Malam ini ayah saya
ketiduran atau entah sengaja tidur di kursi panjang di ruang tamu. Tubuhnya
telentang, dadanya naik turun tenang. Beliau tidak pernah tahu bahwa putri
bungsunya yang bandel ini sering memperhatikannya ketika sedang tidur. Malam-malam
mengintip di pintu kamar hanya untuk mengetahui bahwa ayahnya dalam keadaan
baik-baik saja. Saya sering tersenyum-senyum sendiri melihat wajah ayah saya
yang terpejam matanya dan tak jarang mendengkur lembut. Saya membayangkan masa
muda pernah tinggal di sana sehingga membuat ibu saya bersedia menikah
dengannya, ayah saya yang muda yang mempunyai kumis tebal. Saya seringkali
membiarkan tubuh saya kaku sejenak di pintu, membiarkan diri saya melamun
beberapa detik, melamun memikirkan dengan apa saya dapat membahagiakan lelaki
yang bekerja keras untuk saya itu. Ya, kerja keras membuat kulitnya tak semulus
para tetangga lainnya, kalau mati lampu tidak kelihatan, candanya seringkali,
apabila keponakan saya datang ke rumah dan minta digendong. Ya, ayah saya
dan keponakan saya jika dijajarkan seperti
televisi hitam putih yang kini telah hilang itu. Tetapi saya tidak pernah
mempermasalahkan seperti tivi hitam putih atau apapun. Saya hanya tahu setiap
hari saya ingin berdoa untuknya, ingin membahagiakannya dengan cara saya,
sekalipun, cara saya tak jarang membuat oranglain memaknai lain. Kalau sudah
begitu saya semakin menjadi orang yang egois, Tuhan tahu apa yang ada di hati
saya, saya tida pernah berencana sedikitpun menyakiti hati ibu maupun ayah saya.
Aih, kok jadi lembek begini rasanya.
Saya ingin mengutip salah satu sajak Sapardi sebagai
ucapan selamat tidur untuk lelaki yang pernah tabah menunggui ibu melahirkan
saya itu;
Aku mencintaimu/ Itu sebabnya aku takkan pernah
selesai mendoakan/ keselamatanmu//
(Dalam Doaku)
(Dalam Doaku)
Selamat tidur, ayah, dan ibu....
Boja, 20 agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar