Selasa, 17 September 2013

Percakapan Pendek



“Ada yang mau kamu ceritakan?"
                                                                                   
“Tidak.”

“Sungguh?”

“Sungguh.”

“Ada yang mau kamu tanyakan?”

“Tidak.”

“Ya, sudah. Kamu boleh keluar. Kenapa masih di sini?? Ada yang bisa Ibu bantu?”

“Mungkin.”

“Katakan apa yang ingin kamu katakan.”

“Sulit.”

“Kamu ada apa?”

“Tidak apa-apa.”

“Kenapa murung? Tidak tahu? Lalu Ibu bisa bantu apa kalau begini?”

“Tidak tahu.”

“Ya, sudah, duduk kalau mau duduk, keluar jika sudah bosan.”

“Ibu mau ke mana?”

“Saya ada kerjaan.”

“Bisa Ibu duduk sebentar?”

“Tidak jika kamu membuat saya bingung.”

“Saya mau curhat.”

“Ya. Ibu dengarkan.”

“Hmm, tapi Ibu jangan bilang-bilang.”

“Iya, Saya tidak bilang-bilang.”

“Ibu janji?”

“Kalau kamu tidak percaya tidak usah dikatakan.”

“Ya. Saya percaya.”

“Ya, sudah, saya akan mendengarkan.”

“Saya jatuh cinta.”

“....”

“Saya jatuh cinta.”

“Oh, sama siapa?”

“Seseorang.”

“Siapa?”

“Hmm, Ibu janji ya, hmm, saya takut.”

“Kenapa?”

“Saya takut Ibu marah.”

“Tidak.”

“Janji?”

“Ya.”

“Hmm, saya benar-benar takut.”

“Ya, sudah, Ibu pergi.”

“Saya takut Ibu bilang ke teman-teman. Saya takut Ibu bilang ke orangnya.”

“TIDAK.”

“Dia bilang dia sudah tidak cinta lagi pada saya.”

“Lagi?”

“Ya, kami sempat pacaran.”

“Pacaran?”

“Dua minggu.”

“Sebentar sekali.”

“Ya. Dia plin-plan. Dia yang nembak saya.”

“Oh.”

“Lalu saya terima karena memang suka.”

“Tidak ada pertimbangan lain?”

“Saya tidak mau mikir-mkir lagi, pokoknya suka.”

“Oh. Terus?”

“Ya kami pacaran.”

“Sering ketemu?”

“Ya. Tapi di kelas.”

“Di kelas?”

“Dia teman sekelas.”

“Siapa?”

“Boleh cerita dulu?”

“Silakan.”

“Kami tidak pernah ketemu di luar sekolah.”

“Oh.”

“Cuma SMS-an.”

“Oh.”

“Telepon, jarang.”

“Oh.”

“Dan tiba-tiba, dia menghilang.”

“Kenapa katanya?”

“Kan tadi udah bilang.... Gimana sih Ibu....”

“Dia langsung bilang gitu?”

“Ya enggak, dia bilang minta break.”

“Mungkin dia capek.”

“Hmm, saya kan gak bikin dia capek.”

“Hmm, kan baru mungkin.”

“Ya. Dia bilang btuh waktu untuk tenang.”

“Kamu bikin dia gak tenang mungkin.”

“Ibu?”

“Baru mungkin....”

........................

“Sekarang saya galau berat.”

“Kenapa?”

“Kok kenapa, Bu?”

“Ya siapa tahu ada kemungkinan lain.”

“Di kelas saya gak bebas. Di rumah saya gak bebas. Makan gak bebas. Minum gak bebas. Ah, pokoknya hidup ini jadi tak enak. Bu, Bu... Kenapa Ibu  melamun??”



Boja, September 2013

Selasa, 10 September 2013

Surat Kepada, Teman Saya


Tujuh belas bulan tepat kamu tidak ada di samping saya. Kamu pergi di hari yang tidak saya duga, dua bulan persis sebelum hari ulang tahunmu yang ke dua puluh tiga. Dan pertanda-pertanda itu, entah mengapa begitu saja kami abaikan.

Beberapa hari sebelum hari di mana kamu pergi, salah satu teman kita memimpikanmu datang ke rumahnya. Dalam mimpinya itu kamu terlihat sangat gembira, membawa seorang lelaki yang katanya adalah suamimu, kamu bilang kamu sudah menikah. Kamu percaya mimpi? Teman-temanmu antara percaya dan tidak percaya, tetapi kami berusaha mengabaikannya sebagai pertanda, kami menganggapnya sebagai bunga tidur, dengan alasan untuk menghibur diri kami sendiri. Meski entah ada hubungan atau tidak antara kepergianmu dan mimpi itu.

Kamu pergi jam tiga sore, kata ibumu. Waktu itu seorang teman memberitahu saya beberapa menit setelahnya, membuat saya benar-benar seperti sedang di hadapkan pada sesuatu yang tidak saya duga dengan tiba-tiba. Sebelum itu saya menulis sebuah sajak, yang, entah kenapa sesuai betul dengan apa yang terjadi padamu. Saya menulis sajak itu jam sepuluh pagi, ketika saya melihat keluar jendela, melihat ranting bergerak pelan, kemudian tanpa alasan apa-apa, saya harus menulis, menulis sajak. Berikut sajak itu:

PERIHAL KEPERGIAN

perhatikan patahan itu
batang tak mengeluarkan suara tangisan
ketika tiba tiba tunas yang baru ditimangnya direnggut angin, tangan orang
setabah itukah kau sebagai ibu?
perhatikan guguran itu
selembar daun tak mengeluarkan suara rintihan
ketika tiba tiba ada yang melepaskannya dari batang itu –tangan tuhan
percayakah kau tentang itu?
mungkin kita sedang dikelabui angin
pembawa kabar yang tak selalu benar

Boja, 10 Maret 2012 10.00

Dan ibumu bercerita, jam sepuluh pagi itu, kamu mulai koma.

Saya sedih, tentu saja. Saya bahkan tidak tahu bagaimana harus menyampaikan seperti apa perasaan saya saat itu. Saya seperti seperti sedang meonton sebuah film berkabung, di mana semua orang yang ada di situ menangis sesenggukan, bermuka murung, saling mengucapkan doa, saling mengucapkan semoga. Saya sendiri hanya memandang banyak sudut dengan tidak fokus. Berulang saya berpikir mengapa mereka menangis dan saya tidak bisa menangis sama sekali? Baru beberapa jam kemudian ketika orang-orang pulang, entah datang dari mana air mata saya itu, tiba-tiba saja memenuhi dada serta pelupuk mata saya. Dada saya sesak. Mulut saya tidak bisa bicara. Saya pun jadi tidak tahu harus melakukan apa.

Saya kangen kamu. Barangkali itu sebabnya dibanding teman lain, saya yang paling sering bermimpi tentang kamu. Mimpi dengan banyak kejadian, seolah kamu masih berada di dunia yang sama dengan saya. Saya pernah bermimpi duduk di bagian belakang sepeda motor dan kamu di depan saya, kamu berbicara kepada saya bahwa katanya saya tidak perlu takut kepadamu. Kamu bilang, kamu sudah tidak ada tetapi juga masih ada. Saat itu saya ingat betul bahwa saya melihat dengan teliti tangan kananmu yang sedang menggenggam kemudi, tanganmu masih sama dengan yang dulu, agak gemuk, agak pendek, bulat, bedanya tangamu yang saya lihat saat itu lebih kuning.

Pernah suatu kali, satu tahun setelah kepergianmu saya mengingatmu begitu saja, mengingatmu beberapa menit seperti hanya ada kamu di  kepala saya. Saat itu malam hari, di sebuah kamar, saya terus berpikir, ada apa ini, jangan-jangan kamu sedang rindu saya. Hari berikutnya saya baru menyadari bahwa sehari sebelumnya adalah tanggal ulang tahunmu. Ulang tahunmu yang ke duapuluh empat. Saya deg-degan tiba-tiba. Jangan-jangan kamu hendak menyampaikan kepada saya bahwa hari itu adalah hari istimewamu tetapi saya melupakannya?

Sekali lagi tentang mimpi-mimpi saya tentangmu. Saya takut ada hal lain selain bahwa saya kangen. Perasaan bersalah saya kepadamu, atau masih ada hal di hati kamu yang mengganjal tentang saya. Di hati saya, iya, saya merasa masih hutang kepadamu.

Pernah suatu hari, saat itu awal kamu sakit-sakitan, pada minggu pagi ibumu menelpon saya, suaranya sangat panik, katanya beberapa kali kamu tidak sadarkan diri, ia hendak membawamu ke rumah sakit tetapi kamu tidak mau jika tidak di antar oleh saya. Saya merasa tidak layak kamu beri tempat istimewa itu. Dan ketika saya sampai di rumahmu, kamu berkata ingin bicara sesuatu kepada saya, sesuatu yang rahasia, katamu. Saat itu betapa berdebarnya hati saya, saya takut sendiri, jangan-jangan kamu hendak menyampaikan kemarahanmu kepada saya beberapa tahun sebelumnya. Tetapi ternyata tidak, ternyata kamu menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu yang berulang membuat kamu murung itu, kamu meminta saya memanggilnya dan datang ke rumahmu saat itu. Saya menuruti. Setelah itu baru kamu kami antar ke rumah sakit dengan beberapa kali tidak sadarkan di dalam mobil.

Kamu sedang apa di sana? Di sini sedang musim, hmm, musim tidak jelas. Yang pasti saya sedang sakit gigi, sakit perut, dan entah  kenapa penyakit sedang senang-senang sekali dekat dengan saya. Ah, ya, lebaran juga baru berlalu sekita tiga mingguan, saya belum sempat ke rumahmu. Kata teman-teman, ibumu terus menanyakan saya. Kamu baik-bak ya di sana. Saya berharap kesakitan tidak lagi mendekatimu.


Boja, Agustus 2013

Jumat, 06 September 2013

FRAGMEN


“Kamu bermimpi terlalu tinggi.”

“Seperti terpelanting dan cuma mampu melambaikan kepak sendiri dari bawah* ketika melihat komidi putar? Kan kita bisa membeli karcis kemudian menaikinya.”

“Kalau tidak punya uang?”

“Kan bisa usaha untuk mendapatkan uang. Ketika pertama bertemu denganku, pernah membayangkan akan duduk di sampingku sebagai kekasihku?”

Kamu diam saja.

“Nah, kamu kalah karena tidak menjawab meski aku tahu jawabanmu. Impossible itu, tidak ada. Ya, kan?”

Kita kembali melamun dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kamu itu pemimpi yang dahsyat, aku tahu. Artinya, kamu tidak akan membiarkan mimpimu musnah hanya di kepala dan tubuh tua kelak akan menyesalinya. Hanya untuk satu ini, entah kenapa, kamu menganggap aku terlalu tinggi menerbangkan mimpi. Kamu ingat Ikarus?”

“Ya.”

“Dia bermimpi punya sayap, pergi ke matahari, dan terwujud.”

“Tapi akhirnya terbakar dan jatuh. Artinya mimpi juga harus masuk akal.”

“Ya, sih. Tapi apa mimpiku kurang masuk akal?”

“Aku tidak sedang berbicara tentang mimpimu.”

“Menurutmu mimpiku masuk akal, gak?”

“Lumayan.”

“Masuk akal, gak?”

“Hmm, ya. Masuk akal.”

“Kamu berat menjawabnya.”

Sebenarnya aku ingin kamu menjawabnya dengan akan membantuku mewujudkan impian itu. Genggamlah tanganku dan kuatkan aku. Ya. Tapi aku tak mungkin mengatakannya. Kalaupun iya, barangkali akan kukatakan kalau kamu sudah tidur atau berjarak ratusan meter dariku.

“Kamu sendiri punya mimpi apa?”

“Semua mimpiku kamu sudah tahu.”

“Hmm, iya.” Jawabku agak lama. “Barangkali ada yang lain?”

“Bisa jadi. Tapi aku sedang tak mengingatnya.”

“Kapan penyakit lupamu akan sembuh?”

“Aku berharap tidak akan sembuh.”

“Kenapa?”

“Supaya kamu selalu cemas dan mengingatkanku.”

Sekalipun udara begini dingin, aku tak punya keinginan beranjak dari tempat ini. Biar saja kita terus di sini dan begini.Tak jarang aku ingin waktu berhenti di saat seperti ini.

“Kalaupun penyakit lupamu sudah sembuh, aku akan tetap melakukan hal yang sama.”

Kamu melihatku sekilas kali ini.

“Apa yang tidak mungkin, kan.” Katamu.

“Kamu pesimis padaku?”

“Aku hanya mengulang ucapanmu.”

“Itu keinginanku. Mestinya kamu mempercayaiku dan menguatkannya.”

“Percaya itu perlu bukti.”

“Tapi menurutmu pembuktian itu cuma bisa dilakukan nanti, kan? Jadi kamu tidak akan percaya padaku selama itu. Aku mempercayaimu bahkan sejak pertama bertemu.”

“Karena kamu suka baca novel picisan.”

“Tidak. Karena aku yakin dengan hatiku. Dengan pilihanku. Dan siap.”

Kamu menunduk kali ini. Dan tersenyum.

“Aku lebih rumit dari pada rumus kimia, Nin.”

“Aku lebih tabah dari air. Jangan berpikir aku sedang mengigau dan memaksakan diri, atau jangan tiba-tiba bilang kamu tak bisa percaya sebelum terbukti.”

“Kamu selalu pesimis.” Katamu sambil tersenyum.

“Penilaian itu terlahir dari kebiasaan. Kepercayaan juga mestinya begitu.”

“Ya. Bukti, kan, maksdunya.”

“Entahlah. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.”

Kamu tertawa. Entah apa yang lucu. Tetapi aku sedang tak ingin tertawa.

“Kamu terlalu serius.”

“Kamu juga.”

“Masak. Kelihatannya begitu, ya?”

“Wajahmu itu ratusan kali terlihat lebih murung dari raut mukaku.”

“Oh, ya? Tahu dari mana kamu, kan yang bisa lihat wajahmu aku.”

“Yang bisa lihat wajahmu juga aku.”

“Jadi kita tidak bisa membandingkan dong kalau hanya melihat salah satu saja.”

“Firasat.”

“Ah, firasatmu selalu salah kok.”

Kamu tergelak lagi. Kali ini aku tahu kenapa kamu tertawa. Memang, aku sok tahu dan salah, tapi itu kadang-kadang saja. Pasti tawamu akan semakin keras jika kukatakan itu. Ya tak apa sih, melihatmu tertawa seperti itu adalah hadiah buatku. Hadiah yang ingin kuawetkan dan kusimpan di almari.

“Kenapa melihatku seperti itu?”

“Senang melihatmu tertawa.”

“Aku kan sedang menertawakan kamu, toh.”

“Tidak peduli. Yang penting kamu tertawa.”

“Tapi kok kamu cemberut.”

“Ya gak apa-apa, biar lengkap saja, ada yang tertawa ada yang cemberut.”

“Kalau aku yang cemberut, boleh?”

“Tidak boleh....”

Kali ini aku menjawab dengan tersipu. Kemudian ikut tertawa bersamamu.

Aku ingin malam terus seperti ini. Dengan mimpi-mimpi kecil atau mimpi selangit yang kerap membuat kita mengigau sendiri, atau apapun yang membuat kita berseberangan kemudian saling menertawakan. Entah lengkap atau tidak menurutmu. Tetapi kadang aku tak ingin ke mana-mana lagi dan mensyukuri banyak hal yang kita tak bisa mengelak pasti akan berlalu ini.

“Kamu akan selalu ke sini setiap malam minggu?”

“Kenapa?”

“Paling tidak aku punya alasan untuk menunggu hari itu.”

“Selamat malam.” Katamu.

Aku tersenyum. Dan doa-doa berdesak memenuhi dadaku.



Boja, September 2013


* KUNANG-KUNANG PASAR MALAM, petikan sajak Arif Fitra Kurniawan. dengan pengubahan.