“Hari ini dia
menggambar anjing!”
Seseorang meneriakkan
kalimat itu kemudian sejumlah orang datang ke mejaku dan mengerumuni gambarku.
Mereka lebih tertarik pada buku gambar A3 yang terbuka dengan gambar seekor
anjing di dalamnya dibandingkan dengan seorang laki-laki dengan wajah muram yang
telah membuat gambar itu ada.
Mereka menunjuk-nunjuk
gambar itu seperti menemukan benda asing yang belum pernah mereka jumpai,
mereka takjub seolah mendapat kesempatan menyentuh benda terlarang yang sangat
mereka sukai. Anjing yang tegak di gambar itu tetap tak bergerak. Seperti benda
mati. Padahal anjing yang kugambar adalah anjing hidup. Dan aku membayangkan
orang-orang yang sedang menunjuk-nunjuk anjing itu tiba-tiba menjerit karena
tangannya digigit oleh sesuatu. Dalam imajinasiku gambar anjing itu hidup.
Selang beberapa menit
kerumunan itu berkurang. Orang-orang mundur satu persatu. Mereka menjauh
sembari terus membicarakan gambar seekor anjing yang sedang berlari dengan
menggigit sebuah kain entah celana, entah kaos. Mata anjing itu terlihat tajam
namun sedih. Entah apa yang menarik. Mereka masih membicarakannya sampai buku
A3 dan gambar anjing itu kututup.
“Mau ke mana?” Tanya seorang
lelaki yang sejak tadi kulihat tak beranjak dari tempat duduk.
“Mengejar anjing.”
Jawabku.
“Oh, hati-hati.”
Seseorang di sampingku itu seolah memahami dan membiarkanku pergi.
**
“Hari ini dia
menggambar anjing lagi!”
Seseorang meneriakkan
kalimat itu kemudian sejumlah orang datang ke mejaku dan mengerumuni gambarku.
Mereka lebih tertarik pada buku gambar
A3 yang terbuka dengan gambar seekor anjing di dalamnya dibandingkan dengan
seorang laki-laki dengan wajah muram yang telah membuat gambar itu ada.
“Anjing ini sedang apa?”
Pertanyaan itu entah dilontarkan kepada siapa. Aku mendengarnya namun
membiarkan. Tangan mereka masih menunjuk-nunjuk seperti singa kelaparan
menemukan bangkai. Bibir mereka menggumam nyaris mendengung karena berebut
dengan pertanyaan yang sama tetapi tidak memberikan kalimat itu secara khusus
kepada siapa.
Perlahan kerumunan itu
berkurang. Aku masih mendengar mereka saling berbisik mengapa si anjing tidak
menggigit kain lagi melainkan menggigit sebuah boneka entah babi entah sapi,
matanya terang namun sayu. Anjing itu sama dengan anjing yang kemarin.
Seseorang di sampingku
menegurku. Dia memperhatikan gambarku sebentar.
“Boneka siapa yang kau
gambar di mulut anjing itu?”
“Tidak tahu. Boneka di
tong sampah.” Jawabku.
“Tetapi sepertinya
masih bagus.”
“Ya. Orang-orang kadang
menyia-nyiakan sesuatu yang masih bagus.”
“Boleh aku ikut dengamu
melihat anjing itu?”
“Boleh. Tapi kau jangan
berisik supaya anjing itu tidak takut.”
“Ya. Aku berjanji.”
Aku mengemasi buku A3
yang terbuka. Anjing di gambar itu kututup dan kusimpan di laci meja. Aku
beranjak dan seseorang di sampingku mengikuti. Dia serius ingin melihat anjing
yang bayangannya selalu kubawa-bawa.
**
Aku dan dia duduk di
sebuah bangku semen di tepi jalan. Dia duduk di samping kananku sambil terus menoleh
ke kanan dan ke kiri. Dia merasa cemas dan kaget setiap kali terdengar suara
keresak dari tong sampah yang berada di seberang jalan, berjarak sekitar empat
meter dari kami. Dia terus mengawasi sebuah belokan dan membungkuk-bungkuk
seperti sedang mengintai sesuatu. Sedangkan aku hanya duduk, menyipitkan mata
sambil menghela napas beberapa kali. Cuaca panas sekali.
“Mana anjingnya?”
Setelah beberapa jam duduk tanpa mendapatkan apa yang diinginkan dia mulai
gelisah. Dia terlihat tidak sabar. Dan barangkali sedang berpikir bahwa aku
membohonginya.
“Duduk saja, nanti kau
akan melihat apa yang kau inginkan.”
Jawabku. Padahal aku sendiri tidak yakin apa yang nanti akan lewat di depan
kami.
Beberapa menit
kemudian, seorang anak perempuan melintas di depan kami, tangan kirinya
mendekap seekor kucing. Seseorang di sampingku berdiri dan menghentikan anak
itu.
“Hei, gadis kecil,
apakah kau melihat seekor anjing?”
Gadis itu memandang aneh
pada seseorang di sampingku. Dia menggeleng kemudian mengelus kepala kucing
gemuknya yang berwarna keemasan dengan penuh sayang.
“Barangkali anjing itu
memang tidak akan melintas di jalan ini hari ini.” Kata seseorang di sampingku.
Dia seperti sedang menuntutku. Aku diam saja. Fatamorgana di atas jalan aspal yang
tak banyak di lalui orang itu lebih menarik dan sedang mengelabuiku dengan
bayang-bayang.
Dia beranjak sesaat
sebelum si gadis kecil pembawa kucing melintas lagi di depan kami. Gadis kecil
itu berjalan ke arah berlawanan dengan sebelumnya. Dia menitikkan air mata.
Mukanya cemberut. Kedua tangan dia tangkupkan di muka. Seseorang di sampingku
memperhatitakan gadis kecil itu. Dia sungguh seorang yang lapar informasi.
“Gadis kecil, mana
kucingmu?” Gadis kecil itu hanya menggeleng. “Apa? Kau menjawab apa?” Gadis itu
menggeleng lagi. Sebelum si gadis tiba pada belokan, seseorang di sampingku
berteriak.
“Hei, apakah kau
melihat seekor anjing di sana?” Gadis itu lari tanpa menjawab apa-apa.
Seseorang di sampingku
duduk lagi.
“Menurutmu apa yang
membuat gadis itu menangis.”
Aku hanya menaikkan
bahu.
“Apa mungkin ia bertemu
dengan seekor anjing kemudian kucingnya di makan?”
“Bisa jadi.”
Seseorang di sampingku
mengangguk.
“Eh, tapi apa mungkin seekor
anjing bisa makan kucing sebesar itu?”
Aku menaikkan bahu
lagi.
Langit berwarna oranye.
Burung-burung terbang ringan melintas di atas kami, mungkin mereka hendak
pulang. Dan orang di sampingku seolah sudah berada pada puncak gelisah. Dia
menatapku.
“Kau membohongiku?”
“Tidak pernah.”
Jawabku.
“Lalu mana anjingnya?”
“Mungkin tidak datang.”
“Ya, kau membohongiku.”
Seseorang di sampingku
beranjak. Dia meninggalkanku dengan kepala bersungut-sungut. Hei, siapa yang mengajaknya
ke sini? Bukankah dia yang mengikutiku?
**
“Hei, hari ini dia
tidak menggambar anjing! Hari ini dia tidak menggambar anjing!”
Seseorang meneriakkan
kalimat itu kemudian sejumlah orang datang ke mejaku dan mengerumuni gambarku.
Mereka tertarik pada gambar binatang dengan daging koyak moyak penuh darah di
mulutnya. Tidak seperti biasa, kali ini mereka tidak mengabaikan seorang
laki-laki dengan wajah muram yang telah membuat gambar itu ada.
“Mengapa kau tidak
menggambar seekor anjing?”
“Ini anjing.” Jawabku
sambil menunjuk salah satu bagian gambar di buku A3ku.
“Bukan, itu bukan
anjing.” Kata mereka.
“Ini anjing.” Jawabku.
Mereka tidak puas
dengan jawabanku, seolah menyesal mengajakku berbicara.
“Dasar orang sinting,
sudah jelas itu bukan anjing.” Gerutu salah seorang dari mereka, kemudian
pergi.
Seorang lelaki
mendekatiku, dia mengambil bangku dengan tergesa dan duduk di sampingku. Dia
mengamati sebuah gambar di buku gambarku. Lalu
menatapku.
“Benarkah ini anjing??”
Setelah mengamati beberapa saat lelaki itu bertanya setengah berteriak. Matanya
hampir keluar.
“Hem.” Aku menjawab
pelan.
Lelaki itu mengamati
lagi. Mulutnya menganga.
“Mana mungkin kucing
memakan anjing??” Ucap lelaki itu. Kemudian dia bangkit berdiri. “Ya, Tuhan,
ini kucing yang dibawa gadis itu tempo hari kan??” Dia mengambil gambarku dan
mendekatkan ke mukanya.
“Aku sungguh tak
percaya. Aku sungguh tak percaya!” Lelaki itu terus berteriak seolah mengucap
mantra. Orang-orang di sisi kanan-kiriku yang menyaksikan itu mungkin berpikir
kami berdua sudah gila. Yang satu meyakinkan bahwa gumpalan daging di mulut
seekor kucing itu adalah anjing. Seorang lagi berteriak-teriak tak jelas atas
ketakpercayaan bahwa seekor kucing bisa memakan anjing.
“Aku harus ikut denganmu sore ini.” Ucapnya,
demikian bersemangat.
Aku menaikkan bahu,
seolah hendak mengatakan ‘terserah’. Dia tidak peduli apakah aku senang atau
tidak atas keputusannya mengikutiku lagi. Dia segera menyambar tas serta
alat-alat lukisnya yang berserak dan selalu kosong.
Aku beranjak setelah
memasukkan buku gambar ke laci meja seperti biasa. Lantas kambi berdua
meninggalkan kelas yang memanjakan dan menyibukkan orang-orang dengan AC serta
pembicaraan entah apa.
**
“Eh, kau tidak
menggambar anjing lagi? Ah tidak menarik. Membosankan.” Seseorang mendekat ke
mejaku, meneriakkan kalimat panjang diikuti anggukan orang-orang yang juga
mendekat kemudian.
“Ini anjing.” kataku,
seperti hari sebelumnya. Dengan menunjuk salah satu bagian sketsa gambarku.
“Ini bukan anjing!”
Jawab mereka. Entah mengapa mereka begitu peduli pada gambarku, apa bedanya
anjing dan bukan anjing. Toh, anjing di depan sanggar ini tak pernah mereka
pedulikan. Barangkali jika anjing itu mati juga mereka tak merasa kehilangan.
“Dasar orang sinting!
Mana anjingnya? Sudah jelas ini gambar orang, yang menggigit segumpal daging.”
“Ya, ini anjing.”
Jawabku lagi. Mereka semakin menggerutu.
Seseorang, entah siapa,
mendekat ke mejaku. Dia memperhatikan gambarku kemudian menyilangkan tangannya
ke dada, aku tahu dia sedang berpikir, atau mempertimbangkan sesuatu.
“Mengapa kau sebut
lelaki ini anjing?” Tanyanya.
Aku cuma menyediakan
bahuku untuk menjawabnya. Matanya masih belum beranjak dari gambarku. “Mungkin
karena ia tega menganiaya kucing.” Kataku, seenaknya.
“Apa??” Matanya yang
tajam melotot ke arahku.
Aku pergi. Tak ada yang
mengikutiku lagi kali ini.
Boja, 2 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar