Sabtu, 03 Agustus 2013

Dari Seekor Kucing


            “Untuk kali pertama dalam hidup aku ingin mati.”
            “Apa?”
“Aku ingin mati.”
Aku sengaja tidak bertanya kenapa. Karena ini pasti masalah yang pelik. Sehingga pemikirannya pendek begitu.
“Apa yang bisa kulakukan agar kamu bisa mengalihkan keinginanmu?”
“Tidak ada.”
“Sungguh?”
Dia menarik napas. Matanya redup dan memperlihatkan keragu-raguan. Kepalanya tegak namun lemas. Tangan kanannya menggenggam rokok, namun apinya sudah mati.
“Kamu boleh cerita kalau mau.”
Dia tidak berkutik. Memang sesekali dia menunduk, menengadahkan kepala, mengambil air dan minum, menyerahkan punggung pada tembok.
“Hati-hati catnya masih basah.”
Kepalanya berusaha menoleh ke punggung. Tangannya yang tak menggenggam rokok menyentuh tembok. Lalu mengusapkan ibu jari dengan jari yang lainnya.
“Aku tidak takut apa-apa lagi.” Katanya. “Apalagi hanya cat yang basah.” Lanjutnya.
“Tidak takut ketinggian juga?” Tanyaku. Aku tahu betul dia phobia pada ketinggian.
Dia menarik salah satu ujung bibirnya. Tersenyum sinis dan mengeluarkan suara kecil.
“Masih takut, kan?”
“Tidak. Justru aku ingin memeluk ketinggian di akhir hidupku.”
Apa? Aku ingin melonjak rasanya. Ingin membenarkan letak telingaku berulang kali. Siapa tahu aku sedang salah dengar. Tetapi aku tidak melakukan apa-apa.
“Kuharap kamu sedang bercanda.” Kataku akhirnya. Sekalipun pada saat seperti ini, aku tahu betul dia tidak pernah tidak bicara tidak serius. Dia perempuan matang yang periang. Setiap hari seperti kutu loncat. Dari tempat satu ke tempat lain cepat sekali. Menemuiku di tempat kerja untuk ngerumpi sesama perempuan, pergi melatih senam, belanja baju maupun sayuran, ke toko buku, dan bertemu anak-anak di sanggar untuk mendongeng.
“Kamu capek, ya?” Tanyaku lagi.
“Apa kelihatannya begitu?”
“Sepertinya.”
“Aku letih.” Jawabnya. Pasrah. Pelan dan datar. Nyaris tak terdengar.
“Bukannya kamu sendiri yang bilang bahwa keseharianmu menakjubkan?” Kataku menghiburnya. Meski tidak seperti kalimat hiburan.
Dia tersenyum sinis lagi. Heran, apa ada yang perlu ditertawakan dari kalimatku?
“Dulu, dan kelihatannya.”
“Oh, ya?”
Aku sedikit bernapas lega. Setidaknya dia sudah mau membuka suara. Dan, barangkali keinginannya yang mengagetkan itu bisa dibelokkan.
“Hmm, sekarang sudah tidak menakjubkan lagi? Kelihatannya?” Lanjutku, menggodanya, lebih tepat, mengejeknya.
“Banyak yang berubah.” Katanya.
“Ya, berarti kita juga harus berubah.”
“Berubah jadi yang bagaimana? Mengejar perubahan? menyesuaikan perubahan? Kalau fisik dan psikis kita tidak mau?” Tanyanya panjang. Hmm, berarti hatinya sudah sedikit terbuka.
“Ya dikondisikan supaya bisa menyesuaikan.” Kataku.
“Tidak mau berbeda dengan tidak bisa.”
“Karena itu....”
Tidak mau berarti masih bisa jika psikis berusaha dikondisikan, kan? Meski ya, aku tahu itu tidak mudah.
“Aku tahu.” Akhirnya aku menyerah. Mengiyakan kata-katanya. “Tetapi, apa yang tidak mungkin?” Kataku lagi.
“Kamu tahu, kemarin kucingku mati.”
“Oh, ya? Kenapa?” Jawabku, pura-pura peduli. Bukankah tadi kami sedang membicarakan dirinya? Kenapa tiba-tiba ia membicarakan kucing? “Ditabrak kereta seperti sebelum-sebelumnya, ya? Atau mati tertabrak motor? Atau keracunan?” Lanjutku. Karena aku punya banyak referensi tentang beberapa kucingnya yang sudah mati, maka aku tidak bisa menahan untuk tidak bertanya banyak. Atau mungkin dia depresi karena kucingnya mati? Cerita konyol macam apa jika memang iya.
“Dia patah hati.”
“Siapa?”
“Kucingku.”
“Oh.” Aku melongo. Aku tidak salah dengar lagi, kan?
“Aku tahu beberapa minggu terakhir, si David (dia menamakan kucingnya David) sedang jatuh cinta. Aku juga tahu dia jatuh cinta pada kucing yang mana. Beberapa kali aku memergokinya sedang berada di  beranda seorang tetanggaku di ujung komplek, setiap kali aku tidak menemukannya di rumah. Jadi aku tahu beberapa hari kemudian bahwa tetanggaku itu baru saja membeli kucing, bukan anggora, tetapi kucing baru tetanggaku itu bulunya memang nampak sangat halus dan mengembang, warnanya putih, matanya bulat terang. Aku saja terkesima. Apalagi David.”
“Oh.” Ucapku. Aku belum bisa komentar apa-apa. Lalu?
“Lalu aku membiarkan David keluar rumah dan pergi ke sana sesuka hatinya.”
“Terus?”
“Ya David melakukannya.”
“Cintanya diterima?” Lanjutku. Aku merasa bodoh dengan pertanyaanku sendiri.
“Hmm, aku tidak tahu. Tetapi, kurang lebih dua minggu terakhir, David jarang keluar rumah. Mungkin cintanya bertepuk sebelah tangan.”
“Oh, kasihan sekali.”
“Ya.”
Wajahnya tidak bersemangat. Tetapi setidaknya aku melihat matanya sedikit betenaga.
“Lalu?”
“Lalu dia tidak menyentuh sama sekali makanannya, juga susu yang kubuatkan untuknya.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Dia hanya meringkuk seharian, di sofa atau dimanapun. Dan pagi lusa, aku menemukannya mati di dalam almariku. Bulu cokelatnya dikerubuti semut.”
“Apa?”
Sekalipun dia sudah memberitahukan sebelumnya bahwa kucingnya mati, tetapi mendengar cara mati yang tidak seperti biasanya, apalagi sampai dikerubuti makhluk lain, dadaku berdesir dengan sendirinya.
“Ya, begitu.”
“Jadi dia mati karena tidak bisa bernapas di dalam almari?” Tanyaku. Sekalipun alam bawah sadarku meyakini betul, bukan kematian yang mengikuti sebab, melainkan sebaliknya.
“Tidak. Karena patah hati.”
Oh iya, pasti dia akan menjelaskan bahwa karena patah hati maka tidak doyan makan dan minum, sehingga kucingnya jadi kurus, matanya redup, tidak bertenanga, akhirnya mati. Tentang almari, kebetulan saja David sedang tiduran di sana. Ya, pasti begitu.
“Hmm, lalu, kamu sedih?”
“Ya, tetapi bukan hanya persoalan dia mati.”
“Oh, ya?”
“Aku meratapi cara kematian kucingku yang tidak seperti biasanya. Dia mati karena jiwanya tersiksa terlebih dahulu. Aku ingat diriku.”
Dirinya? Aku ingat kesehariannya yang seperti kutu loncat.
“Jiwamu kenapa?” Tanyaku, sedikit berani, atau mungkin lancang. Sebelum ini dia berkata banyak yang berubah. Mungkin dia belum terbiasa. Sebab aku lihat, hidupnya selama ini baik-baik saja. Ya. Tentu hanya kelihatannya. Lagi pula, siapa yang mempunyai kehidupan sempurna?
Apanya yang berubah? Aku berpikir sebentar. Mungkin peserta senamnya berkurang padahal harga bensin naik, atau dia kehabisan bahan untuk mendongeng karena tidak punya uang untuk jalan-jalan dan beli buku, atau, ah, entah. Bagaimana aku bisa tahu dengan tepat apabila dia tidak menceritakannya padaku?
“Kamu tahu kenapa aku murung?”
“Tidak.”
“Karena aku bertambah kurus.”
“Oh.”
“Kamu tahu kenapa aku bertambah kurus?”
“Tidak.”
“Karena aku jarang makan. Mengurung diri di kamar. Seperti kucingku.”
“Kamu tidak akan masuk almari juga seperti kucingmu, kan? Haha.” Candaku. Atau candaanku salah? Dia semakin murung.
“Bisa jadi.”
Apa? Hei, perkataanku tadi hanya bercanda. Hanya bercanda!
“Mungkin, bunuh diri memang  jalan keluar.”
“Maksudnya?” Kepalaku berdenyut.
“Tentu. Kamu tahu, sejak si David mati, kucing putih milik tetanggaku itu kulihat sering datang ke pekaranganku dan matanya berkaca-kaca.”
Lalu, hubungannya denganmu? Pasti dia tahu bahwa aku sedang bingung.
“Kamu tahu Han?”
“Ya.” Dengan susah payah akhirnya aku mengingat Han, partner senamnya. Pernah dia bercerita tentang lelaki itu. Tetapi hanya sekali sekitar lima bulan yang lalu. “Ada apa?”
“Dia menyakitiku. Dia menjadi kekasihku tetapi memiliki hubungan dengan perempuan lain.”
Dia membuat jantungku hampir behenti berdetak. Aku ingatkan sekali lagi, dia temanku, periang, kesehariannya seperti kutu loncat. Sekilas orang melihat pasti kehidupannya sempurna, sekalipun sudah kukatakan, pasti ada saja yang orang lain tidak tahu bahwa ada hal yang membuat kehidupan seseorang menjadi tidak sempurna.
“Hmm, barangkali, kalau aku mati, dia akan merasa kehilangaku juga, seperti kucing putih itu.” Lanjutnya.
Aku menelan ludah. Menelan ludah meski tenggorokanku kering.
“Jadi itu alasanmu ingin mati?”
“Ya.”
“Hanya itu?”

***

Aku tahu belakangan bahwa yang dikatakan temanku itu serius. Dia sungguh-sungguh dengan kekonyolannya. Dia terjun dari gedung di mana aku dan dia waktu itu berbicara panjang lebar. Tetapi kenyataannya, dia tidak mati. Kematian memang bukan manusia yang menentukan.
Akhirnya, hari ini aku duduk di samping ranjangnya, di sebuah rumah sakit. Kakinya patah, tangannya juga. Mukanya bonyok. Tulang belakangnya mungkin remuk. Dia benar-benar terlihat seperti mumi.
“Masih punya keinginan untuk mati?”
“Jika ada kesempatan.” Katanya.



 gambar diambil di sini

BSB, Juli 2013

1 komentar:

  1. Menarik sekali. Saya pikir td cerita ttg kucing. Setelah dibaca, ternyata isinya cukup membuat hati & otak bergejolak. Btw klo gak keberatan, invite saya ya 5EACC3D4. Saya jg sdg belajar menulis & ada selipan cerita ttg kucingnya jg krn kebetulan sy seorg cat lovers. Sp tau kita bs share. Trims :)

    BalasHapus