Selasa, 10 September 2013

Surat Kepada, Teman Saya


Tujuh belas bulan tepat kamu tidak ada di samping saya. Kamu pergi di hari yang tidak saya duga, dua bulan persis sebelum hari ulang tahunmu yang ke dua puluh tiga. Dan pertanda-pertanda itu, entah mengapa begitu saja kami abaikan.

Beberapa hari sebelum hari di mana kamu pergi, salah satu teman kita memimpikanmu datang ke rumahnya. Dalam mimpinya itu kamu terlihat sangat gembira, membawa seorang lelaki yang katanya adalah suamimu, kamu bilang kamu sudah menikah. Kamu percaya mimpi? Teman-temanmu antara percaya dan tidak percaya, tetapi kami berusaha mengabaikannya sebagai pertanda, kami menganggapnya sebagai bunga tidur, dengan alasan untuk menghibur diri kami sendiri. Meski entah ada hubungan atau tidak antara kepergianmu dan mimpi itu.

Kamu pergi jam tiga sore, kata ibumu. Waktu itu seorang teman memberitahu saya beberapa menit setelahnya, membuat saya benar-benar seperti sedang di hadapkan pada sesuatu yang tidak saya duga dengan tiba-tiba. Sebelum itu saya menulis sebuah sajak, yang, entah kenapa sesuai betul dengan apa yang terjadi padamu. Saya menulis sajak itu jam sepuluh pagi, ketika saya melihat keluar jendela, melihat ranting bergerak pelan, kemudian tanpa alasan apa-apa, saya harus menulis, menulis sajak. Berikut sajak itu:

PERIHAL KEPERGIAN

perhatikan patahan itu
batang tak mengeluarkan suara tangisan
ketika tiba tiba tunas yang baru ditimangnya direnggut angin, tangan orang
setabah itukah kau sebagai ibu?
perhatikan guguran itu
selembar daun tak mengeluarkan suara rintihan
ketika tiba tiba ada yang melepaskannya dari batang itu –tangan tuhan
percayakah kau tentang itu?
mungkin kita sedang dikelabui angin
pembawa kabar yang tak selalu benar

Boja, 10 Maret 2012 10.00

Dan ibumu bercerita, jam sepuluh pagi itu, kamu mulai koma.

Saya sedih, tentu saja. Saya bahkan tidak tahu bagaimana harus menyampaikan seperti apa perasaan saya saat itu. Saya seperti seperti sedang meonton sebuah film berkabung, di mana semua orang yang ada di situ menangis sesenggukan, bermuka murung, saling mengucapkan doa, saling mengucapkan semoga. Saya sendiri hanya memandang banyak sudut dengan tidak fokus. Berulang saya berpikir mengapa mereka menangis dan saya tidak bisa menangis sama sekali? Baru beberapa jam kemudian ketika orang-orang pulang, entah datang dari mana air mata saya itu, tiba-tiba saja memenuhi dada serta pelupuk mata saya. Dada saya sesak. Mulut saya tidak bisa bicara. Saya pun jadi tidak tahu harus melakukan apa.

Saya kangen kamu. Barangkali itu sebabnya dibanding teman lain, saya yang paling sering bermimpi tentang kamu. Mimpi dengan banyak kejadian, seolah kamu masih berada di dunia yang sama dengan saya. Saya pernah bermimpi duduk di bagian belakang sepeda motor dan kamu di depan saya, kamu berbicara kepada saya bahwa katanya saya tidak perlu takut kepadamu. Kamu bilang, kamu sudah tidak ada tetapi juga masih ada. Saat itu saya ingat betul bahwa saya melihat dengan teliti tangan kananmu yang sedang menggenggam kemudi, tanganmu masih sama dengan yang dulu, agak gemuk, agak pendek, bulat, bedanya tangamu yang saya lihat saat itu lebih kuning.

Pernah suatu kali, satu tahun setelah kepergianmu saya mengingatmu begitu saja, mengingatmu beberapa menit seperti hanya ada kamu di  kepala saya. Saat itu malam hari, di sebuah kamar, saya terus berpikir, ada apa ini, jangan-jangan kamu sedang rindu saya. Hari berikutnya saya baru menyadari bahwa sehari sebelumnya adalah tanggal ulang tahunmu. Ulang tahunmu yang ke duapuluh empat. Saya deg-degan tiba-tiba. Jangan-jangan kamu hendak menyampaikan kepada saya bahwa hari itu adalah hari istimewamu tetapi saya melupakannya?

Sekali lagi tentang mimpi-mimpi saya tentangmu. Saya takut ada hal lain selain bahwa saya kangen. Perasaan bersalah saya kepadamu, atau masih ada hal di hati kamu yang mengganjal tentang saya. Di hati saya, iya, saya merasa masih hutang kepadamu.

Pernah suatu hari, saat itu awal kamu sakit-sakitan, pada minggu pagi ibumu menelpon saya, suaranya sangat panik, katanya beberapa kali kamu tidak sadarkan diri, ia hendak membawamu ke rumah sakit tetapi kamu tidak mau jika tidak di antar oleh saya. Saya merasa tidak layak kamu beri tempat istimewa itu. Dan ketika saya sampai di rumahmu, kamu berkata ingin bicara sesuatu kepada saya, sesuatu yang rahasia, katamu. Saat itu betapa berdebarnya hati saya, saya takut sendiri, jangan-jangan kamu hendak menyampaikan kemarahanmu kepada saya beberapa tahun sebelumnya. Tetapi ternyata tidak, ternyata kamu menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu yang berulang membuat kamu murung itu, kamu meminta saya memanggilnya dan datang ke rumahmu saat itu. Saya menuruti. Setelah itu baru kamu kami antar ke rumah sakit dengan beberapa kali tidak sadarkan di dalam mobil.

Kamu sedang apa di sana? Di sini sedang musim, hmm, musim tidak jelas. Yang pasti saya sedang sakit gigi, sakit perut, dan entah  kenapa penyakit sedang senang-senang sekali dekat dengan saya. Ah, ya, lebaran juga baru berlalu sekita tiga mingguan, saya belum sempat ke rumahmu. Kata teman-teman, ibumu terus menanyakan saya. Kamu baik-bak ya di sana. Saya berharap kesakitan tidak lagi mendekatimu.


Boja, Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar