Tempo
hari, tangan saya tidak dapat dikendalikan dan dengan tiba-tiba saya menulis
pesan pendek kepada teman, begini;
Van, ada apa kok pada diem? Maafkan
aku ya, jika punya salah kepada kalian.
Lalu
teman saya itu menjawab begini;
Ada apa to? Aku gak ngerti,
Saya
yang sedang berada di tempat lain—di tempat yang tidak sama dengan teman saya
itu atau teman-teman lain yang menurut saya hari itu benar-benar menjadi
pendiam tidak seperti biasanya dan membuat saya cukup gelisah—duduk bersandar di
kursi balkon yang menghadap pada sebuah lapangan dengan pohon tiga pohon
ketapang hijau rindang yang rantingnya bergoyang-goyang.
Lantas
saya berpikir, apa-apaan saya ini, kenapa tiba-tiba merasa berperan demikian
besar pada perubahan sikap mereka hari ini. Bukankah sikap mereka yang—kompak—
tiba – tiba murung itu bisa jadi bukan karena saya?
Dalam
duduk dan lamunan saya, saya ingat sebuah novel yang saya baca beberapa waktu
lalu, novel itu berjudul Manyura. Manyura merupakan kisah Mahabarata dalam versi
tangan Yanusa. Saya ingat peristiwa pada suatu malam ketika Sasikirana
mengunjungi Bima kakeknya di sebuah gua yang merupakan penjara lantaran saat
itu menurut sang raja Hastinapura—Yusdhistira—Bima melakukan kesalahan sehingga
harus dihukum. Di dalam gua itu tidak hanya ada Bima, namun juga Semar, lelaki
tambun yang bijak dan senang menasehati. Sasikirana datang untuk menyampaikan
kegelisahannya dan meminta nasehat, ia datang tidak sendirian, melainkan
bersama Aswatama, yang saat itu menyamar dengan nama Lintang Kumbarapati yang
datang dari negeri Kosala, yang bagi jaman itu merupakan negeri yang sudah lama
hilang dan hanya ada dalam dongeng.
Ketika
Sasikirana mengatakan kepada Aswatama bahwa ia hendak mengunjungi kakeknya di
gua, ia cukup terkejut dan bimbang hendak ikut serta atau tidak. Sebab ia tahu,
di sana ia tidak hanya akan bertemu Bima namun juga Semar, yang bisa melihat
segala hal yang tersembunyi secara tidak masuk akal. Namun akhirnya Aswatama
turut. Dan begitu sampai tempat tujuan, ia memilih berada di pintu gua,
berjarak cukup jauh dari Bima dan Semar, ia juga mengenakan jubah supaya
perawakannya tak mudah dikenali, terutama oleh Semar dan Bima yang mengetahui
bahwa ‘Aswatama’ adalah pengikut Kurawa yang pasti punya niat buruk terhadap
keturunan Pandu.
“Siapa
dia?” tanya Semar kepada Sasikirana.
“Lintang,
Romo. Lintang Kumbarapati.”
“Ksatria
dari Kosala itu? Ajaklah dia kemari, aku ingin melihatnya dari dekat.”
“Dia
ingin berada di sana, Romo.”
“Ajaklah
dia kemari, aku ingin melihatnya dari dekat.”
Maka
tanpa mengulur waktu, Sasikirana mengajak orang yang menjadi tangan kanannya itu
untuk mendekati Semar serta Bima. Dengan perasaan takut Aswatama melangkah
mengikuti Sasikirana.
“Benarkah
kamu manusia yang tersisa dari kerajaan Kosala?”
“Ya.”
Jawab Aswatama.
“Bisakah
kau ceritakan kepada kami bagaimana kau bisa bertahan sampai ratusan tahun
setelah kerajaan itu tiada?”
Kemudian,
dengan gemetar, Aswatama menceritakan seluk beluk bagaimana ia sebagai Lintang
Kumbarapati bisa bertahan sebagai satu-satunya manusia Kosala yang masih
bertahan hingga saat ini. Ia sendiri heran dengan kemampuan mendongengnya yang
luar biasa, kemampuan mengelabuhinya yang luar biasa.
“Bisa
kau lebih dekat padaku?” Tanya Semar, “Aku ingin melihat wajahmu dari dekat.”
Beberapa
saat Aswatama diam dan tidak bergerak, ia begitu ketakutan, barangkali Semar
akan membuka jubahnya kemudian ia akan tertangkap karena Semar dan Bima akan
mengenalinya sebagai seseorang yang berhasil lari dari perang Bharatyudha dan
membela Kurawa?
Maka,
dalam hitungan detik tiba-tiba Aswatama belari begitu saja meninggalkan mereka
bertiga, Sasikirana kebingungan lantaran orang kepercayaannya tiba-tiba menjadi
pengecut. Sasikirana memanggilnya berulangkali, namun Aswatama tidak kembali.
Semar
tersenyum.
“Ada
apa dengannya, Romo?” Tanya Sasikirana.
“Yang
membuatnya berlari adalah perasaan bersalahnya sendiri. Dia Aswatama, Anakku,
bukan Lintang seperti yang kau ketahui.”
Hal
yang sama barangkali yang terjadi kepada saya siang itu. Pasalnya, pada hari
sebelumnya, mereka semua gelisah lantaran ada satu soal untuk tes yang belum
dikumpulkan, dan salah satunya adalah soal milk saya. Meski saya bukan
satu-satunya yang terlambat mengumpulkan, namun rasa malu dan tak enak karena
telah menghambat pekerjaan orang lain lantaran tangan saya sendiri, membuat
saya gelisah sampai hari berikutnya, bahkan ketika saya melihat rekan-rekan
sekantor saya yang demikian diam hari iti. Tak ada yang saya pikirkan selain
bahwa saya turut berperan dalam kemurungan mereka, Meski ternyata, kenyataannya
bukan itu.
Lantas
saya mengirimkan pesan singkat lagi kepada teman saya itu. Lantas dia membalas
begini;
Kalau semua orang di kantor ini
bersedih setiap hari, kamu akan meminta maaf setiap hari juga? Haha
Dia
sungguh-sungguh tidak mengerti perasaan saya.
Boja, Oktober 2014