An, aku ingin bercerita. Tetapi cerita ini rahasia, yang diceritakan temanku tentang ibunya yang masih cantik dan ayahnya yang sudah tiada. Aku akan melanjutkan jika kau berjanji untuk tidak berkata kepada siapa-siapa, termasuk dirimu sendiri, ketika aku bercerita dan dirimu berisik hendak bertanya.
Begini, cerita ini bermula dari seorang perempuan yang jatuh cinta kepada seorang lelaki dan sebaliknya. Mereka menjalin kisah cinta sejak SD, bayangkan, SD! Mereka sering bersama-sama dalam melakukan banyak kegiatan, berangkat sekolah, pulang sekolah, belajar bersama, dan main di siang hari sebelum ibu di rumah masing-masing berteriak supaya mereka lekas pulang. Itu ketika usia mereka masih sepuluh sebelas tahun.
Beranjak remaja mereka masih bersama. Mereka terus bersekolah di tempat yang sama, entah bagaimana caranya, pokoknya mereka tidak mau dipisahkan meski hanya tempat sekolah. Mereka semakin akrab. Semakin tahu bagaimana yang dilakukan orang pacaran, jalan-jalan berdua, duduk di bawah pohon berdua, mereka sudah melupakan kebiasaan mereka berlari berkejaran di lapangan atau main sudamanda Cuma berdua. Mereka lebih sering duduk saja, mengobrol, tentang apa saja.
Perjalanan cinta mereka seperti air yang mengalir di sungai tanpa sampah, mulus, lancar, bening, dan menyenangkan. Namun tentu, tak ada sungai yang tak berbatu. Baranjak dewasa, mulai banyak pertanyaan mengepung mereka. Dari orang tua masing-masing, dari orang-orang di sekitar mereka, dari diri mereka sendiri. Namun mereka masih karang, masih karang yang terus berusaha kuat.
Suatu hari si lelaki memutuskan merantu ke kota. Si perempuan menangis senggukan berhari-hari, ia gagal menahan lelaki untuk tak pergi. Sebenarnya, alasan ia menahan adalah karena ia tahu, ia bunga yang sedang diincar kumbang, sedang orang tua yang merasa punya kehendak atas dirinya, terus mendorong kumbang untuk mendekatinya. Dia orang baik. Begitu dalih sang ibu dan ayah. Ia bunga yang kuat, tetapi kumbang seperti angin yang terus datang dari segala arah. Ia menyerah.
Maka menikahlah si bunga, dengan kumbang. Dan lelaki yang merantau itu, adalah pohon, semakin tinggi tempatnya, semakin kuat ia menahan angin. Ia menerima segala hal, termasuk bunganya yang jauh, yang telah dipetik kumbang sampai ke akar-akarnya.
Aku mencintaimu. Bisik lelaki itu, setiap kali ada badai bergejolak dalam hatinya. Dan angin senantiasa setia mengaburkan suaranya itu. Hingga ia seperti sebuah jendela, menganga, menunggu seseorang menutup dan menggenapinya.
Kamu masih mau mendengarkanku, An?
Ingat, ini rahasia,seperti aku merahasiakan bahwa kamu betul-betul takut ketinggian, bahwa kamu sama sekali tak doyan sayur bernama kubis, bahwa kamu hampir memotong jarimu sendiri karena kesepian yang sulit kau atasi. Apa? Aku akan menyimpan rahasiamu, jika kau melakukan hal yang sama. Eits, ini bukan ancaman, supaya kau tak melupakan saja setiap kata yang kuucapkan.
Nah, kemudian, An, kumbang itu, ternyata pandai sekali membawa sang bunga terbang kemana-mana, ke awan, ke langit, memetik bintang, menengok bulan, persis seperti angin yang tak perlu apa-apa untuk terbang, semuanya dengan mudah ia lakukan. Ia seperti malaikat yang sedang menjelma kumbang, ia bisa mengubah periuk menjadi emas, bisa mengubah rumah menjadi istana, bisa mengubah beras menjadi apapun makanan yang diinginkan. Apa itu bukan hal yang sangat ajaib? Tentu saja. Tetapi, An, ada satu hal yang belum bisa ia lakukan sampai sang bunga melahirkan putri untuknya. Kumbang belum berhasil merebut hatinya, sang bunga yang setiap malam sering melamun dan bertanya mengapa jendela rumahnya sering sekali terasa sangat dingin namun ia tak kuasa menutupnya. Ia mendengar suara-suara.
Ada apa dengan hatimu? Tanya sang kumbang, kepada istrinya.
Tidak, aku hanya sedang ingin melamun. Jawab istrinya.
Melamunkan apa? Tanya sang kumbang lagi.
Melamunkan entah, mungkin kehidupan.
Begitulah terus-menerus percakapan mereka. Dan kumbang ibarat malaikat yang turun ke bumi dan tahu betul apa yang sedang dipikirkan istrinya. Tetapi memintanya berkata jujur adalah sama halnya meminta seseorang telanjang di depan umum. Tidak mungkin berhasil sampai kapanpun. Dan gelisahlah sang kumbang, doanya kepada Tuhan adalah ia tak ingin apa-apa, termasuk usia, asalkan si bunga dapat mencintainya sebagaimana mestinya, sebagaimana ia mencintai perempuan itu dengan segenap jiwanya, dengan segala apa yang tak pernah ia perkirakan.
Bungaku,
Ya? Jawab sang istri.
Kebahagiaanku adalah ketika kamu bahagia.
Begitu juga denganku.
Akan tetapi, apabila kebahagiaanmu tidak terletak di sini, -ucap sang kumbang sambil meletakkan tangan di dadanya menegaskan bahwa yang dimaksud adalah dirinya,- maka aku tak akan memaksakan apapun kepadamu, bahkan ketika aku harus kehilanganmu. Ucap kumbang dengan terbata-bata.
Berkaca-kacalah mata perempuan yang tak habis pikir dengan apa yang dikatakan suaminya. Ia memikirkannya sepanjang malam, sepanjang hidup. Dan ia tak ingin menjawabnya dengan kalimat apapun. Sebab ia memang tak tahu harus mengatakan apa. Ia duduk di jendela, menutup jendela itu, dan tak membiarkan angin manapun masuk lagi.
Bertahun-tahun kehidupan mereka dipenuhi hiasan berwarna-warni. Putri pertama mereka tumbuh menjadi gadis yang cantik nan pandai. Putri kedua mereka tumbuh menjadi anak yang lincah dan cerdas. Dan buah hati ketiga mereka yang masih dalam kandungan, seperti terus ingin mengabarkan keluar bahwa di dalam ia sehat dan baik-baik saja. Begitulah, sebuah pemandangan yang senantiasa terlihat cerah.
An, menurutmu mereka benar-benar bahagia atau kelihatannya? Orang-orang menilai mereka benar-benar bahagia. Tetapi aku ingin mendengar pendapatmu. Pendapatmu yang seperti petasan di dalam sebuah kado manis, selalu mengejutkanku dan orang-orang di sekitarmu. Hingga tak jarang mereka memberi respon dan perhatian lebih dari yang kita bayangkan. Hingga aku sering merengut dan kamu mengatakan bahwa terlalu sering merengut tak baik untuk kesehatan.
An, kalau harus terjun ke dalam kisah mereka, kamu mau menjadi tokoh yang mana? Kumbang, si perempuan, si lelaki yang merantau, atau menjadi anak-anak mereka yang tak tahu apa-apa? Hmm, kalau aku memilih tidak menjadi siapa-siapa, aku memilih menjadi diriku saja, yang mengenalmu dan bisa mendongeng kepadamu apapun yang aku mau. Kamu menguap dan matamu mengatakan sudah lanjutkan, aku terlalu sering menelan cerita khayal.
Baik, aku lanjutkan.
Beberapa tahun kemudian, kehidupan mereka yang cerah ceria itu kedatangan mendung yang kemudian berubah menjadi musim hujan. Air dan petir turun tak henti-henti. Rumah mereka sering terkena air dan banjir. Wabah penyakit mulai menjalar di rumah mereka. Si kumbang jatuh sakit dan menjadi parah. Semakin parah setiap harinya.
Istriku. Kata sang kumbang. Ada satu hal yang kuinginkan sebelum waktu mengutus pisaunya untuk memutus kehidupanku.
Sang istri hanya diam dan memandang sang kumbang. Matanya berkaca-kaca, kabut tebal menutupinya. Ingin ia memasukkan setiap ucapan suaminya ke dalam tubuhnya. Hingga tak satu pun
kata tercecer dan terbuang.
Apa yang bisa kulakukan? Ucap perempuan itu akhirnya, dengan terbata-bata.
Pulanglah kemana mestinya kau pulang. Jiwamu berhak memilih rumahnya sendiri. Kata suaminya, dengan napas tersengal-sengal.
Perempuan itu tidak mengerti apa yang dikatakan suaminya. Ia hanya ingin mengatakan kepada suaminya bahwa ia ngin memasukkan dirinya ke dalam tubuh suaminya, merasakan sakit yang sama, supaya suaminya mengerti banyak hal dalam hatinya tanpa ia harus mengatakannya.
Namun gagal. Suaminya pergi. Dan ia sendirian. Di tepi sebuah ranjang. menyadari, bahwa ia tak bisa mengelak apapun dari waktu, dari takdir, dan dari Tuhan, yang maha segala-gala, maha segalanya.
Beberapa tahun kemudian, putri sulungnya yang telah menjadi perempuan dewasa, menemukan sebuah kertas terselip di kotak rahasia ibunya.
Bu, kenapa Ibu tidak mencintai ayah sejak dulu-dulu? Tanyanya. Sang ibu menjawab dengan bijak, berharap anaknya sudah benar-benar dewasa dan mengerti ucapannya.
Cinta itu satu hal, Nak, dan pernikahan adalah hal lain.
Si putri sulung mearik napas dan menyerap ucapan ibunya pelan-pelan, supaya tak lekas hilang.
Ya, Bu. Jawab si putri, kemudian ia pergi tidur dan membawa cerita itu terus-menerus ke dalam mimpi. Dan benar, setelah itu, hidupnya seperti mimpi. Ia bertemu seorang lelaki yang datang dari rantau, kemudian melamar ibunya lagi. Ibunya terkejut. Dirinya sendiri seperti ingin pingsan.
An, menurutmu apa yang selanjutnya akan terjadi? Aku sih menebak ibunya ingin menerima pinangannya dan mereka hidup bahagia selamanya, barangkali saja takdir memang mengharuskan mereka bersama. Namun ternyata kenyataannya berbeda, sang Ibu menolak lelaki itu, bukan karena tidak enak dengan anaknya, bukan karena hal-hal lain di luar dirinya, melainkan, tubuhnya dan dirinya sudah penuh diisi sang kumbang suaminya. Sungguh mengaharukan, Bukan?
*
An, kamu sedang mencemaskan sesuatu? Barangkali iya tetapi kamu tidak mau mengaku. Cerita ini sudah selesai, selesai sejak berjam-jam yang lalu. Bagaimana bisa kamu bertanya kepadaku bagaimana kelanjutannya? Apakah sang kumbang jadi pergi? Apakah sang ibu jadi menikah lagi?
Boja, 9 Oktober 2013 21.28