Selasa, 03 Desember 2013

Dia Menggambar Anjing


“Hari ini dia menggambar anjing!”
Seseorang meneriakkan kalimat itu kemudian sejumlah orang datang ke mejaku dan mengerumuni gambarku. Mereka lebih tertarik pada buku gambar A3 yang terbuka dengan gambar seekor anjing di dalamnya dibandingkan dengan seorang laki-laki dengan wajah muram yang telah membuat gambar itu ada.
Mereka menunjuk-nunjuk gambar itu seperti menemukan benda asing yang belum pernah mereka jumpai, mereka takjub seolah mendapat kesempatan menyentuh benda terlarang yang sangat mereka sukai. Anjing yang tegak di gambar itu tetap tak bergerak. Seperti benda mati. Padahal anjing yang kugambar adalah anjing hidup. Dan aku membayangkan orang-orang yang sedang menunjuk-nunjuk anjing itu tiba-tiba menjerit karena tangannya digigit oleh sesuatu. Dalam imajinasiku gambar anjing itu hidup.
Selang beberapa menit kerumunan itu berkurang. Orang-orang mundur satu persatu. Mereka menjauh sembari terus membicarakan gambar seekor anjing yang sedang berlari dengan menggigit sebuah kain entah celana, entah kaos. Mata anjing itu terlihat tajam namun sedih. Entah apa yang menarik. Mereka masih membicarakannya sampai buku A3 dan gambar anjing itu kututup.
“Mau ke mana?” Tanya seorang lelaki yang sejak tadi kulihat tak beranjak dari tempat duduk.
“Mengejar anjing.” Jawabku.
“Oh, hati-hati.” Seseorang di sampingku itu seolah memahami dan membiarkanku pergi.

**

“Hari ini dia menggambar anjing lagi!”
Seseorang meneriakkan kalimat itu kemudian sejumlah orang datang ke mejaku dan mengerumuni gambarku. Mereka  lebih tertarik pada buku gambar A3 yang terbuka dengan gambar seekor anjing di dalamnya dibandingkan dengan seorang laki-laki dengan wajah muram yang telah membuat gambar itu ada.
“Anjing ini sedang apa?” Pertanyaan itu entah dilontarkan kepada siapa. Aku mendengarnya namun membiarkan. Tangan mereka masih menunjuk-nunjuk seperti singa kelaparan menemukan bangkai. Bibir mereka menggumam nyaris mendengung karena berebut dengan pertanyaan yang sama tetapi tidak memberikan kalimat itu secara khusus kepada siapa.
Perlahan kerumunan itu berkurang. Aku masih mendengar mereka saling berbisik mengapa si anjing tidak menggigit kain lagi melainkan menggigit sebuah boneka entah babi entah sapi, matanya terang namun sayu. Anjing itu sama dengan anjing yang kemarin.
Seseorang di sampingku menegurku. Dia memperhatikan gambarku sebentar.
“Boneka siapa yang kau gambar di mulut anjing itu?”
“Tidak tahu. Boneka di tong sampah.” Jawabku.
“Tetapi sepertinya masih bagus.”
“Ya. Orang-orang kadang menyia-nyiakan sesuatu yang masih bagus.”
“Boleh aku ikut dengamu melihat anjing itu?”
“Boleh. Tapi kau jangan berisik supaya anjing itu tidak takut.”
“Ya. Aku berjanji.”
Aku mengemasi buku A3 yang terbuka. Anjing di gambar itu kututup dan kusimpan di laci meja. Aku beranjak dan seseorang di sampingku mengikuti. Dia serius ingin melihat anjing yang bayangannya selalu kubawa-bawa.

**

Aku dan dia duduk di sebuah bangku semen di tepi jalan. Dia duduk di samping kananku sambil terus menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia merasa cemas dan kaget setiap kali terdengar suara keresak dari tong sampah yang berada di seberang jalan, berjarak sekitar empat meter dari kami. Dia terus mengawasi sebuah belokan dan membungkuk-bungkuk seperti sedang mengintai sesuatu. Sedangkan aku hanya duduk, menyipitkan mata sambil menghela napas beberapa kali. Cuaca panas sekali.
“Mana anjingnya?” Setelah beberapa jam duduk tanpa mendapatkan apa yang diinginkan dia mulai gelisah. Dia terlihat tidak sabar. Dan barangkali sedang berpikir bahwa aku membohonginya.
“Duduk saja, nanti kau akan melihat apa yang  kau inginkan.” Jawabku. Padahal aku sendiri tidak yakin apa yang nanti akan lewat di depan kami.
Beberapa menit kemudian, seorang anak perempuan melintas di depan kami, tangan kirinya mendekap seekor kucing. Seseorang di sampingku berdiri dan menghentikan anak itu.
“Hei, gadis kecil, apakah kau melihat seekor anjing?”
Gadis itu memandang aneh pada seseorang di sampingku. Dia menggeleng kemudian mengelus kepala kucing gemuknya yang berwarna keemasan dengan penuh sayang.
“Barangkali anjing itu memang tidak akan melintas di jalan ini hari ini.” Kata seseorang di sampingku. Dia seperti sedang menuntutku. Aku diam saja. Fatamorgana di atas jalan aspal yang tak banyak di lalui orang itu lebih menarik dan sedang mengelabuiku dengan bayang-bayang.
Dia beranjak sesaat sebelum si gadis kecil pembawa kucing melintas lagi di depan kami. Gadis kecil itu berjalan ke arah berlawanan dengan sebelumnya. Dia menitikkan air mata. Mukanya cemberut. Kedua tangan dia tangkupkan di muka. Seseorang di sampingku memperhatitakan gadis kecil itu. Dia sungguh seorang yang lapar informasi.
“Gadis kecil, mana kucingmu?” Gadis kecil itu hanya menggeleng. “Apa? Kau menjawab apa?” Gadis itu menggeleng lagi. Sebelum si gadis tiba pada belokan, seseorang di sampingku berteriak.
“Hei, apakah kau melihat seekor anjing di sana?” Gadis itu lari tanpa menjawab apa-apa.
Seseorang di sampingku duduk lagi.
“Menurutmu apa yang membuat gadis itu menangis.”
Aku hanya menaikkan bahu.
“Apa mungkin ia bertemu dengan seekor anjing kemudian kucingnya di makan?”
“Bisa jadi.”
Seseorang di sampingku mengangguk.
“Eh, tapi apa mungkin seekor anjing bisa makan kucing sebesar itu?”
Aku menaikkan bahu lagi.
Langit berwarna oranye. Burung-burung terbang ringan melintas di atas kami, mungkin mereka hendak pulang. Dan orang di sampingku seolah sudah berada pada puncak gelisah. Dia menatapku.
“Kau membohongiku?”
“Tidak pernah.” Jawabku.
“Lalu mana anjingnya?”
“Mungkin tidak datang.”
“Ya, kau membohongiku.”
Seseorang di sampingku beranjak. Dia meninggalkanku dengan kepala bersungut-sungut. Hei, siapa yang mengajaknya ke sini? Bukankah dia yang mengikutiku?

**

“Hei, hari ini dia tidak menggambar anjing! Hari ini dia tidak menggambar anjing!”
Seseorang meneriakkan kalimat itu kemudian sejumlah orang datang ke mejaku dan mengerumuni gambarku. Mereka tertarik pada gambar binatang dengan daging koyak moyak penuh darah di mulutnya. Tidak seperti biasa, kali ini mereka tidak mengabaikan seorang laki-laki dengan wajah muram yang telah membuat gambar itu ada.
“Mengapa kau tidak menggambar seekor anjing?”
“Ini anjing.” Jawabku sambil menunjuk salah satu bagian gambar di buku A3ku.
“Bukan, itu bukan anjing.” Kata mereka.
“Ini anjing.” Jawabku.
Mereka tidak puas dengan jawabanku, seolah menyesal mengajakku berbicara.
“Dasar orang sinting, sudah jelas itu bukan anjing.” Gerutu salah seorang dari mereka, kemudian pergi.
Seorang lelaki mendekatiku, dia mengambil bangku dengan tergesa dan duduk di sampingku. Dia mengamati sebuah gambar di buku gambarku.     Lalu menatapku.
“Benarkah ini anjing??” Setelah mengamati beberapa saat lelaki itu bertanya setengah berteriak. Matanya hampir keluar.
“Hem.” Aku menjawab pelan.
Lelaki itu mengamati lagi. Mulutnya menganga.
“Mana mungkin kucing memakan anjing??” Ucap lelaki itu. Kemudian dia bangkit berdiri. “Ya, Tuhan, ini kucing yang dibawa gadis itu tempo hari kan??” Dia mengambil gambarku dan mendekatkan ke mukanya.
“Aku sungguh tak percaya. Aku sungguh tak percaya!” Lelaki itu terus berteriak seolah mengucap mantra. Orang-orang di sisi kanan-kiriku yang menyaksikan itu mungkin berpikir kami berdua sudah gila. Yang satu meyakinkan bahwa gumpalan daging di mulut seekor kucing itu adalah anjing. Seorang lagi berteriak-teriak tak jelas atas ketakpercayaan bahwa seekor kucing bisa memakan anjing.
“Aku  harus ikut denganmu sore ini.” Ucapnya, demikian bersemangat.
Aku menaikkan bahu, seolah hendak mengatakan ‘terserah’. Dia tidak peduli apakah aku senang atau tidak atas keputusannya mengikutiku lagi. Dia segera menyambar tas serta alat-alat lukisnya yang berserak dan selalu kosong.
Aku beranjak setelah memasukkan buku gambar ke laci meja seperti biasa. Lantas kambi berdua meninggalkan kelas yang memanjakan dan menyibukkan orang-orang dengan AC serta pembicaraan entah apa.

**

“Eh, kau tidak menggambar anjing lagi? Ah tidak menarik. Membosankan.” Seseorang mendekat ke mejaku, meneriakkan kalimat panjang diikuti anggukan orang-orang yang juga mendekat kemudian.
“Ini anjing.” kataku, seperti hari sebelumnya. Dengan menunjuk salah satu bagian sketsa gambarku.
“Ini bukan anjing!” Jawab mereka. Entah mengapa mereka begitu peduli pada gambarku, apa bedanya anjing dan bukan anjing. Toh, anjing di depan sanggar ini tak pernah mereka pedulikan. Barangkali jika anjing itu mati juga mereka tak merasa kehilangan.
“Dasar orang sinting! Mana anjingnya? Sudah jelas ini gambar orang, yang menggigit segumpal daging.”
“Ya, ini anjing.” Jawabku lagi. Mereka semakin menggerutu.
Seseorang, entah siapa, mendekat ke mejaku. Dia memperhatikan gambarku kemudian menyilangkan tangannya ke dada, aku tahu dia sedang berpikir, atau mempertimbangkan sesuatu.
“Mengapa kau sebut lelaki ini anjing?” Tanyanya.
Aku cuma menyediakan bahuku untuk menjawabnya. Matanya masih belum beranjak dari gambarku. “Mungkin karena ia tega menganiaya kucing.” Kataku, seenaknya.
“Apa??” Matanya yang tajam melotot ke arahku.
Aku pergi. Tak ada yang mengikutiku lagi kali ini.


Boja, 2 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar