Hai, selamat ya, saya senang kamu sudah lahir.. eh,
ralat, bahagia, ya, bahagia dan senang entah apa yang membedakannya, yang
jelas, saya berbahagia melihatmu muncul di antara jutaan buku yang ada.
Penulis yang melahirkanmu pernah berkata kepada saya, bahwa sesekali (tetapi menurut saya seringkali) ia pernah berkata kepada orang-orang yang hidup tumpang tindih dalam tubuhnya; sodara-sodara, aku akan dan biasanya selalu bisa mewujudkan mimpi-mimpiku, katanya. Mirip juru kampanye barangkali. Ya, saya bisa membayangkannya. Kamu juga, kan?
Kamu pasti tahu perjalanan penulismu tak pendek,
sejak entah tahun berapa, yang jelas jauh sebelum saya mengenalnya, ia sudah
begitu rajin menulis, bahkan hampir di setiap biografinya selalu tertulis bahwa
ia jatuh cinta pada membaca dan menulis sejak SD. Wih, lama sekali, bukan? Saya
hanya bisa melacak tulisan-tulisannya yang ia simpan rapi di blog pribadinya,
blog pribadi yang menyimpan banyak sekali tentangnya, terlebih masa lalunya.
Bagaimana perasaanmu? Senang? Ya, tentu saja. Saya
sudah menerka itu. Kelahiranmu tentu sudah berputar-putar dan terus memantul di
pikirannya sejak lama. Saya ingat kali pertama mendengar namamu, kali itu saya
sedang perjalanan malam menggunakan sepeda motor dengannya, ketika melewati
jalan Magelang menuju Ngrancah, (entah saat itu kami membicarakan apa) sembari
menakut-nakuti saya karena jalanan sangat sepi dan ngeri, tiba-tiba ia menyebut
namamu dengan nada suara yang pelan namun amat girang. Ya, saya tahu ia amat
girang menyebutmu. Dengan nada suara yang penuh dengan harapan dan keinginan.
Nada suara yang tenang namun siapapun mampu menerka bahwa yang ia ucapkan tak
sama dengan asap rokok yang mudah hilang.
Tentu saja, saya ucapkan selamat berkali-kali, sampai
kamu bisa menghafal nada suara saya, sampai kamu bisa menghafal tarikan napas
saya ketika mengucapkannya. Saya ingin memelukmu seerat-eratnya, dan
barangkali, saya tak ingin tahu bagaimana cara melepaskannya.
Salam hangat dan rindu yang dalam untuk penulismu. Saya tahu ia masih
akan terus menulis. Meski, kata-kata terkadang lebih menakutkan dari hari kiamat
yang sering saya dengar dari guru ngaji saya, namun saya akan terus
menunggunya. Membacanya semampu saya.
-Big Hug and Kiss-
Boja, Juni 2014
"Kau
tetap yakin di dunia yang nyaris
tak nyata ini orang-orang akan pulang
membawa diri mereka berjalan membungkuk memikul
kepala berisi padat—kaku penyesalan milikku." (Arif Fitra Kurniawan)