“Bomantara.”
“Langit.”
Kami
diam saja. Mungkin sama-sama berpikir, mengapa nama kami bisa sama. Apa bedanya
Bomantara dan Langit? Ah, tetap ada bedanya. Langit mudah dimengerti oleh orang
lain, sementara Bomantara, tidak.
Saya
bertemu dengannya di sebuah petang. Di sebuah taman ketika beberapa anak
membunyikan petasan dan kembang api. Dor. Dor. Suasana yang kurang
nyaman.
Saya
dan dia memutuskan duduk di bangku kayu panjang di bawah pohon beringin, dengan
masih belum berkata-kata. Masing-masing kami memandang lurus ke depan, melihat
langit yang sudah gelap. Langit jadi seperti sedang diperciki cat air.
“Kamu
tidak dingin?” Tanya saya sambil saling menggesekkan kedua telapak tangan
supaya hangat.
“Tidak.”
Jawabnya tanpa menoleh pada saya. Mungkin dia kurang nyaman.
“Tapi
udara begini dingin.” Kata saya lagi. Kali ini sembari memasukkan kedua telapak
tangan ke dalam saku mantel yang tebal.
“Ya.”
Jawabnya lagi, masih tanpa menoleh.
”Saya
ada syal, kalau mau, pakai saja.” Ucap saya girang.
“Tidak,
terimakasih.” Jawabnya lagi.
Entah
kenapa saya merasa suaranya lebih dingin dari udara yang memenuhi telinga saya.
“Tak
apa jika mau dipakai.” Desak saya.
Lelaki
itu menggeleng.
*
“Bomantara,”
“Hmm,”
“Kamu
suka langit dalam keadaan seperti apa?”
“Seperti
ini.”
“Seperti
ini?” Ucap saya sembari melihat langit dan menunjukknya.
“Hmm.”
Barangkali
dia tidak punya jawaban lain selain itu. Saya menarik napas.
“Seperti
ini bagaimana? Sekarang jawab ‘seperti ini’, kemarin jawab ‘seperti ini’,
kemarin-kemarinnya juga. Padahal langitnya tidak sama.”
“Sama.
Kita saja yang melihatnya berbeda.” Jawabnya.
Saya
menelan ludah.
“Boleh
saya merokok?”
“Silakan.”
Dia
menyalakan sebatang kurus rokok yang sudah menyelip di bibirnya yang terlihat
pucat. Tak lama ia mengembuskan asap tipis.
“Hei,
kamu sakit ya? Bibirmu pucat.”
“Biasanya
juga.”
“Tidak,
biasanya merah.”
Boma
tidak berbicara. Matanya menerawang ke atas.
“Kamu
suka langit dalam keadaan seeperti apa?” Tanyanya tiba-tiba.
“Terang.”
“Terang?”
“Hmm.”
“Bagaimana
kalau langit tidak terang tetapi saya mengajakmu keluar?”
“Ya
tak apa.”
“Nanti
kamu tidak suka..”
“Langitnya
sama, kita yang menganggap berbeda, kan?”
Boma
tertawa. Sejak kapan dia bisa tertawa? Hei, sejak kapan? Saya lihat giginya
agak kuning, mungkin pengaruh rokok.
*
“Saya
tidak suka langit dalam keadaan apapun.”
“Kenapa?”
“Karena
langit selalu tak punya batas, tak bisa dijangkau, dan tidak tetap.”
Seseorang
duduk di depan saya. Dia memandang saya khidmad. Matanya menyipit mencurigai
saya.
“Tetapi
kamu sendiri Langit, ke mana akan berlari kalau tidak suka?” Tanyanya.
“Karena
itu saya di sini, karena tidak bisa berlari.”
Saya
sering sakit-sakitan beberapa bulan terakhir ini. Keluar masuk rumah sakit.
Berkali-kali disebut pasien.
Boma, kamu di mana?
Saya melihat langit dan ingat kamu.
Ah, saya jadi ingin
buta saja. Ingin buta saja agar tidak ingat kamu.
*
Saya
dan Bomantara jelas tidak sama. Saya mudah dimengerti, sementara dia, tidak.
Atau sebaliknya?
2013
bomantara=
bahasa kawi artinya langit