Kamis, 25 Juli 2013

medini


medini menjadi rumah bagimu yang lelah













*medini=pegunungan ungaran.  masyarakat boja dan sekitar menyebutnya gunung medini

menunggu; semangat yang ambigu












*judul esai bapak Tubagus P. Svarajati dalam pameran tunggal "Menunggu" by Tommas Titus

KE RUMAHMU

melewati jalan menikung, gang kecil
aku menjadi anak kecil
kamu menjadi orang asing
kamu mempersilakan masuk
aku duduk di teras
kamu mempersilakan minum
aku duduk di teras
kamu diam saja
aku banyak bicara
dan suara seperti angin yang binasa


 gambar diambil disini


Boja, Oktober 2012

Rabu, 24 Juli 2013

TAMU


seekor merpati hinggap di jendela
aku memberinya makan
ia berulang datang

seekor merpati tak hinggap di jendela
aku mencarinya di depan pintu
ia sedang termenung sambil merokok

di depan pintu atau jendela merpati itu tak hinggap
kucari ia di halaman
ia menyampaikan isyarat
; terlambat datang

seekor merpati tak hinggap di manapun
aku mencarinya di jalan, selokan, trotoar, pohon
angin bersiul pelan
lalu kosong


Cerita Pendek yang Benar-Benar Pendek

Malam ini aku mendengar percakapanmu dengan perempuan itu. Harusnya kau jangan bodoh dengan mengeraskan volume suara saat telepon. Kau lupa aku selalu mengunjungimu malam-malam begini?

Bukan niat tak ingin masuk ke kamarmu begitu saja. namun suaramu yang nyaring dan riang itu menahanku untuk berdiri dulu di depan pintu, mengatur napas, dan menyiapkan kalimat apa yang ingin kutanyakan padamu. Atau aku akan diam saja?

Lampu di luar kamar kontrakanmu sangat redup. Aku kesulitan menangkap bayanganku sendiri. Sehingga aku tak menyadari ketika ternyata kau sudah ada di pintu dan terkejut melihatku. Kenapa? Ah, aku lebih terkejut lagi. Siapa sesungguhnya yang musti tak enak hati?

Lalu kau mengajakku masuk ke kamarmu. Meletakkan handphone buru-buru. Aku sangat gugup. Sedangkan kau Cuma berdiri di depan cermin dan mengacak-acak rambutmu sendiri.

“Keren tidak?” tanyamu.

Aku belum bisa menjawab karena bingung harus mengatakan apa. Dadaku ngilu.

“Kok diam saja?” tanyamu lagi. Aku tersenyum. “Sakit?”

“Iya, sakit.”

“Sakit apa? Kok gak crita?”

Bagian mana yang perlu diceritakan? Harusnya aku yang mengatakan itu, bukan?

“Tadi.. Clara, ya?”

“Oh, iya. Kamu dengar?” aku rasa kau sedang pura-pura bahwa aku tak mengetahui apapun.

“Ya.”

“Bagian mana?”

“Aku lupa. Tapi aku mengerti.”

“Mengerti apa?”

“Harusnya kamu jujur padaku.”

“Maksudnya?”

Aku melepas tas yang masih tergantung di pundak kananku. Lalu berbaring. Memejamkan mata. Aku tahu kau bingung. Dan kau tak berkata apa-apa lagi padaku.


***


“Selamat pagi..., iya aku sudah bangun. Ah, kau, membuatku tersenyum saja. sana cepat mandi, lalu berangkat kerja, jangan lupa berdoa ya.. haha, kalau itu jangan kau minta padaku, aku tak terbiasa berdoa.”

Pagi ini aku mendengar lagi percakapanmu dengan perempuan itu. harusnya kau jangan bodoh dengan tak beranjak saat telepon, meski dengan suara lirih. Kau lupa aku menginap di kamarmu malam ini? Kau tak tahu aku sudah membuka mata sebelum kau menerima telepon itu.


***


Pukul 09.00.

“Kamu sudah bangun, Nin?”

“Sudah sejak tadi jam 6.”

“Kok gak bangunin aku?”

“Kayanya kamu kelelahan.” Jawabku sambil tersenyum. Bukankah sudah ada yang membangunkanmu pukul 5 tadi?

“Ini kopi buatku?”

“Ya.”

Kau beranjak dari tempatmu tidur, lantai yang beralas karpet, sebab kasurmu aku kuasai semalam.

“Makasih ya, Sayang. Kamu baik sekali.” ucapmu sembari menyentuh rambutku.

“Aku mau pulang.”

“Lho?”

“Aku ada kuliah.”

“Bukannya ini Sabtu?”

“Ada tambahan.”

“Tumben.”

“Pulang dulu ya.”

Aku beranjak dari sampingmu, mengambil tas dan menuju pintu.

“Nin.. Kamu baik-baik saja?”

“Kamu lebih tau.”

Lalu aku pergi. Pintu kau tutup. Handphonemu tiba-tiba berbunyi. Suara telepon. Entah dari siapa.


Boja, 26 Maret 2012 23.59

Sabtu, 13 Juli 2013

Diagram Venn


 











“Nak, ini apa?”

“Lingkaran.”

“Ih, pinter.”












“Kalau ini?”
  
“Dua lingkaran.”

“Memang pinter kamu, ya.”













“Kalau ini? Hmm, sudah, gak usah dijawab, ayah tahu kamu pinter, pasti tahu jawabannya. Kalau ini, apa, Nak?”












“Hmm, itu.... Tiga lngkaran bertumpuk-tumpuk!”

“Hmm, bisa, tetapi, lingkaran-lingkaran dengan susunan seperti ini punya nama.”

“O ya? Apa, Yah, namanya?”

“Diagram venn.”

“Apa, Yah?”

“Diagram venn.”

“Apa itu, Yah?”

“Kamu kelas berapa ya, Nak, ayah lupa. Oh iya, kamu masih TK ya, pantes belum tahu.... Diagram venn itu, Nak, di mana lingkaran yang satu dengan lingkaran lainnya bersinggungan, tetapi, singgungan setiap lingaran tidak ada yang sama, misalnya.... ini.... Coba perhatikan, perthatikan baik-baik, ya.... Pura-puranya ini ayah, ini ibu, ini kamu, ini teman kamu. Nah, ayah bisa bersinggungan dengan ibu, tetapi ada bagian lingkaran ayah yang ibu tidak bisa menyentuhnya, begitu pula sebaliknya, kemudian ada kamu, ada bagian lingkaran kamu yang bersinggungan dengan ibu dan ayah serta ibu saja atau ayah saja, namun ada bagian dari lingkaranmu yang ayah dan ibu tidak bisa menyentuhnya, tetapi, justru teman kamu yang bisa menyinggungnya.”


 






















“Kenapa begitu, Yah?”

“Karena, akan menjadi tidak menarik kalau semuanya menjadi satu lingkaran penuh. Tidak ada rahasia, tidak ada pertanyaan, tidak ada privasi.... ”

“Privasi apa lagi itu ya, Yah?”
 
“Privasi itu keleluasaan pribadi. Di mana seseorang mempunyai wilayah kebebasan.”

“Aduh, Yah, aku kok semakin bingung ya, Yah.... ”

“O ya? Waduh.... Ayah terlalu cepat, ya. Hmm kamu akan mengerti seiring waktu.”

“Waktu lagi, waktu lagi.... kenapa waktu selalu meminta kita untuk sabar sih, Yah?”

“Karena Tuhan tidak senang terburu-buru.”

“Kenapa Tuhan tidak senang terburu-buru, Yah?”

“Supaya kesabaran manusia matang.”

“Kenapa kesabaran manusia harus matang, Yah?”

“Berapa usiamu?”

“Tujuh.”

“Hmm, nanti kamu akan tahu.”

“Kenapa nanti, Yah?”


Boja, Juli 2013