Jumat, 31 Oktober 2014

Perasaan Bersalah

Tempo hari, tangan saya tidak dapat dikendalikan dan dengan tiba-tiba saya menulis pesan pendek kepada teman, begini;

Van, ada apa kok pada diem? Maafkan aku ya, jika punya salah kepada kalian.

Lalu teman saya itu menjawab begini;

Ada apa to? Aku gak ngerti,

Saya yang sedang berada di tempat lain—di tempat yang tidak sama dengan teman saya itu atau teman-teman lain yang menurut saya hari itu benar-benar menjadi pendiam tidak seperti biasanya dan membuat saya cukup gelisah—duduk bersandar di kursi balkon yang menghadap pada sebuah lapangan dengan pohon tiga pohon ketapang hijau rindang yang rantingnya bergoyang-goyang.
Lantas saya berpikir, apa-apaan saya ini, kenapa tiba-tiba merasa berperan demikian besar pada perubahan sikap mereka hari ini. Bukankah sikap mereka yang—kompak— tiba – tiba murung itu bisa jadi bukan karena saya?
Dalam duduk dan lamunan saya, saya ingat sebuah novel yang saya baca beberapa waktu lalu, novel itu berjudul Manyura. Manyura merupakan kisah Mahabarata dalam versi tangan Yanusa. Saya ingat peristiwa pada suatu malam ketika Sasikirana mengunjungi Bima kakeknya di sebuah gua yang merupakan penjara lantaran saat itu menurut sang raja Hastinapura—Yusdhistira—Bima melakukan kesalahan sehingga harus dihukum. Di dalam gua itu tidak hanya ada Bima, namun juga Semar, lelaki tambun yang bijak dan senang menasehati. Sasikirana datang untuk menyampaikan kegelisahannya dan meminta nasehat, ia datang tidak sendirian, melainkan bersama Aswatama, yang saat itu menyamar dengan nama Lintang Kumbarapati yang datang dari negeri Kosala, yang bagi jaman itu merupakan negeri yang sudah lama hilang dan hanya ada dalam dongeng.
Ketika Sasikirana mengatakan kepada Aswatama bahwa ia hendak mengunjungi kakeknya di gua, ia cukup terkejut dan bimbang hendak ikut serta atau tidak. Sebab ia tahu, di sana ia tidak hanya akan bertemu Bima namun juga Semar, yang bisa melihat segala hal yang tersembunyi secara tidak masuk akal. Namun akhirnya Aswatama turut. Dan begitu sampai tempat tujuan, ia memilih berada di pintu gua, berjarak cukup jauh dari Bima dan Semar, ia juga mengenakan jubah supaya perawakannya tak mudah dikenali, terutama oleh Semar dan Bima yang mengetahui bahwa ‘Aswatama’ adalah pengikut Kurawa yang pasti punya niat buruk terhadap keturunan Pandu.
“Siapa dia?” tanya Semar kepada Sasikirana.
“Lintang, Romo. Lintang Kumbarapati.”
“Ksatria dari Kosala itu? Ajaklah dia kemari, aku ingin melihatnya dari dekat.”
“Dia ingin berada di sana, Romo.”
“Ajaklah dia kemari, aku ingin melihatnya dari dekat.”
Maka tanpa mengulur waktu, Sasikirana mengajak orang yang menjadi tangan kanannya itu untuk mendekati Semar serta Bima. Dengan perasaan takut Aswatama melangkah mengikuti Sasikirana.
“Benarkah kamu manusia yang tersisa dari kerajaan Kosala?”
“Ya.” Jawab Aswatama.
“Bisakah kau ceritakan kepada kami bagaimana kau bisa bertahan sampai ratusan tahun setelah kerajaan itu tiada?”
Kemudian, dengan gemetar, Aswatama menceritakan seluk beluk bagaimana ia sebagai Lintang Kumbarapati bisa bertahan sebagai satu-satunya manusia Kosala yang masih bertahan hingga saat ini. Ia sendiri heran dengan kemampuan mendongengnya yang luar biasa, kemampuan mengelabuhinya yang luar biasa.
“Bisa kau lebih dekat padaku?” Tanya Semar, “Aku ingin melihat wajahmu dari dekat.”
Beberapa saat Aswatama diam dan tidak bergerak, ia begitu ketakutan, barangkali Semar akan membuka jubahnya kemudian ia akan tertangkap karena Semar dan Bima akan mengenalinya sebagai seseorang yang berhasil lari dari perang Bharatyudha dan membela Kurawa?
Maka, dalam hitungan detik tiba-tiba Aswatama belari begitu saja meninggalkan mereka bertiga, Sasikirana kebingungan lantaran orang kepercayaannya tiba-tiba menjadi pengecut. Sasikirana memanggilnya berulangkali, namun Aswatama tidak kembali.
Semar tersenyum.
“Ada apa dengannya, Romo?” Tanya Sasikirana.
“Yang membuatnya berlari adalah perasaan bersalahnya sendiri. Dia Aswatama, Anakku, bukan Lintang seperti yang kau ketahui.”
Hal yang sama barangkali yang terjadi kepada saya siang itu. Pasalnya, pada hari sebelumnya, mereka semua gelisah lantaran ada satu soal untuk tes yang belum dikumpulkan, dan salah satunya adalah soal milk saya. Meski saya bukan satu-satunya yang terlambat mengumpulkan, namun rasa malu dan tak enak karena telah menghambat pekerjaan orang lain lantaran tangan saya sendiri, membuat saya gelisah sampai hari berikutnya, bahkan ketika saya melihat rekan-rekan sekantor saya yang demikian diam hari iti. Tak ada yang saya pikirkan selain bahwa saya turut berperan dalam kemurungan mereka, Meski ternyata, kenyataannya bukan itu.
Lantas saya mengirimkan pesan singkat lagi kepada teman saya itu. Lantas dia membalas begini;

Kalau semua orang di kantor ini bersedih setiap hari, kamu akan meminta maaf setiap hari juga? Haha

Dia sungguh-sungguh tidak mengerti perasaan saya.


Boja, Oktober 2014


Selasa, 28 Oktober 2014

mengutip engkau, GM



Aku ingin kau mengenalku, Sancho.
Tapi kau tak mengenalku.
Maka kupanjat tali sampai angin
tak datang lagi;

                                                              dan langit menghapusku.


(Goenawan Mohamad)

Selasa, 07 Oktober 2014

sepeninggal


Ketika hujan telah pulang ke rumahnya
aku menanti matahari tenggelam di taman ini
seorang diri

jangan tanyakan siapa aku
atau mengapa

bilur bilur biru pada lampu taman
daun daun trembesi yang kering
sisa basah yang cuma dalam pikiran

adalah kenangan buruk
bagi burung burung
bagi ingatan yang terserang penyakit

ketika hujan telah pulang ke rumahnya
aku menanti matahari tenggelam di taman ini
sampai nanti
sampai kapan

2014