Sesuatu terkubur di dalam tanah. Di dalam rumput. Di
dalam hujan bulan Oktober pada usianya yang ke lima belas. Susah payah Airin menguburkannya. Tapi
siapapun tahu, bangkai, atau yang mati atau sesuatu yang buruk memang harus
dikubur. Dilesakkan
jauh, kalau bisa sampai ke lambung bumi agar baunya tak lagi meruap ke
permukaan. Tapi jendela dan hujan deras yang gerakannya miring oleh angin mampu
mengangkat seonggok daging busuk mirip zombie itu.
Tangannya yang terlipat di meja tiba-tiba terasa dingin. Ada getaran
aneh menampar ingatannya. Ia harus bergerak, harus. Supaya gambar yang tak diinginkannya
itu tak perlu
ia lihat lagi, dalam bingkai
jendela. Dalam hujan yang sama.
“Mau kopi, Mbak?”
Tanya seseorang dengan setengah membungkuk di sampingnya. Entah sejak kapan
ia berada di sana. Airin seperti melihat hantu atau boneka barbie yang sangat ditakutinya.
“Pak Parman, bikin kaget saja.”
“Mbak Airin sih melamun. Mau kopi panas, Mbak? Udaranya dingin sekali lho.”
“Mmm, teh aja deh, Pak.”
“Lho, kok tumben?”
“Lagi pengen.”
Pak Parman berlalu. Airin memandang lelaki itu sejenak
sampai ia hilang di pintu. Beberapa temannya sedang melakukan kegiatan di meja
masing-masing. Ada beberapa yang menggerombol di meja yang sama sambil
mengobrolkan sesuatu. Di antara mereka semua ada sebuah cangkir dengan asap
tipis mengepul. Ia tak ingin minum kopi hari ini.
Bayangan itu lagi. Bagaimana bisa Pak Parman yang sudah
enam puluhan dan kurus itu membuat ia mengingat rupa bobeka barbie. Ia mendadak
sangat jijik. Mual. Bau busuk entah darimana menusuk hidungnya. Airin menoleh ke
kanan dan ke kiri. Tak ada yang janggal. Tak ada yang diluar kebiasaan. Teman-temannya yang di sana tidak bertambah
atau berkurang, orang-orang yang sama. Tapi penciumannya tak mungkin salah. Ia
menangkap aroma lain menyengat hidungnya.
“Rin, kamu kenapa?” Tanya Rudi, meja kerjanya hanya
berjarak satu meter dari meja Airin.
“Bisa minta tolong matikan AC-nya, Rud?”
Tanpa banyak bicara Rudi beranjak dan mengarahkan remote kecil ke arah
AC. Klik. Perlahan ruangan yang dinginnya menggigit kulit menjadi hangat.
Sekalipun di luar, langit benar-benar sedang menumpahkan kemarahannya. Hujan masih turun dengan
lebat. Garis air yang turun tampak miring.
“Kamu masuk angin?”
Airin menggeleng. Tangannya sedang sibuk merogoh minyak
kayu putih di
loker meja. Wajahnya memang tampak pucat. Sesuatu di jendela itu menyedot rona
gembira yang beberapa menit lalu masih memenuhi matanya.
“Bisa minta tolong tutup gordennya?”
Rudi merasa aneh, namun ia melakukannya juga. Bingkai
jendela yang memperlihatkan pohon kersen yang basah kuyup oleh tamparan air
hujan itu kini berubah warna menjadi kelabu. Gorden kelabu memisahkan kantor
itu dan dunia luar.
“Rud, apa tadi ada yang datang kemari selain orang
kita?”
Rudi berpikir sebentar. Lantas menjawab dengan perlahan.
Sekalipun sejak tadi ia berada di sana, ia takut salah memberi informasi.
“Setahuku tidak ada.”
Airin begitu saja meninggalkan tempat ia duduk. Ia
berlari ke arah pintu kamar mandi. Dari luar sama-samar terdengar, ia
terbatuk-batuk, lantas muntah beberapa kali.
…….
“Kamu sakit?”
“Tidak.”
“Dari tadi bolak-balik kamar mandi terus?”
Hari itu udara dingin sekali. Akhir tahun. Curah hujan
turun tak tahu diri, terus menerus tanpa jeda yang panjang. Airin dan ibunya
sedang bersantai menonton televisi ketika seseorang mengetuk pintu. Ibu duduk saja di
kursi, kakinya sudah tak bisa digerakkan sejak beberapa bulan yang lalu. Airin
beranjak keluar dan membukanya.
“Siapa, Rin?”
“Om Ubay.”
Setelah mengantar sampai ruang keluarga, Airin melesat
ke kamar. Bahkan ketika Ibu memanggilnya untuk membuatkan minuman, ia tak menyahut.
“Biar saya ambil sendiri, Mbak. Kaya tamu aja.”
Om Ubay meletakkan tas punggungnya kemudian pergi ke
dapur. Ia menyeduh kopi panas. Ketika kembali dari dapur, Om Ubay berhenti
sebentar. Ia menghela napas, lalu mengetuk pintu kamar Airin dengan lembut.
“Rin, Om bawa oleh-oleh lho, barbie kesukaanmu, kali ini rambutnya pirang dan
panjang.”
Tidak ada jawaban. Om Ubay kembali ke ruang keluarga.
Ibu masih menonton televisi. Untuk beberapa saat mereka melakukan kegiatan
masing-masing. Sesekali ibu membuka-buka majalah yang ada dipangkuannya. Om
Ubay mengeluarkan sebuah kado dari dalam tasnya. Ia letakkan bungkusan persegi
panjang itu di atas meja.
“Kamu ini, nanti Airin manja kalau kamu terus bawa
oleh-oleh buat dia.”
“Ndak terus lho Mbak, kebetulan aja pas ada rejeki. Dulu
Mbak juga sering mbawakan aku oleh-oleh tho.”
Ibu tersenyum. Adik sepupunya itu memang satu-satunya
kerabat yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Anak laki-laki yang dulu sering
ia urus, kini sudah menjadi pemuda dewasa dengan pekerjaan yang baik. Ia
menjadi pegawai atasan di kantor pos di kota kecamatan tempat mereka tinggal.
Karena masih bujang, ya pantas saja ia sering membawa oleh-oleh setiap kali
datang. Katanya daripada uang dihambur-hamburkan untuk hal-hal yang tidak
penting, lebih baik untuk balas budi. Jika sudah begitu, Ibu tak bisa menolak.
Bukan berarti ia minta dibayar atas kebaikannya ketika muda yang sering membawakan
mainan kepada adik sepupunya itu.
“Kamu kok masih sendirian aja to, Bay. Mbak bosen lho
lihat kamu ke sini bawanya tas punggung terus. Bawa gandengan dong sekali-kali,” goda Ibu. Ubay cuma
cengar-cengir.
“Belum nemu kok, Mbak.”
“Halah, belum nemu atau kamu pilih-pilih?”
“Mbak ini, memangnya seganteng apa aku kok bisa
pilih-pilih.”
Saat itu Airin muncul dari kamar, wajahnya cemberut. Tanpa
mengucapkan permisi ia begitu saja mengambil buku-buku dongeng yang tadi di
bacanya, buku-buku itu disambarmnya dari samping Ubay.
“Rin, menurutmu Om Ubay ganteng tidak?”
Airin tidak menggubris ucapan ibu. Tanpa menoleh ia
berjalan cepat kembali menuju kamar. Pintu ia banting dengan keras. Ibu merasa
tabiat Airin mudah sekali berubah. Beberapa menit yang lalu ia masih anak
gadisnya yang lembut dan periang, yang terbuka. Kini sebaliknya.
Di kamar, Airin duduk berdiam di depan cermin. Ia
memandangi dirinya yang kurus dengan rambut lurus berponi, dengan kulit yang
kecoklatan. Diperhatikan matanya baik-baik, hidungnya, bibirnya, ia menoleh ke
kanan dan ke kiri, ia perhatikan daun telinganya, lehernya, sepasang bahunya.
Tiba-tiba ia merasa mual lagi...
Namun ia tak beranjak ke mana-mana. Masih tabah ia di depan cermin saling
memandang dengan dirinya yang mematung di sana. Dengan cahaya mata yang
perlahan redup. Ada warna merah menyelimuti bola matanya. Alisnya mulai
mengkerut. Tiba-tiba di bayangannya sebuah lengan yang kuat menyentuh pundaknya. Dadanya yang belum
sepenuhnya menonjol naik turun dengan cepat.
“Rin, Om mau ngomong.”
Pintu kamar diketuk. Suara Om Ubay. Airin membiarkan
suara itu memantul di kedua telinganya yang memerah. Rasa tak enak mulai
bergulung di dadanya.
“Rin, sebentar aja, Om mau ngomong.”
Airin tak menyahut. Tangannya mengepal dengan kuat. Di
cermin ia melihat sepasang tangan sedang menyusuri pundak dan lehernya. Tangan
yang sama. Tangan yang menawarkan perlindungan. Kulitnya kini meremang.
Detik-detik berjalan dengan cepat. Ia seperti sedang mengikuti sebuah
pertandingan lari, ia ingin peristiwa yang dilihatnya di cermin segera usai.
Namun ia tahu, yang akan terjadi adalah sebaliknya. Ia akan melihat gerak
lambat yang menjijikkan. Sepasang tangan yang mulai merayap di telinga
mungilnya, kemudian lama berhenti di bibir. Sesudahnya tangan itu merayap
pelan-pelan mirip seekor binatang melata, ia berhenti di dadanya yang ngilu.
Disana tangan itu bergerak-gerak, namun tak segera beranjak. Segalanya runtut. Airin
ingin muntah. Terlebih ketika sesuatu merogoh tubuhnya bagian bawah. Suara Om
Ubay semakin mirip lebah yang mendenging. Makin lama makin riuh dan mengganggu. Suara yang
mendekat, memekakkan telinga.
Pyar.
Pecahan kaca yang mengagetkan. Lebah-lebah di telinga Airin
lenyap. Suara laki-laki di luar masih sama. Airin masih duduk dengan cara yang
sama. Namun kini tangan kanannya yang masih mengepal terluka. Ada sayatan
luka-luka tipis,
dan darah merembes dari sana.
“Rin, buka pintunya atau Om akan mendobraknya.”
Suara Om Ubay yang panik disusul suara ibu dari jauh.
Ya. Dari jauh. Ibu tak bisa dengan cepat mendekat. Ia tak seperti dulu yang
kemanapun kapanpun dengan kaki sendiri. Kini ia butuh kursi roda atau bantuan
orang lain. Ya, selalu begitu, bahkan ketika Airin betul-betul membutuhkan
pertolongannya.
Terngiang di telinga Airin suara tangisnya sendiri,
tangis yang lirih di tengah malam pada pertengahan bulan Oktober, di mana curah
hujan lebih mirip air terjun yang berisik daripada gerimis yang lembut. Saat
itu ia demam. Ibu tak mungin bolak-balik kamar-kamar mandi-dapur untuk
menemaninya, mengingat kondisi ibu sendiri seperti demikian. Maka om kesayangannya itu yang
merelakan waktu untuk merawatnya. Mengantar ke dokter, menyuapi makan,
mengambilkan obat. Dan memeluknya ketika tidur. Padahal Airin menolak, padahal Airin
sudah mengusirnya berkali-kali. Padahal Airin sudah mengeluarkan kata-kata
kasar supaya
om kesayangannya itu tak datang lagi, tak mendesaknya lagi.
“Airin, tolong keluar. Ada apa kamu? Airin tolong buka
pintunya….”
Suara ibu setengah menangis. Airin tak mungkin
menceritakan apapun pada ibu. Termasuk ketika pangkal kakinya terasa perih. Beberapa hari, beberapa tahun, sampai
ia merasa tak sanggup mengobatinya sama sekali….
……….
Airin masih duduk di kursinya sembari
membuak-buka majalah dan membacanya sekilas. Di jendela air hujan mulai
renggang, tak ada lagi petir yang cerewet, dan langit sudah berkurang pekatnya
meski warna biru belum nampak juga. Ia mengecek jam di pergelangan kirinya.
Setengah jam lebih Pak Parman tak juga muncul. Sekalipun tadi ia tak memesan
dan lebih sebagai tawaran atas kebaikan Pak Parman, namun saat ini ia
mengharapkannya juga.
Tak lama kemudian, seseorang yang
dinantikannya muncul di pintu. Kedua tangannya menyangga penampan berisi satu
teko kecil dan dua cangkir kecil yang mengepulkan asap tipis. Ia berjalan ke
arah Airin. Airin menghela napas dengan halus.
“Lama sekali, Pak?” Ujar Airin,
“Kirain Pak Parman kesasar.”
Pak Parman tersenyum. Ketika sudah
berada beberapa meter dari meja Airin, Pak Parman membelokkan langkahnya ke
arah meja lain, dan meletakkan dua cangkir serta teko di sana.
Mata Airin masih mengikuti lelaki itu.
Mulanya ia merasa aneh, namun barangkali harus sesuai antrean. Lagipula,
mungkin saja ada kesulitan di dapur, mungkin gula sedang habis, atau teh habis,
sehingga mendahulukan siapa yang memesan terlebih dahulu. Ketika Pak Parman
hendak kembali, Airin memanggilnya.
“Pak Parman, tehku yang lebih kental
ya,” ucap Airin, lebih sebagai mengingatkan lelaki itu bahwa ia juga memesan
minuman hangat.
“Lho, Bu Airin jadi pesen?”
“Hmm, Pak Parman ini, masak udah
lupa...”
Lelaki itu nampak kebingungan, ia
terlihat memikirkan sesuatu.
“Hmm, trus pesennya satu atau dua, Bu?”
Airin tercekat. Mendadak
ternggorokannya sangat kering.
“Pak Parman, yang satu lagi mau
diminum siapa?”
Ia tahu banyak hal sedang bergerak di
luar kehendaknya. Semacam firasat. Konsentrasinya
mendadak ambyar. Rasa mual yang tadi mengganggu kini terasa lagi, mendesak naik
di perut bagian atas, merayap pelan-pelan ke tenggorokan, mengirimkan sinyal
pahit di pangkal mulut. Ia merasa pusing lagi.
“Lha ya Mas Ubay to, Katanya jauh-jauh
dari luar kota langsung ke sini lho, Mbak. Katanya pengen ketemu Mbak Airin.”
“Suruh pulang aja, Pak.”
“Lho, kok suruh pulang, dia udah
hujan-hujanan juga lho, Mbak...”
Hujan lagi. Apa harus hujan selalu
membawa seonggok daging busuk mirip zombie itu kembali? Hujan yang sama, hujan yang selalu
sama. Pertengahan Oktober yang menjijikkan.
Airin beranjak. Rasa mual di perutnya
sudah tak tertahankan. Lebih dari itu, rasa nyeri di dadanya menyebar lebih
cepat dari kedatangan sepupu ibunya itu. Ia membuka kamar mandi. Suara Pak
Parman kalah oleh air wastafel yang mengalir deras sekali...
Boja, 25 Juli 2014 00.42