Rabu, 21 Agustus 2013

Langit, Boma di mana?


“Bomantara.”

“Langit.”

Kami diam saja. Mungkin sama-sama berpikir, mengapa nama kami bisa sama. Apa bedanya Bomantara dan Langit? Ah, tetap ada bedanya. Langit mudah dimengerti oleh orang lain, sementara Bomantara, tidak.

Saya bertemu dengannya di sebuah petang. Di sebuah taman ketika beberapa anak membunyikan petasan dan kembang api. Dor. Dor. Suasana yang kurang nyaman.

Saya dan dia memutuskan duduk di bangku kayu panjang di bawah pohon beringin, dengan masih belum berkata-kata. Masing-masing kami memandang lurus ke depan, melihat langit yang sudah gelap. Langit jadi seperti sedang diperciki cat air.

“Kamu tidak dingin?” Tanya saya sambil saling menggesekkan kedua telapak tangan supaya hangat.

“Tidak.” Jawabnya tanpa menoleh pada saya. Mungkin dia kurang nyaman.

“Tapi udara begini dingin.” Kata saya lagi. Kali ini sembari memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku mantel yang tebal.

“Ya.” Jawabnya lagi, masih tanpa menoleh.

”Saya ada syal, kalau mau, pakai saja.” Ucap saya girang.

“Tidak, terimakasih.” Jawabnya lagi.

Entah kenapa saya merasa suaranya lebih dingin dari udara yang memenuhi telinga saya.

“Tak apa jika mau dipakai.” Desak saya.

Lelaki itu menggeleng.

*

“Bomantara,”

“Hmm,”

“Kamu suka langit dalam keadaan seperti apa?”

“Seperti ini.”

“Seperti ini?” Ucap saya sembari melihat langit dan menunjukknya.

“Hmm.”

Barangkali dia tidak punya jawaban lain selain itu. Saya menarik napas.

“Seperti ini bagaimana? Sekarang jawab ‘seperti ini’, kemarin jawab ‘seperti ini’, kemarin-kemarinnya juga. Padahal langitnya tidak sama.”

“Sama. Kita saja yang melihatnya berbeda.” Jawabnya.

Saya menelan ludah.

“Boleh saya merokok?”

“Silakan.”

Dia menyalakan sebatang kurus rokok yang sudah menyelip di bibirnya yang terlihat pucat. Tak lama ia mengembuskan asap tipis.

“Hei, kamu sakit ya? Bibirmu pucat.”

“Biasanya juga.”

“Tidak, biasanya merah.”

Boma tidak berbicara. Matanya menerawang ke atas.

“Kamu suka langit dalam keadaan seeperti apa?” Tanyanya tiba-tiba.

“Terang.”

“Terang?”

“Hmm.”

“Bagaimana kalau langit tidak terang tetapi saya mengajakmu keluar?”

“Ya tak apa.”

“Nanti kamu tidak suka..”

“Langitnya sama, kita yang menganggap berbeda, kan?”

Boma tertawa. Sejak kapan dia bisa tertawa? Hei, sejak kapan? Saya lihat giginya agak kuning, mungkin pengaruh rokok.

*

“Saya tidak suka langit dalam keadaan apapun.”

“Kenapa?”

“Karena langit selalu tak punya batas, tak bisa dijangkau, dan tidak tetap.”

Seseorang duduk di depan saya. Dia memandang saya khidmad. Matanya menyipit mencurigai saya.

“Tetapi kamu sendiri Langit, ke mana akan berlari kalau tidak suka?” Tanyanya.

“Karena itu saya di sini, karena tidak bisa berlari.”

Saya sering sakit-sakitan beberapa bulan terakhir ini. Keluar masuk rumah sakit. Berkali-kali disebut pasien.


Boma, kamu di mana? Saya melihat langit dan ingat kamu.
Ah, saya jadi ingin buta saja. Ingin buta saja agar tidak ingat kamu.


*

Saya dan Bomantara jelas tidak sama. Saya mudah dimengerti, sementara dia, tidak. Atau sebaliknya?




2013

bomantara= bahasa kawi artinya langit

Ayah Saya



Malam ini ayah saya ketiduran atau entah sengaja tidur di kursi panjang di ruang tamu. Tubuhnya telentang, dadanya naik turun tenang. Beliau tidak pernah tahu bahwa putri bungsunya yang bandel ini sering memperhatikannya ketika sedang tidur. Malam-malam mengintip di pintu kamar hanya untuk mengetahui bahwa ayahnya dalam keadaan baik-baik saja. Saya sering tersenyum-senyum sendiri melihat wajah ayah saya yang terpejam matanya dan tak jarang mendengkur lembut. Saya membayangkan masa muda pernah tinggal di sana sehingga membuat ibu saya bersedia menikah dengannya, ayah saya yang muda yang mempunyai kumis tebal. Saya seringkali membiarkan tubuh saya kaku sejenak di pintu, membiarkan diri saya melamun beberapa detik, melamun memikirkan dengan apa saya dapat membahagiakan lelaki yang bekerja keras untuk saya itu. Ya, kerja keras membuat kulitnya tak semulus para tetangga lainnya, kalau mati lampu tidak kelihatan, candanya seringkali, apabila keponakan saya datang ke rumah dan minta digendong. Ya, ayah saya dan  keponakan saya jika dijajarkan seperti televisi hitam putih yang kini telah hilang itu. Tetapi saya tidak pernah mempermasalahkan seperti tivi hitam putih atau apapun. Saya hanya tahu setiap hari saya ingin berdoa untuknya, ingin membahagiakannya dengan cara saya, sekalipun, cara saya tak jarang membuat oranglain memaknai lain. Kalau sudah begitu saya semakin menjadi orang yang egois, Tuhan tahu apa yang ada di hati saya, saya tida pernah berencana sedikitpun menyakiti hati ibu maupun ayah saya. Aih, kok jadi lembek begini rasanya.

Saya ingin mengutip salah satu sajak Sapardi sebagai ucapan selamat tidur untuk lelaki yang pernah tabah menunggui ibu melahirkan saya itu;

Aku mencintaimu/ Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan/ keselamatanmu//
(Dalam Doaku)


Selamat tidur, ayah, dan ibu....




Boja, 20 agustus 2013

Minggu, 18 Agustus 2013

dari murakami



Selama masih punya sikap untuk mau belajar dari berbagai hal, maka menjadi tua tentu tidak begitu terasa menyakitkan.



(Dengarlah Nyanyian Angin, Haruki Murakami)