“Kamu bermimpi terlalu tinggi.”
“Seperti terpelanting dan cuma mampu melambaikan kepak sendiri dari bawah* ketika melihat komidi putar? Kan kita bisa membeli karcis kemudian menaikinya.”
“Kalau tidak punya uang?”
“Kan bisa usaha untuk mendapatkan uang. Ketika pertama bertemu denganku, pernah membayangkan akan duduk di sampingku sebagai kekasihku?”
Kamu diam saja.
“Nah, kamu kalah karena tidak menjawab meski aku tahu jawabanmu. Impossible itu, tidak ada. Ya, kan?”
Kita kembali melamun dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kamu itu pemimpi yang dahsyat, aku tahu. Artinya, kamu tidak akan membiarkan mimpimu musnah hanya di kepala dan tubuh tua kelak akan menyesalinya. Hanya untuk satu ini, entah kenapa, kamu menganggap aku terlalu tinggi menerbangkan mimpi. Kamu ingat Ikarus?”
“Ya.”
“Dia bermimpi punya sayap, pergi ke matahari, dan terwujud.”
“Tapi akhirnya terbakar dan jatuh. Artinya mimpi juga harus masuk akal.”
“Ya, sih. Tapi apa mimpiku kurang masuk akal?”
“Aku tidak sedang berbicara tentang mimpimu.”
“Menurutmu mimpiku masuk akal, gak?”
“Lumayan.”
“Masuk akal, gak?”
“Hmm, ya. Masuk akal.”
“Kamu berat menjawabnya.”
Sebenarnya aku ingin kamu menjawabnya dengan akan membantuku mewujudkan impian itu. Genggamlah tanganku dan kuatkan aku. Ya. Tapi aku tak mungkin mengatakannya. Kalaupun iya, barangkali akan kukatakan kalau kamu sudah tidur atau berjarak ratusan meter dariku.
“Kamu sendiri punya mimpi apa?”
“Semua mimpiku kamu sudah tahu.”
“Hmm, iya.” Jawabku agak lama. “Barangkali ada yang lain?”
“Bisa jadi. Tapi aku sedang tak mengingatnya.”
“Kapan penyakit lupamu akan sembuh?”
“Aku berharap tidak akan sembuh.”
“Kenapa?”
“Supaya kamu selalu cemas dan mengingatkanku.”
Sekalipun udara begini dingin, aku tak punya keinginan beranjak dari tempat ini. Biar saja kita terus di sini dan begini.Tak jarang aku ingin waktu berhenti di saat seperti ini.
“Kalaupun penyakit lupamu sudah sembuh, aku akan tetap melakukan hal yang sama.”
Kamu melihatku sekilas kali ini.
“Apa yang tidak mungkin, kan.” Katamu.
“Kamu pesimis padaku?”
“Aku hanya mengulang ucapanmu.”
“Itu keinginanku. Mestinya kamu mempercayaiku dan menguatkannya.”
“Percaya itu perlu bukti.”
“Tapi menurutmu pembuktian itu cuma bisa dilakukan nanti, kan? Jadi kamu tidak akan percaya padaku selama itu. Aku mempercayaimu bahkan sejak pertama bertemu.”
“Karena kamu suka baca novel picisan.”
“Tidak. Karena aku yakin dengan hatiku. Dengan pilihanku. Dan siap.”
Kamu menunduk kali ini. Dan tersenyum.
“Aku lebih rumit dari pada rumus kimia, Nin.”
“Aku lebih tabah dari air. Jangan berpikir aku sedang mengigau dan memaksakan diri, atau jangan tiba-tiba bilang kamu tak bisa percaya sebelum terbukti.”
“Kamu selalu pesimis.” Katamu sambil tersenyum.
“Penilaian itu terlahir dari kebiasaan. Kepercayaan juga mestinya begitu.”
“Ya. Bukti, kan, maksdunya.”
“Entahlah. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.”
Kamu tertawa. Entah apa yang lucu. Tetapi aku sedang tak ingin tertawa.
“Kamu terlalu serius.”
“Kamu juga.”
“Masak. Kelihatannya begitu, ya?”
“Wajahmu itu ratusan kali terlihat lebih murung dari raut mukaku.”
“Oh, ya? Tahu dari mana kamu, kan yang bisa lihat wajahmu aku.”
“Yang bisa lihat wajahmu juga aku.”
“Jadi kita tidak bisa membandingkan dong kalau hanya melihat salah satu saja.”
“Firasat.”
“Ah, firasatmu selalu salah kok.”
Kamu tergelak lagi. Kali ini aku tahu kenapa kamu tertawa. Memang, aku sok tahu dan salah, tapi itu kadang-kadang saja. Pasti tawamu akan semakin keras jika kukatakan itu. Ya tak apa sih, melihatmu tertawa seperti itu adalah hadiah buatku. Hadiah yang ingin kuawetkan dan kusimpan di almari.
“Kenapa melihatku seperti itu?”
“Senang melihatmu tertawa.”
“Aku kan sedang menertawakan kamu, toh.”
“Tidak peduli. Yang penting kamu tertawa.”
“Tapi kok kamu cemberut.”
“Ya gak apa-apa, biar lengkap saja, ada yang tertawa ada yang cemberut.”
“Kalau aku yang cemberut, boleh?”
“Tidak boleh....”
Kali ini aku menjawab dengan tersipu. Kemudian ikut tertawa bersamamu.
Aku ingin malam terus seperti ini. Dengan mimpi-mimpi kecil atau mimpi selangit yang kerap membuat kita mengigau sendiri, atau apapun yang membuat kita berseberangan kemudian saling menertawakan. Entah lengkap atau tidak menurutmu. Tetapi kadang aku tak ingin ke mana-mana lagi dan mensyukuri banyak hal yang kita tak bisa mengelak pasti akan berlalu ini.
“Kamu akan selalu ke sini setiap malam minggu?”
“Kenapa?”
“Paling tidak aku punya alasan untuk menunggu hari itu.”
“Selamat malam.” Katamu.
Aku tersenyum. Dan doa-doa berdesak memenuhi dadaku.
Boja, September 2013
* KUNANG-KUNANG PASAR MALAM, petikan sajak Arif Fitra Kurniawan. dengan pengubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar