Sabtu, 07 Desember 2013

ikan-ikan dalam mimpi saya


Banyak ikan di kamar mandi saya. Ikan entah jenis apa saja. Seingat saya, terus-menerus tanpa sengaja, saya mengambil ikan-ikan kecil warna hitam yang jumlahnya seperti tak terbatas itu, ada juga ikan berwana putih dengan ukuran sebesar kepalan dua tangan saya dijadikan satu, ikan itu menarik perhatian saya. Ia berenang tenang di dalam bak mandi. Ada juga yang menggelepar lemas di lantai kamar mandi bahkan hampir nyemplung kloset. Saya tidak tahu bagaimana caranya bisa mimpi menyenangkan seperti ini lagi. Menyenangkan, yang entah kenapa saya merasa bahagia melihat ikan-ikan berenang di dalam bak mandi saya.

Kebahagiaan yang sederhana itu, ketika saya membuka mata, sudah tidak ada.



Boja, 7 Desember 2013

Lagu Ibu


Seandainya sejak kecil tinggal di Indonesia, pasti Rahel tidak akan cemas setiap kali hari Senin tiba. Ia akan bangun pagi dengan gembira, mengenakan seragam putih merah, berangkat ke sekolah sembari tersenyum menyambut matahari yang sama terang dengan matanya. Ia tak akan gemetar setiap kali mikrofon sekolah memanggil murid-muridnya untuk segera berbaris ke lapangan, melaksanakan upacara, dan pada detik ke sekian, berkumandanglah lagu Indonesia Raya. Namun kenyataan yang ada adalah sebaliknya. Ia cemas pada hari Senin dan segala halnya itu. Lagu Indonesia Raya menjadi hantu di kepalanya.
Hari ini adalah bulan ke tiga Rahel mengikuti upacara bendera. Ia berdiri di ujung kiri belakang, kali kedua kelasnya mendapat tugas menjadi petugas upacara. Sari, Dita, dan Ruri teman dekatnya, menjadi pembawa bendera, Ikhsan, bersikeras menjadi pemimpin upacara, Lia menjadi pembaca Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, teman-teman lainnya ada yang berebut ingin menjadi petugas ini-itu, akan tetapi ada pula yang diam pertanda tak ingin mejadi apa-apa, cukup menjadi grup paduan suara saja. Rahel tidak termasuk keduanya. Jika boleh memilih, ia tidak ingin mejadi petugas atau masuk ke dalam kelompok paduan suara, karena baginya kedua hal itu merupakan sebuah bencana.
Di sudut itu Rahel berulang menggigit bibir. Matanya cemas melihat ke kanan kiri dan ke arah barisan para guru, ia mencuri-curi pandang kepada Bu Siwi. Ia menarik napas dan membayangkan nada pertama lagu Indonesia Raya yang nanti hendak dinyanyikan ia dan teman-temannya. Sebenarnya bisa saja Rahel diam saja tanpa turut menyanyikan lagu tersebut, tetapi hati kecilnya menolak, terlebih teman-temannya akan berisik mencoleknya Maka dari sudut manapun bibirnya terlihat sedang menggumam lirih. Dihafalkannya lirik-lirik yang belum fasih ia ucapkan. Hiduplah Indonesia Raya....
Anis, teman di samping kanannya merasa terganggu. Ia meletakkan telunjuk di bibirnya sambil manyun, meminta Rahel diam. Dian, yang berbaris di depannya juga menggerak-gerakkan sepatunya ke belakang, ia takut untuk menoleh. Akhirnya ia berbisik pelan dengan memiringkan kepalanya, “Rahel, diam!”. Seluruh murid di barisan paduan suara menoleh ke arahnya. Ia menunduk. Matanya memperhatikan ujung sepatu yang ia gerak-gerakkan. Ia sungguh gemetar.
Suara dari mikrofon lantang terdengar di lapangan upacara. Dengan suara lembut namun tegas pembawa acara membacakan susunan upacara. Satu persatu petugas menunaikan tugasnya.... Upacara dimulai.... Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara... Pembina upacara memasuki lapangan upacara.... Pengibaran bendera merah putih oleh petugas.... Terdengar aba-aba pelan. Tiga orang murid melangkah dalam langkah tegap, yang berada di tengah membawa bendera. Semua mata tertuju pada mereka. Semua  mata, termasuk kelompok paduan suara, yang juga bergantian menatap pada dirigen mereka. Petugas telah siap menarik bendera yang sudah ditalikan, dirigen paduan suara telah menaikkan kedua tangannya, sebaris lagu ia nyanyikan dengan lantang, dan.....
Di sudut yang sama Rahel menunduk. Sesekali ia memandang kepada Bu Siwi di barisan para guru. Ia berharap upacara kali ini berlangsung dengan baik. Ia berharap lagu-lagu bisa mereka nyanyikan dengan baik. Tetapi kenyataan entah kenapa selalu sebaliknya. Semua orang memandang ke arahnya. Semua orang, seolah mendengar lirik yang diucapkan Rahel keliru, perbedaan nada yang ia lagukan begitu mencolok, semua orang tahu dan barangkali memaklumi, tetapi Rahel menunduk seolah ingin menyembunyikan kepala ke dalam bajunya, atau berlari sejauh-jauhnya....

***

“Rahel tidak ingin dibesarkan di negeri orang!” Ucap Rahel kepada ibu. Kepalanya ia benamkan ke dalam dua lengannya yang terlipat. Matanya basah.
Ibu tidak tahu betul apa yang terjadi padanya tadi di sekolah. Cuma itu yang Rahel katakan. Berulang-ulang. Barangkali ibunya bisa menerka. Dan memang inilah yang ia cemaskan.
Ibu Rahel seorang dosen Bahasa Inggris di sebuah Perguruan Tinggi di Semarang. Sepak terjangnya di bidang itu sudah tidak diragukan. Sejak masih sekolah di SMU, ia sering menjuarai lomba debat Bahasa Inggris, speech contest, maupun story telling. Begitu pula saat kuliah. Ia menjadi aktivis di jurusan Bahasa Inggris. Ia beberapa kali menjuarai perlombaan di bidang tersebut, baik tingkat kampus maupun provinsi bahkan nasional. Maka tak heran, begitu lulus kuliah, ia mendapat tawaran dari perguruan tingginya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, Australia. Siapa yang mau melewatkan kesempatan seperti ini? Tanpa berpikir panjang, ibu Rahel menerima tawaran itu.
Saat berangkat ke Australia, ibu Rahel baru saja menikah dan membawa kandungannya yang masih hitungan minggu itu ke sana, suaminya ikut serta. Dengan perut yang semakin hari semakin membesar, Ibu Rahel menjalani kuliah S2 nya. Baru sampai pada semester ke dua, ia mengajukan cuti dan mengajak suaminya untuk tinggal sementara di Indonesia. “Aku ingin anak kita lahir di Indonesia.” rajuknya. Meski harus meninggalkan pekerjaan di sana, ayah Rahel menuruti. Sebab ia menginginkan hal serupa.
Ketika kembali ke Indonesia, kandungan ibu Rahel memasuki usia tujuh bulan. Perempuan yang ayu dengan kulit kecoklatan khas Indonesia itu tampak lebih cantik dengan perut yang sudah menyembul. Ia tiba di kota kelahirannya. Semua orang di keluarga dan para tetangga menyambutnya dengan gembira. Lama tak jumpa membuat mereka semakin ramah. Mereka berebut menanyakan kabar dan bertanya bagaimana rasanya tinggal di luar negeri, melihat apa saja di sana, bertemu dengan kanguru atau tidak, makanannya enak-enak atau tidak.... Ibu Rahel kewalahan menjawabnya, tetapi hatinya gembira. Orang-orang Kendal benar-benar masih seramah dulu. Batinnya.
Beberapa hari setelah tiba di Indonesia, keluarganya membuat acara khusus bagi kandungan yang berusia tujuh bulan. Orang tuanya mengundang para tetangga laki-laki untuk selamatan di rumahnya. Setelah selamatan usai, Ibu Rahel menggelindingkan sebuah tampah di halaman rumah disaksikan seluruh keluarga dan para tetangga. Jika tampah jatuh dengan bagian dalam di atas, maka anak yang akan lahir adalah perempuan, tetapi apabila tampah bagian dalam berada di bawah, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki. Tampah yang digelindingkan Ibu Rahel jatuh dengan bagian dalam berada di atas. Ibu Rahel tersenyum dan memikirkan nama anak perempuan.
Seperti yang diinginkan, putri pertama mereka lahir di Indonesia. Di sebuah desa kecil di kabupaten Kendal. Ibu Rahel bersyukur, meski sejak janin hingga perut membesar bayi di kandungannya itu akrab dengan budaya luar, setidaknya tujuh bulan dan saat kelahiran, bayi itu turut merayakan budayanya sendiri; mitoni, brokohan...
Dengan berat hati Ibu Rahel akhirnya berangkat lagi ke Australia bersama suami dan putrinya. Sepanjang perjalanan ia membayangkan putrinya kelak akan seperti apa. Hal-hal dan permainan yang ia temui ketika kecil tentu tidak akan ditemui putrinya nanti di Perth, Australia bagian Barat, tempat tinggalnya. Ia berjanji akan tetap mengenalkannya pada budaya Indonesia. Bahasa, lagu-lagu, tata krama... Tetapi siapa yang bisa menolak arus? Rahel tumbuh baik, akan tetapi bahasa yang ia kuasai bukan bahasa ibunya. Lagu-lagu yang ia kuasai bukan lagu ibunya. Dan banyak hal lainnya.
“Ibu.”
“Hmm.”
Panggilan Rahel memecahkan lamunan ibu.
“Aku mau berhenti sekolah.”
“Kenapa?”
Ibu tidak menganggap serius ucapan Rahel.
“Takut salah nyanyi lagi?”
Rahel mengangguk. Ibu melihat keseriusan di mata Rahel. Hatinya terasa teriris-iris.

***

Pagi hari, matahari berada tepat di atas gedung sekolah bagian timur. Bentuknya yang seperti jeruk mengirim tangan-tangan cahayanya sehingga menghasilkan bayang-bayang memanjang ke barat. Murid-murid sekolah dengan seragam putih-merah berlarian di halaman paving, tiang dengan bendera merah-putih berada di antara mereka. Sesaat kemudian terdengar bunyi lonceng. Memecah keheningan burung-burung yang sedang pelan bernyanyi di ranting-ranting pohon mangga di halaman itu.
“Selamat pagi.” Seorang perempuan dengan senyum menawan berdiri di depan kelas. Bu Siwi, wali kelas mereka. Ia menyapa muridnya dengan kalimat yang sama setiap hari. Tetapi murid-murid tak pernah bosan mendengarnya, justru sebaliknya, meski terselip rasa malas pada pelajaran tertentu, namun suara mereka dengan riang menjawabnya.
“Selamat pagi juga Bu Guru....”
Kelas itu selalu memulai pelajaran dengan berdoa terlebih dahulu. Seorang murid memimpin, kemudian semua murid menunduk khidmad dan usai dengan kata amin. Bu Siwi duduk di tempat duduknya. Ia mulai memerhatikan muridnya satu-persatu.
Sejak tiga bulan lalu murid di kelasnya bertambah satu. Seorang gadis cantik yang setiap kali berbicara mengundang perhatian teman-temannya. Bukan hanya itu, ia juga kerap menanyakan atau menceritakan hal-hal yang menarik kepada teman-temannya.      Misalnya, ia mempertanyakan mengapa teman-temannya lebih senang makan mie daripada spagetti, sedangkan di Perth orang-orang tidak mengkonsumsi mie melainkan spagetti (ia sering bilang geli dengan bentuk mie yang keriting seperti rambut). Mengapa teman-temannya cepat menghafal pelajaran dan rumus-rumus, sedangkan di Perth ia tidak mengalami itu, ia bersekolah di tempat-tempat terbuka dan tidak menghafalkan rumus-rumus. Mengapa di sekolah tersebut harus ada upacara bendera setiap hari Senin tiba, sedangkan di sekolahnya yang lama ia hanya tahu acara mingguan berupa pentas seni. Bu Guru cuma tersenyum melihat itu. Bu Guru tersenyum melihat murid-muridnya tak paham atau takjub mendengar cerita murid baru itu.
Tetapi pagi ini saat ia akan membagikan kertas untuk ulangan, ia tidak menemukan wajah mungil serta ceria murid barunya itu. Bangkunya kosong. Ia berpikir tumben gadis itu tidak berangkat, selama bersekolah di sana ia belum pernah sekalipun ijin. Tetapi tidak ada surat ijin sampai di mejanya, atau telepon dari orang tuanya ke sekolah. Ia cemas jangan-jangan murid barunya itu sakit. Ia menanyakan kepada murid lain, di antara mereka tak ada yang tahu. Ia bersabar menunggu sampai waktu istirahat untuk menanyakan kepada bagian tata usaha atau menelpon ke rumahnya.
Namun, ketika siang hari Bu Siwi menanyakan perihal ketidakhadiran Rahel kepada bagian tata usaha yang biasanya mendapatkan telepon atau surat ijin perihal tidak keberangkatan murid, di antara mereka  mengaku tidak ada yang tahu. Maka Bu Siwi menelpon ke rumah Rahel. Ia mendapati keterkejutan dari suara Ibu Rahel. Ibu Rahel memberi keterangan bahwa pagi-pagi tadi Rahel berangkat sekolah seperti biasa. Ia berangkat dengan mobil antar jemput seperti biasa, jadi tidak mungkin tidak sampai di sekolah. Ibu Siwi cemas. Ibu Rahel lebih cemas. Terlebih beberapa waktu sebelumnya Rahel menyatakan ingin berhenti sekolah, meski kelihatannya tidak mungkin.
Setelah lonceng masuk berbunyi tanda istirahat usai, seorang perempuan dengan kacamata tebal datang ke ruang kelas Bu Siwi, ruang kelas empat.
“Maaf menggangu.”
“Ya, silakan masuk.” Ucap Bu Siwi ramah.
Perempuan itu terlihat canggung melangkah ke ruangan, sesekali ia memperhatikan murid-murid yang berceloteh pelan, yang sedang sibuk menyiapkan buku untuk belajar. Bu Siwi mempersilakan ia duduk di sebuah kursi di depan meja guru.
“Ada yang bisa dibantu?” Tanya Bu Siwi.
“Begini, hmm, saya merasa terganggu.”
“Oh, terganggu kenapa?”
“Oleh suara-suara.”
“Suara apa?”
“Hmm, salah satu murid kelas ini.”
Bu Siwi membelalakkan mata. Ia tahu siapa yang sedang dibicarakan.
“Di mana anak itu?”
“Perpustakaan.”
Bu Siwi segera beranjak dari tempat duduk. Langkahnya tergesa menuju perpustakaan. Dari pintu perpustakaan ia melihat salah satu rak dengan buku berjatuhan. Suasana sunyi itu membuatnya bisa mendengar dengan jelas suara lirih dan sumbang dari arah rak yang berantakan itu  –dari dekat ia tahu bahwa buku yang berjatuhan adalah buku-buku kumpulan lagu-lagu kebangsaan. Ia mendengar sayup-sayup lagu Indonesia Raya dengan nada sedikit berbeda.
“Rahel?”
Dan suara berhenti.

***

“Aku suka menyanyi.”
“Ya.”
“Tetapi tidak lagu ini.”
“Kenapa?”
“Ibu tahu bahasa Indonesiaku kurang lancar.”
“Ibu paham.”
“Apalagi harus dilagukan. Sementara teman lain, begitu menyanyi sangat lancar melebihi yang kuperkirakan.”
Di ruangan itu, cuma ada Rahel dan Bu Siwi. Ruangan dengan gambar burung Garuda di salah satu sisi dindingnya, diapit dua bingkai foto dengan wajah berwibawa seorang presiden dan wakilnya. Di sisi lain, terdapat gambar-gambar alat musik tradisonal Indonesia; kendang, angklung, sasando, rebab.... Sementara di sudut lainnya beberapa gambar alat musik itu tampak dalam bentuk nyata, dengan alat musik modern di antaranya; gitar, keyboard, biola... Ya, di ruang musik itu detak jam terdengar jelas sekali.
 “Ibu tidak memaksamu untuk langsung bisa menguasai lagu ini.”
“Ya. Tapi teman-teman tidak seperti ibu.”
Rahel ingat ketika kali pertama masuk ke sekolah tersebut, sebuah SD Negeri di pinggiran Kabupaten Kendal. Saat itu ia datang dengan logat Bahasa Inggris yang kental. Beberapa teman mengajaknya berkenalan dalam bahasa Indonesia, ia bisa menjawab dengan baik, meski ada kata atau istilah tertentu yang ia tak paham sama sekali. Terlebih sebagian dari mereka menggunakan Bahasa Jawa. Rahel semakin  kesulitan memahaminya. Lalu ia bertemu Bu Siwi, yang dengan sabar mau membimbingnya.
Bu Siwi memperhatikan raut muka gadis di hadapannya itu. Ada perasaan menyesal tergambar di sana, matanya agak merah, atau mungkin takut. Atau mungkin kecewa dengan diri sendiri, atau mungkin... Entah. Bu Siwi menghela napas. Dielusnya dengan lebut rambut hitam muridnya itu.
“Bu,”
“Hmm.”
“Kalau aku tidak bisa lagu Indonesia Raya, apakah berarti aku durhaka?”
“Durhaka kepada siapa?”
“Indonesia.”
Bu Siwi tersenyum mendengar celoteh muridnya itu. “Bagaimana Pak Wr. Supratman?” Ia pura-pura serius, melontarkan pertayaan kepada foto yang tergantung di salah satu dinding ruang teresbut. “Hmm, kata Pak WR. Supratman, kamu tidak durhaka, selama mau mempelajarinya, dan tidak mengabaikannya.”
Bu Siwi memandang gadis itu lagi, seolah menyatakan itulah yang disampaikan Pak WR. Supratman, pencipta lagu yang wibawa itu. Supaya gadis kecil itu tak bersedih hati lagi.
“Aku mau berusaha.”
“Tapi dengan cara yang benar.”
Setelah hari itu, hampir setiap hari saat istirahat tiba, pintu ruang musik sedikit terbuka. Siapapun yang mau mendengarkan sebentar saja, pasti akan tahu ada yang sedang mengulang-ulang lagu dengan lirik yang sama.  Hiduplah Indonesia Raya.... dengan melodi yang entah meleset berapa nada...

***

Hari Senin kali ketiga kelas Rahel mendapatkan tugas sebagai petugas upacara. Pukul tujuh kurang sepuluh menit semua murid sudah berbaris rapi di halaman, di antara bayang-bayang pohon mangga yang rindang. Mereka mengenakan seragam putih merah lengkap, dengan topi merah, kaos kaki putih, sepatu hitam. Wajah mereka memancarkan kegembiraan yang tak terkatakan, kegembiraan anak-anak, meski beberapa menit setelah upacara berlangsung biasanya wajah mereka berubah pucat.
Barisan para petugas upacara terlihat sangat siap. Meski, jika diperhatikan dengan seksama, beberapa di antara mereka ada yang berulang membenarkan ikat pinggang, atau kaos kaki, atau menggeser letak topi padahal sudah terlihat rapi sejak mereka berbaris di sana. Ada yang diam-diam terus menghela napas. Ada yang diam saja tak melakukan apa-apa sambil menunduk. Rahel!
“Kenapa wajahmu pucat?” Bisik Bu Siwi yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
“Aku takut.”
“Kenapa? Latihanmu sudah maksimal.”
Rahel menghela napas. Ia hafal betul nasihat-nasihat Bu Siwi, persis seperti nasihat ibunya. Tetapi perempuan-perempuan dewasa itu tak benar tahu apa yang dirasakannya. Bagaimana rasanya ketika beberapa teman tertawa cekikikan mendengarkan suara sumbangnya, bagaimana rasanya ketika beberapa teman berbisik mencurigakan setiap kali mendengarkan senandungnya.
“Baiklah.” Ucap Rahel. Kemudian kepalanya ditegakkan. Namun garis-garis halus sepanjang telapak tangan terasa sangat dingin, semakin dingin! Bu Siwi menyingkir ke barisan para guru. Sesaat kemudian lonceng tanda masuk berbunyi. Artinya, upacara akan segera di mulai.
Di salah satu sisi lapangan seorang anak dengan khidmad membacakan susunan upacara. Semua murid tampak hening, kecuali murid-murid kelas satu dan dua yang pelan bercericit seperti burung-burung pipit yang beterbangan di atas mereka. Satu persatu kegiatan upacara dilaksanakan, hingga tiba saat tiga murid berjalan tegap menuju tiang bendera. Sebentar lagi akan terdengar nyanyian itu, sebentar lagi ia akan turut melagukan nyanyian itu, sebentar lagi.... Rahel gemetar. Dadanya naik turun.
 “Selamat ya...” Upacara usai. Bu Siwi menyalami murid-muridnya. Murid-muridnya bersalaman dengan murid yang lain. Kecuali Rahel. Ia tak nampak di antara mereka. Bu Siwi bergegas mencarinya. Ia melangkah cepat menuju kelas, menuju ruang guru, ruang musik, perpustakaan, atau ruang manapun yang mungkin dikunjungi Rahel. Bu Siwi paham, gadis kecil itu sedang ingin sendirian.

***

Di ruang musik itu suara sumbang masih sering terdengar. Hampir setiap orang yang kebetulan lewat menyempatkan untuk berhenti. Mereka tersenyum melihat upaya yang sungguh-sungguh itu. Sementara seseorang di dalam ruang tersebut tak pernah tahu siapa saja yang mengintipnya. Ia cuma beharap dapat menyanyikan lagu itu dengan baik. Entah kapan.


Boja,  November 2013


Catatan:
tampah                  = alat terbuat dari anyaman bambu untuk menampi beras
mitoni                    = tradisi untuk mendoakan kandungan yang berusia tujuh bulan
brokohan              = selamatan untuk bayi yang baru lahir

Nina Ingin ketemu Hujan!


Nina sedang menulis surat kepada hujan. Dalam suratnya itu ia meminta supaya hujan datang besok lusa tepat jam enam pagi. Permintaannya itu sedikit memaksa dan manja. Ia bilang bahwa ia akan ngambek seumur hidup kalau hujan tak mau datang. Ia melipat surat itu dengan gembira. Lalu meletakkannya di luar jendela. Tempat yang ia yakini sebagai kotak surat, di mana hujan akan mengambil kirimannya.
Jan, lusa ulang tahunku, bisiknya, awas kalau kamu tidak datang. Lalu mata Nina terlelap.

**

Pagi hari matahari menyembul girang dari luar jendela. Nina membuka korden warna pink dan mengecek surat yang semalam diletakkan di luar jendela, sudah tak ada. Berarti semalam tangan gaib hujan sudah mengambilnya. Wajahnya terlihat sangat terang. Hari ini ia sangat gembira.
Setelah mandi dan bersiap dengan seragam putih merahnya, ia berlari ke ruang makan. Ibu dan ayahnya sudah menunggu. Sepiring nasi goreng dan telur mata sapi sudah terhidang untuknya. Ia makan dengan lahap, setelah itu menenggak habis susu putihnya. Ibu dan ayah memandangi Nina dengan tenang.
“Ibu. Besok pagi siapkan nasi goreng satu lagi, ya.”
“Kamu mau makan dua piring?”
“Tidak, temanku mau datang.”
Sebelum ibu sempat bertanya siapa yang akan datang, Nina begitu saja melesat berangkat sekolah setelah mencium tangan ibu dan ayah. Ibu dan ayah tentu saja bingung. Nina memang sering bersikap yang aneh-aneh. Tetapi mereka berdua sangat menyayangi Nina.
Sampai di sekolah Nina buru-buru masuk kelas dan mencari seorang temannya.
“Rosi!”
“Hai.” Sapa Rosi kepada Nina.
“Aku sudah nulis surat.” Bisik Nina di telinga Rosi.
“O ya?” Mata Rosi berbinar. Berharap Nina bercerita lebih panjang.
“Iya. Hujan mengambil suratku yang kutulis tadi malam.”
“Hmm.” Rosi mendeham seolah mengerti betul apa yang dilakukan temannya itu.
“Menurutmu, apa hujan benar akan datang?”
“Ya.”
“Benar?”
“He’em.”
Nina melonjak-lonjak di dalam kelas. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi, maka semua duduk tenang di bangku mereka. Menanti Bu Guru tercinta masuk kelas.
Nina duduk di barisan nomor tiga dari depan, barisan paling kanan berlawanan arah dengan Bu Guru yang tempat duduknya di depan sebelah kiri. Rosi duduk di belakang Nina. Ia menyiapkan buku seperti teman-teman lain, tetapi tidak dengan Nina. Ia melipat tangan kiri, menyangga dagu dengan tangan kanan, matanya menerawang, jauh. Ia sedang membayangkan sebuah pagi yang menyenangkan.
Beberapa minggu yang lalu, Rosi, temannya itu tidak masuk sekolah. Ketika Nina bertanya melalui telepon setelah pulang sekolah mengapa ia tidak berangkat, Rosi menjawab bahwa ia terperangkap hujan, hujan yang sangat lebat.
“Masak??” Nina sangat terkejut ketika itu, sebab, di sekitar rumah, sekolah, serta jalanan menju sekolah langit tampak biru dan terang benderang, tak ada setitik pun air membasahi jalanan.
“Kalau tidak percaya datang saja ke rumahku. Kamu akan melihat air hujan turun seperti bendungan jebol. Parit-parit dadakan seperti sungai kecil yang mengepung rumahku.” Jelas Rosi.
Saat itu juga Nina mengambil sepeda dan melaju kencang ke rumah Rosi. Dan benar saja, beberapa meter sebelum sampai di rumah Rosi, ia merasakan roda sepedanya melaju di jalanan yang becek dan penuh air. Jalanan basah! Ia memperhatikan pohonan yang tumbuh di sekitar rumah Rosi, pekarangan, dan beberapa rumah di dekatnya, semuanya basah! Nina tidak sabar mendengar cerita Rosi.
“Kok bisa ya, Ros?”
“Ya, aku akan memberitahukan sebuah rahasia kepadamu.”
Dengan penuh semangat, kemudian Rosi bercerita bahwa malam sebelumnya ia sangat gelisah karena pekarangannya terlihat sangat kering meski setiap pagi disiram oleh ia dan ibunya. Bunga-bunga lesu, rumputan hijau yang menutup tanah halaman nampak cokelat dan kering. Lalu tanpa berpikir panjang, Rosi menulis sebuah surat.
“Surat?”
“Iya. Surat itu kukirimkan kepada hujan.”
“Hujan?”
Rosi mengangguk mantap. Di matanya terlihat pancaran bangga, seperti hendak menyampaikan bahwa sesuatu yang mustahil telah ia lakukan.
“Masak hujan bisa membaca surat?”
“Nyatanya hujan datang tepat di waktu yang aku tuliskan dalam surat.”
Nina nampak berpikir. Alisnya mengerut. Pelan-pelan dagunya manggut-manggut.
“Kamu percaya?” Tanya Rosi kepada Nina.
“Iya.” Jawab Nina. Lantas ia memikirkan sesuatu.
Sejak kecil Nina senang sekali apabila tetes-tetes air mulai turun dari langit dan membuat halaman rumput di rumahnya basah, tumbuhan jadi tampak segar, pohonan jadi tampak gembira, katak pun turut berlompatan, seperti dirinya yang juga turut merayakan tumpahan air dari langit itu. Ibunya sering marah-marah apabila itu terjadi. Tetapi Nina tetap bermain hujan. Berlarian ke sana-kemari. Berlompatan. Bernyanyi. Seolah ingin menyampaikan pada dunia bahwa ia dan hujan, dan tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang kecil yang sedang berlompatan itu, adalah sahabat baik.
“Bagaimana kalau kamu sakit?” Tanya ibu.
“Sahabat tidak akan membuat sahabatnya sakit.” Jawab Nina.
Dan begitulah. Setiap kali musim hujan tiba, ia merasa sangat gembira, dan rela bajunya basah demi bertemu dengan sahabatnya itu. Tetapi bagaimanapun, tidak mungkin musim hujan turun sepanjang tahun. Di negeri Indonesia yang di lalui garis katulistiwa ini, hujan hanya turun kurang lebih enam bulan dalam setahun. Sisanya adalah musim kemarau. Dan saat kemarau panjang itulah, hati Nina sering merasa gundah gulana. Ia merasa kesepian dan sedih. Karena ia tak bisa bertemu sahabatnya serta tanaman di halaman rumahnya terlihat layu.
Sampai suatu hari, datanglah cerita ajaib dari Rosi itu. Pas sekali, ini musim kemarau. Batin Nina.
Suara ibu guru belum bisa memecahkan lamunan Nina, bahkan sampai pulang sekolah. Sampai ia tak memperhatikan pelajaran apa saja yang disampaikan bu guru hari itu. Ia kelewat gembira. Menunggu datangnya esok hari.
“Semoga berhasil.” Bisik Rosi di telinga Nina ketika pulang sekolah, sebelum mereka berpisah. Nina mengerdipkan mata sambil mengacungkan jempol.

**

Malam ini bintang-bintang terhampar di langit yang hitam pekat. Bulan bulat seperti mata Nina yang berbinar dan terus menerus berdoa supaya esok pagi tetes-tetes air menyambutnya ketika membuka jendela. Lalu ia akan melihat halaman rumput serta semua tumbuhan girang. Ia dengan suara riang akan menyapa hujan sahabatnya.
“Nina, Nina, bangun. Sudah jam enam. Ibu sudah menyiapkan dua piring nasi goreng. Siapa temanmu yang akan datang?”
Sayup-sayup Nina mendengar suara ibu. Dibuka matanya perlahan. Cahaya matahari masuk dari celah-celah gorden dan ventilasi. Nina memicingkan mata, berharap mendengar rintik air jatuh di halamannya. Tidak ada suara apapun selain cericit burung yang semarak.



Boja, November 2013