. Hari ini ia
sangat gembira.
Setelah mandi dan
bersiap dengan seragam putih merahnya, ia berlari ke ruang makan. Ibu dan
ayahnya sudah menunggu. Sepiring nasi goreng dan telur mata sapi sudah
terhidang untuknya. Ia makan dengan lahap, setelah itu menenggak habis susu
putihnya. Ibu dan ayah memandangi Nina dengan tenang.
“Ibu. Besok pagi
siapkan nasi goreng satu lagi, ya.”
“Kamu mau makan dua
piring?”
“Tidak, temanku mau
datang.”
Sebelum ibu sempat
bertanya siapa yang akan datang, Nina begitu saja melesat berangkat sekolah
setelah mencium tangan ibu dan ayah. Ibu dan ayah tentu saja bingung. Nina
memang sering bersikap yang aneh-aneh. Tetapi mereka berdua sangat menyayangi Nina.
Sampai di sekolah Nina
buru-buru masuk kelas dan mencari seorang temannya.
“Rosi!”
“Hai.” Sapa Rosi kepada
Nina.
“Aku sudah nulis
surat.” Bisik Nina di telinga Rosi.
“O ya?” Mata Rosi
berbinar. Berharap Nina bercerita lebih panjang.
“Iya. Hujan mengambil
suratku yang kutulis tadi malam.”
“Hmm.” Rosi mendeham
seolah mengerti betul apa yang dilakukan temannya itu.
“Menurutmu, apa hujan
benar akan datang?”
“Ya.”
“Benar?”
“He’em.”
Nina melonjak-lonjak di
dalam kelas. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi, maka semua duduk tenang di
bangku mereka. Menanti Bu Guru tercinta masuk kelas.
Nina duduk di barisan
nomor tiga dari depan, barisan paling kanan berlawanan arah dengan Bu Guru yang
tempat duduknya di depan sebelah kiri. Rosi duduk di belakang Nina. Ia
menyiapkan buku seperti teman-teman lain, tetapi tidak dengan Nina. Ia melipat
tangan kiri, menyangga dagu dengan tangan kanan, matanya menerawang, jauh. Ia
sedang membayangkan sebuah pagi yang menyenangkan.
Beberapa minggu yang
lalu, Rosi, temannya itu tidak masuk sekolah. Ketika Nina bertanya melalui
telepon setelah pulang sekolah mengapa ia tidak berangkat, Rosi menjawab bahwa
ia terperangkap hujan, hujan yang sangat lebat.
“Masak??” Nina sangat
terkejut ketika itu, sebab, di sekitar rumah, sekolah, serta jalanan menju
sekolah langit tampak biru dan terang benderang, tak ada setitik pun air
membasahi jalanan.
“Kalau tidak percaya
datang saja ke rumahku. Kamu akan melihat air hujan turun seperti bendungan
jebol. Parit-parit dadakan seperti sungai kecil yang mengepung rumahku.” Jelas
Rosi.
Saat itu juga Nina
mengambil sepeda dan melaju kencang ke rumah Rosi. Dan benar saja, beberapa
meter sebelum sampai di rumah Rosi, ia merasakan roda sepedanya melaju di
jalanan yang becek dan penuh air. Jalanan basah! Ia memperhatikan pohonan yang
tumbuh di sekitar rumah Rosi, pekarangan, dan beberapa rumah di dekatnya,
semuanya basah! Nina tidak sabar mendengar cerita Rosi.
“Kok bisa ya, Ros?”
“Ya, aku akan
memberitahukan sebuah rahasia kepadamu.”
Dengan penuh semangat,
kemudian Rosi bercerita bahwa malam sebelumnya ia sangat gelisah karena
pekarangannya terlihat sangat kering meski setiap pagi disiram oleh ia dan
ibunya. Bunga-bunga lesu, rumputan hijau yang menutup tanah halaman nampak
cokelat dan kering. Lalu tanpa berpikir panjang, Rosi menulis sebuah surat.
“Surat?”
“Iya. Surat itu
kukirimkan kepada hujan.”
“Hujan?”
Rosi mengangguk mantap.
Di matanya terlihat pancaran bangga, seperti hendak menyampaikan bahwa sesuatu
yang mustahil telah ia lakukan.
“Masak hujan bisa
membaca surat?”
“Nyatanya hujan datang
tepat di waktu yang aku tuliskan dalam surat.”
Nina nampak berpikir.
Alisnya mengerut. Pelan-pelan dagunya manggut-manggut.
“Kamu percaya?” Tanya
Rosi kepada Nina.
“Iya.” Jawab Nina.
Lantas ia memikirkan sesuatu.
Sejak kecil Nina senang
sekali apabila tetes-tetes air mulai turun dari langit dan membuat halaman
rumput di rumahnya basah, tumbuhan jadi tampak segar, pohonan jadi tampak
gembira, katak pun turut berlompatan, seperti dirinya yang juga turut merayakan
tumpahan air dari langit itu. Ibunya sering marah-marah apabila itu terjadi.
Tetapi Nina tetap bermain hujan. Berlarian ke sana-kemari. Berlompatan. Bernyanyi.
Seolah ingin menyampaikan pada dunia bahwa ia dan hujan, dan tumbuh-tumbuhan,
dan binatang-binatang kecil yang sedang berlompatan itu, adalah sahabat baik.
“Bagaimana kalau kamu
sakit?” Tanya ibu.
“Sahabat tidak akan
membuat sahabatnya sakit.” Jawab Nina.
Dan begitulah. Setiap
kali musim hujan tiba, ia merasa sangat gembira, dan rela bajunya basah demi
bertemu dengan sahabatnya itu. Tetapi bagaimanapun, tidak mungkin musim hujan
turun sepanjang tahun. Di negeri Indonesia yang di lalui garis katulistiwa ini,
hujan hanya turun kurang lebih enam bulan dalam setahun. Sisanya adalah musim
kemarau. Dan saat kemarau panjang itulah, hati Nina sering merasa gundah
gulana. Ia merasa kesepian dan sedih. Karena ia tak bisa bertemu sahabatnya
serta tanaman di halaman rumahnya terlihat layu.
Sampai suatu hari,
datanglah cerita ajaib dari Rosi itu. Pas
sekali, ini musim kemarau. Batin Nina.
Suara ibu guru belum
bisa memecahkan lamunan Nina, bahkan sampai pulang sekolah. Sampai ia tak
memperhatikan pelajaran apa saja yang disampaikan bu guru hari itu. Ia kelewat
gembira. Menunggu datangnya esok hari.
“Semoga berhasil.” Bisik
Rosi di telinga Nina ketika pulang sekolah, sebelum mereka berpisah. Nina
mengerdipkan mata sambil mengacungkan jempol.
**
Malam ini
bintang-bintang terhampar di langit yang hitam pekat. Bulan bulat seperti mata Nina
yang berbinar dan terus menerus berdoa supaya esok pagi tetes-tetes air
menyambutnya ketika membuka jendela. Lalu ia akan melihat halaman rumput serta
semua tumbuhan girang. Ia dengan suara riang akan menyapa hujan sahabatnya.
“Nina, Nina, bangun.
Sudah jam enam. Ibu sudah menyiapkan dua piring nasi goreng. Siapa temanmu yang
akan datang?”
Sayup-sayup Nina
mendengar suara ibu. Dibuka matanya perlahan. Cahaya matahari masuk dari
celah-celah gorden dan ventilasi. Nina memicingkan mata, berharap mendengar
rintik air jatuh di halamannya. Tidak ada suara apapun selain cericit burung
yang semarak.
Boja, November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar