Seandainya sejak kecil tinggal di
Indonesia, pasti Rahel tidak akan cemas setiap kali hari Senin tiba. Ia akan
bangun pagi dengan gembira, mengenakan seragam putih merah, berangkat ke
sekolah sembari tersenyum menyambut matahari yang sama terang dengan matanya.
Ia tak akan gemetar setiap kali mikrofon sekolah memanggil murid-muridnya untuk
segera berbaris ke lapangan, melaksanakan upacara, dan pada detik ke sekian,
berkumandanglah lagu Indonesia Raya. Namun kenyataan yang ada adalah
sebaliknya. Ia cemas pada hari Senin dan segala halnya itu. Lagu Indonesia Raya
menjadi hantu di kepalanya.
Hari ini adalah bulan ke tiga Rahel
mengikuti upacara bendera. Ia berdiri di ujung kiri belakang, kali kedua
kelasnya mendapat tugas menjadi petugas upacara. Sari, Dita, dan Ruri teman
dekatnya, menjadi pembawa bendera, Ikhsan, bersikeras menjadi pemimpin upacara,
Lia menjadi pembaca Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, teman-teman lainnya ada
yang berebut ingin menjadi petugas ini-itu, akan tetapi ada pula yang diam
pertanda tak ingin mejadi apa-apa, cukup menjadi grup paduan suara saja. Rahel tidak
termasuk keduanya. Jika boleh memilih, ia tidak ingin mejadi petugas atau masuk
ke dalam kelompok paduan suara, karena baginya kedua hal itu merupakan sebuah bencana.
Di sudut itu Rahel berulang menggigit
bibir. Matanya cemas melihat ke kanan kiri dan ke arah barisan para guru, ia
mencuri-curi pandang kepada Bu Siwi. Ia menarik napas dan membayangkan nada
pertama lagu Indonesia Raya yang nanti hendak dinyanyikan ia dan
teman-temannya. Sebenarnya bisa saja Rahel diam saja tanpa turut menyanyikan
lagu tersebut, tetapi hati kecilnya menolak, terlebih teman-temannya akan
berisik mencoleknya Maka dari sudut manapun bibirnya terlihat sedang menggumam
lirih. Dihafalkannya lirik-lirik yang belum fasih ia ucapkan. Hiduplah Indonesia Raya....
Anis, teman di samping kanannya merasa
terganggu. Ia meletakkan telunjuk di bibirnya sambil manyun, meminta Rahel
diam. Dian, yang berbaris di depannya juga menggerak-gerakkan sepatunya ke
belakang, ia takut untuk menoleh. Akhirnya ia berbisik pelan dengan memiringkan
kepalanya, “Rahel, diam!”. Seluruh murid di barisan paduan suara menoleh ke
arahnya. Ia menunduk. Matanya memperhatikan ujung sepatu yang ia
gerak-gerakkan. Ia sungguh gemetar.
Suara dari mikrofon lantang terdengar di
lapangan upacara. Dengan suara lembut namun tegas pembawa acara membacakan
susunan upacara. Satu persatu petugas menunaikan tugasnya.... Upacara
dimulai.... Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara... Pembina upacara
memasuki lapangan upacara.... Pengibaran bendera merah putih oleh petugas....
Terdengar aba-aba pelan. Tiga orang murid melangkah dalam langkah tegap, yang
berada di tengah membawa bendera. Semua mata tertuju pada mereka. Semua mata, termasuk kelompok paduan suara, yang
juga bergantian menatap pada dirigen mereka. Petugas telah siap menarik bendera
yang sudah ditalikan, dirigen paduan suara telah menaikkan kedua tangannya, sebaris
lagu ia nyanyikan dengan lantang, dan.....
Di sudut yang sama Rahel menunduk.
Sesekali ia memandang kepada Bu Siwi di barisan para guru. Ia berharap upacara
kali ini berlangsung dengan baik. Ia berharap lagu-lagu bisa mereka nyanyikan
dengan baik. Tetapi kenyataan entah kenapa selalu sebaliknya. Semua orang
memandang ke arahnya. Semua orang, seolah mendengar lirik yang diucapkan Rahel
keliru, perbedaan nada yang ia lagukan begitu mencolok, semua orang tahu dan
barangkali memaklumi, tetapi Rahel menunduk seolah ingin menyembunyikan kepala
ke dalam bajunya, atau berlari sejauh-jauhnya....
***
“Rahel tidak ingin dibesarkan di negeri
orang!” Ucap Rahel kepada ibu. Kepalanya ia benamkan ke dalam dua lengannya
yang terlipat. Matanya basah.
Ibu tidak tahu betul apa yang terjadi
padanya tadi di sekolah. Cuma itu yang Rahel katakan. Berulang-ulang.
Barangkali ibunya bisa menerka. Dan memang inilah yang ia cemaskan.
Ibu Rahel seorang dosen Bahasa Inggris
di sebuah Perguruan Tinggi di Semarang. Sepak terjangnya di bidang itu sudah
tidak diragukan. Sejak masih sekolah di SMU, ia sering menjuarai lomba debat
Bahasa Inggris, speech contest,
maupun story telling. Begitu pula
saat kuliah. Ia menjadi aktivis di jurusan Bahasa Inggris. Ia beberapa kali
menjuarai perlombaan di bidang tersebut, baik tingkat kampus maupun provinsi
bahkan nasional. Maka tak heran, begitu lulus kuliah, ia mendapat tawaran dari
perguruan tingginya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, Australia. Siapa
yang mau melewatkan kesempatan seperti ini? Tanpa berpikir panjang, ibu Rahel
menerima tawaran itu.
Saat berangkat ke Australia, ibu Rahel
baru saja menikah dan membawa kandungannya yang masih hitungan minggu itu ke
sana, suaminya ikut serta. Dengan perut yang semakin hari semakin membesar, Ibu
Rahel menjalani kuliah S2 nya. Baru sampai pada semester ke dua, ia mengajukan
cuti dan mengajak suaminya untuk tinggal sementara di Indonesia. “Aku ingin
anak kita lahir di Indonesia.” rajuknya. Meski harus meninggalkan pekerjaan di
sana, ayah Rahel menuruti. Sebab ia menginginkan hal serupa.
Ketika kembali ke Indonesia, kandungan
ibu Rahel memasuki usia tujuh bulan. Perempuan yang ayu dengan kulit kecoklatan
khas Indonesia itu tampak lebih cantik dengan perut yang sudah menyembul. Ia tiba
di kota kelahirannya. Semua orang di keluarga dan para tetangga menyambutnya
dengan gembira. Lama tak jumpa membuat mereka semakin ramah. Mereka berebut menanyakan
kabar dan bertanya bagaimana rasanya tinggal di luar negeri, melihat apa saja di
sana, bertemu dengan kanguru atau tidak, makanannya enak-enak atau tidak....
Ibu Rahel kewalahan menjawabnya, tetapi hatinya gembira. Orang-orang Kendal
benar-benar masih seramah dulu. Batinnya.
Beberapa hari setelah tiba di Indonesia,
keluarganya membuat acara khusus bagi kandungan yang berusia tujuh bulan. Orang
tuanya mengundang para tetangga laki-laki untuk selamatan di rumahnya. Setelah selamatan
usai, Ibu Rahel menggelindingkan sebuah tampah
di halaman rumah disaksikan seluruh keluarga dan para tetangga. Jika tampah jatuh dengan bagian dalam di
atas, maka anak yang akan lahir adalah perempuan, tetapi apabila tampah bagian dalam berada di bawah,
maka anak yang akan lahir adalah laki-laki. Tampah
yang digelindingkan Ibu Rahel jatuh dengan bagian dalam berada di atas. Ibu
Rahel tersenyum dan memikirkan nama anak perempuan.
Seperti yang diinginkan, putri pertama
mereka lahir di Indonesia. Di sebuah desa kecil di kabupaten Kendal. Ibu Rahel
bersyukur, meski sejak janin hingga perut membesar bayi di kandungannya itu
akrab dengan budaya luar, setidaknya tujuh bulan dan saat kelahiran, bayi itu
turut merayakan budayanya sendiri; mitoni,
brokohan...
Dengan berat hati Ibu Rahel akhirnya
berangkat lagi ke Australia bersama suami dan putrinya. Sepanjang perjalanan ia
membayangkan putrinya kelak akan seperti apa. Hal-hal dan permainan yang ia
temui ketika kecil tentu tidak akan ditemui putrinya nanti di Perth, Australia
bagian Barat, tempat tinggalnya. Ia berjanji akan tetap mengenalkannya pada budaya
Indonesia. Bahasa, lagu-lagu, tata krama... Tetapi siapa yang bisa menolak
arus? Rahel tumbuh baik, akan tetapi bahasa yang ia kuasai bukan bahasa ibunya.
Lagu-lagu yang ia kuasai bukan lagu ibunya. Dan banyak hal lainnya.
“Ibu.”
“Hmm.”
Panggilan Rahel memecahkan lamunan ibu.
“Aku mau berhenti sekolah.”
“Kenapa?”
Ibu tidak menganggap serius ucapan Rahel.
“Takut salah nyanyi lagi?”
Rahel mengangguk. Ibu melihat keseriusan
di mata Rahel. Hatinya terasa teriris-iris.
***
Pagi hari, matahari berada tepat di atas
gedung sekolah bagian timur. Bentuknya yang seperti jeruk mengirim
tangan-tangan cahayanya sehingga menghasilkan bayang-bayang memanjang ke barat.
Murid-murid sekolah dengan seragam putih-merah berlarian di halaman paving,
tiang dengan bendera merah-putih berada di antara mereka. Sesaat kemudian
terdengar bunyi lonceng. Memecah keheningan burung-burung yang sedang pelan
bernyanyi di ranting-ranting pohon mangga di halaman itu.
“Selamat pagi.” Seorang perempuan dengan
senyum menawan berdiri di depan kelas. Bu Siwi, wali kelas mereka. Ia menyapa
muridnya dengan kalimat yang sama setiap hari. Tetapi murid-murid tak pernah
bosan mendengarnya, justru sebaliknya, meski terselip rasa malas pada pelajaran
tertentu, namun suara mereka dengan riang menjawabnya.
“Selamat pagi juga Bu Guru....”
Kelas itu selalu memulai pelajaran
dengan berdoa terlebih dahulu. Seorang murid memimpin, kemudian semua murid
menunduk khidmad dan usai dengan kata amin. Bu Siwi duduk di tempat duduknya.
Ia mulai memerhatikan muridnya satu-persatu.
Sejak tiga bulan lalu murid di kelasnya
bertambah satu. Seorang gadis cantik yang setiap kali berbicara mengundang
perhatian teman-temannya. Bukan hanya itu, ia juga kerap menanyakan atau
menceritakan hal-hal yang menarik kepada teman-temannya. Misalnya, ia mempertanyakan mengapa
teman-temannya lebih senang makan mie daripada spagetti, sedangkan di Perth
orang-orang tidak mengkonsumsi mie melainkan spagetti (ia sering bilang geli
dengan bentuk mie yang keriting seperti rambut). Mengapa teman-temannya cepat
menghafal pelajaran dan rumus-rumus, sedangkan di Perth ia tidak mengalami itu,
ia bersekolah di tempat-tempat terbuka dan tidak menghafalkan rumus-rumus.
Mengapa di sekolah tersebut harus ada upacara bendera setiap hari Senin tiba,
sedangkan di sekolahnya yang lama ia hanya tahu acara mingguan berupa pentas
seni. Bu Guru cuma tersenyum melihat itu. Bu Guru tersenyum melihat
murid-muridnya tak paham atau takjub mendengar cerita murid baru itu.
Tetapi pagi ini saat ia akan membagikan
kertas untuk ulangan, ia tidak menemukan wajah mungil serta ceria murid barunya
itu. Bangkunya kosong. Ia berpikir tumben gadis itu tidak berangkat, selama
bersekolah di sana ia belum pernah sekalipun ijin. Tetapi tidak ada surat ijin
sampai di mejanya, atau telepon dari orang tuanya ke sekolah. Ia cemas jangan-jangan
murid barunya itu sakit. Ia menanyakan kepada murid lain, di antara mereka tak
ada yang tahu. Ia bersabar menunggu sampai waktu istirahat untuk menanyakan
kepada bagian tata usaha atau menelpon ke rumahnya.
Namun, ketika siang hari Bu Siwi
menanyakan perihal ketidakhadiran Rahel kepada bagian tata usaha yang biasanya
mendapatkan telepon atau surat ijin perihal tidak keberangkatan murid, di
antara mereka mengaku tidak ada yang
tahu. Maka Bu Siwi menelpon ke rumah Rahel. Ia mendapati keterkejutan dari
suara Ibu Rahel. Ibu Rahel memberi keterangan bahwa pagi-pagi tadi Rahel berangkat
sekolah seperti biasa. Ia berangkat dengan mobil antar jemput seperti biasa,
jadi tidak mungkin tidak sampai di sekolah. Ibu Siwi cemas. Ibu Rahel lebih
cemas. Terlebih beberapa waktu sebelumnya Rahel menyatakan ingin berhenti
sekolah, meski kelihatannya tidak mungkin.
Setelah lonceng masuk berbunyi tanda
istirahat usai, seorang perempuan dengan kacamata tebal datang ke ruang kelas
Bu Siwi, ruang kelas empat.
“Maaf menggangu.”
“Ya, silakan masuk.” Ucap Bu Siwi ramah.
Perempuan itu terlihat canggung melangkah
ke ruangan, sesekali ia memperhatikan murid-murid yang berceloteh pelan, yang
sedang sibuk menyiapkan buku untuk belajar. Bu Siwi mempersilakan ia duduk di
sebuah kursi di depan meja guru.
“Ada yang bisa dibantu?” Tanya Bu Siwi.
“Begini, hmm, saya merasa terganggu.”
“Oh, terganggu kenapa?”
“Oleh suara-suara.”
“Suara apa?”
“Hmm, salah satu murid kelas ini.”
Bu Siwi membelalakkan mata. Ia tahu
siapa yang sedang dibicarakan.
“Di mana anak itu?”
“Perpustakaan.”
Bu Siwi segera beranjak dari tempat
duduk. Langkahnya tergesa menuju perpustakaan. Dari pintu perpustakaan ia
melihat salah satu rak dengan buku berjatuhan. Suasana sunyi itu membuatnya
bisa mendengar dengan jelas suara lirih dan sumbang dari arah rak yang
berantakan itu –dari dekat ia tahu bahwa
buku yang berjatuhan adalah buku-buku kumpulan lagu-lagu kebangsaan. Ia
mendengar sayup-sayup lagu Indonesia Raya dengan nada sedikit berbeda.
“Rahel?”
Dan suara berhenti.
***
“Aku suka menyanyi.”
“Ya.”
“Tetapi tidak lagu ini.”
“Kenapa?”
“Ibu tahu bahasa Indonesiaku kurang
lancar.”
“Ibu paham.”
“Apalagi harus dilagukan. Sementara
teman lain, begitu menyanyi sangat lancar melebihi yang kuperkirakan.”
Di ruangan itu, cuma ada Rahel dan Bu
Siwi. Ruangan dengan gambar burung Garuda di salah satu sisi dindingnya, diapit
dua bingkai foto dengan wajah berwibawa seorang presiden dan wakilnya. Di sisi
lain, terdapat gambar-gambar alat musik tradisonal Indonesia; kendang, angklung, sasando, rebab....
Sementara di sudut lainnya beberapa gambar alat musik itu tampak dalam bentuk
nyata, dengan alat musik modern di antaranya; gitar, keyboard, biola... Ya, di
ruang musik itu detak jam terdengar jelas sekali.
“Ibu
tidak memaksamu untuk langsung bisa menguasai lagu ini.”
“Ya. Tapi teman-teman tidak seperti
ibu.”
Rahel ingat ketika kali pertama masuk ke
sekolah tersebut, sebuah SD Negeri di pinggiran Kabupaten Kendal. Saat itu ia
datang dengan logat Bahasa Inggris yang kental. Beberapa teman mengajaknya
berkenalan dalam bahasa Indonesia, ia bisa menjawab dengan baik, meski ada kata
atau istilah tertentu yang ia tak paham sama sekali. Terlebih sebagian dari
mereka menggunakan Bahasa Jawa. Rahel semakin
kesulitan memahaminya. Lalu ia bertemu Bu Siwi, yang dengan sabar mau
membimbingnya.
Bu Siwi memperhatikan raut muka gadis di
hadapannya itu. Ada perasaan menyesal tergambar di sana, matanya agak merah,
atau mungkin takut. Atau mungkin kecewa dengan diri sendiri, atau mungkin...
Entah. Bu Siwi menghela napas. Dielusnya dengan lebut rambut hitam muridnya
itu.
“Bu,”
“Hmm.”
“Kalau aku tidak bisa lagu Indonesia
Raya, apakah berarti aku durhaka?”
“Durhaka kepada siapa?”
“Indonesia.”
Bu Siwi tersenyum mendengar celoteh
muridnya itu. “Bagaimana Pak Wr. Supratman?” Ia pura-pura serius, melontarkan
pertayaan kepada foto yang tergantung di salah satu dinding ruang teresbut.
“Hmm, kata Pak WR. Supratman, kamu tidak durhaka, selama mau mempelajarinya,
dan tidak mengabaikannya.”
Bu Siwi memandang gadis itu lagi, seolah
menyatakan itulah yang disampaikan Pak WR. Supratman, pencipta lagu yang wibawa
itu. Supaya gadis kecil itu tak bersedih hati lagi.
“Aku mau berusaha.”
“Tapi dengan cara yang benar.”
Setelah hari itu, hampir setiap hari
saat istirahat tiba, pintu ruang musik sedikit terbuka. Siapapun yang mau
mendengarkan sebentar saja, pasti akan tahu ada yang sedang mengulang-ulang
lagu dengan lirik yang sama. Hiduplah Indonesia Raya.... dengan
melodi yang entah meleset berapa nada...
***
Hari Senin kali ketiga kelas Rahel
mendapatkan tugas sebagai petugas upacara. Pukul tujuh kurang sepuluh menit
semua murid sudah berbaris rapi di halaman, di antara bayang-bayang pohon mangga
yang rindang. Mereka mengenakan seragam putih merah lengkap, dengan topi merah,
kaos kaki putih, sepatu hitam. Wajah mereka memancarkan kegembiraan yang tak
terkatakan, kegembiraan anak-anak, meski beberapa menit setelah upacara
berlangsung biasanya wajah mereka berubah pucat.
Barisan para petugas upacara terlihat
sangat siap. Meski, jika diperhatikan dengan seksama, beberapa di antara mereka
ada yang berulang membenarkan ikat pinggang, atau kaos kaki, atau menggeser
letak topi padahal sudah terlihat rapi sejak mereka berbaris di sana. Ada yang
diam-diam terus menghela napas. Ada yang diam saja tak melakukan apa-apa sambil
menunduk. Rahel!
“Kenapa wajahmu pucat?” Bisik Bu Siwi
yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
“Aku takut.”
“Kenapa? Latihanmu sudah maksimal.”
Rahel menghela napas. Ia hafal betul
nasihat-nasihat Bu Siwi, persis seperti nasihat ibunya. Tetapi
perempuan-perempuan dewasa itu tak benar tahu apa yang dirasakannya. Bagaimana
rasanya ketika beberapa teman tertawa cekikikan mendengarkan suara sumbangnya,
bagaimana rasanya ketika beberapa teman berbisik mencurigakan setiap kali mendengarkan
senandungnya.
“Baiklah.” Ucap Rahel. Kemudian
kepalanya ditegakkan. Namun garis-garis halus sepanjang telapak tangan terasa
sangat dingin, semakin dingin! Bu Siwi menyingkir ke barisan para guru. Sesaat
kemudian lonceng tanda masuk berbunyi. Artinya, upacara akan segera di mulai.
Di salah satu sisi lapangan seorang anak
dengan khidmad membacakan susunan upacara. Semua murid tampak hening, kecuali
murid-murid kelas satu dan dua yang pelan bercericit seperti burung-burung
pipit yang beterbangan di atas mereka. Satu persatu kegiatan upacara
dilaksanakan, hingga tiba saat tiga murid berjalan tegap menuju tiang bendera.
Sebentar lagi akan terdengar nyanyian itu, sebentar lagi ia akan turut
melagukan nyanyian itu, sebentar lagi.... Rahel gemetar. Dadanya naik turun.
“Selamat
ya...” Upacara usai. Bu Siwi menyalami murid-muridnya. Murid-muridnya
bersalaman dengan murid yang lain. Kecuali Rahel. Ia tak nampak di antara
mereka. Bu Siwi bergegas mencarinya. Ia melangkah cepat menuju kelas, menuju
ruang guru, ruang musik, perpustakaan, atau ruang manapun yang mungkin
dikunjungi Rahel. Bu Siwi paham, gadis kecil itu sedang ingin sendirian.
***
Di ruang musik itu suara sumbang masih
sering terdengar. Hampir setiap orang yang kebetulan lewat menyempatkan untuk
berhenti. Mereka tersenyum melihat upaya yang sungguh-sungguh itu. Sementara
seseorang di dalam ruang tersebut tak pernah tahu siapa saja yang mengintipnya.
Ia cuma beharap dapat menyanyikan lagu itu dengan baik. Entah kapan.
Boja, November
2013
Catatan:
tampah = alat terbuat dari anyaman
bambu untuk menampi beras
mitoni =
tradisi untuk mendoakan kandungan yang berusia tujuh bulan
brokohan =
selamatan untuk bayi yang baru lahir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar