“Untuk
kali pertama dalam hidup aku ingin mati.”
“Apa?”
“Aku ingin mati.”
Aku sengaja tidak bertanya
kenapa. Karena ini pasti masalah yang pelik. Sehingga pemikirannya pendek
begitu.
“Apa yang bisa
kulakukan agar kamu bisa mengalihkan keinginanmu?”
“Tidak ada.”
“Sungguh?”
Dia menarik napas.
Matanya redup dan memperlihatkan keragu-raguan. Kepalanya tegak namun lemas.
Tangan kanannya menggenggam rokok, namun apinya sudah mati.
“Kamu boleh cerita
kalau mau.”
Dia tidak berkutik.
Memang sesekali dia menunduk, menengadahkan kepala, mengambil air dan minum,
menyerahkan punggung pada tembok.
“Hati-hati catnya masih
basah.”
Kepalanya berusaha
menoleh ke punggung. Tangannya yang tak menggenggam rokok menyentuh tembok.
Lalu mengusapkan ibu jari dengan jari yang lainnya.
“Aku tidak takut
apa-apa lagi.” Katanya. “Apalagi hanya cat yang basah.” Lanjutnya.
“Tidak takut ketinggian
juga?” Tanyaku. Aku tahu betul dia phobia pada ketinggian.
Dia menarik salah satu
ujung bibirnya. Tersenyum sinis dan mengeluarkan suara kecil.
“Masih takut, kan?”
“Tidak. Justru aku
ingin memeluk ketinggian di akhir hidupku.”
Apa? Aku ingin melonjak
rasanya. Ingin membenarkan letak telingaku berulang kali. Siapa tahu aku sedang
salah dengar. Tetapi aku tidak melakukan apa-apa.
“Kuharap kamu sedang
bercanda.” Kataku akhirnya. Sekalipun pada saat seperti ini, aku tahu betul dia
tidak pernah tidak bicara tidak serius. Dia perempuan matang yang periang.
Setiap hari seperti kutu loncat. Dari tempat satu ke tempat lain cepat sekali.
Menemuiku di tempat kerja untuk ngerumpi sesama perempuan, pergi melatih senam,
belanja baju maupun sayuran, ke toko buku, dan bertemu anak-anak di sanggar
untuk mendongeng.
“Kamu capek, ya?”
Tanyaku lagi.
“Apa kelihatannya
begitu?”
“Sepertinya.”
“Aku letih.” Jawabnya.
Pasrah. Pelan dan datar. Nyaris tak terdengar.
“Bukannya kamu sendiri
yang bilang bahwa keseharianmu menakjubkan?” Kataku menghiburnya. Meski tidak
seperti kalimat hiburan.
Dia tersenyum sinis
lagi. Heran, apa ada yang perlu ditertawakan dari kalimatku?
“Dulu, dan
kelihatannya.”
“Oh, ya?”
Aku sedikit bernapas
lega. Setidaknya dia sudah mau membuka suara. Dan, barangkali keinginannya yang
mengagetkan itu bisa dibelokkan.
“Hmm, sekarang sudah
tidak menakjubkan lagi? Kelihatannya?” Lanjutku, menggodanya, lebih tepat,
mengejeknya.
“Banyak yang berubah.”
Katanya.
“Ya, berarti kita juga
harus berubah.”
“Berubah jadi yang
bagaimana? Mengejar perubahan? menyesuaikan perubahan? Kalau fisik dan psikis
kita tidak mau?” Tanyanya panjang. Hmm, berarti hatinya sudah sedikit terbuka.
“Ya dikondisikan supaya
bisa menyesuaikan.” Kataku.
“Tidak mau berbeda
dengan tidak bisa.”
“Karena itu....”
Tidak mau berarti masih
bisa jika psikis berusaha dikondisikan, kan? Meski ya, aku tahu itu tidak mudah.
“Aku tahu.” Akhirnya
aku menyerah. Mengiyakan kata-katanya. “Tetapi, apa yang tidak mungkin?” Kataku
lagi.
“Kamu tahu, kemarin
kucingku mati.”
“Oh, ya? Kenapa?”
Jawabku, pura-pura peduli. Bukankah tadi kami sedang membicarakan dirinya?
Kenapa tiba-tiba ia membicarakan kucing? “Ditabrak kereta seperti sebelum-sebelumnya,
ya? Atau mati tertabrak motor? Atau keracunan?” Lanjutku. Karena aku punya
banyak referensi tentang beberapa kucingnya yang sudah mati, maka aku tidak
bisa menahan untuk tidak bertanya banyak. Atau mungkin dia depresi karena
kucingnya mati? Cerita konyol macam apa jika memang iya.
“Dia patah hati.”
“Siapa?”
“Kucingku.”
“Oh.” Aku melongo. Aku
tidak salah dengar lagi, kan?
“Aku tahu beberapa
minggu terakhir, si David (dia menamakan kucingnya David) sedang jatuh cinta.
Aku juga tahu dia jatuh cinta pada kucing yang mana. Beberapa kali aku
memergokinya sedang berada di beranda
seorang tetanggaku di ujung komplek, setiap kali aku tidak menemukannya di
rumah. Jadi aku tahu beberapa hari kemudian bahwa tetanggaku itu baru saja membeli
kucing, bukan anggora, tetapi kucing baru tetanggaku itu bulunya memang nampak
sangat halus dan mengembang, warnanya putih, matanya bulat terang. Aku saja
terkesima. Apalagi David.”
“Oh.” Ucapku. Aku belum
bisa komentar apa-apa. Lalu?
“Lalu aku membiarkan
David keluar rumah dan pergi ke sana sesuka hatinya.”
“Terus?”
“Ya David melakukannya.”
“Cintanya diterima?”
Lanjutku. Aku merasa bodoh dengan pertanyaanku sendiri.
“Hmm, aku tidak tahu.
Tetapi, kurang lebih dua minggu terakhir, David jarang keluar rumah. Mungkin
cintanya bertepuk sebelah tangan.”
“Oh, kasihan sekali.”
“Ya.”
Wajahnya tidak
bersemangat. Tetapi setidaknya aku melihat matanya sedikit betenaga.
“Lalu?”
“Lalu dia tidak
menyentuh sama sekali makanannya, juga susu yang kubuatkan untuknya.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Dia hanya meringkuk
seharian, di sofa atau dimanapun. Dan pagi lusa, aku menemukannya mati di dalam
almariku. Bulu cokelatnya dikerubuti semut.”
“Apa?”
Sekalipun dia sudah
memberitahukan sebelumnya bahwa kucingnya mati, tetapi mendengar cara mati yang
tidak seperti biasanya, apalagi sampai dikerubuti makhluk lain, dadaku berdesir
dengan sendirinya.
“Ya, begitu.”
“Jadi dia mati karena
tidak bisa bernapas di dalam almari?” Tanyaku. Sekalipun alam bawah sadarku
meyakini betul, bukan kematian yang mengikuti sebab, melainkan sebaliknya.
“Tidak. Karena patah
hati.”
Oh iya, pasti dia akan
menjelaskan bahwa karena patah hati maka tidak doyan makan dan minum, sehingga
kucingnya jadi kurus, matanya redup, tidak bertenanga, akhirnya mati. Tentang
almari, kebetulan saja David sedang tiduran di sana. Ya, pasti begitu.
“Hmm, lalu, kamu
sedih?”
“Ya, tetapi bukan hanya
persoalan dia mati.”
“Oh, ya?”
“Aku meratapi cara
kematian kucingku yang tidak seperti biasanya. Dia mati karena jiwanya tersiksa
terlebih dahulu. Aku ingat diriku.”
Dirinya? Aku ingat
kesehariannya yang seperti kutu loncat.
“Jiwamu kenapa?”
Tanyaku, sedikit berani, atau mungkin lancang. Sebelum ini dia berkata banyak
yang berubah. Mungkin dia belum terbiasa. Sebab aku lihat, hidupnya selama ini
baik-baik saja. Ya. Tentu hanya kelihatannya. Lagi pula, siapa yang mempunyai
kehidupan sempurna?
Apanya yang berubah?
Aku berpikir sebentar. Mungkin peserta senamnya berkurang padahal harga bensin
naik, atau dia kehabisan bahan untuk mendongeng karena tidak punya uang untuk
jalan-jalan dan beli buku, atau, ah, entah. Bagaimana aku bisa tahu dengan
tepat apabila dia tidak menceritakannya padaku?
“Kamu tahu kenapa aku
murung?”
“Tidak.”
“Karena aku bertambah
kurus.”
“Oh.”
“Kamu tahu kenapa aku
bertambah kurus?”
“Tidak.”
“Karena aku jarang
makan. Mengurung diri di kamar. Seperti kucingku.”
“Kamu tidak akan masuk
almari juga seperti kucingmu, kan? Haha.” Candaku. Atau candaanku salah? Dia semakin
murung.
“Bisa jadi.”
Apa? Hei, perkataanku
tadi hanya bercanda. Hanya bercanda!
“Mungkin, bunuh diri
memang jalan keluar.”
“Maksudnya?” Kepalaku
berdenyut.
“Tentu. Kamu tahu,
sejak si David mati, kucing putih milik tetanggaku itu kulihat sering datang ke
pekaranganku dan matanya berkaca-kaca.”
Lalu, hubungannya
denganmu? Pasti dia tahu bahwa aku sedang bingung.
“Kamu tahu Han?”
“Ya.” Dengan susah
payah akhirnya aku mengingat Han, partner senamnya. Pernah dia bercerita
tentang lelaki itu. Tetapi hanya sekali sekitar lima bulan yang lalu. “Ada
apa?”
“Dia menyakitiku. Dia
menjadi kekasihku tetapi memiliki hubungan dengan perempuan lain.”
Dia membuat jantungku
hampir behenti berdetak. Aku ingatkan sekali lagi, dia temanku, periang, kesehariannya
seperti kutu loncat. Sekilas orang melihat pasti kehidupannya sempurna,
sekalipun sudah kukatakan, pasti ada saja yang orang lain tidak tahu bahwa ada
hal yang membuat kehidupan seseorang menjadi tidak sempurna.
“Hmm, barangkali, kalau
aku mati, dia akan merasa kehilangaku juga, seperti kucing putih itu.”
Lanjutnya.
Aku menelan ludah.
Menelan ludah meski tenggorokanku kering.
“Jadi itu alasanmu
ingin mati?”
“Ya.”
“Hanya itu?”
***
Aku tahu belakangan bahwa
yang dikatakan temanku itu serius. Dia sungguh-sungguh dengan kekonyolannya.
Dia terjun dari gedung di mana aku dan dia waktu itu berbicara panjang lebar.
Tetapi kenyataannya, dia tidak mati. Kematian memang bukan manusia yang
menentukan.
Akhirnya, hari ini aku
duduk di samping ranjangnya, di sebuah rumah sakit. Kakinya patah, tangannya
juga. Mukanya bonyok. Tulang belakangnya mungkin remuk. Dia benar-benar
terlihat seperti mumi.
“Masih punya keinginan
untuk mati?”
“Jika ada kesempatan.”
Katanya.
gambar diambil di sini
BSB, Juli 2013
Menarik sekali. Saya pikir td cerita ttg kucing. Setelah dibaca, ternyata isinya cukup membuat hati & otak bergejolak. Btw klo gak keberatan, invite saya ya 5EACC3D4. Saya jg sdg belajar menulis & ada selipan cerita ttg kucingnya jg krn kebetulan sy seorg cat lovers. Sp tau kita bs share. Trims :)
BalasHapus